Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 108525 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Syarif Ilmansyah
"Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan pelaku ekonomi yang vital bagi negara karena menarik banyak investor asing untuk berbisnis di suatu negara. Meskipun dianggap sebagai entitas yang terpisah dari negara, fakta bahwa BUMN itu sepenuhnya atau mayoritas dimiliki oleh negara dan hubungannya yang erat dengannya membuat mereka menjadi entitas yang kompleks untuk dihadapi. Mengingat besarnya kendali, pengaruh, dan ketergantungan yang mungkin dimiliki suatu negara terhadap BUMN, hal itu mungkin menjadi penyebab banyak sengketa atau dugaan wanprestasi dengan banyak investor asing. Ini kemudian dibawa ke arbitrase di International Center for the Settlement of Investment Disputes (ICSID). Dengan mempertimbangkan faktor-faktor ini, banyak investor yang membawa perselisihan ke ICSID mengaitkan dugaan pelanggaran tersebut dengan pemerintah masing-masing negara bagian yang mereka anggap bertanggung jawab. Penelitian ini akan menjelaskan tentang pentingnya atribusi dan bagaimana masing-masing majelis arbitrase memiliki metode yang berbeda untuk mencapai kesimpulan dari mengatribusikan tanggung jawab pemerintah ketika BUMN terlibat dan dampaknya secara keseluruhan terhadap para pihak yang bersengketa dalam hal substansi, prosedur dan biaya keseluruhan untuk mereka

State-owned Enterprises (SOEs) are vital economic actors to states as it attracts many foreign investors to do business in a certain country. Though considered a separate entity from the state, the fact that it is wholly or majority owned by the state and its close relationship with it makes them a complex entity to deal with. Considering the amount of control, influence and dependence a state might have on the SOE, it may be the cause of many disputes or alleged breaches of contract with many of the foreign investors. This is then brought to arbitration in the International Center for the Settlement of Investment Disputes (ICSID). With these factors in mind, many of the investors who bring a dispute to ICSID attribute the alleged breach to the State’s respective governments as they deem them responsible. This research will explain the importance of attribution and how individual arbitral tribunals have different methods to reach the conclusion of attributing government responsibility when SOEs are involved and its overall impacts it has on the parties involved in the dispute in terms of substance, procedure and overall costs for them"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cut Memi
"ABSTRAK
Pasal 3 Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dengan perjanjian arbitrase, akan tetapi sampai saat ini masih saja terdapat pertentangan kompetensi absolut antara arbitrase dan pengadilan. Sebagai contoh dan sekaligus fokus dalam pembahasan tulisan ini adalah dalam hal penanganan perkara antara PT B melawan PT CTPI. Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Berdasarkan Putusan Nomor 10/PDT.G/2010/PN.JKT.PST, perkara ini telah diputus oleh pengadilan dengan menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang mengadili perkara bahkan putusan ini kemudian dikuatkan sampai tingkat peninjauan kembali di Mahkamah Agung berdasarkan Putusan Nomor 238 PK/PDT/2014. Sementara di pihak lain perkara ini juga diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dengan Putusan Nomor 547/XI/ARB-BANI/2013 yang menyatakan bahwa BANI berwenang dalam mengadili perkara yang sama. Pertentangan kompetensi absolut antara dua lembaga tersebut tentu perlu diselesaikan dengan menentukan lembaga mana yang sebenarnya berwenang dalam menangani perkara bersangkutan. Berdasarkan kajian yang dilakukan dalam tulisan ini, diperoleh jawaban bahwa yang berwenang dalam mengadili perkara PT B melawan PT CTPI adalah BANI bukan pengadilan."
Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2017
353 JY 10:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Michael Amos Djohan
"

ABSTRAK

Skripsi ini meninjau hak yang dimiliki oleh investor asing untuk berperkara melalui arbitrase ICSID melawan negara yang telah memberikan pernyataan pengunduran dari Konvensi Washington, berdasarkan ketentuan pada Pasal 71 dan 72 Konvensi Washington. Pasal 71 dan 72 Konvensi Washington mengatur hak dan kewajiban negara terkait pemberitahuan pengunduran dari Konvensi Washington dan hak investor beperkara melawan negara yang memberikan pernyataan keluar dari Konvensi Washington. Meskipun negara memiliki hak untuk keluar dari Konvensi Washington, hal tersebut tidak menghentikan gugatan investor asing setelah pemberitahuan pengunduran tersebut diberikan. Hal ini disebabkan oleh ambiguitas Pasal 71 dan 72 Konvensi Washington terkait hak investor untuk berperkara melawan negara yang memberikan pemberitahuan pengunduran Konvensi Washington. Skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis-normatif untuk meninjau penerapan ketentuan Pasal 71 dan 72 Konvensi Washington terkait hak investor berperkara melawan negara yang memberikan pernyataan pengunduran dari Konvensi Washington dalam kasus Venoklim v. Venezuela, Blue Bank International v. Venezuela, Separate Opinion Arbiter Christer Soderlund, Blue Bank International v. Venezuela, dan Fabrica v. Venezuela. Hak investor tersebut akan dilhat berdasarkan interpretasi Pasal 71 dan 72 Konvensi Washington, dampak pemberitahuan pengunduran dari Konvensi Washington terhadap persetujuan negara terhadap arbitrase ICSID, maupun dokumen-dokumen penunjang dalam pembentukan Konvensi Washington. Berdasarkan pandangan yang terdapat pada empat hal tersebut, persetujuan negara dibutuhkan untuk memberikan investor hak berperkara melawan negara yang telah memberikan pernyataan pengunduran dari Konvensi Washington. Akan tetapi, interpretasi Pasal 71 dan 72 Konvensi Washington terkait persetujuan tersebut berbeda-beda.

 


ABSTRACT

This thesis provides an overview of Foreign Investors rights to arbitration against States that have denounced the Washington Convention based on Article 71 and 72 of the Washington Convention. Article 71 and 72 of the Washington Convention governs the rights and obligations of States concerning denunciation of the Washington Convention and investors rights to ICSID arbitration against States that have denounced the Washington Convention. Although States have the right to denounce the Washington Convention at any time, this does not stop investors from litigating against States that have denounced the Washington Convention. This is due to the ambiguity of Article 71 and 72 of the Washington Convention concerning the scope of rights that investors have to arbitration against such States. The Thesis employs a juridical-normative methodology to analyze the implementation of the rights of investors to arbitrate against States that have denounced the Washington Convention based on Article 71 and 72 of the Washington Convention in the cases of Venoklim v. Venezuela, Blue Bank International v. Venezuela, the Separate Opinion of Christer Soderlund in Blue Bank International v. Venezuela, and Fabrica v. Venezuela. Such investors rights are seen from an interpretation of Article 71 and 72 of the Washington Convention, the effects of denunciation towards the States consent to arbitrate, and other supporting documents and articles of the Washington Convention. Based on the four abovementioned arbitral tribunals and arbitrators opinion, the consent of the state is necessary to an investors rights to initiate arbitration against a denouncing State. However, the interpretation concerning Article 71 and 72 concerning such consent, and the definition of State consent to ICSID arbitration is differently interpreted from one another.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyumurti Setya Sasmita
"Jika konflik tidak dikelola dengan baik, mereka dengan cepat berubah menjadi sengketa. Salah satu lembaga badan arbitrase untuk penyelesaian sengketa konstruksi di Indonesia adalah Badan Arbitrase Nasional Indonesia BANI. Penelitian ini menunjukan proses arbitrase pada proyek konstruksi dan faktor-faktor risiko yang mempengaruhi waktu penyelesaian sengketa konstruksi dalam proses arbitrase di Badan Arbitrase Nasional Indonesia BANI. Penelitian dilakukan dengan wawancara terstruktur dan survei untuk mengumpulkan data. Selanjutnya dilakukan analisa statistik dan analisa risiko kualitatif. Terdapat 3 tiga proses yang memiliki risiko dominan dalam arbitrase yaitu putusan, pemeriksaan, dan permohonan arbitrase yang dilakukan respon untuk mengurangi waktu yang dibutuhkan dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

If conflicts are not managed properly, they quickly turn into disputes. One of the institutions of the arbitration institutional for the settlement of construction disputes in Indonesia is the Indonesian National Board of Arbitration BANI. This study shows the arbitration process on construction projects and risk factors that are in the process of arbitration at the Indonesian National Board of Arbitration BANI. The study was conducted with structured interviews and surveys to collect data. Furthermore, statistical analysis and qualitative risk analysis. There are 3 three processes that have the dominant criteria in arbitration, namely award, examinations, and arbitration appeals made to reduce the time required in arbitration dispute settlement."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2017
T48721
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stellen Rosalina S
"Tesis ini mengkaji mengenai: (i) implementasi pranata Emergency Arbitration dan Emergency Interim Relief di beberapa negara; dan (ii) cara pengadopsian pranata tersebut ke dalam hukum arbitrase Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian empiris dengan menggunakan pendekatan perbandingan, pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Hasil penelitian menunjukan bahwa pranata Emergency Arbitration dan Emergency Interim Relief ini merupakan mekanisme yang dapat digunakan bagi para pihak yang memerlukan tindakan segera dalam keadaan mendesak bahkan sebelum dibentuknya majelis arbitrase. Pranata ini ditujukan untuk mempertahankan ataupun memulihkan status quo hingga akhir persidangan serta menjaga ketertiban proses arbitrase. Berbagai lembaga arbitrase internasional mulai mengadopsi pranata ini yang diperkenalkan pertama kali di tahun 1990 oleh ICC. Pranata ini dinilai dapat melindungi kepentingan mendesak para pihak, prosesnya sangat cepat serta dapat meningkatkan voluntary compliance. Akan tetapi, finalitas putusan Emergency Arbitrator masih menjadi isu kontroversial, akibat tidak dapat ditegakkan di bawah New York Convention 1958. Negara-negara mulai menerapkan strategi masing-masing guna mengatasi problematika tersebut, yaitu mengaturnya dalam hukum nasional masing-masing; melalui New York Convention 1958; dan melalui pendekatan analogi atas hukum nasional yang telah ada. Melihat berbagai kelebihan pranata ini serta kultur berperkara masyarakat Indonesia yang masih sering menunda-nunda pelaksanaan putusan arbitrase sehingga kepentingan pihak yang menang menjadi dirugikan. Maka sudah sepantasnya Indonesia juga ikut mengadopsi pranata ini ke dalam peraturan lembaga arbitrase terkait mengenai hukum acara dan aturan teknis serta ke dalam UU No.30 Tahun 1999, khususnya pasal mengenai definisi arbiter darurat serta pasal pengakuan dan penegakan Emergency Interim Relief.

This thesis examines (i) the implementation of Emergency Arbitration and Emergency Interim Relief regulations in several countries; and (ii) the method of adopting this regulations into Indonesian Arbitration law. The method used in this research is empirical research using a comparative approach, statutory approach, and case approach. The research results show that Emergency Arbitration and Emergency Interim Relief regulations are mechanisms that can be used for parties who require immediate action in an urgent situation even before the arbitral tribunal was formed. This regulation is aimed at maintaining or restoring the status quo until the end of the trial as well as maintaining order in the arbitration process. Various international arbitration institutions have begun to adopt this regulation which was first introduced in 1990 by the ICC. This regulation is considered to be able to protect the urgent interests of the parties, very fast process and can increase voluntary compliance. However, the finality of the Emergency Arbitrator's decision is still a controversial issue, because it cannot be enforced under the 1958 New York Convention. Countries have begun to implement their respective strategies to overcome these problems, namely regulating them in their respective national laws; through the New York Convention 1958; and through an analogy approach to existing national laws. Seeing the various advantages of this regulation and also the Indonesian litigation culture who often delay the implementation of arbitrator decisions and cause the disadvantage for the interests of the winning party. Then it is appropriate that Indonesia also adopts this regulation into the arbitration institutions rules regarding procedural law and technical rules as well as into Law No.30 of 1999 regarding the definition of emergency arbitrator also the recognition and enforcement of Emergency Interim Relief."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Neilly Iralita Iswari
"Dalam pelaksanaan jasa konstruksi seringkali terjadi bentuk sengketa yang didalamnya terkait unsur teknis, administrasi dan segi hukum, oleh karena itu penyelesaian sengketa melalui arbitrase merupakan pilihan yang tepat karena kerahasiaan dapat terjamin, hubungan antara penyedia jasa dan penguna jasa tetap baik dan dapat memilih arbiter yang menguasai bidangnya. Masalah yang timbul adalah pilihan forum dan acara arbitrase (arbitration rules) apa yang sebaiknya dipilih oleh para pihak dan bagaimana pelaksanaan putusan arbitrase dalam penyelesaian sengketa jasa konstruksi di Indonesia. Dalam menjawab permasalahan tersebut menggunakan tipe penelitian yang bersifat eksplanatoris dengan metode penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan.
Dari penelitian tersebut diperoleh hasil sebagai berikut: pertama, BANI berpengalaman dalam menyelesaikan sengketa jasa konstruksi karena hampir sepertiga (29%) dari seluruh sengketa yang diselesaikan BANI adalah dibidang jasa konstruksi; kedua, 90% putusan arbitrase di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dapat dilaksanakan secara sukarela; ketiga, dari Putusan-putusan arbitrase yang sudah memperoleh eksekusi ditemui putusan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
T18965
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Arbitrase adalah forum yang paling populer dipilih oleh para pemangku kepentingan pada sengketa perdagangan InternationaI di beberapa negara. Ada beberapa argumen sehingga beberapa stakeholder memilih arbitrase untuk menyelesaikan sengketa. Tapi kadang-kadang, di negara-negara tertentu masih ada beberapa hambatan dalam mengenali dan menegakkan penghargaan Meskipun ada Konvensi Internasional tentang Pengakuan dan Penegakan arbitrase asing dengan nama THC New York Convention 7958, namun pada kenyataannya, konvensi tidak dapat dilaksanakan ' artikel ini akan mengeksplorasi konsep-konsep dasar dari arbitrase, pemikiran forum dn arbitrase whiether adalah cara terbaik untuk menyelesaikan sengketa perdagangan internasional. Pembahasan akan menjelaskan kebijakan publik merupakan dasar untuk menolak atau annult penghargaan arbitrase internasional, yang akhir diskusi akan menjelaskan beberapa kasus perdagangan internasional di Indonesia.

Arbitration is the most PoPular forum chosen by the stakeholders on the internationai trade disputes in some
countries. There are some arguments so some stakeholders choose an arbitration to settle the disputes. But sometimes, in certain countries there are still some impediment in recognize and enforcing the awards Although there is an Internatìonal Conventíon on The Recognition and Enforcement of foreign arbitral awards with named Thc New York Convention 7958, but in reality, the convention cannot be implemented' This article will explore the basic concepts of arbitration, the thinking of whiether dn arbitration forum is the best way to settle an international trade dispute's. The díscussion will descríbe of public policy is a ground for refuse or annult the international arbitration awards, The end of discussion will describe some international trade cases in Indonesia."
Universitas Indonesia, 2013
MK-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rizkisyabana Yulistyaputri
"Terhadap putuasan arbitrase yang dikeluarkan oleh BPSK dapat diajukan 2 (dua) upaya hukum, yaitu keberatan sesuai dengan UU 8/1999 dan juga pembatalan sesuai dengan UU 30/1999. Adanya dua tindakan yang dapat dilakukan terhadap putusan arbitrase yang dikeluarkan oleh BPSK tersebut menimbulkan pertanyaan terkait proses arbitrase dalam upaya penyelesaian sengketa konsumen dan juga perlindungan konsumen dalam proses tersebut, serta implikasi putusan Mahkamah Konkstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014 tentang Pembatalan Putusan Arbitrase terhadap proses penyelesaian sengketa konsumen di BPSK, karena keduanya bertentangan dengan sifat final and binding dari putusan arbitrase. Melalui metode penelitian doktrinal didapatkan hasil bahwa proses penyelesaian sengketa konsumen dilakukan dengan tujuan utama mengusahakan upaya damai di antara pihak yang bersengketa, dan juga untuk mempersingkat waktu serta biaya penyelesaian sengketa, sehingga dapat memberikan kepastian hukum dan perlindungan konsumen secara maksimal. 3 (tiga) tahun sejak duicapkannya Putusan Mahkamah Konstitusi terkait, terdapat peningkatakan putusan terkait pembatalan putusan arbitrase dan juga keberatan atas putusan BPSK, walaupun hal tersebut tidak berlangsung seterusnya. Putusan Mahkamah Konstitusi berasaskan erga omnes, sehingga ketika putusan tersebut telah dibacakan, tidak hanya mengikat pihak yang terlibat dalam pokok perkara, namun juga bagi semua orang. Hal ini menyebabkan walaupun para Pemohon dalam pokok perkara dalam putusan Mahkamah Konkstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014 adalah pihak yang bersengeta di BANI, putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga tetap berlaku bagi putusan arbitrase yang dikeluarkan oleh lembaga lain selain BANI, termasuk BPSK. UU 8/1999 dan UU/1999 telah berusia lebih dari 20 (dua puluh) tahun, sehingga sejatinya diperlukan suatu pembaharuan sesuai dengan kondisi yang ada saat ini, agar dapat lebih memberikan perlindungan konsumen secara maksimal.

Against the arbitration decision issued by BPSK, 2 (two) legal remedies can be filed, namely objection in accordance with Law 8/1999 and also annulment in accordance with Law 30/1999. The existence of two actions that can be taken against the arbitration award issued by BPSK raises questions related to the arbitration process in an effort to resolve consumer disputes, consumer protection in the process, as well as the implications of the Constitutional Court Decision Number 15/PUU-XII/2014 on the Cancellation of Arbitration Awards on the process of resolving consumer disputes at BPSK, because both are contrary to the final and binding nature of arbitration awards. Through the doctrinal research method, it is found that the process of resolving consumer disputes is carried out with the main objective of seeking peaceful efforts between the parties to the dispute, and also to shorten the time and cost of dispute resolution, so as to provide maximum legal certainty and consumer protection. 3 (three) years since the issuance of the relevant Constitutional Court Decision, there has been an increase in decisions related to the annulment of arbitration awards and also objections to BPSK decisions, although this has not continued. The Constitutional Court's decision is erga omnes, so that when the decision has been read out, it is not only binding for the parties involved in the subject matter, but also for everyone. This is why even though the Petitioners in the main case in Constitutional Court Decision No. 15/PUU-XII/2014 are parties to a dispute at BANI, the Constitutional Court's decision also applies to arbitration decisions issued by institutions other than BANI, including BPSK. Law No. 8/1999 and Law No. 1999 are more than 20 (twenty) years old, so a renewal is actually needed in accordance with current conditions, in order to provide maximum consumer protection."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asri
"Putusan arbitrase yang bersifat final dan mengikat bagi para pihak, akan tetapi Pasal 70 UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan upaya untuk mengajukan permohonan pembatalan melalui Pengadilan Negeri. Upaya hukum permohohan pembatalan mengakibatkan proses penyelesaian sengketa menjadi berlarut-larut, meskipun para pihak telah sepakat untuk mengenyampingkan upaya hukum permohonan pembatalan tersebut. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang bersifat yuridis normatif dengan metode pendekatan perundang-undangan statute approach , pendekatan konseptual conceptual approach dan pendekatan kasus case approach . Tindakan salah satu pihak yang mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase meskipun telah dikesampingkan dalam perjanjian secara hukum telah dianggap melakukan cidera janji wanprestasi dan melanggar asas kekuatan mengikat pacta sunt servanda dari Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata dan melanggar asas kepastian hukum. Kesepakatan pengenyampingan upaya pembatalan putusan arbitrase telah meniadakan dan melepaskan hak para pihak untuk mengajukan pembatalan putusan arbitrse melalui pengadilan, namun dalam praktek majelis hakim sama sekali tidak mempertimbangkan adanya kesepakatan pengenyampingan tersebut, sebaliknya tetap memeriksa dan mengadili pokok perkara dan membatalkan putusan arbitrase yang telah bersifat final dan mengikat. Seharusnya, majelis hakim dalam mengeluarkan putusan tetap berpedoman pada isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak sebagai konsekuensi dari asas pacta sund servanda sepanjang perjanjian arbitrse tersebut telah memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana Pasal 1320 sampai dengan Pasal 1337 KUH Perdata.

Arbitration award is final and binding for the parties, however Article 70 of Law No. 30 of 1999 regarding Arbitration and Alternative Dispute Resolutions provides a right to file a request for cancellation through the District Court. The legal remedy to request annulment caused the dispute settlement process extended, even though the parties have agreed to waive legal remedy on such cancelation. The research is descriptive research which is normative juridical and the approaches are statute approach, conceptual approach and case approach. The request for the cancellation of an arbitral award filed by the party even though it has been ruled out in the treaty is considered as a breach of contract and violates the principle of pacta sunt servanda of Article 1338 paragraph 1 of Indonesian Civil Code and has violated the legal certainty principle. A waiver agreement for the cancellation of the arbitral award has nullified and waived the parties 39 right to file the annulment of the arbitral award through the court, however in practice the judges did not consider the existence of the waiver agreement, on the contrary to examine and adjudicate the case and nullify the final and binding arbitral award. Supposedly, the judges in issuing the decision shall remain guided by the contents of the agreement made by the parties as a consequence of pacta sund servanda principle as long as the arbitration agreement has met the requirements of the validity of the agreement as regulated in Article 1320 to Article 1337 Indonesian Civil Code.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T50474
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Febby Mutiara Nelson
"Kepastian hukum baik mengenai hukum materil yang menyangkut substansial maupun hukum formil yang menyangkut proses beracara di pengadilan sangat dibutuhkan untuk terselenggaranya kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemerintah Indonesia memberlakukan beberapa undang-undang penting ditengah krisis ekonorni dan reformasi yang tengah berlangsung tahun 1998. Banyak pihak menduga bahwa undang-undang yang diberlakukan adalah sebagai bagian dari nota kesepahaman (letter of intent) dengan pihak International Monetery Fund (IMF). Deregulasi terutama dilakukan pada beberapa materi perundang-undangan baru, khususnya yang menyangkut bidang perekonomian dan dunia usaha. Salah satunya adalah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, dimana undang-undang ini sangat diharapkan oleh konsumen maupun pelaku usaha di Indonesia. Namun dalam pelaksanaan Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) tersebut tidak terlepas dari permasalahan hukum yang ada. Dalam UUPK dikenal adanya upaya keberatan terhadap putusan arbitrase yang diajukan pada tingkat pengadilan negeri. Hukum acara tentang ini diatur didalam Perma Nomor 1 tahun 2006, yang menyatakan bahwa BPSK bukanlah sebagai salah satu pihak yang bersengketa dan objek dari keberatan tersebut adalah putusan arbitrase BPSK yang memenuhi Pasal 6 UUPK. Majelis Hakim Pengadilan Negeri memeriksa keberatan hanya berdasarkan putusan BPSK dan berkas perkara yang diajukan. Dalam Perma tersebut tidak dijelaskan bagaimana bentuk keberatan tersebut, apakah gugatan atau permohonan, sedangkan dalam hukum acara perdata tidak dikenal upaya hukum keberatan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T18474
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>