Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 230894 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Shahira Nurania
"Globalisasi yang terjadi menciptakan liberalisasi ekonomi yang juga mengarah pada persaingan usaha secara liberal antar pelaku usaha di segala sector. Dalam menjalankan aktivitas bisnisnya, sangat memungkinkan jika beberapa pihak menggunaan cara-cara yang illegal dan melanggar hukum persaingan usaha, salah satunya adalah dengan tindakan bid-rigging atau persekongkolan tender. Bid-rigging dalam aturannya di hukum persaingan usaha berkaitan erat dengan pengadaan (procurement), sebagai salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan baik untuk sektor publik maupun privat. Isu yang akan diangkat dalam hal ini akan berkaitan dengan bid-rigging yang dilakukan dalam lingkup industry ekstraktif sebagai salah satu sektor yang memiliki peran signifikan bagi negara baik yang sedang berkembang yakni Indonesia, serta Australia sebagai negara maju. Skripsi ini mengambil 2 (dua) pokok permasalahan yaitu bagaimana perbandingan elemen di pengaturan bid-rigging dalam tahap pengadaan di industri ekstratif, dengan spesifikasi khusus sektor pertambangan serta minyak dan gas ditinjau dari hukum persaingan usaha di Indonesia dan Australia, dan implementasi dari pengaturan tersebut bagi kedua negara. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif, yang menekankan pada penggunaan norma hukum secara tertulis. Dengan membandingkan pengaturan serta implementasi di kedua negara, ditemukan bahwa pengaturan yang dimiliki hukum persaingan usaha Indonesia lebih umum dan memiliki cakupan yang luas dibandingkan dengan Australia. Implementasi pengaturan yang ada di kedua negara juga bervariasi dan memiliki perbedaan yang signifikan, dimana lebih banyak kasus terkait yang dilaporkan di Indonesia dibandingkan dengan di Australia.

Globalization that occurs results in economic liberalization, which also leads to liberal business competition between business actors within various industries. However, in the course of conducting business activities, it is possible that some parties may be using illegal methods and violating business competition regulations, one of which is a bid-rigging or tender conspiracy. Bid-rigging in the context of business competitions is correlated to procurement as a means to fulfill the necessities for both the public and private sectors. This research will address the issue of bid rigging carried out within the scope of the extractive industry as a sector with a significant role in Indonesia as a developing country, and Australia as a developed country. This research focuses on 2 (two) main issues, namely the comparison of the bid-rigging elements contained in each arrangement in the procurement process in the extractive industry, particularly mining and oil and gas sectors in terms of business competition law in Indonesia and Australia, and the implementation of the arrangements in both countries. The research method used is juridical-normative, which emphasizes written legal norms. By comparing the regulation and implementation in the two countries, it is acknowledged that the regulation of Indonesian competition law is more general and has a broad scope compared to Australia's. The implementation of existing arrangements within both countries also varies and has significant differences, with more related cases being reported in Indonesia than in Australia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mirza Indira Wardhani
"Persekongkolan tender dianggap sebagai bentuk pelanggaran berat dalam ranah hukum persaingan usaha karena dapat memberikan dampak negatif secara langsung bagi perekonomian suatu negara. Penelitian tesis ini bertujuan untuk memberikan penjelasan mengenai larangan persekongkolan tender beserta pendekatan hukum yang dipakai dalam menyelesaikan perkara persekongkolan tender berdasarkan hukum persaingan usaha di Indonesia dan Korea Selatan. Walaupun pendekatan hukum yang dipakai oleh Indonesia dan Korea Selatan berbeda, dimana Indonesia menggunakan pendeketan rule of reason dan Korea Selatan menggunakan pendekatan per se illegal, namun digunakannya kedua konsep pendekatan hukum tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu untuk menyelesaikan perkara persekongkolan tender dengan melihat dampak atau kerugian yang ditimbulkan dari tindakan tersebut. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah metode Yuridis Normatif yang akan mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan yang berkaitan, dan studi komparatif antara Indonesia dan Korea Selatan. Hasil penelitian tesis ini menyarankan agar KPPU lebih memahami lagi konsep pendekatan rule of reason yang digunakan untuk menyelesaikan perkara persekongkolan tender sehingga kepastian hukum dan keadilan dapat tercapai.

Bid rigging is considered as a form of serious violation in the realm of competition law because it can cause a direct negative impact for the nation rsquo s economy. This thesis research aims to provide an explanation of the prohibition of bid rigging along with the used of legal approach to solve bid rigging cases under the competition law in Indonesia and South Korea. Although there is a difference between the used legal approach by Indonesia and South Korea, in which Indonesia uses rule of reason approch while South Korea uses per se illegal approach but the use of both legal approach concepts has the same goal that is to be able to solve the bid rigging case by paying attention to the negative impact or losses due to these act. This thesis is using legal normative method which will refer to the legal norms contained in the relevant regulations, any related court decicions and comparative study between Indonesia and South Korea. The result of this thesis research suggest that KPPU should be able to understand more about the concept of rule of reason approach, so that by using this approach to solve the bid rigging case, legal certainty and justice will be achieved."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T49450
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Saputro
"Krisis multi dimensi yang terjadi di Indonesia tidak terlepas dari adanya persaingan usaha tidak sehat dengan segala bentuknya. Terjadinya pemusatan ekonomi pada segelintir pihak dan praktek-praktek monopoli membuat pasar menjadi terdistorsi dan membahayakan pertumbuhan perekonomian yang didasari pada persaingan usaha yang sehat. Banyaknya kasus-kasus persekongkolan tender yang terjadi di Indonesia mengindikasikan bahwa selama ini kesempatan berusaha tidak mendapatkan perlindungan yang memadai, dan hanya dapat dinikmati oleh pihakpihak yang kuat dan dekat dengan kekuasaan. Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat diharapkan mampu untuk mengurangi bahkan menghilangkan praktek-praktek persekongkolan tender di Indonesia. Dalam hukum persaingan usaha dikenal dua macam metode pendekatan yang digunakan dalam menganalisis kasus-kasus persaingan usaha, yaitu per se illégal dan rule of reason.
Terdapat perbedaan mendasar antara kedua metode pendekatan tersebut. Pendekatan rule of reason membutuhkan analisis ekonomi untuk mengetahui akibat dari perbuatan tersebut, sedangkan per se ¿Ilegal tidak lagi mensyaratkan adanya analisis ekonomi. Dalam Pasal 22 UU No.5 Tahun 1999 yang mengatur mengenai persekongkolan tender terlihat menggunakan analisis secara rule of reason, dimana hal tersebut bertolak belakang dengan beberapa putusan KP PU yang menggunakan pendekatan per se illégal.
Penyelesaian kasus-kasus yang terjadi di negara-negara lain adalah menggunakan pendekatan per se illégal dalam kasus-kasus persekongkolan tender (bid rigging) bahkan dipertegas dengan mengkategorikan sebagai perbuatan pidana.
Hal ini menunjukkan bahwa P'asal 22 UU No.5 Tahun 1999 perlu diadakan perubahan mengingat persekongkolan tender sama sekali tidak berkaitan dengan struktur pasar (structure), dan tidak terdapat unsur pro-persaingan sama sekali. Persekongkolan tender lebih mengutamakan perilaku (behavior) berupa perjanjian untuk bersekongkol iconspiracy) yang pada umumnya dilakukan secara diam-diam. Hal tersebut juga perlu dilakukan agar terdapat kesesuaian dengan penanganan kasus-kasus persekongkolan tender di negara-negara yang telah berpengalaman, sehingga tercipta suatu konvergensi antara aturan hukum di Indonesia dengan negara lain, sepanjang hal tersebut bermanfaat dan baik untuk diaplikasikan.(is)"
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T36599
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alessandra Patricia Wijaya
"Dalam mengikuti proses pengadaan baik untuk sektor publik maupun privat, setiap pelaku usaha dengan tegas tidak diperkenankan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat menimbulkan praktik persaingan usaha tidak sehat. Salah satu dari bentuk kegiatan tersebut adalah persekongkolan tender. Larangan persekongkolan tender di Indonesia telah dengan tegas diatur dalam Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999, tetapi masih banyak pelaku usaha yang mencari celah untuk melakukan persekongkolan tender dengan harapan dapat memenangkan paket tender dan meningkatkan keuntungan. Selain di Indonesia, praktik persekongkolan tender juga kerap terjadi di negara lain, salah satunya adalah Singapura. Isu yang diangkat dalam hal ini adalah praktik persekongkolan tender yang dilakukan dalam paket pengadaan infrastruktur di Indonesia dan Singapura sebagai negara pembanding. Skripsi ini menganalisis terkait pengaturan persekongkolan tender di Indonesia dan Singapura, serta perbandingan antara 2 (dua) putusan dari kedua negara tersebut, yaitu Putusan KPPU Nomor 25/KPPU-I/2020 dan Putusan CCCS Case Number 500/7003/16. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif, yang menekankan pada penggunaan norma hukum secara tertulis. Dengan membandingkan pengaturan serta implementasi di kedua negara tersebut, ditemukan bahwa terdapat kewenangan CCCS yang tidak dimiliki oleh KPPU sebagai otoritas pengawas persaingan usaha, yaitu kewenangan untuk menggeledah dan menyita. Padahal wewenang tersebut dapat memudahkan KPPU untuk mendapatkan direct evidence ataupun bukti yang lebih kuat untuk membuktikan adanya kasus persekongkolan tender. Lebih lanjut, berbeda dengan Indonesia yang belum mengenal leniency program, Singapura telah menerapkan leniency program dalam kasus persekongkolan tender dengan cukup efektif. Leniency program telah memudahkan CCCS untuk mengungkapkan praktik persekongkolan tender dalam berbagai kasus karena adanya keuntungan yang dapat diperoleh pelaku usaha yang dapat bekerja sama dengan CCCS untuk memberikan informasi yang dapat menjadi bukti yang kuat dalam kasus tersebut.

When participating in the procurement process for both the public and private sectors, every business actor is strictly not allowed to carry out activities that could lead to unfair business competition practices. One form of such activity is bid rigging. The prohibition of bid rigging in Indonesia has been strictly regulated in Article 22 of Law No. 5 of 1999, but there are still many business actors who are looking for loopholes to commit bid rigging in the hope of winning the tender package and increasing profits. Apart from Indonesia, the practice of bid rigging also often occurs in other countries, one of which is Singapore. The issue raised in this case is the practice of bid rigging carried out in infrastructure procurement packages in Indonesia and Singapore as comparator countries. This thesis analyzes bid rigging arrangements in Indonesia and Singapore and compares 2 (two) decisions from the respective countries, namely KPPU Decision Number 25/KPPU-I/2020 and CCCS Case Number 500/7003/16. The research method used is juridical-normative, which emphasizes the use of written legal norms. By comparing the regulations and implementation in the two countries, it was found that there is CCCS authority that is not possessed by KPPU as the business competition supervisory authority, namely the authority to search and seize. Even though this authority can make it easier for KPPU to obtain direct evidence or stronger evidence to prove the existence of a tender conspiracy case. Furthermore, unlike Indonesia, which is not yet familiar with the leniency program, Singapore has effectively implemented a leniency program in tender conspiracy cases. The leniency program has made it easier for CCCS to reveal bid rigging practices in various cases because there are advantages for business actors who can cooperate with CCCS to provide information that can become strong evidence in such cases."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nazlia Purnama Sari
"Persekongkolan dalam kegiatan tender merupakan perbuatan yang mengutamakan aspek perilaku berupa perjanjian untuk bersekongkol yang dilakukan secara diamdiam dalam persekongkolan tender, penawar menentukan perusahaan tertentu yang harus mendapat pekerjaan melalui harga kontrak yang diharapkan. Tesis ini menjelaskan tentang penerapan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di industri migas khususnya pada kasus tender pengadaan alat pengeboran eksplorasi minyak dan gas di Blok Madura.
Metode yang digunakan ialah menggunakan metode yuridis normative yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan khususnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Adapun permasalahannya ialah bagaimana penerapan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 oleh KPPU pada tender di Blok Madura, Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung pada putusan KPPU tentang tender di Blok Madura, dan kendala-kendala yang diperoleh KPPU dalam membuktikan Pasal 22. Dengan ini Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah memutus perkara tersebut dengan menerapkan Pasal 22 berdasarkan Pedoman Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Kasus pengadaan alat pengeboran eksplorasi minyak dan gas di Blok Madura sudah sampai ke Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung, namun putusan KPPU tersebut dibatalkan oleh keduanya, karena bukti yang kurang cukup. Penerapan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat pada pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Nomor Perkara 44/PDT/KPPU/2011/PN.Jkt Pst Tentang Tender di Industri Migas Pada Blok Madura dan Mahkamah Agung dengan Nomor Perkara 03K/PDT.SUS/201, yang mana kedua putusan tersebut merupakan lanjutan dari perkara dengan Nomor Putusan 31/KPPU-L/2010.
Berdasarkan pertimbangan hakim Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung atas penerapan Pasal 22 tersebut, kedua hakim tidak menumukan unsur-unsur persekongkolan tender yang terdapat pada Pasal 22, adapun putusan KPPU dengan Nomor Putusan 31/KPPU-L/2010 dibatalkan oleh hakim Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung. Dikarenakan pada putusan KPPU kurangnya bukti petunjuk, KPPU juga tidak menejelaskan secara jelas bukti tidak langsung tersebut, dan bukti tidak langsung belum ada peraturan khususnya di Indonesia. Adanya kendala yang diperoleh KPPU mengakibatkan belum secara optimal melaksanakan kewenangan yang dimilikinya. Selain mengatasi permasalahanpermasalahan, tantangan yang harus dijawab selanjutnya adalah memperjelas status kelembagaan KPPU dalam sistem ketatanegaraan menyebabkan komisi ini menjadi rentan untuk diperdebatkan keberadaannya, utamanya ketika komisi ini menjalankan fungsi dan tugasnya. Selain itu, kendala yang diperoleh KPPU dalam pembuktian adalah perihal whistleblower yang sulit dalam pembuktiannya, karena whistleblower tersebut belum diatur dengan jelas di Indonesia.

Conspiracy in tender activity is an action -oriented aspects of behavior in the form of an agreement to conspire done secretly in a bid rigging , bidder must specify the particular company that got the job through the expected contract price. This thesis describes the application of Article 22 of Law No. 5 of 1999 on the Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition in the oil and gas industry, especially in the case of procurement of oil exploration and drilling tools natural gas reserve.
The method used is to use the method of normative juridical research that refers to the legal norms contained in laws, especially Law No. 5 of 1999 . The problem is how to implement Article 22 of Law No. 5 of 1999 by the Commission on the tender in Madura , Consideration of District Judges and the Supreme Court on the Commission 's decision on the tender in Madura, and the constraints obtained by the Commission under Article 22 proves. District Court and the Supreme Court, but the verdict was overturned by both the Commission, because of insufficient evidence. Application of Article 22 of Law No. 5 of 1999 on the Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition in consideration of the Central Jakarta District Court Case No. 44/PDT/KPPU/2011/PN.Jkt with Pst About Tender in the Oil and Gas Industry In Madura and Supreme Court case No. 03K/PDT.SUS/201 , in which both the decision is a continuation of the case with decision No. 31/KPPU-L/2010.
Based on consideration of the District Court and the Supreme Court on the application of Article 22, the two judges did not menumukan bid rigging elements contained in Article 22, while the decision by the Commission Decision No. 31/KPPU-L/2010 canceled by the District Court and the Supreme Court. Due to the lack of evidence hint Commission decision, the Commission also not menejelaskan clearly the circumstantial evidence, and no evidence of indirect rule, especially in Indonesia. Constraints obtained by the Commission resulted in yet optimally carry out its authority. In addition to addressing the issues, challenges that need to be answered next is to clarify the status of the Commission's institution in the state system led to the commission be susceptible to debate its existence, especially when the commission perform its functions and duties. In addition, the Commission obtained constraints in the proof is a difficult subject whistleblower in the proof, as the whistleblower has not been set out clearly in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38727
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Josephine Rachel Natalia Hansiga
"Pengadaan barang dan/atau jasa yang diselenggarakan oleh Pemerintah seringkali berkaitan dengan persaingan usaha tidak sehat, yaitu persekongkolan tender. Kegiatan persekongkolan ini memiliki dampak negatif bagi persaingan dalam menciptakan hambatan untuk saling bersaing antar pelaku usaha. Di sisi lain, Australia memiliki kebijakan dalam menghadapi persekongkolan tender yang sudah terbukti secara efektif dapat mengurangi perilaku persekongkolan. Kebijakan tersebut adalah leniency program yang dalam praktiknya disebut sebagai civil immunity dan criminal immunity. Kebijakan ini memberikan imunitas terhadap sanksi maupun pengurangan denda kepada pelaku usaha yang bersedia untuk bekerja sama dengan otoritas persaingan usaha dalam mengungkap praktik kartel, termasuk persekongkolan tender. Terdapat dua pokok permasalahan dalam penelitian ini, yakni perbedaan perspektif Indonesia dan Australia dalam menangani persekongkolan tender dan potensi pelaksanaan leniency program bagi kasus persekongkolan tender di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji larangan persekongkolan tender dalam pengadaan barang dan jasa di bawah hukum persaingan usaha antara Indonesia dan Australia. Penelitian ini merupakan penelitian doktrinal yang memaparkan peraturan terkait suatu kategori hukum tertentu secara sistematis, menganalisis hubungan antar peraturan, dan mengidentifikasi potensi dari peraturan tersebut di masa depan. Adapun hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa perbedaan perspektif Indonesia dan Australia dalam menanggapi persekongkolan tender dapat dilihat dari ketentuan hukum persaingan usaha Australia yang menggolongkan persekongkolan tender sebagai bagian dari kartel. Persekongkolan tender tidak diatur secara eksplisit dalam satu pasal tersendiri sebagaimana diatur dalam UU Anti Monopoli di Indonesia. Perbedaan perspektif tersebut mengakibatkan implikasi terhadap persekongkolan tender di Australia mendapatkan kebijakan yang sama dengan kartel, salah satunya leniency program. Berdasarkan efektivitas leniency program di Australia, Indonesia memiliki urgensi untuk menerapkan kebijakan tersebut dalam hukum persaingan usaha. Adapun penerapan leniency program di masa depan dapat merujuk pada kebijakan Australia.

The Government’s procurement of goods and/or services is often related to unfair business competition, namely bid-rigging. This collusion activity has negative impacts on competition by creating barriers for businesses to compete with each other. On the other hand, Australia has a policy that has proven to be effective in reducing bid-rigging. This policy is called the leniency program, known in practice as civil immunity and criminal immunity. This policy provides immunity from sanction and fine reductions to businesses who are willing to cooperate with authorities in exposing cartel conduct, including bid- rigging. There are two main issues in this research, namely the different perspectives between Indonesia and Australia in handling bid-rigging and the potential implementation of the leniency program for bid-rigging cases in Indonesia. This research aims to examine the prohibition of bid-rigging in the procurement of goods and services under competition law between Indonesia and Australia. This research is a doctrinal study that systematically outlines regulations related to a certain legal category, analyzes the relationship between regulations, and identifies the potential of these regulations in the future. The results of this research state that the differences in perspectives between Indonesia and Australia in responding to bid-rigging can be seen in Australia’s competition law which classifies bid- rigging as part of a cartel provision. Bid-rigging is not explicitly regulated in a separate article as stipulated in Indonesia's Anti-Monopoly Law. These differences result in implications for bid-rigging in Australia receiving the same policy as a cartel, including the leniency program. Based on the effectiveness of the leniency program in Australia, Indonesia has the urgency to implement such a policy in competition law. The future implementation of the leniency program may refer to Australia’s policy."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agenda Citra Muhammad
"Abstrak Berbahasa Indonesia/Berbahasa Lain (Selain Bahasa Inggris):
Tulisan ini menganalisis pengaturan dan penerapan bukti tidak langsung dalam perkara persekongkolan tender khususnya dalam Putusan KPPU No. 17/KPPU-L/2022. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Bukti tidak langsung adalah salah satu aspek dalam hukum persaingan usaha yang mengandung perdebatan di Indonesia, walaupun dalam praktik internasional telah diakui sejak lama. Putusan pengadilan tidak selalu mengakui bukti tidak langsung, terdapat pula putusan pengadilan yang mengakui tetapi bukti tidak langsung tidak diposisikan sebagai alat bukti pada Pasal 42 UU Persaingan Usaha. Di tengah perdebatan tersebut, KPPU menerbitkan Peraturan Ketua KPPU Nomor 3 Tahun 2023 tentang Pedoman Larangan Persekongkolan dalam Tender yang mana salah satu isinya menjelaskan tentang bukti tidak langsung termasuk dengan mendasarkan penjelasan bukti tidak langsung pada OECD Policy Brief June 2007. Oleh sebab itu, dinamika pengaturan bukti tidak langsung dalam persekongkolan tender dipandang penting untuk dikaji, termasuk pula penerapannya pada putusan perkara. Terhadap perkembangan dinamika pengaturan, disimpulkan bahwa KPPU telah memperhatikan praktik internasional dari bukti tidak langsung serta memperhatikan perkembangan teknologi terhadap pembuktian persekongkolan tender yang telah diterapkan lebih dulu di negara lain. Terhadap penerapan pengaturan bukti tidak langsung dalam putusan, Putusan Nomor 17/KPPU-L/2022 oleh Majelis Komisi dalam pertimbangannya mengandung tiga kekeliruan. Majelis Komisi merujuk ketentuan bukti tidak langsung pada peraturan terkait penanganan perkara yang belum dapat diterapkan; tidak merujuk penjelasan bukti tidak langsung pada Peraturan Ketua KPPU No. 3 Tahun 2023 yang telah menjelaskan bukti tidak langsung sesuai dengan OECD; serta Majelis Komisi tidak membedakan antara fakta yang merupakan bukti komunikasi dengan yang merupakan bukti ekonomi.

This paper analyzes the regulation and application of indirect evidence in bid rigging cases specifically in KPPU Decision No. 17/KPPU-L/2022. This paper is prepared by using the doctrinal research method. Indirect evidence is one aspect of competition law that is contentious in Indonesia, although in international practice it has been recognized for a long time. Court decisions do not always recognize indirect evidence, there are also court decisions that recognize but indirect evidence is not positioned as evidence in Article 42 of the Competition Law. In the midst of this debate, KPPU recently issued KPPU Chairman's Regulation No. 3 of 2023 concerning Guidelines for the Prohibition of Bid Rigging, one of which explains indirect evidence including by basing the explanation of indirect evidence on the OECD Policy Brief June 2007. Therefore, the dynamics of indirect evidence regulation of bid rigging are considered important to be studied, including its application in case decisions. In regard to the development of regulation, it was concluded that KPPU has paid attention to international practices of indirect evidence as well as paying attention to technological developments in the proof of bid rigging that have been previously applied in other countries. In regard to the application of indirect evidence regulation in the decision, Decision Number 17/KPPU-L/2022 by the Commission Panel, in its consideration contained three errors. The Commission Panel referred to the provisions of indirect evidence in the regulation related to case handling that could not yet be applied; did not refer to the explanation of indirect evidence in the KPPU Chairman Regulation No. 3 of 2023 which had explained indirect evidence in accordance with the OECD; and the Commission Panel did not distinguish between facts that constituted communication evidence and those that constituted economic evidence."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budhi Satya Makmur
"Persekongkolan tender merupakan salah satu bentuk tindakan yang dilarang dalam undang-undang anti monopoli karena persekongkolan tender merupakan perbuatan curang dan tindakan merugikan, terutama peserta tender lainnya yang tidak bersekongkol, sebab dengan sendirinya dalam tender pemenang tidak dapat diatur-atur, melainkan siapa yang melakukan penawaran terbaik dialah pemenangnya dan selain itu persekongkolan tender merupakan tindakan yang anti persaingan. Dengan berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1999, persekongkolan dalam tender (bid rigging) seperti tersebut di atas jelas sangat dilarang berdasarkan Pasal 22, yang berbunyi ?Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T45281
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vincencia Nurmala Dewi
"Dalam proyek pembangunan, pengadaan material merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaaan proyek secara keseluruhan. Keberadaan material dalam jumlah yang besar akan sangat menyulitkan dalam pcngaturan pemakaiannya. Kondisi ini sangat riskan terhadap timbulnya penyimpangan-penyimpangan yang dalam hal ini sangat bcrpengaruh sel-:ali terhadap hiaya proyek, sehingga diperlukan suatu konsep manajemen yang baik. Peranan suatu manajemen dapat dianalisis tcrhadap suatu jalannya proses pengadaan yang dalam hal ini diambil Salah satu tahapannya yaitu pada tahap pembelian material. Dalam prosesenya tahapan pembelian dibagi menjadi beberapa tahap yaitu : Purchasing planning, solicitation planning, solicitation, source solicitation, contract administration dan contract closeout.
Tahapan-tahapan pada pembelian tersebut akan diolah datanya dengan mcnggunakan suatu tools komputer yaitu menggunakan program excel. Dalam prosesnya tahapan tersebut akan dianalisis tingkat pengaruh dan frekuensinya terhadap penyimpangan -penyimpangan yang dalam hal ini ditinjau pada pembelian material. Hasil dari pengolahan data akan dibuat suatu rangking yang akan menunjukkan tingkatan dari dampak terscbut. Dari nilai tersebut akan terlihat sejauh mana peranan manajemen berpengaruh terhadap penyimpangan penyimpangan biaya pemhelian material. Dengan memahami dari awal tingkat pengaruh yang timbul, maka untuk selanjutnya hal ini dapat dijadikan acuan dalam pclaksanaan selanjutnya.

In project of development, material represent part of inseparable from project of as a whole. existence of big Material in number will very complicating in arrangement its usage. this Condition very dengerous to incidence of deviation which in this case very having an effect on once to expense of project, so that needed by a good management concept. Role a management can be analysed to the way levying process which is in this case taken one of its step that is phase purchasing of material. In its purchasing step divided to become some phase that is : Planning Purchasing, planning solicitation, solicitation, solicitation source, administration contract and closeout contract.
Step the purchasing will be processed its data by usisng a computer tools that is excel program use. In course of the step will be analysed by influence storey;level and its frequency to overcome or deviation which is in this case evaluated by at expense of project. Result of from data processing will be made level from the impact. From the value will seen how far management role have an effect on to deviation of[is expense of purchasing of material. With know from early arising out influence storey;level, henceforth this matter can be made reference in execution hereinafter.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2006
S35865
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nainggolan, Arthur Basa Okuli
"Dalam negara yang mengusung prinsip persaingan usaha, campur tangan pemerintah menjadi esensial untuk mengatur sejauh mana sebuah jenis industri, perdagangan, dan jasa dapat bersaing bebas atau perlu diproteksi. Melihat banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha, campur tangan pemerintah ini menjadi krusial untuk mencegah persiangan usaha tidak sehat yang merugikan ekonomi, baik kepada sesama pelaku usaha maupun kepada negara. Salah satu bentuk pelanggaran yang jumlahnya signifikan di Indonesia adalah persekongkolan tender, dengan grafik perkara yang terus meningkat menurut data KPPU beberapa tahun terakhir. Oleh karena itu, diperlukan penanganan yang lebih efektif. Berkaitan dengan hal tesebut, penting bagi Indonesia untuk merujuk pada Amerika Serikat, yakni negara yang menjadi pelopor pengaturan Undang-Undang Persaingan Usaha. Hal ini juga dilakukan oleh Indonesia pada penyusunan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, di mana pengaturan persaingan usaha di Amerika Serikat seperti Sherman Act banyak mempengaruhi pembuatannya. Namun, masih ada pengaturan yang dapat dibuat lebih efektif berkaitan dengan persekongkolan tender. Untuk itu, penelitian ini dilakukan secara doktrinal. Hasil analisis perbandingan konsep penegakan hukum persekongkolan antara Indonesia dan Amerika Serikat, termasuk dengan penerapannya melalui putusan pengadilan, adalah adanya perbedaan yang mencakup kewenangan lembaga penegak hukum persaingan usaha, pendekatan hukum dalam persekongkolan tender, penjatuhan sanksi, serta penerapan leniency program, perlindungan whistleblower, dan consent decree.

In a nation that upholds the principle of fair competition, government intervention becomes essential to regulate the extent to which a particular industry, trade, or service can compete freely or requires protection. Given the numerous violations committed by business entities, government intervention is crucial to prevent unhealthy business competition that adversely affects the economy, both among business entities and the nation as a whole. One significant form of violation in Indonesia is bid rigging, with a continuously increasing case graph according to data from the KPPU in recent years. Therefore, a more effective approach is needed. In connection with this matter, it is crucial for Indonesia to refer to the United States, a pioneer in the regulation of the Antitrust Law. This is also evident in Indonesia's formulation of Law Number 5 of 1999 concerning the Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition, where the regulation of business competition in the United States, such as the Sherman Act, significantly influenced its creation. However, there are still regulatory aspects that can be made more effective concerning bid rigging. Therefore, this study is conducted in a doctrinal manner. The results of the comparative analysis of the enforcement concept of bid collusion between Indonesia and the United States, including its application through court decisions, reveal differences encompassing the authority of competition law enforcement agencies, legal approaches to bid rigging, imposition of sanctions, as well as the implementation of leniency programs, whistleblower protection, and consent decrees."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>