Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 160138 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tartila
"Latar belakang : COVID-19 telah menjadi suatu pandemik dan menyebabkan kematian cukup besar. Populasi anak dilaporkan kurang dari 5% dari seluruh kasus yang ada di tiap negara, namun tetap ada sebagian kecil yang mengalami gejala berat dan kritis dan berakhir pada kematian. Respons hiperinflamasi yang dikenal sebagai badai sitokin merupakan dasar terjadinya gejala berat pada COVID-19, dan temuan pada dewasa menunjukkan kadar IL-6 yang sangat dominan dan berkorelasi dengan luaran yang buruk. Ekstrapolasi hipotesis pada kasus dewasa belum dapat sepenuhnya menjelaskan kondisi berat dan kritis pada anak. Penelitian ini bertujuan untuk melihat profil klinis pasien anak yang mengalami sakit berat dan kritis, luaran serta kadar IL-6.
Metode : Penelitian ini merupakan observasional kohort pada populasi anak sakit berat dan kritis yang masuk ke IGD dan PICU Kiara RSCM pada bulan Oktober 2020 hingga April 2021.
Hasil : Sebanyak 80 kasus memenuhi subjek penelitian, dengan 21 kasus terkonfirmasi positif (kelompok kasus) dan 59 kasus negatif (kelompok kontrol). Pada kelompok kasus didapatkan terutama pada usia >10 tahun (9 subjek), disertai komorbiditas (20 subjek, terbanyak kelainan kelainan jantung bawaan), koinfeksi (10 subjek), mendapat imunosupresan (10 subjek), ARDS (13 subjek), renjatan (11 subjek), median skor PELOD-2 sebesar 3, serta luaran kematian pada 11 subjek. Median IL-6 pada kelompok kasus 30,3 pg/mL. Kadar IL-6 pada derajat berat COVID-19 bervariasi namun memiliki kecenderungan yang lebih tinggi pada kasus meninggal.
Simpulan : Kelompok anak yang mengalami sakit berat dan kritis memiliki lebih banyak komorbiditas dan koinfeksi sehingga memengaruhi luaran serta kadar IL-6. Penilaian terhadap IL-6 sebagai prediktor kematian pada kasus anak sejalan dengan kasus dewasa, namun diperlukan penelitian lebih lanjut untuk melihat trend perubahan IL-6.

Background:. The population of children suffered from COVID-19 is reported to be less than 5% of all cases in every country. There is still a tiny proportion who experience severe and critical symptoms and end up in death. A hyperinflammatory response known as a cytokine storm is the basis of severe symptoms in COVID-19 and findings in adults suggest that IL-6 levels are highly predominant and correlate with poor outcomes. Extrapolation from adult cases has not fully explained the severe and critical condition in children. This study aims to evaluate the clinical profile, outcomes, and levels of IL-6 in severe and critically ill children.
Methods: This study was an observational cohort of severe and critically ill children admitted to the emergency unit and PICU RSCM from October 2020 to April 2021.
Results: Eighty subjects met the inclusion criteria, with 21 confirmed COVID-19 cases (case group) and 59 negative cases (control group). In the cases group, mostly age  >10 years old (9 subjects), with comorbidities (20 subjects, mostly were congenital heart defects), coinfection (10 subjects), ARDS (13 subjects), shock (11 subjects), receiving immunosuppressants (10 subjects), and the median PELOD-2 score was 3. There were death in 11 subjects. The median IL-6 in the case group was 30.3 pg/mL. IL-6 levels vary in the severity of COVID-19 and have a higher tendency in cases of death.
Conclusion: The group of severely and critically ill children had more comorbidities and coinfections that affected the outcome and levels of IL-6. Assessment of IL-6 as a predictor of mortality in pediatric cases is in line with adult cases, but further research is needed.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
I Gde Doddy Kurnia Indrawan
"Kandidemia menjadi salah satu masalah di PICU karena angka kejadiannya meningkat setiap tahun dan angka kematian yang tinggi, memperpanjang masa rawat di rumah sakit. Sampai saat ini data epidemiologi pada anak masih terbatas.
Tujuan: Mengetahui epidemiologi kandidemia di PICU RSCM.
Metode: Penelitian retrospektif dilakukan di RS Cipto Mangunkusumo dengan mencatat data rekam medis pasien anak dengan diagnosis kandidemia periode 1 januari 2013 sampai 31 Desember 2014.
Hasil: Didapatkan 32 kejadian kandidemia dalam kurun waktu pengambilan data. Median usia pasien adalah 12,8 bulan, 57,7% berjenis kelamin laki-laki. Status gizi pasien sebagian besar mengalami gizi kurang. Sebanyak 69,2% merupakan kasus bedah dan 30,8% pasien non bedah. Penggunaan steroid sebanyak 11,5%. Selama perawatan di PICU, sebanyak 96,2% pasien menggunakan ETT, 100% pasien menggunakan kateter vena sentral dan kateter urin. Pasien yang menggunakan antibiotika >15 hari sebanyak 80,8%. Median skor awal PELOD adalah 12. Median waktu pemberian anti jamur 15,8 hari perawatan di PICU. Luaran hidup adalah 65,4% dan mati 34,6%. Rerata lama perawatan PICU adalah 25,8 hari. Penyakit yang mendasari pasien dirawat di PICU terdiri dari 7,7% infeksi saluran pernapasan, 3,8% infeksi sistem saraf, 19,2% syok sepsis, 3,8% pascabedah kepala leher, 11,5% pasca bedah dada, dan 53,8 pasca bedah abdomen. Rerata lama penggunaan ETT 10,04 hari, rerata lama penggunaan kateter vena sentral 15,65 hari, dan rerata lama penggunaan kateter urin 11,15 hari. Jenis kandida terbanyak sebagai penyebab kandidemia adalah kandida parapsilosis. Sebanyak 76,8% pasien mendapatkan lebih dari dua antibiotika sebelum mendapatkan anti jamur.
Simpulan: Kejadian kandidemia serupa dengan negara berkembang lainnya dan ditemukan meningkat pada pasien dengan karakteristik status gizi kurang, pasien pascabedah, penggunaan alat medis invasif, dan penggunaan antibiotika > 15 hari.

Candidemia has become an important problem in PICU because the incidence has dramatically increased every year and with a high mortality rate as well as high health care costs. To date epidemiological data in children is limited.
Objective: to know the epidemiology of candidemia in PICU RSCM
Methods: A retrospective study was conducted in Cipto Mangunkusumo general hospital with medical record data recorded diagnosis of septic shock in children period from 1 January 2013 to December 31, 2014.
Results: A total of 32 candidemia events in the period of data collection. The median age of patients was 12.8 months, 57.7% male sex. Nutritional status of patients some of which have mild malnutrition. There were 69.2 % was the case surgery and 30.8 % of patients non surgery. Using of steroid was 11.5%. At the treatment in PICU, 96.2 % of patients used ett , 100 % of patients used catheter vein central and catheter urin. Patients that received antibiotics > 15 days was 80.8%. The median initial PELOD day care in the PICU was 12. Patients received antifungal when 15.8 days care in the PICU. The outer covering of life is 65.4 % and die 34.6 % . Lenght of PICU stays was25,8 days. The underlying diseases that required PICU were 7.7% respiratory infection, 3.8%, neurology infection, 19.2% septic shock, 3.8% post head and neck surgery, 11.5% post thorac surgery, and 53.8 post abdomen surgery. Rate length of using ETT was 10.04 days, CVC 15.65 days, urine catheter 11.15 days. The most isolated candida from blood culture was candida parapsilosis. There was 76.8% received > 2 antibiotics before antifungal injection.
Conclusion: The incidens of candidemia was similar with other developing countries and found increased in patients with characteristic mild malnutrition, post surgical,using invasive medic al devices, and using antibiotics > 15 days."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fira Nabilla
"Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan proses yang mencakup kegiatan seperti pengkajian terkait obat yang digunakan pasien, pemberian rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat serta pemantauan efektivitas dan efek samping obat. Data penggunaan obat merupakan komponen penting dalam proses PTO. Analisis yang dapat dilakukan berdasarkan data penggunaan obat adalah penilaian kualitas penggunaan antibiotik serta analisis MTO pengobatan yang diterima pasien. Masalah Terkait Obat (MTO) yang terjadi pada pengobatan pasien dan memberikan rekomendasi tindak lanjut menggunakan metode SOAP. PTO dilakukan pada pasien berinisial NAN yang didiagnosis sindrom gangguan pernapasan akut, perdarahan intraserebral dan PDVK. Masalah Terkait Obat (MTO) yang terjadi pada pengobatan pasien N di ruangan PICU RSUP Fatmawati dengan diagnosis sindrom gangguan pernapasan akut, perdarahan intraserebral dan PDVK adalah adanya ketidaksesuaian dosis yaitu amikasin 1x60 mg. Kemudian ditemukan Reaksi Obat yang Tidak Diinginkan (ROTD) terjadi pada pasien yaitu hipoalbumin yang merupakan ROTD dari parasetamol dan hiperglikemi akibat pemberian deksametason. Interaksi obat yang terjadi yaitu antara amikasin dan mannitol, asam valproate dan meropenem, parasetamol dan fenitoin, fenitoin dan asam valproate, amikasin dan furosemide, seftriakson dan furosemide, serta omeprazole dan fenitoin. Penilaian kualitas penggunaan antibiotik menggunakan metode gyssens menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik seftriakson sudah tepat atau bijak karena masuk ke dalam kategori 0. Kemudian Penggunaan meropenem masuk kategori IVA dan IIIA yang menginterpretasikan bahwa ada antibiotik lain yang lebih efektif daripada meropenem karena berdasarkan hasil kultur yaitu seftazidim dan sefepim masih sensitif terhadap pasien serta penggunaan antibiotik terlalu lama (lebih dari 14 hari). Penggunaan amikasin masuk kategori IIA dan IIB yang menunjukkan bahwa dosis dan interval yang tidak tepat.

Drug Therapy Monitoring (DTM) is a process that includes activities such as assessments related to drugs used by patients, providing recommendations for solving drug-related problems, and monitoring the effectiveness and side effects of drugs. Drug use data is an important component of the DTM process. Analysis that can be carried out based on drug use data is an assessment of the quality of antibiotic use as well as an DRP analysis of the treatment the patient receives. Drug-Related Problems (DRP) that occur in patient treatment and provide follow-up recommendations using the SOAP method. DTM was performed on a patient with the initials NAN who was diagnosed with acute respiratory distress syndrome, intracerebral hemorrhage, and PDVK. Drug-Related Problems (DRP) that occurred in the treatment of patient N in the PICU room at Fatmawati Hospital with a diagnosis of acute respiratory distress syndrome, intracerebral hemorrhage, and PDVK was a dose mismatch, namely amikacin 1x60 mg. Then it was found that adverse drug reactions (ADR) occurred in patients, namely hypoalbumin which was ADR from paracetamol, and hyperglycemia due to dexamethasone administration. Drug interactions that occur are between amikacin and mannitol, valproic acid and meropenem, paracetamol and phenytoin, phenytoin and valproic acid, amikacin and furosemide, ceftriaxone and furosemide, and omeprazole and phenytoin. Assessment of the quality of antibiotic use using the Gyssens method showed that the use of ceftriaxone was appropriate or wise because it was included in category 0. Then the use of meropenem was included in categories IVA and IIIA which interpreted that other antibiotics were more effective than meropenem because they were based on culture results, namely ceftazidime and cefepime. still sensitive to patients and the use of antibiotics for too long (more than 14 days). The use of amikacin is in categories IIA and IIB which shows that the dose and interval are incorrect."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Gathmyr
"Latar Belakang: Acute Kidney Injury pada COVID-19 merupakan komplikasi penting dan dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian diduga diperantarai kondisi inflamasi dan disregulasi imun, baik di awal maupun selama perawatan. Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara IL-6, IL-10, TNF-" dengan AKI dan memprediksi perburukan hematuria, dan kejadian AKI Metode: Studi potong lintang dan prospektif kohort melibatkan 43 pasien COVID-19 derajad sedang dan berat yang dirawat di Rumah Sakit Pertamina Pusat di Jakarta, Indonesia dari bulan November 2020 hingga Januari 2021. Selama observasi dilakukan pemeriksaan darah lengkap, serum kreatinin, urinalisis, kadar IL-6, IL-10, TNF-" pada hari pertama dan hari ketujuh pengobatan atau sebelum hari ketujuh jika pasien meninggal atau dipulangkan, dan perubahannya di analisis. Insiden AKI ditentukan ketika perubahan serum kreatinin dan urin output memenuhi kriteria pedoman Kidney Disease Improving Global Outcomes. Uji korelasi dilakukan terhadap peningkatan sitokin dengan perubahan hematuria dan kreatinin. Uji Wilcoxon dilakukan untuk mengetahui perbedaan kadar sitokin diantara status albuminuria. Selanjutnya dilakukan uji Receiver Operator Characteristic untuk melihat kemampuan prediksi IL-6, IL-10, TNF-" terhadap perburukan hematuria dan kejadian AKI, menggunakan AUC minimal 0,7 dengan batas bawah IK 95% lebih dari 0,5 dan nilai p <0,05 Hasil: Terdapat korelasi antara peningkatan kadar serum IL-10 dengan perubahan serum kreatinin (r= -0,343; p 0,024) tetapi tidak pada perubahan IL-6 dan TNF-a. Perubahan hematuria tidak berkorelasi dengan peningkatan ketiga kadar sitokin. Juga tidak ada perbedaan dalam kadar sitokin di antara kelompok albuminuria. Kadar serum TNF-" dihari pertama perawatan dapat memprediksi AKI pada hari ke tujuh, AUC 85%; p=0,045 (IK 0,737-0,963), tetapi tidak dapat memprediksi perburukan hematuria Kesimpulan: Terdapat korelasi antara peningkatan IL-10 dengan perubahan serum kreatinin. TNF-! pada hari pertama perawatan dapat memprediksi kejadian AKI di hari ketujuh perawatan pasien COVID-19 derajat sedang dan berat.

Background: Acute Kidney Injury is an important complication and is associated with increased risk of death in COVID-19 due to inflammatory conditions and immune dysregulation, both at the beginning and during treatment. Aim: To determine the relationship between IL-6, IL-10, TNF-α with AKI and their ability to predict the worsening of hematuria, and the incidence of AKI. Methods: 43 moderate and severe COVID-19 patients treated from November 2020 to January 2021 at Pertamina Central Hospital in Jakarta, Indonesia were included in this cross-sectional and prospective cohort study. During observation, tests including complete blood count, serum creatinine, urinalysis, levels of IL-6, IL-10 and TNF-α were performed on the first and seventh day of treatment, or before day 7 if the patient died or was discharged, and the changes were analyzed. The incidence of AKI is determined when changes in serum creatinine and urine output meet the criteria in the Kidney Disease Improving Global Outcomes guidelines. Correlation test was performed on increased cytokines with changes in hematuria and creatinine. Wilcoxon test was performed to obtain differences in cytokine levels among albuminuria status. Receiver Operator Characteristic test was then carried out to see the predictive ability of IL-6, IL-10, TNF- α on the worsening of hematuria and the incidence of AKI. Results: There was a correlation between increased serum IL-10 levels with changes in serum creatinine (r= -0.343; p 0.024), but not in IL-6 and TNF-a levels. On the other hand, changes in hematuria did not correlate with an increase in the levels of the three cytokines. There was also no significant difference in the levels of cytokines among albuminuria groups. Serum TNF-! levels on the first day of treatment were able to predict AKI on the seventh day (AUC 85%; p=0.045; 95%CI 0.737-0.963), but did not predict the worsening of hematuria. Conclusion: There was a correlation between increased serum IL-10 with changes in serum creatinine. TNF-! on the first day of treatment can predict the incidence of AKI on the seventh day of treatment for moderate and severe COVID-19 patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cindra Kurnia Damayanti
"Latar belakang : Penggunaan antibiotik pada ruang perawatan intensif (Intensive Care Unit, ICU) masih sangat tinggi terutama pada kasus sepsis. Penggunaan terapi tidak rasional merupakan masalah serius dan umum terjadi dan dapat menyebabkan meningkatnya resistensi antibotik. Sepsis merupakan disfungsi organ yang mengancam kehidupan (life-threatening organ dysfunction) yang disebabkan oleh disregulasi imun terhadap infeksi. Terapi antibiotik merupakan komponen utama dalam tatalaksana sepsis. Pemberian antibiotik yang tepat sejak dini pada pasien sepsis perlu dilakukan, dengan pilihan obat yang sesuai dengan pola kuman di komunitas dan rumah sakit.Tujuan : Mengevaluasi pemilihan antibiotik secara kualitatif pada kasus sepsis yang menjalani perawatan di PICU RS Cipto Mangunkusumo.Metode : Desain penelitian potong lintang berdasarkan data pasien anak dengan sepsis yang dirawat  di PICU RSCM yang tercatat di rekam medis sejak April 2017 - Maret 2018. Metode pengumpulan data dilakukan secara secara total sampling. Hasil : Subyek yang memenuhi kriteria penelitian yaitu 82 pasien. Sebagian besar subyek perempuan, dengan rentang usia enam bulan sampai satu tahun, status gizi baik, durasi rawat <7 hari, fokus infeksi tersering saluran napas, terutama infeksi komunitas. Penggunaan alat invasif yang paling banyak adalah ventilator, kateter urin dan selang nasogastrik. Antibiotik yang paling banyak digunakan adalah sefotaksim, meropenem, dan seftazidim dengan indikasi terbanyak sebagai terapi empirik, penggunaan kurang dari tujuh hari, dan jumlah antibiotik yang digunakan lebih dari satu jenis. Evaluasi pemilihan antibiotik secara kualitatif didapatkan pemilihan yang tepat sebesar 71,3%. Kesalahan tersering pemilihan antibiotik yaitu dosis dan interval antibiotik tidak tepat.Simpulan : Penggunaan antibiotik di PICU cukup tinggi. Evaluasi pemilihan antibiotik secara kualitatif didapatkan pemilihan yang tepat sebesar 71,3%.

Antibiotics are the most commonly used medicines in the Pediatirc Intensive Care Units (PICUs) espesially in sepsis cases. Irrational antibiotic therapy is a serious problem and can lead to increased antibiotic resistance. Sepsis is a life-threatening organ dysfunction caused by immune dysregulation of infection. Antibiotic therapy is a major component in the management of sepsis. Proper administration of antibiotics in sepsis patients needs to be done, with a choice of drugs that are appropriate to the patterns of bacteria in the community and hospitals.Aim: To qualitatively evaluate antibiotic use in sepsis cases undergoing treatment in PICU Cipto Mangunkusumo Hospital. Method: We perform cross sectional study, reviewing patient medical report of child diagnosed with sepsis admitted to PICU Cipto Mangunkusumo Hospital from April 2017 – March 2018. All antibiotic usage data was collected. Result: Subjects who met the study criteria were 82 patients with sepsis and given antibiotics. The majority patients given antibiotics were female, ranging in age from six months to one year, with good nutritional status, duration of stay <7 days, the most common focus infections was respiratory infection, and community infections. The most common invasive devices used were ventilator, urinary catheter and nasogastric tube. The most common antibiotics used cefotaxime, meropenem, and ceftazidim with mostly empiric therapy indication, use less than seven days, and more than one type of antibiotics were given. Qualitative evaluation of antibiotics was obtained with the appropriate use 71.3%. The most common mistake in choosing antibiotics were inappropriate dosage and inappropriate interval of antibiotics. Conclusions: Antibiotic use in PICU still high. Of sepsis patients recieving antibiotics treatment at PICU Cipto Mangunkusumo Hospital, 71,3% were given antibiotics appropriately."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Badai Buana
"Sepsis memiliki angka kematian yang cukup tinggi di seluruh dunia. Hal ini disebabkan sebagian besar oleh karena penegakan diagnostik, pemantauan, dan tatalaksana yang tidak adekuat. Mortalitas dan morbiditas sepsis masih dalam banyak penelitian di seluruh dunia. Penyebab terbanyak adalah keadaan imunoparalisis pada sepsis. Penelitian ini bertujuan untuk melihat kejadian, gambaran klinis imunoparalisis pada sepsis klinis anak.Penelitian ini dengan desain deskriptif, dimana subjek di IGD, PICU, dan ruang rawat anak RSCM usia 1 bulan ndash; 18 tahun dengan diagnosis sepsis klinis yang memilki 2/lebih dari 4 kriteria: 1 takikardia; 2 takipnu; 3 hipo/hipertermia; 4 leukositosis/leukopenia, dengan bukti infeksi berupa prokalstionin 0,5 ng/mL dan/atau dijumpai pertumbuhan kuman pada kultur. Setelah orangtua subjek mengisi informed consent, pasien dilakukan pemeriksaan darah rutin, analisa gas darah, prokalsitonin, kultur darah, dan darah diambil untuk pemeriksaan TNF alfa ex vivo. Pemeriksaan TNF alfa ex vivo dilakukan dengan menstimulasi darah segar dengan lipopolisakarida salmonella serotipe abortus equii 500 pg/mL yang kemudian akan dilakukan inkubasi pada suhu 370C selama 4 jam dan disentrifugasi 1000XG selama 5 menit, dilakukan pemeriksaan TNF alfa dengan metode ELISA. Subjek dikatakan imunoparalisis jika didapati hasil TNF alfa ex vivo < 200 pg/mL.Hasil penelitian menunjukkan angka kejadian imunoparalisis 12 17,1 dari 70 subjek terdiagnosa sepsis klinis. Proporsi laki:perempuan 1,4:1. Status gizi kurang n=8/66,7 lebih banyak didapati pada imunoparalisis sepsis klinis. Fokus infeksi tersering adalah infeksi pada sistem hematologi, nefrologi dan respirasi. Subjek demam 5 41,7 , takikardia 3 25 , takipnu 3 25 dari 12 subjek imunoparalisis pada sepsis klinis anak Untuk pemeriksaan laboratorium, prokalsitonin >2,0 ng/mL dan jumlah leukosit > 11.000/mm3 lebih sering dijumpai.Simpulan: angka kejadian imunoparalisis pada sepsis klinis anak di RSCM 17,1 . Gambaran pasien imnoparalisis pada sepsis klinis yang memiliki persentase besar adalah gizi kurang; pasien dengan fokus infeksi hematologi, nefrologi, dan respirasi; prokalsitonin ge; 2 ng/mL; dan leukosit ge; 11.000/mm3

Mortality in sepsis is high worldwide. It is caused by the diagnostic, monitoring, and inadequate therapeutic. Mortality and morbidity in sepsis is still in research. Immunoparalysis is a leading cause of mortality and morbidity of sepsis. The objectives of this study were investigating incidence, clinical characteristics immunoparalysis in clinically sepsis.Design of study was descriptive. The subjets were children age 1 month-18 years from emergency room, PICU, and pediatric ward with clinically sepsis following ge; 2 of 4 criterias: 1 tachycardia; 2 tachypnea; 3 hypo/hyperthermia; 4 leucocytosis/leucopenia, with proven infection such as procalcitonin 0.5 ng/mL with/without positive culture. After informed consent was filled, subjects were examined blood sample, procalcitonin, blood culture, and TNF alpha ex vivo. Whole blood was stimulated with lipopolysaccharides salmonella serotype abotrtus equii, incubated in 37 0C for 4 hours, centrifugated 1000XG for 5 minutes, and examined for TNF alpha with ELISA. Subjects was defined imunoparalysis with TNF alpha ex vivo < 200 pg/mL.We found the incidence of immunoparalysis was 12 17.1 of 70 clinically sepsis subjects. Malnourished status n=8/66.7 was higher frequency. The large numbers for focus of infection were hematologic, nephrologic, and respiratory system. Subjects had fever 5 41,7 , tachycardia 3 25 , and tachypnea 3 25 from 12 imunoparalysis clinically sepsis subject. Laboratorium findings showed procalcitonin > 2.0 pg/mL 8 66,7 subjects and leucocyte > 11.000/mm3 6 50 subjects.Conclusion: The incidence of imunnoparalysed sepsis was 17.1 . Profile of pediatric clinically sepsis had a big number in malnourished status, focus infectious on hematology, nephrology, and respitarory with laboratorium findings showed procalcitonin > 2.0 ng/mL and leococyte > 11.000/mm3 had a high numbers in immunoparalysed clinically sepsis."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sheby Tesya Deanira
"Latar belakang: Kejadian subfertil di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan Riskesdas 2013, prevalensi pasangan subfertil mencapai 15-25% dari seluruh pasangan. Kondisi ini berpengaruh pada kondisi psikis (gejala psikopatologi) seseorang dimana diperlukan tata laksana yang sesuai agar kesehatan mental pasien subfertil dapat ditingkatkan.
Tujuan: Mengetahui kecenderungan gejala psikopatologi pada pasien subfertil di
RSCM beserta faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya.
Metode: Studi ini menggunakan uji potong lintang dengan kuesioner Symptom
Checklist-90 (SCL-90) secara daring dan luring di Poli Endokrin RSCM sejak 5-
18 Oktober 2020. Data yang didapat kemudian diolah menggunakan SPSS versi
20 dan dilakukan uji analisis memakai Fisher’s Exact Test. Skor kasar yang
didapat dari kuesioner diubah menjadi t-score dan kemudian dikelompokan sesuai
gejala psikopatologinya.
Hasil: Setiap pasien dapat memiliki gejala psikopatologi lebih dari satu. Diantara 60 responden terdapat 7 pasien yang mempunyai gejala psikopatologi, dengan 5 orang mengalami somatisasi, 4 orang mendapati obsesif-kompulsif, sensitivitas interpersonal, depresi, dan ide paranoid, 3 orang mengalami kecemasan, kecemasan fobia, psikotik, dan tambahan, serta hanya 2 orang yang mempunyai hostilitas. Didapatkan hubungan gejala psikopatologi dengan usia (OR=1.081; IK95%=0.189-6.169), status pekerjaan (OR=0.448; IK95%=0.080-2.518), dan status gizi (OR=0.815; IK95%=0.087-7.617) tidak signifikan secara statistik (nilai p >0.05).
Simpulan: Prevalensi gejala psikopatologi terbesar adalah somatisasi (71.4%)
dengan usia >30 tahun sebagai faktor risiko, serta bekerja dan IMT ≥ 30 sebagai
faktor protektif.

Background: The incidence of subfertility in Indonesia continues to increase
every year. Based on Riskesdas 2013, the prevalence of subfertile couples reached
15-25% of all couples. This condition affects the psychological condition
(psychopathological symptoms) of a person where appropriate management is
needed so that the mental health of subfertile patients can be improved.
Objectives: To determine the profile of subfertile patients’ psychopathological
symptoms in RSCM and its predispose factors.
Methods: This is a cross-sectional study with the Symptom Checklist-90 (SCL-90)
questionnaire that was given online and offline at the RSCM Endocrine Clinic
from 5-18 October 2020. The data obtained were processed using SPSS version
20 and analyzed using Fisher's Exact Test. The obtained score from the
questionnaire were converted into t-scores and then classified according to their
psychopathological symptoms.
Results: Each patient can have more than one psychopathological symptom.
Among the 60 respondents there were 7 patients who had psychopathological
symptoms, with 5 people experiencing somatization, 4 people experiencing
obsessive-compulsivity, interpersonal sensitivity, depression, and paranoid
ideation, 3 people experiencing anxiety, phobic anxiety, psychotic, and additional
items, and only 2 people which have hostility. It was found that the relationship
between psychopathological symptoms and age (OR=1.081; CI95%=0.189-6.169),
occupation status (OR=0.448; CI95%=0.080-2.518), and nutritional status
(OR=0.815; CI95%=0.087-7.617) was not statistically significant (p value > 0.05).
Conclusion: The biggest prevalence of psychopathological symptoms was
somatization (71.4%) which age >30 years old affect as a risk factor, while working and BMI ≥ 30 as protective factors.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmawati Dewi Handayani
"Pendahuluan: Pediatic Intensive Care Unit (PICU) merupakan ruang perawatan intensif anak di rumah sakit yang merawat pasien anak dengan gangguan kesehatan yang serius. Berbagai prosedur tindakan yang dilakukan di ruang perawatan intensif akan dapat menimbulkan pengalaman stress dan nyeri, salah satunya adalah tindakan Endotracheal Suction (ETS). Salah satu terapi non farmakologik yang dapat digunakan untuk menangani nyeri selama tindakan ETS adalah terapi musik.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi musik terhadap nyeri selama tindakan ETS di ruang PICU RSUP DR.Sardjito Yogyakarta.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian kuasi eksperimen dengan posttest only with control group design. Subjek penelitian adalah pasien anak yang dirawat di ruang PICURSUP DR.Sardjito Yogyakarta yang mendapatkan tindakan ETS. Sampel dibagi menjadi kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Kelompok intervensi mendapatkan perlakuan berupa terapi musik selama 30 menit. Kelompok kontrol tidak diberikan terapi musik. Musik yang diberikan menggunakan musik Mozart jenis Piano Sonata No 17 in B-Flat Major Adagio.
Hasil: Uji hipotesis menggunakan Mann Whitney U-Test dengan taraf signifikansi 5% menghasilkan p=0,001 artinya ada perbedaan nyeri pada kelompok kontrol dengan nyeri pada kelompok intervensi.
Kesimpulan: Terapi musik berpengaruh terhadap nyeri selama tindakan ETS pada pasien anak di ruang PICU RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta.

Introduction: The Pediatic Intensive Care Unit (PICU) is a pediatric intensive care unit in a hospital that treats pediatric patients with serious health problems. Various procedures performed in the intensive care unit can cause stress and pain, one of which is Endotracheal Suction (ETS). One of the non-pharmacological therapies that can be used to treat pain during ETS procedures is music therapy.
Purpose: This study aims to determine the effect of music therapy on pain during ETS procedures in the PICU of RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
Methods: This research is a quasy-experimental study with a posttest only with control group design. The research subjects were pediatric patients who were treated at the PICU RSUP DR.Sardjito Yogyakarta room who received ETS procedures. The sample was divided into the intervention group and the control group. The intervention group received an intervention in the form of music therapy for 30 minutes. The control group was not given music therapy. The music provided uses Mozart's Piano Sonata No. 17 in B-Flat Major Adagio.
Results: Hypothesis testing using the Mann Whitney U-Test with a significance level of 5% resulted in p = 0.001, meaning that there was a difference in the mean pain in the control group and pain in the intervention group.
Conclusion: Music therapy has an effect on pain during ETS procedures in pediatric patients in the PICU of Dr. Sardjito General Hospital, Yogyakarta.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Alvin Tagor
"Latar Belakang: Penyakit COVID-19 yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 bisa menyebabkan kelainan pada paru-paru berupa pulmonary intravascular coagulation, suatu koagulopati akibat infeksi. Banyak menduga keadaan ini disebabkan oleh cytokine strorm yang salah satu komponen utamanya adalah IL-6. Sampai saat ini belum diketahui hubungan antara IL-6 dengan koagulopati pada penyakit ini.
Tujuan: Kami ingin megetahui apakah IL-6 memiliki korelasi dengan pertanda koagulopati d-Dimer, fibrinogen, dan prothrombin time, serta apakah IL-6 memiliki korelasi dengan ferritin sebagai acute phase reactant. Kami juga ingin mengetahui apakah IL-6, ferritin, fibrinogen, d-Dimer, dan PT berkorelasi dengan perburukan subjek COVID-19 derajat sedang dan berat.
Metode: Kami melakukan penelitian kohort prospektif pada pasien COVID-19 derajat sedang dan berat di suatu rumah sakit khusus yang menangani perawatan pasien COVID-19 mulai dari Juni 2020 sampai Januari 2021. Kami melakukan pemeriksaan serial IL-6, d-Dimer, fibrinogen, ferritin dan prothrombin time (PT), serta observasi keadaan pasien tersebut saat masuk rawat dan pada hari ke 14 hari atau sebelum hari ke 14 jika terjadi perbaikan, perburukan, atau pulang; mana yang lebih dahulu terjadi. Penelitian ini sudah mendapat persetujuan dari Panitia Tetap Etik Penelitian Kedokteran FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Hasil: Selama Juni 2020 sampai dengan Januari 2021 kami temukan sebanyak 374 pasien COVID-19 derajat sedang dan berat. Tujuh puluh tiga subjek masuk kriteria inklusi 61 orang termasuk kategori berat, dan 12 orang sedang. Jumlah pasien perburukan adalah 35 dari 61 pasien derajat berat, dan 1 dari 12 pasien derajat sedang. Uji korelasi Spearman antara IL-6 dengan ferritin, d-Dimer, fibrinogen, dan PT berturut-turut koefisien korelasinya 0,08 (p=0,5), -0,13 (p=0,27), 0,01 (p=0,91), 0,03 (p=0,77). Uji korelasi Spearman antara ferritin dengan d-Dimer, fibrinogen, dan PT berturut-turut 0,17 (p=0,14), 0,05 (p=0,63), dan 0,07 (p=0,51). ROC yang memiliki luas lebih dari 60% adalah selisih d-Dimer dan selisih IL-6 (74,77% dan 71,32%).
Kesimpulan: Tidak ditemukan korelasi antara IL-6 dengan d-Dimer, fibrinogen, PT. Ferritin tidak berkorelasi dengan d-Dimer, fibrinogen dan PT. IL-6 tidak berkorelasi dengan ferritin. Perubahan IL-6 dan d-Dimer dapat memprediksi perburukan pada pasien COVID-19 derajat sedang dan berat.

Background: COVID-19 disease caused by the SARS-CoV-2 virus can cause abnormalities in the lungs in the form of pulmonary intravascular coagulation, a coagulopathy due to infection. Many suspect this situation is caused by cytokine storm, one of the main components of which is IL-6. Until now, there is no known relationship between IL-6 and coagulopathy in this disease.
Objectives: We wanted to know whether IL-6 correlated with markers of d-Dimer coagulopathy, fibrinogen, and prothrombin time, and whether IL-6 correlated with ferritin as an acute phase reactant. We also wanted to find out whether IL-6, ferritin, fibrinogen, d-Dimer, and PT correlated with moderate and severe worsening of COVID-19 subjects.
Methods: We conducted a prospective cohort study of moderate and severe COVID-19 patients in a specialized hospital that treats COVID-19 patients from June 2020 to January 2021. We performed serial tests of IL-6, d-Dimer, fibrinogen, ferritin and prothrombin time (PT), as well as observing the patient's condition at the time of admission and on day 14 or before day 14 if there is improvement, worsening, or discharge; whichever happens first. This research has been approved by the Permanent Committee of Medical Research Ethics FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Results: During June 2020 to January 2021, we found 374 moderate and severe COVID-19 patients. Seventy-three subjects entered the inclusion criteria, 61 people were included in the heavy category, and 12 people were moderate. The number of deteriorating patients was 35 of 61 severe grade patients, and 1 of 12 moderate grade patients. Spearman correlation test between IL-6 and ferritin, d-Dimer, fibrinogen, and PT, respectively, the correlation coefficients were 0.08 (p=0.5), - 0.13 (p=0.27), 0.01 ( p=0.91), 0.03 (p=0.77). Spearman correlation test between ferritin and d-Dimer, fibrinogen, and PT was 0.17 (p=0.14), 0.05 (p=0.63), and 0.07 (p=0.51) . ROCs that have areas of more than 60% are the d-Dimer-difference and IL-6-difference (74.77% and 71.32%).
Conclusions: No correlation was found between IL-6 and d-Dimer, fibrinogen, PT. Ferritin did not correlate with d-Dimer, fibrinogen and PT. IL-6 was not correlated with ferritin. Changes in IL-6 and d-Dimer can predict worsening in moderate and severe COVID-19 patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anisa Qisti Mathriul
"TO diperlukan untuk memastikan keamanan, efektifitas dan rasionalis penggunaan terapi obat pasien sehingga meminimalisir reaksi obat yang tidak dikehedaki apabila terdapat masalah terkait obat pada pasien. Pada laporan ini dilakukan pemantauan terapi obat terhadap pasien pediatrik dengan diagnosis utama pneumonia yang menerima polifarmasi di RSUD Tarakan. Laporan ini dibuat berdasarkan pengumpulan data dan observasi langsung terhadap pasien yang merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 tahun 2016. Hasil PTO menunjukan bahwa terdapat dua masalah terkait obat pada pengobatan pasien yaitu dosis parasetamol dan octreotida yang rendah, serta interaksi obat antara salbutamol dengan octreotida. Hasil ini menunjukan perlunya peningkatan dosis pada salbutamol dan ocreotida dan pemantauan interaksi obat.

Pediatric patient in intensive care unit with polypharmacy requires therapy drug monitoring (TDM). TDM is needed to ensure safety, effectiveness and rationale of drug therapy hence minimize adverse drug reactions if there are drug-related problems with patients. This report monitors drug therapy for pediatric patients with pneumonia who receive polypharmacy at RSUD Tarakan. This report was based on data collection and observation of patient referring to Minister of Health Regulation Number 72 of 2016. This report shows that there are two drug-related problems in patient treatment, i.e low doses of paracetamol, octreotide and drug interactions between salbutamol and octreotide. Therefore, it requires for adjustment of the dose and monitoring of the drug interactions."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas ndonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>