Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 125206 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Zul Amirul Haq
"Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum khususnya Pasal 399 ayat (1) juncto Pasal 403 juncto Pasal 407 memberikan kewenangan pada Bawaslu untuk menangangi pelanggaran administrasi pemilu berkaitan dengan kesalahan proses rekapitulasi hasil perhitungan perolehan suara peserta pemilu. Namun demikina terdapat beberapa problematika yang muncul dari kewenangan yang telah di berikan oleh Undang-undang tersebut, beberapa permasalahan yang muncul di antaranya: 1) Penyelesaian pelanggaran sering kali melewati batas yang di tentukan oleh Undang-undang. 2) Terdapat dualisme penyelesaian pelanggaran perselisihan hasil perolehan suara antara Bawaslu dan Mahkamah Konstitusi. 3) putusan bawaslu yang sudah di tindak lanjuti oleh KPU, namn tidak di indahkan dalam persidangan mehkamah konstitusi. Tulisan ini bertujuan untuk menemukan solusi dan titik terang penyelesaian pelanggaran administrasi pasca pengumuman hasil secara nasional leh KPU agar tidak menimbulkan permaslaahan baik secara hukum dan secara implementatif. Penelitian yang di gunakan dalam penulisan ini ialah penelitian kualitatif dengan tipe pendekatan deskriptif. Data di kumpulkan dengan tekhnik studi Pustaka, problematika penyeesaian pelangaran administrasi pasca pengumuman hasil secara nasional perlu di lakukan reformlasi kebijakan agar menghadirkan kepastian dan keadilan dalam pemilu.

Law Number 7 of 2017 concerning general elections in particular Article 399 paragraph (1) in conjunction with Article 403 in conjunction with Article 407 gives the Bawaslu the authority to deal with election administration violations related to errors in the process of recapitulation of the results of the calculation of the votes acquired by election participants. However, there are several problems that arise from the authority that has been given by the Act, some of the problems that arise include: 1) Settlement of violations often exceeds the limits set by law. 2) There is a dualism in resolving violations of the dispute over the results of the vote between Bawaslu and the Constitutional Court. 3) the Bawaslu decision which has been followed up by the KPU, but was not heeded in the trial of the Constitutional Court. This paper aims to find a solution and a bright spot for resolving administrative violations after the announcement of the results nationally by the KPU so as not to cause problems both legally and practically. The research used in this paper is a qualitative research with a descriptive type of approach. Data is collected using library study techniques, the problem of resolving administrative violations after the announcement of national results needs to be carried out by policy reforms to bring certainty and justice in elections."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adeline Syahda
"Penyelesaian Pelanggaran administrasi Pilkada dan Pemilu oleh Bawaslu dan jajaran sesuai dengan mandat UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Keduanya menggunakan mekanisme yang bebeda yaitu mekanisme penerimaan laporan, kajian dengan produk rekomendasi untuk pilkada dan mekanisme adjudikasi dalam persidangan terbuka umum dengan produk putusan untuk Pemilu. Pada praktiknya terdapat hambatan dalam penyelesaian pelanggaran administrasi pilkada yang difokuskan pada pelanggaran Pasal 71 ayat (2) ayat (3) dengan sanksi administrasi pembatalan calon karena diparitas mekanisme dan produk akhir ini. Ditemui variasi tindaklanjut yang dilakukan oleh KPU dan jajarannya ketika produk pelanggaran administrasi berupa rekomendasi meskipun baik putusan ataupun rekomendasi, UU Pemilu dan UU Pilkada sama mengatur kewajiban KPU dan jajarannya untuk melakukan tindaklanjut. Perbedaan terletak pada konteks pilkada karena setalah rekomendasi Bawaslu diberikan UU Pilkada juga memberikan kewenangan memeriksa dan memutus pelanggaran administrasi Pilkada oleh KPU dan jajarannya. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakan penanganan pelanggaran administrasi Pilkada dan Penanganan Pelanggaran administrasi Pemilu oleh Bawaslu dan bagaimanakah hambatan dalam penanganan pelanggaran administrasi Pilkada jika dibandingkan dengan penanganan pelanggaran Pemilu berdasarkan Putusan dan Rekomendasi. Penulisan tesis ini menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penanganan pelanggaran administrasi Pilkada dan Pemilu menggunakan mekanisme yang diatur oleh dua regulasi yang berbeda sehingga menimbulkan disparitas meskipun diselenggarakan oleh lembaga yang memiliki kewenangan yang sama sebagaimana putusan MK 48/PUU-XVII/2019. Ditemui hambatan seperti perbedaan pemahaman antara KPU dan Bawaslu, sifat dan daya ikat rekomendasi, mekanisme non adjudikasi yang tidak berimbang dengan output rekomendasi pembatalan calon, peraturan KPU yang tidak sesuai. Saran adalah perbaikan kerangka hukum dengan revisi UU Pilkada berkenaan dengan kewenangan pelanggaran administrasi menyesuaikan dengan UU Pemilu untuk pelanggaran Pasal 71 ayat (2), (3) dengan sanksi pembatalan calon dengan output putusan, mengatur hukum acara sendiri, revisi PKPU Nomor 25 Tahun 2013 dan membangun kesepahaman antar lembaga penyelenggara pemilu

Settlement of Election and Election administrative violations by Bawaslu and its ranks in accordance with the mandate of Law Number 7 of 2017 concerning General Elections and Law Number 10 of 2016 concerning Election of Governors, Regents and Mayors. Both of them use different mechanisms, namely the mechanism for receiving reports, studies with recommendation products for the regional elections and adjudication mechanisms in public open trials with decisions for elections. In practice, there are obstacles in resolving election administrative violations which are focused on violations of Article 71 paragraph (2) paragraph (3) with administrative sanctions for canceling candidates due to the disparity of the mechanism and the final product. There were variations of follow-up carried out by the KPU and its staff when the product of administrative violation was in the form of a recommendation, even though it was a decision or recommendation. The Election Law and the Pilkada Law both regulate the obligations of the KPU and its staff to follow up. The difference lies in the context of the election because after the Bawaslu recommendation was given the Pilkada Law also gave the authority to examine and decide on violations of the election administration by the KPU and its staff. The formulation of the problem in this research is howhandling of election administrative violations and handling of election administrative violations by Bawaslu and how are the obstacles in handling election administrative violations when compared to handling election violations based on Decisions and Recommendations. The writing of this thesis uses a normative juridical legal research method. The results of the study indicate that the handling of administrative violations of the Pilkada and General Elections uses a mechanism regulated by two different regulations, causing disparities even though they are carried out by institutions that have the same authority as the Constitutional Court's decision 48/PUU-XVII/2019. Obstacles were encountered such as differences in understanding between the KPU and Bawaslu, the nature and binding power of the recommendations, non-adjudication mechanisms that were not balanced with the output of recommendations for the cancellation of candidates, Inappropriate KPU regulations. Suggestions are improvements to the legal framework by revising the Pilkada Law with regard to the authority for administrative violations to comply with the Election Law for violations of Article 71 paragraph (2), (3) with sanctions for canceling candidates with decision outputs, regulating their own procedural law, revising PKPU Number 25 of 2013 and build understanding among election management bodies."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sandy Yudha Pratama Hulu
"Skripsi ini membahas mengenai kedudukan Bawaslu dalam penyelesaian perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden di Mahkamah Konstitusi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kedudukan Bawaslu dalam PHPU Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia serta menjelaskan sejauh mana hukum acara Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan kedudukan Bawaslu dalam pertimbangan putusan perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum doktrinal serta analisis Putusan PHPU Presiden dan Wakil Presiden dari tahun 2009 hingga 2024. Berdasarkan hasil penelitian ini, ditemukan bahwa Bawaslu merupakan pihak pemberi keterangan dalam perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden. Selain itu, Bawaslu juga diberi kewenangan untuk menghadirkan saksi atau ahli dalam proses persidangan PHPU Presiden dan Wakil Presiden. Akan tetapi, hukum acara Mahkamah Konstitusi dalam menangani perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden masih belum sempurna. Dalam mempertimbangkan putusannya, Hakim Konstitusi juga masih bergantung pada keterangan Bawaslu. Mahkamah Konstitusi juga dalam putusan PHPU Presiden dan Wakil Presiden mengesampingkan dalil permohonan Pemohon ketika ditemukan bahwa Bawaslu telah menangani perkara tersebut, terlepas apakah proses di Bawaslu telah dilakukan secara benar atau tidak. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, diperlukan perubahan terhadap Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Pemilihan Umum, serta peraturan perundang-undangan di bawahnya guna memperbaiki tata cara penanganan pelanggaran pemilu di Bawaslu serta menyempurnakan hukum acara PHPU Presiden dan Wakil Presiden oleh Mahkamah Konstitusi.

This undergraduate thesis discusses the position of General Election Supervisory Agency (Bawaslu) in the resolution of Dispute over the Results of Presidential General Elections (PHPU of the President and Vice President) in the Constitutional Court. The purpose of this research is to determine the position of Bawaslu in the PHPU of the President and Vice President in Indonesia and to explain the extent to which the procedural law of the Constitutional Court considers the position of Bawaslu in the consideration of the decision of the PHPU case of the President and Vice President in Indonesia. This research was conducted using doctrinal legal research methods and analysis of PHPU decisions of the President and Vice President from 2009 to 2024. Based on the results of this study, it was found that Bawaslu is a party providing information in the PHPU case of the President and Vice President. In addition, Bawaslu is also entitled to present witnesses or experts in the PHPU trial of the President and Vice President. However, the procedural law of the Constitutional Court in dealing with the PHPU cases of the President and Vice President is still not perfect. The Constitutional Court often relies on Bawaslu's testimony in reaching its decision. The Constitutional Court has also often rejected the petitioner's arguments when it found that Bawaslu had handled the case, regardless of whether or not Bawaslu's procedure was correct. To solve these problems, amendments to the Constitutional Court Law, the General Election Law and the laws and regulations under them are needed to improve the procedures for handling election violations in Bawaslu and to improve the procedural law for the PHPU president and vice-president by the Constitutional Court."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Ramadhan Kartabrata
"[ABSTRAK
Penelitian ini membahas proses penyelesaian sengketa tahapan Pemilihan Umum yang terpengaruh oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41 PHPU D VI 2008 yang berimplikasi dikesampingkannya aspek kepastian hukum dan kemanfaatan karena terdapat beberapa lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk menangani sengketa dalam tahapan Pemilu seperti Bawaslu DKPP Peradilan Umum Peradilan Tata Usaha Negara Mahkamah Agung serta Mahkamah Konstitusi Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menghasilkan penelitian deskriptif analitis Hasil penelitian menyarankan pembentuk undang undang membuat suatu peraturan perundang undangan mengenai proses penyelesaian sengketa Pemilu yang mengharmonisasi kewenangan lembaga lembaga yang memiliki kewenangan untuk menangani sengketa dalam tahapan Pemilu dengan memberikan jangka waktu dalam penyelesaiannya serta menjadikan Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan Pemilu terakhir dimana tidak ada upaya hukum maupun badan peradilan lain yang menangani perkara Pemilu setelah Putusan Mahkamah Konstitusi kecuali perkara yang berkaitan dengan pelanggaran etik maupun tindak pidana.

ABSTRACT
The focus of this study is the dispute resolution of stages of general election is affected by Constitutional Court Judgment No 41 PHPU D VI 2008 which has implication for ruled out legal certainty and expediency principle because there are state agencies what have the authority to adjudicate for dispute resolution of stages of general election like election supervisory board honorary of election executor board criminal court administrative court supreme court and constitutional court This study is a qualitative research for generate descriptive analytical The researcher suggest that the legislator form a regulation about dispute resolution general election process which harmonization an authority of state agencies which have an authority for adjudicate for dispute resolution of general election and the regulation gives a period of time for the resolution and constitutional court be a last court of general election which there is no other remedy or other bodies to adjudicate after constitutional court judgment except violations of ethics or criminal of general election. , The focus of this study is the dispute resolution of stages of general election is affected by Constitutional Court Judgment No 41 PHPU D VI 2008 which has implication for ruled out legal certainty and expediency principle because there are state agencies what have the authority to adjudicate for dispute resolution of stages of general election like election supervisory board honorary of election executor board criminal court administrative court supreme court and constitutional court This study is a qualitative research for generate descriptive analytical The researcher suggest that the legislator form a regulation about dispute resolution general election process which harmonization an authority of state agencies which have an authority for adjudicate for dispute resolution of general election and the regulation gives a period of time for the resolution and constitutional court be a last court of general election which there is no other remedy or other bodies to adjudicate after constitutional court judgment except violations of ethics or criminal of general election. ]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sihotang, Jeeferson
"ABSTRAK
Tesis ini membahas kewenangan notaris dan kepastian hukum dari akta risalah
lelang notaris. Pasal 15 ayat 2 huruf g UU Notaris menetapkan bahwa notaris
berwenang membuat akta risalah lelang sementara Vendu Reglement (Peraturan Lelang) menyatakan bahwa kewenangan untuk menyusun suatu akta lelang dilakukan oleh pejabat lelang. Oleh karena itu, pokok permasalahan dari tesis ini adalah kewenangan hukum dari notaris dalam membuat akta risalah lelang berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris dan bagaimana kepastian hukum dari akta risalah lelang yang dibuat oleh notaris. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan dilengkapi dengan wawancara. Berdasarkan prinsip hukum lex specialis derogat legi generalis, penulis menyimpulkan bahwa notaris tidak secara otomatis berwenang untuk membuat akta risalah lelang. Hanya notaris yang ditunjuk sebagai pejabat lelang oleh pemerintah yang memiliki kewenangan untuk membuat akta risalah lelang. Oleh karena itu, akta risalah lelang yang dibuat oleh notaris yang tidak memenuhi syarat sebagai juru lelang akan membuat akta risalah lelang menjadi tidak otentik dan tidak memberikan kepastian hukum bagi para pihak

ABSTRACT
This thesis discussed the authority of a notary and the legal certainty of notary's auction deed. Article 15 paragraph 2 point g of the Notary Act stipulates that a public notary is authorized to draw up an auction deed while vendu reglement (the Auction Act) states that the authority to draw up an auction deed is held by an auctioneer. Therefore, the main issues of this thesis are the legal authority of notary in drawing up an auction deed based on the Notary Act and how the legal certainty of an auction deed drew up by a notary. The method used in this research is juridical normative and equipped by interviews. Based on the legal principle of lex specialis derogat legi generalis, the writer concluded that a notary is not automatically authorized to draw up an auction deed. Only a notary who is also appointed as an auctioneer by the government has the authority to draw up an auction deed. Therefore, an auction deed drew up by a notary who does not qualify as an auctioneer will make the deed not authentic and does not provide legal certainty for the parties."
2016
T46494
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sidik Pramono
"Penelitian berbasis Soft Systems Methodology ini merupakan penelitian problem solving interest, dengan menganalisis transformasi kelembagaan Badan Pengawas Pemilihan Umum dalam rangka menciptakan Badan Pengawas Pemilu yang diakui integritas dan kredibilitasnya serta mampu mendorong terselenggaranya pemilu yang demokratis. Badan Pengawas Pemilu sebagai organisasi negara yang ditugaskan untuk mengawasi penyelenggaraan pemilu tidak hanya tergantung pada kondisi internalnya saja, tetapi juga pada relasi, interaksi, dan kontraksi dengan pemangku kepentingan (stakeholders) pemilu lainnya. Badan Pengawas Pemilu pun harus menghadapi situasi bermasalah, terutama menyangkut eksistensi dan kinerjanya. Kerumitan sebagai konsekuensi pilihan sistem pemilu, kondisi geografis Indonesia, dan juga keterbatasan sumberdaya manusia yang dimiliki, misalnya, merupakan kendala yang harus dikelola dengan baik oleh Badan Pengawas Pemilu. Penelitian ini mengeksplorasi transformasi kelembagaan Badan Pengawas Pemilu dengan menggunakan teori New Institutionalism in Economic Sociology yang dikemukakan oleh Victor Nee (2003, 2005) sebagai kerangka penelitian, sebagaimana diaplikasikan juga oleh Fitriati (2012) dan Hardjosoekarto et.al. (2013). Sistem regulasi berupa revisi Undang-Undang Penyelenggara Pemilihan Umum; sistem organisasi berupa penataan struktur tata kelola (governance structure); dan sistem interaksi antar-pemangku kepentingan (stakeholders) pemilu; merupakan sistem pada tataran makro, meso, dan mikro yang mempengaruhi transformasi kelembagaan Badan Pengawas Pemilu. Perubahan pada ketiga tataran kelembagaan tersebut merupakan sebuah kesatuan, tidak dilakukan secara terpisah untuk bisa memberikan dampak signifikan dalam perbaikan atas situasi bermasalah yang dihadapi oleh Badan Pengawas Pemilu.

This Soft Systems Methodology-based research is a problem solving research, which analyzes the institutional transformation of the Republic of Indonesia Election Supervisory Body that is intended to encourage the establishment of an Election Supervisory Body whose integrity and credibility are acknowledged and is able to strengthen the implementation of a democratic election. The Election Supervisory Body as a state body that is tasked with monitoring the implementation of election not only relies on its internal condition, but also on its relation, interaction, and contraction with other election stakeholders. The Election Supervisory Body also has to face problematic situations, particularly that which relates to its existence and performance. Complexities as a consequence of chosen election system, geographic condition of Indonesia, and limitation in human resource are among the obstacles that must be managed well by the Election Supervisory Body. In exploring the institutional transformation of the Election Supervisory Body, this research employs the New Institutionalism in Economic Sociology theory offered by Victor Nee (2003, 2005) as its research framework, as was also applied by Fitriati (2012) and Hardjosoekarto et.al. (2013). The regulatory system in the form of the revised Law on General Election Implementers; organizational system in the form of restructuring the governance structure; interaction system between election-related stakeholders; are systems at the macro, meso, and micro levels that influence the institutional transformation of the Election Supervisory Body. Changes at the those three institutional levels occur as one entity, cannot be conducted separately in order to bring significant impact into the effort to improve the problematic situations faced by the Election Supervisory Body."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T35097
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kevin Muhammad
"Pelayanan kesehatan merupakan salah satu hak mendasar masyarakat yang wajib diselenggarakan oleh pemerintah yang diatur pada Pasal 28 H ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional maka dibentuk Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial merupakan badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. BPJS mempunyai program yaitu Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Salah satu wilayah yang menjalankan program JKN-KIS yaitu Kota Depok tepatnya di Rumah Sakit Umum Kota Depok. Salah satu pelayanan kesehatan yang diberikan oleh program JKN-KIS yaitu pelayanan gawat darurat. Saat dalam keadaan gawat darurat maka setiap fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah atau swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu. Berdasarkan latar belakang tersebut, skripsi ini diteliti dengan metode yuridis-normatif dengan data utama data sekunder yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan dan tipe penelitian bersifat deskriptif analitis. Dengan kehadiran program JKN-KIS maka peserta JKN-KIS akan mendapatkan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan peserta JKN-KIS. Rumah sakit tidak dapat menolak pasien gawat darurat karena telah diatur di dalam Undang-Undang apabila rumah sakit menolak pasien gawat darurat maka rumah sakit dapat dikenakan sanksi. Akan tetapi tidak semua rumah sakit bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Oleh karena itu, penulis menyarankan BPJS Kesehatan untuk memperluas kerjasama dengan rumah sakit yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan untuk mempermudah peserta JKN-KIS menjangkau pelayanan kesehatan dan setiap masyarakat Indonesia harus mendaftarkan dirinya sebagai peserta JKN-KIS.

Health care is one of the basic rights of the community that must be held by the government and regulated in Article 28 H paragraph (1) and Article 34 paragraph (3) of the 1945 Constitution. Based on Article 5 paragraph (1) of Law Number 40 of 2004 concerning National Social Security System, Law No. 24 of 2011 concerning Social Security Organizing Agency was established. The Social Security Organizing Agency is a legal entity of which is established to implement social security programs. BPJS has a program named National Health Insurance-Indonesian Health Card (JKN-KIS) that applies in all regions in Indonesia. One of the areas that runs the JKN-KIS program is Depok City, precisely at the Depok City General Hospital. One of the health services provided by the JKN-KIS program is emergency services. When in an emergency, every health service facility owned by the government or the private sector is obliged to provide health services to save the lives of patients and prevent disability first. Based on this background, this thesis was examined by juridical-normative method with the main data of secondary data which obtained from library materials and the type of research was descriptive analytical. With the presence of the JKN-KIS program, JKN-KIS participants will receive health services that are in accordance with the needs of JKN-KIS participants. The hospital cannot refuse emergency patients because it has been regulated in the Law, if the hospital rejects emergency patients, the hospital can be sanctioned. However, not all hospitals cooperate with Healthcare and Social Security Agency. Therefore, the authors suggest Healthcare and Social Security Agency to expand cooperation with hospitals that do not cooperate with Healthcare and Social Security Agency to facilitate JKN-KIS participants to get health services and every Indonesian community must register itself as a JKN-KIS participant.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tiara Berlian
"Skripsi ini membahas mengenai Komite Nasional Kewenangan Transportasi (KNKT) dan Kepolisian yang memiliki kewenangan yang beririsan dalam hal penanganan kecelakaan transportasi kereta api, dimana KNKT memiliki kewenangan untuk melakukan investigasi kecelakaan transportasi, sedangkan Kepolisian memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan.
Untuk mempermudah pemahanan, skripsi ini mengambil contoh kasus kecelakaan KA S5 (Fajar Utama Ekspres) dan KA BBR1 (Babaranjang) pada tahun 2005. Skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif yang berfokus pada hukum positif yang mengatur mengenai kewenangan Komite Nasional Keselamatan Transportasi dan Kepolisian Republik Indonesia dalam penanganan kecelakaan transportasi kereta api.
Pokok permasalahan dari skripsi ini adalah mengenai kewenangan yang beririsan antara KNKT dan Kepolisian dalam penanganan kecelakaan transportasi, kemudian bagaimana pelaksanaan dan pengaturan dari kewenangan yang beririsan tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui KNKT dan Kepolisian dalam hal kecelakaan transportasi kereta api dan untuk mengetahui mengenai penanganan kecelakaan transportasi kereta api dalam hal kewenangan yang beririsan antara KNKT dan Kepolisian.
Hasil penelitian dari skripsi ini adalah bahwa KNKT dan Kepolisian perlu mengatur secara jelas mengenai kewenangan yang beririsan dalam penanganan kecelakaan transportasi kereta api dan keduanya perlu menentukan bentuk pengaturan yang tepat untuk mengatur kewenangan yang beririsan tersebut.

This thesis discusses about the National Transportation Safety Committee (NTSC) and the Police which have intersecting authority in handling railway accidents, where the NTSC has the authority to conduct transportation accident investigations, while the Police have the authority to carry out investigations.
To make it easier to understand, this thesis takes the case of the KA S5 (Fajar Utama Express) and KA BBR1 (Babaranjang) accidents in 2005. This thesis is a normative legal research that focuses on positive law governing the authority of the National Transportation Safety Committee and the Indonesian National Police in handling railway accidents.
The main problem of this thesis is about the authority which intersects between the NTSC and the Police in handling transportation accidents, then how the implementation and arrangement of the authorities intersect. The purpose of this study is to find out about the NTSC and the Police in handling the railway transportation accidents and to find out about the handling of railway transportation accidents in terms of the authority that intersected between the NTSC and the Police.
The results of this research are the NTSC and the Police need to clearly regulate the authority that intersects in handling of train transportation accidents and both of them need to determine the appropriate form of regulation to regulate the intersecting authority.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Hastuti A.
"ABSTRAK
Nama : Dwi Hastuti AyuningtyasNPM : 1406511124Program Studi : Magister KenotariatanJudul : Penerapan Asas Kepastian Hukum Dalam Penerbitan Sertipikat Hak Guna Bangunan Oleh Badan Pertanahan Nasional Analisis Putusan Kasus Nomor 3091 K/PDT/2011 Dalam kasus nomor 3091 K/Pdt/2011 telah terjadi sengketa antara Ramon Widjaja dengan pihak-pihak yang dianggap telah menguasai dan memanfaatkan lahan miliknya tanpa izin darinya. Rumusan masalah yang diangkat dalam tesis ini yaitu faktor apakah yang dapat menyebabkan terjadinya penerbitan sertipikat yang tumpang tindih dan bagaimana solusi untuk mencegahnya serta bagaimana penerapan asas publikasi negatif tendensi positif dalam penerbitan sertipikat hak atas tanah oleh Badan Pertanahan Nasional sehingga terjadi tumpang tindih sertipikat.Metode Penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah metode yuridis normatif. Hasil penelitian ini adalah bahwa dalam terjadinya tumpang tindih seripikat berdasarkan beberapa faktor yang terutama adalah tidak sempurnanya peta pendaftaran terutama bagi daerah-daerah yang mengalami pemekaran wilayah, serta tidak telitinya para petugas/pejabat pertanahan dalam menjalankan tugas memeriksa data terkait kegiatan pendaftaran. Oleh sebab itu sebaiknya dikemudian hari pemerintah harus dapat mengatasi faktor-faktor tersebut yaitu agar menyempurnakan peta pendaftaran tanah yang ada serta meningkatkan mutu dan kedisiplinan serta ketelitian dari para petugas/pejabat kantor pertanahan. Kata Kunci : Kegiatan Pendaftaran, Sertipikat Tumpang Tindih

ABSTRACT
Name Dwi Hastuti AyuningtyasStudy Program Magister of NotaryTitle Application of Principle of Legal Certainty In Broking Certificate Issuance by the National Land Agency Decision Analysis of Case No. 3091 K PDT 2011 In case number 3091 K Pdt 2011 there rsquo s been a dispute between Ramon Widjaja with parties deemed to have control and use their property without his permission. The formulation of the issues raised in this thesis is the factor that can lead to the issuance of the overlapped certificates and how the solution made to prevent it, and how the application of the principle of positive tendencies of negative publicity in the issuance of certificates of land rights by the National Land Agency which caused some overlap certificate. Research methods used in this thesis is the normative method. The results of this research are that in cases of overlapping certificates are based on several factors that primarily is incomplete map of enrollment, especially in regions that experiencing regional growth, and the carelessness of the officers officials of land offices in carry out the task of checking the data related to the registration activities. Therefore, we recommend in the future the government must be able to eliminate these factors by means of enhance existing land registration maps and improve the quality, discipline and thoroughness of the officers officials of the land office. Keywords registration activities , Overlapped Certificates."
2017
T47255
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manullang, Fernando M.
"Klaim kepastian hukum yang diusung oleh gagasan legisme dan legalitas telah menjadi sebuah keyakinan umum di kalangan yuris. Dalam sejarah pemikiran hukum, gagasan legisme ini mendapat pendasaran filosofisnya dari teori kontrak sosial Montesquieu, Rousseau dan Cesare Beccaria. Sementara legalitas sendiri mendapat pendasaran filosofisnya dari gagasan Montesquieu tentang peran hakim yang dibatasi hanya sebagai penyuara isi undang-undang dan metode hukum yang positivistis dari Beccaria karena menolak interpretasi akan hukum (undang-undang). Oleh sebab itu, dengan cara demikian, harapan akan kepastian hukum niscaya dapat dicapai.
Disertasi ini mencoba menelusuri pemikiran ketiga filosof itu secara utuh, dan berkesimpulan kalau legisme dan legalitas tak pelak lagi hanya mengambil sebagian kecil dari gagasan ketiga filosof secara positivistis, padahal mereka malah menganjurkan hukum yang pasti itu justru berdasarkan kehendak bersama dan rasa kemanusiaan, dan hukum (undang-undang) dapat diabaikan jika ia bertentangan dengan kehendak bersama dan rasa kemanusiaan.

Claims on legal certainty which is brought by the idea of legism and legality has become a common opinion among jurists. In the history of legal thought, the idea of legism gets its philosophical grounding thorugh the social contract theory from Montesquieu, Rousseau and Cesare Beccaria. Whilst the legality itself gets its philosophical grounding from Montesquieu's idea on the role of the judge which is restricted only to as a voice for law and from legal method of Beccaria which positively rejects the method of legal interpretation. Therefore, through such methods, such expectations on legal certainty will undoubtedly be able to achieve.
This dissertation tries to trace the three philosopher's thought as a whole, and concludes that ideas of legism and legality inevitably only take a small portion from these three philosophers in positivistic approach, though they certainly do encourage that the law is actually based on a common will and humanity, and the law may be ignored if it is contrary to the general will and humanity."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
D1928
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>