Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 202830 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siti Rahmaniah Jamaluddin
"Desa merupakan kesatuan masyarakat hukum dengan kewenangan menyelenggarakan pemerintahan sendiri berdasarkan asas rekognisi dan subsidiaritas. Terdapat dua jenis kewenangan desa yaitu kewenangan asal usul dan kewenangan lokal berskala desa yang salah satunya mencakup perencanaan pembangunan dan tata ruang desa. Namun, seringkali perencanaan pembangunan desa belum menyentuh aspek penataan ruang. Apalagi, peraturan yang ada hanya mengatur kewenangan pemerintah pusat dan daerah dalam penataan ruang. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari bahan hukum primer dan sekunder dengan cara studi kepustakaan dan wawancara. Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dan disajikan secara preskriptif-analitis. Hasil penelitian menunjukkan Desa tidak termasuk dalam hierarki penataan ruang berdasarkan Undang-undang Penataan Ruang karena desa bukanlah daerah otonom melainkan merupakan bagian dari wilayah daerah. Sehingga, dalam hal perencanaan, desa masuk ke dalam substansi yang diatur dalam RTRW Kabupaten sebagai bagian dari wilayah kabupaten. Desa memiliki kewenangan penataan ruang sebagai kewenangan asli desa berdasarkan asas subsidiaritas. Penyusunan tata ruang desa merupakan bagian dari RPJM Desa yang dalam proses penyusunannya harus diselaraskan dengan RTRW Kabupaten. Kewenangan desa dalam penataan ruang perlu didukung dengan adanya peraturan yang mempertegas kedudukan dan kewenangan desa dalam penataan ruang. Selain itu, hubungan perencanaan tata ruang kabupaten/kota dengan desa seharusnya tidak hanya berdasarkan kegiatan kawasan dan sebagai bagian dari RPJM Desa, tetapi harus memposisikan desa sebagai pemerintahan dengan kewenangan lokal berskala desa untuk melakukan penataan ruang yang hendaknya diperhatikan masukan dan aspirasinya sebagai pertimbangan pusat maupun daerah dalam menentukan arah kebijakan perencanaan ruang dan pembangunan.

Village is a legal community with the authority to organize its own government based on the principles of recognition and subsidiarity. There are two types of village authority, they are origin authority and local authority that include develoment planning and village spatial planning. However, development planning in village has not touched spatial planning aspect. Moreover, the existing regulation of spatial planning only regulate the authority of the central and local government . This research is a normative legal research. The type of data used in this research is secondary data that obtained from primary and secondary legal materials using library research and interview method. The data then analyzed with qualitative approach and presented in a prescriptive-analytical. The results of this research shows that the village is not include in the spatial planning hierarchy based on the Spatial Planning Law because the village is not an autonomous region but is part of a regional area. So, the village include as the substance that regulated in the Regency spatial planning as the part of the regency area. Village has spatial planning authority as its origin authority based on the principle of subsidiarity. Process of making village spatial planning is a part of village development planning that must be harmonized with regency spatial planning.  The authority of the village in spatial planning needs to be supported by regulations that emphasize the position and authority of the village in spatial planning. Moreover, the relationship between regency spatial planning and the village should not only be based on regional activities and as part of the village development planning, but also put the village as a government with local authority to do spatial planning with aspirations that should be  considered as the reasoning of central and local government in determining the direction of spatial planning and development policies.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"Tujuan penyelenggaraan pendidikan sekolah menengah kejuruan (SMK) adalah untuk menyiakan peserta didik agar siap bekerja pada bidang tertentu....."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Pemerintah telah menerbitkan PP no.6 2008 tentang pedoman evaluasi penyelenggaraan pemerintah daerah, yang memuat evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah (EKPPD), evaluasi kemempuan penyelenggaraan otonomi daerah (EKPOD) dan evaluasi daerah otonom baru (EDOB). Dengan terbitnya PP ini, pemerintah daerah -mau tidak mau- harus siap menerima 'tugas tambahan' untuk melakukan kinerja pememrintahan daerahnya."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"There have been many,numerous and discussion on the community participation in enhacing the development of sub urbans in this globalization and transparancy era in both national and international and mass media."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Depok: Center for Japanese Studies University of Indonesia, 2003
352 LOC
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Diterbitkannya UU.No. 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah,pemerintah daerah memiliki kewenangan yang seluas-luasnya untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri termasuk sektor kepariwisataan sesuai dengan potensi pembangunan yang dimiliki daerah....."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Kebijakan pembangunan perikanan Indonesia di masa lalu banyak mengalami kegagalan ,hal ini dikarenakan doktrin comman prperty,sentralistik dan anti pluralisme hukum. akibatnya kebijakan seperti ini telah meciptakan permasalahan yang kompleks di masyarakat pesisir,seperti kerusakan ekologi pesisir dan laut,kemiskinan nelayan,konflik dan lain sebagainya
"
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Arkienandia Nityasa Parahita
"Emisi Gas Rumah Kaca (GRK), termasuk emisi karbondioksida (CO2) telah menjadi penyebab utama dari perubahan iklim dan pemanasan global sejak pertengahan abad ke-20. Ekosistem Karbon Biru (EKB), yang meliputi mangrove dan padang lamun berperan penting dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Sebaliknya, kerusakan ekosistem ini dapat menimbulkan resiko lepasnya emisi karbon yang tersimpan kembali ke atmosfer. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi terbesar dari ekosistem tersebut, namun demikian, degradasi EKB di Indonesia yang disebabkan oleh konversi lahan dan kegiatan akuakultur kian meningkat. Sebagai kerangka pengaturan, Perencanaan Tata Ruang berperan penting untuk mengendalikan aktivitas tersebut, menimalisir konflik antar pengguna, dan melindungi EKB melalui instrumen Tata Ruang guna mencegah degradasi lebih lanjut. Perlindungan, pemulihan, dan pengelolaan EKB secara berkelanjutan tidak hanya mempertahankan kapasitasnya dalam penyerapan CO2, tetapi juga mempertahankan jasa ekosistem yang penting bagi adaptasi perubahan iklim, meningkatkan potensi sosial-ekonomi masyarakat, memberikan perlindungan terhadap risiko perubahan iklim di wilayah pesisir, serta memulihkan habitat yang terdegradasi guna mempertahankan fungsinya dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Penelitian ini akan melakukan analisis berkaitan dengan mengenai peran Penataan Ruang dalam proses Tata Kelola Karbon Biru, yang secara spesifik mencakup pengaturan dan instrumen tata ruang dalam perlindungan EKB dalam berbagai peraturan perundang-undangan, permasalahan kelembagaan dalam pengelolaan EKB di Indonesia, dan pengaturan serta studi kasus berkaitan keterlibatan masyarakat untuk pengelolaan EKB pada provinsi Kalimantan Timur dan Bangka Belitung.

Emission of greenhouse gases, including carbon dioxide (CO2), has been the main cause of climate change and global warming since the mid-20th century. Blue carbon ecosystems (BCE), which include mangrove and seagrass meadows play a key role in climate change mitigation and adaptation. Conversely, damage to these ecosystems risks the release of that carbon back to the atmosphere. Indonesia hosts one of the biggest proportions of such ecosystems, however, the rate of BCE degradation in Indonesia caused by land conversion and aquaculture remains high. As a regulatory framework, spatial planning plays a key role to control such activities, maintain conflict between uses, and protect BCE through spatial planning instruments to prevent further degradation. Conserving, restoring, and manage BCE sustainably not only maintains CO2 sequestration capacity but also services essential for climate change adaptation along coasts, improves socio-economic potential of the coastal community, provide protection against risks related to climate change in coastal areas, as well as restoring degraded habitats to recover their climate change mitigation potential and avoid additional greenhouse emissions. This paper aimed to analyzed the role of Spatial Planning in the Blue Carbon Governance process, which specifically includes spatial arrangements and instruments for the protection of BCE in various laws and regulations, institutional arrangement issues in the management of BCE in Indonesia, and case studies related to community involvement in the management of BCE in 2 provinces, East Kalimantan and Bangka Belitung.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mukti Cahyani
"ABSTRAK
Penataan Daerah Otonom Baru di Indonesia merupakan hal yang sangat penting dan krusial. Hal ini dikarenakan sampai dengan saat ini Indonesia masih belum mempunyai arah kebijakan yang berkelanjutan terkait dengan penataan daerah. Terbukanya opsi pemekaran daerah atas dasar usulan dari daerah membuat banyaknya pembentukan Daerah Otonom Baru yang terbentuk dalam kurun waktu 15 tahun. Perubahan konstitusi yang salah satunya mengenai kewenangan legislasi juga memberi pengaruh dalam berkembangnya pemekaran daerah. Di sisi lain, Undang-Undang Pemerintahan Daerah mengamanatkan dibentukan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah DPOD sebagai pemberi pertimbangan kebijakan kepada Presiden tentang hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah, termasuk salah satunya mengenai Penataan Daerah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu berlakunya 4 Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, Indonesia masih mencari konsep yang tepat dalam penataan daerah. Peran DPOD dalam penataan daerah pun belum maksimal karena tidak semua usulan pembentukan daerah melalui kajian dan rekomendasi dari DPOD. Oleh karena itu perlu adanya penguatan peran DPOD dalam memberikan pertimbangan terkait penataan daerah dan diterbitkannya peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.

ABSTRACT
The arrangement of new autonomous region in Indonesia is a very important and crucial issue. It is caused by up to the moment Indonesia still does not possess the sustainable policy direction related to the regional arrangement. The chance to do the regional expansion based on the proposal from the region drives to the high number of the New Autonomous Region created within the last fifteen years. The Constitutional change related to legislative authority also affects the development of regional expansion. On the other side, The Law of Local Governance delivers a mandate to form Advisory Council of the Regional Autonomy DPOD as a giver of policy consideration to the President regarding the matters related to the implementation of the regional autonomy, including the Regional Arrangement. The research result shows that within four years implementation of The Law of Local Governance, Indonesia remains seek for the right concept in the regional arrangement. The role of DPOP in the regional arrangement has not been maximized yet due to not all of the regional expansion proposals are going through the review and recommendation from the DPOD itself. "
2018
T50872
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>