Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 134224 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rizky Fadilah
"Kerusakan struktur dan penurunan fungsi ginjal pada anak pengidap Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dengan komplikasi Chronic Kidney Disease (CKD) mengakibatkan penumpukan produk sisa-sisa metabolisme yang disebut uremia. Komplikasi ini mengakibatkan terjadinya gangguan integritas kulit berupa kulit kering (xerosis) yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien dan menimbulkan infeksi lebih lanjut. Karya ilmiah ini bertujuan memberikan gambaran asuhan keperawatan pada anak pengidap SLE dengan komplikasi CKD dan menganalisis penerapan intervensi pemberian Virgin Coconut Oil (VCO) pada masalah gangguan integritas kulit. Intervensi diterapkan sebanyak dua kali dalam sehari dan dilakukan selama 3 hari. Metodologi yang digunakan adalah metode studi kasus. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat penurunan luas kulit yang mengalami xerosis yang ditandai dengan penurunan nilai overall dry skin score dari 4 menjadi 3 dan keluarga mampu melakukan perawatan kulit secara mandiri. Rekomendasi dari studi kasus ini adalah diharapkan pemberian VCO dapat menjadi terapi penunjang sebagai upaya untuk mengatasi gangguan integritas kulit pada kondisi xerosis.

Structural damage and decreased kidney function in children with Systemic Lupus Erythematosus (SLE) with the Chronic Kidney Disease (CKD) complication caused accumulation of metabolic waste products called uremia. This complication resulted in impaired skin integrity in the form of dry skin (xerosis) which can affect the patient's quality of life and lead to further infection. This scientific work aims to provide an overview of nursing care in children with SLE with complication of CKD and to analyze the intervention of Virgin Coconut Oil (VCO) application to the impaired skin integrity area. The intervention applied twice a day and has been carried out for 3 days. The methodology used is the case study method. The results of the analysis showed that there was a decrease in the area of skin with xerosis which was indicated by a decrease in the overall dry skin score of 4 to 3 and the family was able to perform skin care independently. The recommendation from this case study is application of VCO can be a supporting therapy as an effort to overcome impaired skin integrity in xerosis conditions."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rike Triana
"Kerusakan intrarenal pada pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dengan komplikasi Acute Kidney Injury (AKI) menyebabkan zat sisa metabolisme tidak dapat terbuang melalui urin serta terjadi kelebihan cairan. Terapi farmakologi seperti kortikosteroid dan imunosupresan turut memperparah overload cairan. Studi ini bertujuan untuk menganalisis intervensi manajemen cairan pada pasien SLE dengan komplikasi AKI terhadap masalah overload cairan. Manajemen cairan yang dilakukan pada pasien meliputi restriksi cairan; pemantauan asupan dan keluaran cairan; tekanan darah, edema dan asites, nilai laboratorium: ureum, kreatinin dan albumin; edukasi manajemen cairan serta kolaborasi pemberian diuretic dan albumin. Hasil intervensi menunjukkan balans cairan mencapai target (-) 1000 cc, asites berkurang dengan penurunan lingkar abdomen dari 105 menjadi 84 cm, adanya perbaikan fungsi ginjal dengan penurunan ureum kreatinin, pengetahuan pasien terkait pentingnya restriksi cairan meningkat dan pasien menunjukkan penerimaan terhadap perawatan. Hasil ini menunjukkan bahwa terapi kortikosteroid dan imunosupresan pada pasien SLE harus disertai dengan intervensi manajemen cairan. Oleh karena itu, penulis merekomendasikan intervensi manajemen cairan untuk dilakukan pada pasien SLE dengan komplikasi acute kidney injury.


Intrarenal damage in patients with Systemic Lupus Erythematosus (SLE) with complicated Kidney Injury (AKI) causes metabolic waste substances to not be wasted through urine and excess fluid occurs. Pharmacological therapies such as corticosteroids and immunosuppressants also contribute to fluid overload. This study aims to analyze fluid management in SLE patients with complications of AKI to overcome fluid overload. Fluid management performed on patients includes fluid restriction; monitoring fluid intake and output; blood pressure, edema and ascites, laboratory values: urea, creatinine and albumin; fluid management education and collaboration in the administration of diuretics and albumin. The results of the intervention showed that the fluid balance reached the target (-) 1000 cc, ascites decreased with a decrease in the abdominal circumference of 105 to 84 cm, an improvement in kidney function with a decrease in creatinine ureum, the patient's knowledge regarding the importance of fluid restriction increased and the patient showed acceptance of treatment. These results indicate that corticosteroid therapy and immunosuppressants in SLE patients must be accompanied by fluid management interventions. Therefore, the authors recommend fluid management interventions to be performed in SLE patients with complications of acute kidney injury."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pohan, Bertyna Yulia M.
"Systemic lupus eryrhenzalasus (SLE) atau juga dikenal sebagai lupus adalah penyakit kronis yang melibatkan sistem kekebalan tubuh, di mana orang yang mengalaminya dapat menderita sejumlah gejala yang menyerang hampir di seluruh bagian tubuhnya. Para penderitanya sering disebut odapus atau orang dengan lupus. Secara khusus, wanita penderita lupus dapat mengalami kesulitan atau konflik ketika hendak memutuskan untuk memiliki anak. Konflik ini tezjadi karena penyakit yang dideritanya dapat menyebabkan ia sulit untuk mengandung. Jika wanita tersebut tetap memumskan untuk memiliki anak, maka risiko saat terjadirnya kehamilan harus segera dianlisipasi dengan ketat. Jika tidak, ia dapat mengalami keguguran. Sementara, jika wanita penderita lupus tidak mengandung atau memiliki anak, maka fungsi perkawinannya sebagai lembaga membangun keluarga dan keturunan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini bisa menimbulkan perasaan tidak puas atau rendah diri pada wanita karena tidak bisa memberikan keturunan bagi keluarga.
Tujuan dari penelilian ini adalah untuk Iungetahui gambaran pengambilau keputusan untuk memiliki anak pada wanita penderita SLE. Subjek dalam penelitian ini adalah wanita penderita SLE yang berada dalam rentang 20-35 tahun (tahap perkembangan dewasa awal) dan sudah menikah. Penelilian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena dianggap dapat menggali penghayatan subjek mengenai pengambilan keputusan untuk memiliki anak, Jumlah sampel yang digunakan adalah dua orang karena yang dipentingkan adalah penghayatan subjektifnya. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kedua subjek hanya melewati tahap 1, 2, dan 5 dalam proses pengambilan keputusan untuk memiliki anak. Mereka tidak lagi melewati tahap 3 dan 4. Sclain itu, terdapat sejumlah faktor yang berperan dalam pengambilan keputusan untuk memiliki anak, yaitu pregfcrence, value, belief circumsrances, dan action. Terakhir, ditemukan bahwa kedua subjek mengalami konflik sewaktu mereka mengambil keputusan untuk memiliki anak, yakni adanya keinginan untuk menghindari akibat buruk dari SLE, yaitu keguguran atau gangguan pada bayi, dengan keinginan yang kuat untuk memiliki anak."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwitya Elvira
"Latar Belakang: Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit autoimun
dengan penyebab multifaktorial. Ketidakseimbangan sitokin Th17 (Interleukin-17; IL-
17) dan T-regulator (Transforming Growth Factor-; TGF- and Interleukin-10; IL-10)
diduga terlibat dalam patogenesis LES yang mempengaruhi aktivitas penyakit.
Tujuan: Penelitian dilakukan untuk menguji perbedaan rerata IL-17, TGF- dan IL-10
dengan aktivitas penyakit LES dan menguji korelasi sitokin Th17/T-regulator.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang melibatkan 68 pasien LES
berdasarkan kriteria inklusi MEX-SLEDAI <2 untuk LES inaktif dan >=2 untuk LES
aktif. Kriteria eksklusi adalah pasien LES dengan riwayat autoimun lain, inflamasi
kronik; infeksi akut secara klinis; serta asma bronkial, dermatitis atopi dan urtikaria
didasarkan pada catatan rekam medis. Serum IL-17, TGF-, IL-10 diperiksa dengan
metode ELISA. Data dianalisis dengan perangkat lunak SPSS 20 menggunakan uji-T
independen untuk data berdistribusi normal dan uji Mann-Whitney untuk data tidak
normal.
Hasil: Rerata IL-17 serum adalah 19,67 (1,299) pg/ml. Median TGF- dan IL-10 adalah
175,02 (132-396) pg/ml dan 2,96 (0-11) pg/ml. Tidak terdapat perbedaan rerata yang
signifikan dari kadar IL-17, TGF- dan IL-10 serum pasien LES aktif dan tidak aktif.
Didapatkan korelasi positif sedang yang signifikan antara IL-17 dan IL-10 (p<0,005;
r=0,529) dan korelasi yang tidak signifikan antara IL-17 dan TGF- (p>0,005; r=-
0,142).
Simpulan: Tidak didapatkan perbedaan rerata yang signifikan sitokin Th17/Treg pasien
LES aktif dan inaktif. Terdapat korelasi positif signifikan sedang antara IL-17 dan IL-
10, sementara tidak terdapat korelasi signifikan antara IL-17 dan TGF-. Penelitian
lanjutan dengan disain kohort prospektif diperlukan untuk mengkonfirmasi peran
sitokin jalur Th17/Treg ini pada pasien LES aktif dan inaktif.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cahya Dewi Satria
"Latar belakang: Lupus eritrematosus sistemik (LES) adalah penyakit yang kompleks dengan manifestasi yang bervariasi. Interleukin-6 (IL-6) merupakan sitokin pleitropik yang mempunyai aktivitas biologis dengan rentang luas yang berperan penting pada regulasi imun dan inflamasi. Saat ini belum ada biomarker yang dapat membedakan kondisi remisi total dengan aktivitas penyakit ringan. Interleukin-6 diharapkan dapat digunakan sebagai parameter aktivitas penyakit terutama pada kasus-kasus dimana antara manifestasi klinis dan skor SLEDAI tidak sesuai yaitu pada pasien LES dengan aktivits ringan dan remisi total.
Tujuan: Mengetahui karakteristik IL-6 pada LES anak dengan berbagai aktivitas ringan dan remisi total.
Metode: Penelitian kasus kontrol dilakukan di poli rawat jalan Alergi-Imunologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta dan RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta mulai Mei hingga Juni 2019. Pasien anak usia 1-18 tahun dengan diagnosis LES dinilai kadar IL-6 dan aktivitas penyakit yang dinilai dengan skor SLEDAI. Uji korelasi chi square dilakukan untuk mengetahui hubungan variabel bebas dan luaran. Analisis data dilakukan dengan program SPSS for Window ver 20,0
Hasil: Dari 60 subjek penelitian yang terdiri dari 30 pasien LES aktivitas ringan dan 30 remisi total. tidak ada perbedaan kadar IL-6 tinggi pada kelompok kasus dibanding kelompok kontrol dengan p=0,500, OR= 0,483 (95% IK: 0,041-5,628). Terdapat 2 subyek dengan kadar IL-6 tinggi menderita infeksi saluran kencing.
Simpulan: Tidak ada perbedaan aktivitas penyakit pada pasien LES anak dengan aktivitas ringan dibanding remisi total.

Background: Systemic Lupus Erythematosus (SLE) is a complex disease with various manifestations. Interleukin-6 (IL-6) is a pleiotropic cytokine with a wide range of biological activities that plays an important role in immune regulation and inflammation. Recently, there is no other biomarker that could differentiate total remission condition and mild disease activity in juvenile SLE. Interleukin-6 may be used as a parameter of disease activity, especially in the cases with different clinical manifestations and SLEDAI scores among SLE patients with mild activities and total remissions.
Aim: To indentify the characterictics of serum IL-6 concentration in juvenile systemic lupus erythematosus with mild activities and total remissions.
Methods: Case control study was performed at outpatient clinic of allergy-immunology, department of child health dr. Cipto Mangunkusumo hospital, Jakarta and dr. Sardjito hospital, Yogyakarta during May-June 2019. Serum IL-6 consentration and disease activity were assessed in all juvenile SLE patients aged 1-18 year. SLE disease activity was assessed with SLEDAI scores and serum level of IL-6 was measured by enzyme linked immunosorbent assay. Chi square correlation analysis was used to determine the correlation of serum IL-6 concentration with disease activity in juvenile SLE patients. Analyses of data were performed using the SPSS statistical software for windows version 20,0.
Results: Among 60 subjects included in this study, 30 subjects with mild activities in the case group and 30 subjects with total remissions in the control group. There was no differences of serum IL-6 concentration between case and control group (p=0,500, OR= 0,483 (95% IK: 0,041-5,628)). In this study, we found 2 subjects with urinary tract infection have high serum IL-6 concentration.
Conclusion: There was no differences of serum IL-6 concentration between juvenile SLE patients with mild activities compared with total remissions.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57644
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lusiani
"Latar Belakang: Lupus Eritematosus Sistemik LES adalah suatu penyakit autoimun kronik yang melibatkan multiorgan dan multietiologi. Komplikasi kardiovaskular pada pasien LES merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas terbesar. Proses aterosklerosis diketahui terjadi pada pasien LES usia muda dan menjadi salah satu faktor penyebab disfungsi diastolik. Penegakkan diagnosis disfungsi diastolik memerlukan pemeriksaan yang cukup mahal dan tidak merata di setiap fasilitas kesehatan. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode diagnostik yang lebih mudah dan murah tetapi tetap dapat diandalkan untuk penegakkan diagnostik tersebut, seperti metode sistem skoring. Umur, lama sakit, komorbiditas hipertensi dan atau diabetes mellitus dan atau dislipidemia , anemia, Index Massa Tubuh IMT , kadar serum kreatinin, dan APS diketahui berhubungan dengan disfungsi diastolik dan dapat menjadi determinan diagnosis disfungsi diastolik pada pasien LES.
Tujuan: Menetapkan sistem skoring diagnosis disfungsi diastolik pasien LES berdasarkan determinan umur, lama sakit, komorbiditas, anemia, IMT, kadar serum kreatinin, dan APS.
Metode: Penelitian uji diagnostik potong-lintang cross sectional terhadap 127 pasien LES di RSCM sejak bulan April 2017 sampai Mei 2017. Data yang digunakan adalah data primer berupa wawancara, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan ekokardiografi transtorakal, serta data sekunder yang diperoleh dari rekam medis.
Hasil: Terdapat 9 7.08 subjek penelitian yang mengalami disfungsi diastolik. Lima dari tujuh determinan masuk dalam analisis multivariat. Setelah pemodelan, didapatkan APS dengan bobot skor 2 dan komorbiditas dengan bobot skor 1 yang selanjutnya menjadi bagian dari sistem skoring diagnosis disfungsi diastolik pasien LES. Sistem skoring ini kemudian di uji dengan kurva ROC dan didapatkan AUC sebesar 80.3 95 IK 62.7-97.8 dengan titik potong terbaik adalah lebih sama dengan 2. Skor ge;2 memiliki sensitifitas 44 , spesifisitas 94.9 , nilai prediksi positif 60 , dan nilai prediksi negatif 95.7 . Uji validasi interna dan eksterna menghasilkan nilai yang baik.
Simpulan: Proporsi disfungsi diastolik pasien LES di RSCM adalah 7.08 . Determinan diagnosis disfungsi diastolik pasien LES adalah APS dan komorbiditas. Skor ge;2 merupakan titik potong terbaik untuk menentukan bahwa pasien LES mengalami disfungsi diastolik.

Background : Systemic Lupus Erythematosus SLE is a chronic autoimmune disease involving multiorgan and multietiology. Cardiovascular complication in SLE patients is one of the highest causes of morbidity and mortality. It is known that premature atherosclerosis occurs in young SLE patients and related to diastolic dysfunction. The diagnostic of diastolic dysfunction requires a quite expensive and uneven examination at every health facilities. Therefore, it's necessary to have an accessible and inexpensive but reliable diagnostic method, such as a scoring system. Age, duration of pain, comorbidities hypertension and or diabetes mellitus and or dyslipidemia , anemia, Body Mass Index BMI , serum creatinine level, and APS are known to be associated with diastolic dysfunction and can be a determinant diagnostic of diastolic dysfunction in SLE patients.
Objective : Establish a diagnostic scoring system of diastolic dysfunction in SLE patients with determinants of age, duration of pain, comorbidities, BMI, serum creatinine level, and APS.
Methods : A cross sectional diagnostic study with 127 SLE patients in RSCM from April 2017 to May 2017. The data used are primary data such as interviews, physical examination, and transthoracic echocardiography, as well as secondary data was obtained from medical records.
Results : There were 9 7.08 subjects with diastolic dysfunction. Five from seven determinants can be used in multivariate analysis. After modeling, APS was obtained with score of 2 and comorbidities with score of 1, further it becomes a part of diagnostic scoring system of diastolic dysfunction in SLE patients. The scoring system was tested with ROC curve and obtained AUC of 80.3 95 IK 62.7 97.8 with the best cut off point was ge 2. A score of ge 2 had a sensitivity of 44 , specificity of 94.9 , positive predictive value of 60 , and negative predictive value of 95.7 . Internal and external validation test produce a good value.
Conclusions : The proportion of diastolic dysfunction in SLE patients in RSCM is 7.08 . Diagnostic determinants of diastolic dysfunction in SLE patients are APS and comorbidities. A score of ge 2 is the best cut off point for determining that SLE patients has a diastolic dysfunction.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hamid Faqih Umam
"Lupus Eritematosus Sistemik LES merupakan penyakit autoimun kronik yang ditandai dengan adanya autoantibodi yang menyerang antigen sendiri. Kasus LES setiap tahunnya mengalami peningkatan. LES pada anak berkontribusi sebesar 15-20 dari keseluruhan penderita. Penyakit ini dapat menyerang berbagai sistem organ. Komplikasi endokrinopati berupa gangguan pubertas yang cukup sering terjadi pada anak. Hingga saat ini belum ada penelitian mengenai gangguan pubertas pada anak LES di Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya amenore pada anak LES. Penelitian dilakukan menggunakan desain potong lintang pada pasien anak perempuan usia 11-18 tahun di Poliklinik Alergi dan Imunologi dan Poliklinik Endokrinologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Kiara. Terdapat 25 subjek yang diikutsertakan.
Hasil penelitian dilakukan analisis statistik menggunakan uji Chi-square dan uji Fisher. Prevalensi pubertas terlambat terjadi pada satu subjek 4 ; IK95 = -0,04-0,12 dan amenore terjadi pada dua belas subjek 48 ; IK95 = 0,27-0,69. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara amenore dengan durasi penyakit p=1,000; PR=1,05, aktivitas penyakit p=1,000; PR=0,86, durasi kortikosteroid p=0,673; PR=1,23, dan jenis terapi p=0,198; PR=0,55.
Hasil penelitian tidak bermakna karena besar sampel tidak memenuhi jumlah minimal. Dari hasil tersebut, belum dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara amenore terhadap durasi penyakit, aktivitas penyakit, durasi kortikosteroid, dan jenis terapi.

Systemic Lupus Erythematosus SLE is a chronic autoimmune disease characterized by autoantibodies that attack self antigen. The case of SLE each year has increased. SLE in children contributes 15 20 of all patients. This disease can attack various organ systems. Complications of endocrinopathy in the form of pubertal disorders are quite common in children. Until now, there has been no research on pubertal disorders in children with SLE in Indonesia.
This study aims to determine the prevalence and associated factors of amenorrhea in children with SLE. This study was a cross sectional study in girls aged 11 18 years at Allergy and Immunology Polyclinic and Endocrinology Polyclinic of Cipto Mangunkusumo Kiara Hospital. There are 25 subjects included.
The result of the research was statistical analysis using Chi square test and Fisher test. The prevalence of delayed puberty occurs in one subject 4 IK95 0,04 0,12 and amenorrhea occurs in twelve subjects 48 IK95 0,27 0,69. There was no significant association between amenorrhea with disease duration p 1,000 PR 1,05, disease activity p 1,000 PR 0,86, corticosteroid duration p 0,673 PR 1,23, and type of therapy p 0,198 PR 0,55.
The results were not significant because the sample size did not meet the minimum amount. From these results, it can not be concluded yet that there is no association between delayed puberty and amenorrhea with disease duration, disease activity, corticosteroid duration, and type of therapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Galuh Hardaningsih
"Latar belakang: Lupus eritematosus sistemik LES) merupakan kelainan autoimun sistemik kronik yang dapat melibatkan susunan saraf pusat sehingga terjadi gangguan neurokognitif yang memengaruhi tingkat kecerdasan intelektual. Berbagai marker biologis terkait penyakit LES dapat memegaruhi fungsi neurokognitif.
Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kecerdasan intelektual anak dengan LES dan faktor-faktor yang memengaruhinya.
Metode: Studi potong lintang terhadap 62 anak usia 7-18 tahun dengan LES. Pemilihan subyek secara consecutive sampling mulai September-Desember 2019. Tingkat kecerdasan intelektual ditetapkan dengan Weschler Intelligence Scale for Children (WISC)-IV melalui penilaian Intelligence Quotient (IQ). Analisa korelasi lama sakit, derajat aktivitas penyakit, dosis kumulatif kortikosteroid, Indeks Massa Tubuh (IMT) dan kadar hemoglobin terhadap IQ dilakukan uji korelasi Spearman. Analisa bivariat marker autoantibodi antiphospholipid syndrome (APS) terhadap IQ dilakukan dengan uji Chi Square.
Hasil: Prevalens subjek dengan IQ di bawah rata-rata (IQ<90) sebesar 73%. Nilai rerata IQ verbal, IQ performa dan IQ total pada anak dengan LES secara berurutan adalah 85,02 ; 84,37 dan 83,11. Hasil korelasi lama sakit, derajat aktivitas penyakit, dosis kumulatif kortikosteroid, IMT dan kadar hemoglobin terhadap IQ total secara berurutan r=-0,029; r=-0,063; r=0,03; r=0,014; r=0,108 dengan P>0,05). Proporsi marker autoantibodi APS terhadap IQ verbal, IQ performa dan IQ total dibawah rata-rata dibandingkan rata-rata tidak berbeda bermakna secara berurutan p=0.18; p=0,57; dan p=0.854.
Kesimpulan: Rerata IQ verbal, IQ performa dan IQ total pada anak dengan LES di bawah nilai normal. Lama sakit, derajat aktivitas penyakit, dosis kumulatif kortikosteroid, marker autoantibodi APS, IMT dan kadar hemoglobin pada LES tidak memengaruhi tingkat kecerdasan intelektual.

Background: Systemic lupus erythematosus (SLE) is a chronic systemic autoimmune disorder that can involve central nervous system resulting in neurocognitive disorder that affect the level of intellectual intelligence. Various biological markers associated with LES can influence neurocognitive function. Objective: This study was conducted to determine the level of intellectual intelligence of children with LES and the factors that influence it. Method: A cross-sectional study was conducted on 62 children aged 7-18 years with SLE by consecutive sampling from September to December 2019. The level of intellectual intelligence was determined by the Weschler Intelligence Scale for Children (WISC)-IV with an Intelligence Quotient (IQ) level. Correlation of duration, disease activity, cumulative dose of steroid, body mass index (BMI) and hemoglobin level to IQ was analyzed by Spearman test. Bivariate analysis autoantibody markers of antiphospholipid syndrome (APS) on IQ was performed with Chi Square test. Result: The prevalence of IQ below average (IQ < 90) was 73%. Mean value of verbal, performance and full IQ were 85.02 ; 84.37 and 83.11,respectively. The correlation results of duration, disease activity, cumulative dose of steroid, BMI and hemoglobin level werent statistically significant to full IQ respectively (r =-0,029; r=-0,063; r=0.03; r=0.014; r=0.108 with p>0.05). The proportion of autoantibody markers of APS to verbal, performance and full IQ below average compared to average didt significantly difference (p=0.18; p=0.57; p=0.854, respectively). Conslusion: Average of verbal, performance and full IQ in children with SLE is below normal level. Neither duration and activity of disease, cumulative dose of steroid, autoantibody markers of APS, BMI nor hemoglobin level are correlated to intellectual intelligence in children with SLE"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Oriana Zahira Putri
"Latar Belakang: Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit autoimun sistemik yang dapat melibatkan berbagai organ dan sistem tubuh. Pasien dengan LES tidak bisa disembuhkan, melainkan dikontrol dengan pendekatan terapi treat-to-target bertujuan mencapai low lupus disease activity state (LLDAS) atau remisi. Pemantauan dilakukan secara berkala setiap 3-6 bulan sekali untuk menghindari kerusakan organ lebih lanjut. Metode: Penelitian analitik observasional dengan desain kohort retrospektif menggunakan data dari rekam medis pasien LES di RSCM. Didapatkan total 66 pasien yang telah berobat selama 6 bulan pada Mei 2021—Juni 2022. Respons yang dilihat yaitu status aktivitas penyakit berdasarkan skor SLEDAI-2K pada bulan pertama dan keenam serta luaran penyakit, meliputi remisi, perbaikan, persisten aktif, dan perburukan.
Hasil: Sebagian besar pasien LES adalah perempuan (95,5%), rerata usia 31,23 tahun, dan keterlibatan organ terbanyak muskuloskeletal (93,9%). Hidroksiklorokuin dan metilprednisolon merupakan terapi yang paling banyak didapatkan pasien. Setelah 6 bulan terapi, status aktivitas penyakit pasien membaik dengan luaran penyakit perbaikan (33,3%) dan remisi (10,6%).
Kesimpulan: Setelah menjalani pengobatan selama 6 bulan, status aktivitas penyakit pasien membaik dari kategori aktivitas penyakit sedang (37,9%) menjadi ringan (48,5%). Terdapat perbedaan yang bermakna signifikan secara statistik dan klinis antara skor SLEDAI-2K bulan pertama dengan bulan keenam (p = 0,000).

Introduction: Systemic lupus erythematosus (SLE) is a systemic autoimmune disease that involve various organs and body systems. Patients with SLE cannot be cured, but rather controlled with a treat-to-target therapy approach aimed at achieving low lupus disease activity state (LLDAS) or remission. Monitoring is carried out regularly every 3- 6 months to avoid further organ damage.
Method: Observational analytical study with retrospective cohort design using database from medical records of SLE patients at RSCM. There were a total of 66 patients who had received treatment for 6 months in May 2021—June 2022. The interests were disease activity based on the SLEDAI-2K score in the first and sixth months as well as disease outcomes, such as remission, improvement, persistently active, and flare.
Results: Most SLE patients were women (95.5%), the average age was 31.23 years, and the most organ involvement was musculoskeletal (93.9%). Hydroxychloroquine and methylprednisolone are the most common therapy received by patients. After 6 months of therapy, the overall patient's disease activity status improved with an outcome of improvement (33.3%) and remission (10.6%).
Conclusion: After undergoing treatment for 6 months, the patient's disease activity status improved from moderate (37.9%) to mild (48.5%) disease activity category. There was a statistically and clinically significant difference between the SLEDAI-2K score for the first month and the sixth month (p = 0.000).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>