Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 197226 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mia Rahmawati
"Latar Belakang: Insidensi hiponatremia pada infeksi intrakranial sebesar 30-66%. Hiponatremia dapat memperburuk manifestasi neurologis infeksi intrakranial itu sendiri serta dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas.
Metode: Penelitian dengan studi potong lintang retrospektif untuk mengetahui karakteristik hiponatremia dan hubungannya dengan keluaran klinis pasien infeksi intrakranial di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada April 2019 s/d Oktober 2021. Data dasar diambil dari Indonesian Brain Infection Study (IBIS) kemudian dilengkapi dari rekam medis. Subjek ≥18 tahun dengan diagnosis akhir infeksi intrakranial masuk kriteria inklusi, sedangkan data tidak lengkap dan tidak rawat inap masuk kriteria eksklusi.
Hasil: Terdapat 296 subjek dengan mayoritas meningoensefalitis tuberkulosis (51,4%). Hiponatremia pada 66,6% subjek, terbagi menjadi derajat ringan (54%), sedang (24%) dan berat (22%). Hiponatremia banyak terjadi pada HIV positif (59,1%), komorbid penyakit paru (44,9%) dengan keluhan terbanyak sakit kepala (58,1%). Kematian terjadi pada (24,2%) subjek hiponatremia, dimana usia >60 tahun, komorbid, penyakit paru atau ginjal, hiponatremia berat dan status hiponatremia tidak terkoreksi berhubungan dengan kematian (p<0,05).
Kesimpulan: Pada infeksi intrakranial, koinfeksi HIV berhubungan dengan kejadian hiponatremia. Tidak ditemukan perbedaan bermakna karakteristik hiponatremia terhadap mortalitas, status fungsional maupun durasi perawatan. Faktor yang berhubungan dengan mortalitas adalah usia, derajat hiponatremia, komorbiditas, dan status koreksi hiponatremia.

ackground: The incidence of hyponatremia in intracranial infection is 30-66%. Hyponatremia can exacerbate the neurological manifestations of the intracranial infection itself and is associated with increased morbidity and mortality.
Methods: This study was a retrospective cross-sectional study to determine the characteristics of hyponatremia and its relationship to the clinical outcome of patients with intracranial infections in Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) from April 2019 to October 2021. Base data were taken from the Indonesian Brain Infection Study (IBIS) and completed from medical records. Subjects 18 years with a final diagnosis of intracranial infection were included in the inclusion criteria, while incomplete data and no hospitalization were included in the exclusion criteria.
Results: There were 296 subjects with the majority of meningoencephalitis tuberculosis (51.4%). Hyponatremia in 66.6% of subjects was divided into mild (54%), moderate (24%), and severe (22%). Hyponatremia was common in HIV positive (59.1%), comorbid lung disease (44.9%) with headache as a common complaint (58.1%). Mortality occurred in (24.2%) hyponatremic subjects, where age >60 years, comorbidities, pulmonary or renal disease, severe hyponatremia, and uncorrected hyponatremic status were associated with mortality (p<0.05).
Conclusion: In intracranial infection, HIV coinfection is associated with the incidence of hyponatremia. There were no significant differences in the characteristics of hyponatremia on mortality, functional status, and duration of treatment. Factors associated with mortality were age, degree of hyponatremia, comorbidities, and hyponatremia correction status.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
H.M. Soemarko
Malang: Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, 2006
616.36 SOE s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
David
"Latar Belakang. Sejak laporan pertama ensefalitis antireseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) pada 2007, prevalensi ensefalitis autoimun (EA) serupa dengan ensefalitis infeksi (EI). Sayangnya, heterogenitas klinis EA, serupanya klinis dengan EI, penyakit autoimun seperti neuropsikiatrik lupus eritematosus sistemik, atau penyakit psikiatrik menjadi tantangan deteksi awal dan tatalaksana EA. Keterlambatan berhubungan dengan perburukan luaran, sedangkan kekurang-tepatan menerapi EI sebagai EA dapat mengeksaserbasi infeksi. Studi ini bertujuan mengenali karakteristik EA, khususnya ensefalitis antireseptor NMDA definit sebagai EA tersering, di era keterbatasan ketersediaan penunjang definitif di Indonesia.
Metode. Studi kohort retrospektif dengan rekam medis di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo dilakukan pada curiga EA yang menjalani pemeriksaan antireseptor NMDA cairan otak sejak Januari 2015-November 2022. Karakteristik klinis dan penunjang EA, EA seropositif NMDA, dan luarannya dinilai. Analisis univariat dan bivariat dilakukan sesuai kebutuhan.
Hasil. Dari 102 subjek yang melalui kriteria inklusi dan eksklusi, terdapat 14 EA seropositif dan 32 seronegatif NMDA. Temuan klinis EA terbanyak adalah gangguan psikiatri dan tidur (85,7%), gangguan kesadaran (78,3%), prodromal (76,1%), dan bangkitan (70,6%). Karakteristik penunjang EA adalah inflamasi sistemik (75,0%), inflamasi cairan otak (69,2%), abnormalitas MRI (57,9%) dominan inflamasi (42,2%), dan abnormalitas EEG (89,5%). Karakteristik klinis EA seropositif NMDA adalah psikosis (76,9% vs 24,1%, p=0,002), delirium (71,4% vs 40,6%, p=0,06), bangkitan (71,4% vs 46,7%, p=0,12), takikardia (55,6% vs 17,6%, p=0,08), dan gangguan otonom lainnya (55,6% vs 23,5%, p=0,19), sedangkan klinis EA seronegatif NMDA adalah somnolen (34,4% vs 7,1%, p=0,07) dan defisit neurologis fokal (31,3% vs 7,1%, p=0,13). Leukositosis dan pleositosis cairan otak dengan dominasi mononuklear secara signifikan lebih ditemukan pada EA seropositif NMDA. Sebanyak 10,9% subjek meninggal.
Kesimpulan. Karakteristik klinis EA adalah gangguan psikiatri dan tidur, gangguan kesadaran, prodromal, dan bangkitan. Psikosis, delirium, bangkitan, dan disfungsi otonom cenderung lebih ditemukan pada EA seropositif NMDA. Inflamasi sistemik, cairan otak, MRI, dan abnormalitas EEG sering ditemukan pada EA, terutama seropositif NMDA. 

Background. Since the first report of N-methyl-D-aspartate receptor (NMDAR) encephalitis in 2007, the prevalence of autoimmune encephalitis (AE) was similar to infectious encephalitis (IE). Unfortunately, heterogenities of EA as well as similarities in the manifestation to IE, other autoimmune diseases including neuropsychiatric systemic lupus erythematosus, or psychiatric diseases compromised the early detection and management of EA. This delay correlated with worse outcome whereas the inaccuracy in treting IE as AE may exacerbate infection. This study aimed to describe the characteristics of EA, particularly definitive NMDAR encephalitis as the most common, in the era of limited availability of definitive ancillary test in Indonesia.
Methods. Retrospective study using medical records at Dr. Cipto Mangunkusumo National Center General Hospital was conducted for suspected EA cases tested for cerebrospinal fluid NMDAR autoantibody test from January 2015 to November 2022. Clinical, ancillary characteristics, and concordance between clinical diagnosis and diagnostic criteria were assessed. Univariate, bivariate, and multivariate analysis were perfomed as needed.
Result. Of 102 subjects following inclusion and exclusion criteria, there were 14 seropositive and 32 seronegative NMDA subject. Clinical characterstics of AE were psychiatric and sleep disorder (85,7%), altered consciousness (78.3%), prodromal (76.1%), and seizure (70.6%). Ancillary characteristics of AE were systemic inflammation (75.0%), cerebrospinal fluid inflammation (69.2%), MRI abnormalities (57.9%) with inflammatory predominance (42.2%), and EEG abnormalities (89.5%). Seropositive NMDA characteristics were psychosis (76.9% vs 24.1%, p=0.002), delirium (71.4% vs 40.6%, p=0.06), seizure (71.4% vs 46.7%, p=0.12), tachycardia 955.6% vs 17.6%, p=-0.08), and other autonomic disorder (55.6% vs 23.5% p=0.19) whereas seronegative NMDA characteristics were somnolence (34.4% vs 7.1%, p=0.07) and focal neurologic deficit (31.3% vs 7.1%, p=0.13). Leukocytosis and cerebrospinal fluid pleocytosis with mononuclear predominance were significantly found in seropositive NMDA AE. The mortality rate was 10.9%.
Conclusion. Clinical characteristics of AE were psychiatric and sleep disorder, altered consciousness, prodromal, and seizure. Psychosis, delirium, seizure, and autonomic dysfunction tended to be found in seropositive NMDA AE. Inflammation in systemic, cerebrospinal fluid, and MRI findings as well as EEG abnormalities commonly occurred in AE, especially seropositive NMDA.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Laode Ma`ly Ray
"Latar Belakang: Berdasarkan alat yang digunakan, pendekatan operasi kraniofaringioma terbagi menjadi endoskopik dan mikroskopik. Masing-masing pendekatan memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing sehingga akan memberikan luaran klinis, resektabilitas dan efektifitas pembiayan yang berbeda-beda. Belum diketahui luaran pasca operasi baik pendekatan mikroskopik maupun endoskopik di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo.
Tujuan: Mengetahui luaran operasi pasien kraniofaringioma di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo..
Metode: Kohort retroprospektif pasien kraniofaringioma yang menjalani pembedahan sejak tahun 2012 hingga tahun 2021 di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia. Pasien dengan masalah ekstrakranial, pasien endoskopi dengan kraniotomi luas dikeluarkan dari penelitian. Dilakukan pengambilan data demografis, luaran klinis dan resektabilitas tumor dan efektifitas pembiayaan. Data dikelompokkan menjadi variabel kategorik dan numerik. Analisa variabel kategorik dan kategorik diolah menggunakan uji Chi-square. Sedangkan variabel kategorik dan numerik diolah menggunakan T-Test. Pengolahan data menggunakan SPSS 25.0.
Hasil: Pada 30 subjek penelitian, 22 subjek (73%) menjalani tindakan operasi mikroskopik dan 8 subjek (27%) menjalani tindakan operasi endoskopik. Perdarahan intraoperasi rata-rata pendekatan mikroskopik 445ml (50-1600), sedangkan endoskopik 57ml (20-200). Secara signifikan perdarahan intraoperasi pendekatan endoskopik lebih rendah dibandingkan pendekatan mikroskopik, p < 0,01. Durasi operasi rata-rata pendekatan mikroskopik 3 jam (2-4jam), sedangkan endoskopik 6,6jam (2,5-14jam). Secara signifikan waktu operasi pendekatan endoskopik lebih singkat dibandingkan mikroskopik, p=0,001. Kesimpulan: Pendekatan endoskopik memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan sebagai pilihan tatalaksana bedah pasien kraniofaringioma.

Based on the equipment used, the surgical approach to craniopharyngioma is divided into endoscopic and microscopic. Each approach has its own advantages and disadvantages so that it will provide different clinical outcomes, resectability, and cost effectiveness. The postoperative outcome for both microscopic and endoscopic approaches in RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo is unknown.
Objective: Knowing the operative approach outcome of craniopharyngioma patients at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo.
Methods: A retrospective cohort of craniopharyngioma patients undergoing surgery from 2012 to 2021 at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia. Patients with extracranial problems, assisted endoscopic approach were excluded from the study. Demographic data, clinical outcome, and tumor resectability and cost effectiveness were collected. The data are grouped into categorical and numeric variables. The analysis of categorical and categorical variables was processed using the Chi-square test. Meanwhile, categorical and numerical data were processed using T-Test. Data processing using SPSS 25.0.
Results: In 30 study subjects, 22 subjects (73%) underwent microscopic surgery and 8 subjects (27%) underwent endoscopic surgery. Intraoperative bleeding using microscopic approach average 445ml (50-1600), while endoscopic 55ml (20-200). Intraoperative bleeding was significantly lower in the endoscopic approach than the microscopic approach, p<0.01. The average duration of surgery for the microscopic approach is 3 hours (2-4 hours), while the endoscopic approach is 6.6 hours (2.5-14 hours). The operating time for the endoscopic approach was significantly shorter than the microscopic one, p=0.001.
Conclusion: The endoscopic approach has good potential to be developed as a surgical treatment option for craniopharyngioma patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Nur Komarudin
"Latar Belakang
Kanker ginekologi dan infeksi COVID-19 memiliki tingkat insidensi dan mortalitas yang tinggi di Indonesia serta berdampak pada aspek kesehatan, sosial, dan budaya. Kanker ginekologi dan infeksi COVID-19 memicu inflamasi yang dapat mengakibatkan ganguan multi-organ. Pemeriksaan laboratorium dapat digunakan sebagai indikator keparahan untuk menilai inflamasi dan kerusakan organ. Oleh karena itu penelitian ini akan membahas mengenai analisis kakteristik klinis dan hasil laboratorium pasien kanker ginekologi dengan COVID-19.
Metode
Metode yang akan digunakan di dalam penelitian ini adalah deskritif dan analitik dengan pendekatan potong lintang retrospektif.
Hasil
Tingkat insidensi pasien kanker ginekologi dengan COVID-19 2020-2022 sebesar 154 per 100.000. Kanker serviks (54,3%) menjadi diagnosis terbanyak diikuti dengan kanker ovarium (28,7%), kanker rahim (14,9%), kanker vulva (1,1%), dan kanker vagina (1,1%). Stadium III (37,2%) menjadi yang terbanyak diikuti stadium IV (26,6%), stadium I (20,2%), stadium II (16%). Karakteristik klinis dan hasil laboratorium yang memiliki hubungan signifikan dengan stadium kanker adalah obesitas (OR 0,321; CI 0,125-0,826; P value 0,018), neutrofil absolut tinggi (OR 5,006; Cl 95%, 1,307 – 19,176; P value 0,019), ureum tinggi (OR 3,977; Cl 95%, 1,112 – 14,224; P value 0,034), dan platelet to leucocyte ratio (PLR) tinggi (OR 7,379; 95% CI 2,067-26,466; P value 0,002). Karakteristik klinis dan hasil laboratorium yang memiliki hubungan signifikan dengan derajat keparahan COVID-19 adalah sesak napas (OR 12,364; Cl 95%, 4,148 – 36,848; P value <0.001) dan PLR tinggi (OR 6,787; 95% CI 1,103 - 41,774; P value 0,039).
Kesimpulan
Karakteristik klinis dan hasil laboratorium yang dapat dikaitkan sebagai indikator keparahan berdasarkan stadium kanker ginekologi adalah obesitas, neutrofil absolut tingg, ureum dan PLR tinggi. Karakteristik klinis dan hasil laboratorium yang dapat dikaitkan dengan indikator keparahan berdasarkan derajat keparahan COVID-19 adalah sesak napas dan PLR tinggi.

Introduction
Gynecologic cancer and COVID-19 infection have high incidence and mortality rates in Indonesia and impact health, social and cultural aspects. Gynecological cancers and COVID-19 infections trigger inflammation that can lead to multi-organ disorders. Laboratory tests can be used as an indicator of severity to assess inflammation and organ damage. Therefore, this study will discuss the analysis of clinical characteristics and laboratory results of gynecological cancer patients with COVID-19.
Method
The method used in this study is descriptive and analytic with a retrospective cross- sectional approach.
Results
The incidence rate of gynecologic cancer patients with COVID-19 2020-2022 was 154 per 100,000. Cervical cancer (54.3%) was the most common diagnosis followed by ovarian cancer (28.7%), uterine cancer (14.9%), vulvar cancer (1.1%), and vaginal cancer (1.1%). Stage III (37.2%) was the most common followed by stage IV (26.6%), stage I (20.2%), stage II (16%). Clinical characteristics and laboratory results that had a significant association with cancer stage were obesity (OR 0,321; CI 0,125-0,826; P value 0,018), high absolute neutrophils (OR 5.006; 95% CI, 1.307-19.176; P value 0.019), high high ureum level (OR 3.977; 95% CI, 1.112-14.224; P value 0.034), and high PLR (OR 7.379; 95% CI 2.067-26.466; P value 0.002). Clinical characteristics and laboratory results that had a significant association with COVID-19 severity were shortness of breath (OR 12.364; Cl 95%, 4.148 - 36.848; P value <0.001) and high PLR (OR 6.787; 95% CI 1.103 - 41.774; P value 0.039).
Conclusion Clinical characteristics and laboratory results associated with gynecologic cancer stage were obesity, high absolute neutrophils, high ureum level, and high PLR. Clinical characteristics and laboratory results associated with COVID-19 severity were shortness of breath and high PLR.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lenny Naulita
"Latar Belakang: Meskipun kontroversial, hospital readmission (HR) dapat mencerminkan keadaan pasien saat dipulangkan dan sebagai indikator untuk mengevaluasi mutu perawatan rumah sakit (RS). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui insidensi dan faktor risiko HR pada pasien infeksi intrakranial.
Metode Penelitian: Studi kohort retrospektif pasien infeksi intrakranial periode April 2019-November 2021, menggunakan data Indonesian Brain Infection Study dan telusur rekam medis. Analisis bivariat menggunakan uji Chi Square dan Mann Whitney, dilanjutkan dengan analisis multivariat regresi logistik.
Hasil: Insidensi HR pasien infeksi intrakranial sebesar 28,45%. Mayoritas subjek mengalami HR sebelum 30 hari (64,7%). Penyebab HR terbanyak adalah penyakit lain yang berbeda dengan diagnosis awal (55,9%). Komorbid penyakit ginjal meningkatkan risiko HR (aOR=7,2, IK 95%=2,2-23,8,p=0,000). Gejala klinis saat perawatan awal berupa kelemahan motorik dan kejang juga meningkatkan risiko HR (aOR=2,27,IK 95%=1,28-4,01, p=0,001) dan (aOR=1,93,IK 95%=1,02-3,62, p=0,037). Sedangkan ketersediaan pelaku rawat dapat menurunkan risiko HR (aOR=0,07,IK 95%=0,03-0,45, p=0,002).
Kesimpulan: Insidensi HR pada pasien infeksi intrakranial dalam waktu 6 bulan sebesar 28,45%. Penyakit ginjal, gejala klinis kelemahan motorik dan kejang pada perawatan awal merupakan faktor yang dapat meningkatkan risiko HR, sedangkan ketersediaan pelaku rawat merupakan faktor yang dapat menurunkan risiko HR. 

Background: Although controversial, hospital readmission (HR) can reflect the patient's condition at discharge and as an indicator to evaluate the quality of hospital care. This study aims to determine the incidence and risk factors for HR in intracranial infections.
Method: A retrospective cohort study of intracranial infection patients, in period April 2019-November 2021, using secondary data from the Indonesian Brain Infection Study and tracing medical records. Bivariate analysis using Chi Square and Mann Whitney test, followed by multivariate logistic regression analysis.
Results: The incidence of HR in patients with intracranial infections was 28.45%. The majority of subjects experienced HR before 30 days (64.7%). The most common cause of HR was other diseases that were different from the initial diagnosis (55.9%). Kidney disease comorbidity increased HR risk (aOR=7.2;95%CI=2.2-23.8;p=0.000). Clinical symptoms during initial treatment such as motor weakness and seizures also increased the risk of HR (aOR=2.27;95%CI=1.28-4.01;p=0.001) and (aOR=1.93;95%CI=1.02-3.62;p=0.037). Meanwhile, the availability of caregivers can reduce HR risk (aOR=0.07;CI 95=0.03-0.45;p=0.002).  
Conclusion: The incidence of HR in patients with intracranial infection within 6 months was 28.45%. Kidney disease, motor weakness and seizures are factors that can increase the risk of HR, while the availability of caregivers is a factor that can reduce the risk of HR.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mousavi, Adel
"Latar Belakang. Virchow pada 1851 mendefinisikan kraniosinostosis sebagai penutupan prematur sutura kranialis. Pasien kraniosinostosis tidak hanya mengalami kelainan kalvaria, tetapi juga gangguan lainnya. Hingga saat ini, belum ada evaluasi baku pascaoperasi. Studi ini bertujuan mengajukan metode evaluasi pascaoperasi menggunakan volume otak dari CT Scan dan aspek tumbuh kembang. Metode. Studi bersifat retrospektif menggunakan data rekam medis dan radiologis pasien kraniosinostosis yang dilakukan operasi. Variabel independen mencakup jenis kelamin, usia saat operasi, jenis kraniosinostosis, dan sutura yang terlibat. Variabel dependen mencakup volume otak dan status perkembangan. Hasil. Terdapat delapan pasien memenuhi kriteria. Nilai median usia pasien saat menjalani operasi adalah 9,5 bulan, terdiri dari lima laki-laki (62%) dan tiga perempuan (38%). Seluruh pasien mengalami peningkatan volume otak dengan rentang 0,4% hingga 29%. Terdapat lima pasien (62%) memiliki volume otak sesuai usianya dan tiga pasien lainnya memiliki volume otak yang tidak sesuai usia pascaoperasi. Tiga pasien dengan volume otak tidak normal ditemukan mencapai volume normal pascaoperasi. Tidak ada perubahan tumbuh kembang pascaoperasi. Kesimpulan. Studi ini dapat menjadi referensi bagi studi lainnya untuk mengevaluasi volume otak dan tumbuh kembang pascaoperasi pasien kraniosinostosis. Evaluasi volume otak berdasarkan CT scan dan status tumbuh kembang pasien dapat digunakan sebagai salah satu pilihan standar dalam manajemen kraniosinostosis.

Background. Craniosynostosis defined by Virchow as premature closure of cranial sutures. These patients not only have abnormal calvaria, but also other disorders. Until now, postoperative evaluation has not been standardized. This study aims to describe postoperative evaluation using brain volume and development aspects of the patients. Methods. This is a retrospective study using records and radiological examinations of patients who underwent surgery. The Independent variables are sex, age of operation, type of craniosynostosis and sutures involved. The dependent variables assessed are brain volume and developmental aspects. Results. This study includes 8 patiens. Age during surgery has median of 9.5 months that consists of 5 male (62%) and 3 female (38%). All patients experienced increased brain volume with changes from 0.4% to 29%. There were 5 patients (62%) with normal brain volume and 3 patients with abnormal brain volume at postoperative control. There were 3 patients that had preoperative abnormal brain volume who achieved normalization. There was no change in developmental aspects postoperatively. Conclusion. This study can be used as reference for assessing brain volume and growth in craniosynostosis. Study of brain volume evaluation based on CT scans and developmental status can be used as standard procedures in management of craniosynostosis."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57682
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vania Roswenda
"Pengaruh obesitas terhadap morbiditas dan mortalitas pasien kritis masih kontroversial. Tingginya massa lemak pada pasien obesitas menyebabkan disregulasi sistem imun, peningkatan risiko kadiovaskular, gangguan penyembuhan luka, dan perubahan farmakokinetik antimikroba. Walau demikian, banyak studi menunjukkan pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit - ICU) dengan obesitas memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) 18,5 – 24,9 kg/m2. Fenomena ini disebut paradoks obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan obesitas berdasarkan IMT dengan lama rawat dan kejadian infeksi nosokomial di ICU. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan subjek pasien kritis yang di rawat di ICU Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pasien dilakukan pemeriksaan antropometri kemudian IMT dihitung dan dikelompokan menjadi kelompok tidak obes dan obes berdasarkan kriteria IMT Asia-Pasifik. Pemantauan pasien dilakukan setiap hari untuk mengambil data lama rawat dan diagnosis infeksi nosokomial dari rekam medis. Dari 79 subjek, sebagian besar (65%) berjenis kelamin perempuan dengan median usia 46 tahun. Sebagian besar subjek masuk ICU pasca pembedahan (89%) dan skor qSOFA 1 (52%). Sebagian besar pasien (92%) keluar dari ICU untuk stepdown ke ruang rawat biasa dan sebanyak 8% pasien meninggal dunia. Sebanyak 5% dari seluruh subjek mengalami infeksi nosokomial berupa ventilator associated pneumonia (VAP). Tidak terdapat hubungan antara infeksi nosokomial dengan status gizi (OR (IK 95%): 1,03 (0,1-14,85)). Tidak ada perbedaan lama rawat di ICU antara pasien obesitas dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas (P = 0,663).Pengaruh obesitas terhadap morbiditas dan mortalitas pasien kritis masih kontroversial. Tingginya massa lemak pada pasien obesitas menyebabkan disregulasi sistem imun, peningkatan risiko kadiovaskular, gangguan penyembuhan luka, dan perubahan farmakokinetik antimikroba. Walau demikian, banyak studi menunjukkan pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit - ICU) dengan obesitas memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) 18,5 – 24,9 kg/m2. Fenomena ini disebut paradoks obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan obesitas berdasarkan IMT dengan lama rawat dan kejadian infeksi nosokomial di ICU. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan subjek pasien kritis yang di rawat di ICU Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pasien dilakukan pemeriksaan antropometri kemudian IMT dihitung dan dikelompokan menjadi kelompok tidak obes dan obes berdasarkan kriteria IMT Asia-Pasifik. Pemantauan pasien dilakukan setiap hari untuk mengambil data lama rawat dan diagnosis infeksi nosokomial dari rekam medis. Dari 79 subjek, sebagian besar (65%) berjenis kelamin perempuan dengan median usia 46 tahun. Sebagian besar subjek masuk ICU pasca pembedahan (89%) dan skor qSOFA 1 (52%). Sebagian besar pasien (92%) keluar dari ICU untuk stepdown ke ruang rawat biasa dan sebanyak 8% pasien meninggal dunia. Sebanyak 5% dari seluruh subjek mengalami infeksi nosokomial berupa ventilator associated pneumonia (VAP). Tidak terdapat hubungan antara infeksi nosokomial dengan status gizi (OR (IK 95%): 1,03 (0,1-14,85)). Tidak ada perbedaan lama rawat di ICU antara pasien obesitas dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas (P = 0,663).Pengaruh obesitas terhadap morbiditas dan mortalitas pasien kritis masih kontroversial. Tingginya massa lemak pada pasien obesitas menyebabkan disregulasi sistem imun, peningkatan risiko kadiovaskular, gangguan penyembuhan luka, dan perubahan farmakokinetik antimikroba. Walau demikian, banyak studi menunjukkan pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit - ICU) dengan obesitas memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) 18,5 – 24,9 kg/m2. Fenomena ini disebut paradoks obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan obesitas berdasarkan IMT dengan lama rawat dan kejadian infeksi nosokomial di ICU. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan subjek pasien kritis yang di rawat di ICU Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pasien dilakukan pemeriksaan antropometri kemudian IMT dihitung dan dikelompokan menjadi kelompok tidak obes dan obes berdasarkan kriteria IMT Asia-Pasifik. Pemantauan pasien dilakukan setiap hari untuk mengambil data lama rawat dan diagnosis infeksi nosokomial dari rekam medis. Dari 79 subjek, sebagian besar (65%) berjenis kelamin perempuan dengan median usia 46 tahun. Sebagian besar subjek masuk ICU pasca pembedahan (89%) dan skor qSOFA 1 (52%). Sebagian besar pasien (92%) keluar dari ICU untuk stepdown ke ruang rawat biasa dan sebanyak 8% pasien meninggal dunia. Sebanyak 5% dari seluruh subjek mengalami infeksi nosokomial berupa ventilator associated pneumonia (VAP). Tidak terdapat hubungan antara infeksi nosokomial dengan status gizi (OR (IK 95%): 1,03 (0,1-14,85)). Tidak ada perbedaan lama rawat di ICU antara pasien obesitas dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas (P = 0,663).

There are still many controversies regarding the impact of obesity on morbidity and mortality of the critically ill patient. Immune dysregulation, increased cardiovascular risk, impaired wound healing and changes antimicrobial pharmacokinetics can all be attributed to increased fat mass in obese individuals. Even so, numerous studies show increased survival of obese critically ill patiens compared to normal BMI. This phenomenon is known as the obesity paradox. This study aims to see the relationship between obesity with ICU Length of Stay and nosocomial infection in critically ill patient of RSUPN Cipto Mangunkusumo. Subjects’ anthropometric measurements were taken and then grouped into obese or normal BMI group based on Asia-Pacific BMI classification. Length of stay and diagnosis of nosocomial infection were recorded during daily follow up while the subjects were still admitted in the ICU. There is a total of 79 subjects, mostly female (65%) with median age of 46 years. Most patients were admitted to the ICU following surgery (89%) with a qSOFA score of 1 (52%). 92% of patients stepdown from the ICU with the remaining 8% died. 5% of patients had nosocomial infection, all of them being ventilator associate pneumonia. There is no significant relationship between rate of nosocomial infection and obesity status (OR (95% CI): 1,03 (0,1-14,85)). The median length of stay for both subject groups is 2 days. There is no difference in ICU length of stay between obese patients and normal BMI (p=0,663)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ermi Wahyu Haryani
"Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) merupakan penyakit multisistemik yang melibatkan kaskade imunologi, inflamasi, dan koagulasi. Biomarker di sirkulasi yang dapat memberikan informasi mengenai kondisi inflamasi dan status imun dapat digunakan dalam mendiagnosis dan menilai prognosis pasien COVID-19. Parameter hematologi rutin, mudah dilakukan, biaya terjangkau dan cepat, sehingga diharapkan dapat memberikan informasi awal sistem imun pasien yang dapat dihubungkan dengan outcome penyakit. Nilai RNL, RML dan RTL dapat mendeteksi dini kecurigaan perburukan kondisi pasien COVID-19. Penelitian ini menggunakan desain nested case-control yang melibatkan 206 data subjek yang terdiri atas 141 subjek luaran baik dan 65 subjek luaran buruk. Dijumpai perbedaan bermakna nilai RNL, RML dan RTL antara kelompok luaran baik dan buruk. Nilai titik potong optimal RNL, RML dan RTL berturut-turut adalah ≥5,43; ≥0,46 dan ≥196,34 untuk mendiskriminasi luaran buruk. Area Under Curve (AUC) untuk RNL adalah 0,825 (0,766-0,884), sensitivitas 76,9%, spesifisitas 73,8%; AUC RML 0,763 (0,692-0,833), sensitivitas 73,8%, spesifisitas 68,1% dan AUC RTL 0,617 (0,528-0,705), sensitivitas 63,1%, spesifisitas 60,3%. Usia >30 tahun (OR=2,59; IK95% 1,34-5,02), adanya komorbid (OR=2,21; IK95% 1,28-3,81), RNL ≥5,43 (OR=4,60; IK95% 2,07-10,26) dan RML ≥0,46 (OR=2,09; IK95% 0,93-4,67) berhubungan dengan luaran buruk pasien COVID-19.

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) is a multisystemic disease involving immunologic, inflammatory, and coagulation cascades. Biomarkers in circulation which can provide information on inflammatory conditions and immune status can be used in diagnosing and assessing the prognosis of COVID-19 patients. Hematology parameters are routinely performed, easy, affordable and fast, so it can provide preliminary information on the patient's immune system that linked to disease outcomes. NLR, MLR and TLR values can detect early suspicion of worsening conditions of COVID-19 patients. This study used a nested case-control design involving 206 subjects data consisting of 141 subjects with good outcomes and 65 subjects poor outcomes. A significant difference was found in the values of NLR, MLR and TLR between the two groups. The optimal cut-off point values of NLR, MLR and TLR were ≥5.43; ≥0.46 and ≥196.34, respectively, to discriminate against poor outcomes. The Area Under Curve (AUC) for NLR was 0.825 (0.66-0.884), sensitivity 76.9%, specificity 73.8%; MLR was 0.763 (0.692-0.833), sensitivity 73.8%, specificity 68.1% and TLR was 0.617 (0.528-0.705), sensitivity 63.1%, specificity 60.3%. Age >30 years (OR=2.59; 95% CI 1.34-5.02), presence of comorbidities (OR=2.21; 95% CI 1.28-3.81), NLR ≥5.43 (OR=4.60; 95% CI 2.07-10.26) and MLR ≥0.46 (OR=2.09; 95% CI 0.93-4.67) were associated with poor outcomes of COVID-19 patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Hayati
"Anemia didefinisikan sebagai rendahnya kadar hemoglobin di dalam darah. Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar di Indonesia. Dari berbagai etiologi anemia, thalassemia merupakan hemoglobinopati kuantitatif yang diturunkan yang memiliki prevalensi tinggi di negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status hemoglobin pada pasien thalassemia di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta dan hubungannya dengan usia dan jenis kelamin. Sebanyak 640 hasil pemeriksaan darah lengkap diperoleh dari pasien rawat jalan yang menderita thalassemia dari Pusat thalassemia di RSUPNCM pada bulan Mei 2012.
Berdasarkan analisis statistik, ditemukan bahwa hampir seluruh pasien thalassemia yang datang mengalami anemia (638 pasien), dan mayoritas menderita anemia derajat sedang. Ditemukan pula asosiasi antara usia dan derajat anemia ketika membandingkan antara anemia sedang dengan anemia berat. (p = 0.000). Ditemukan pula korelasi negatif (Spearman rho -0.212) antara usia dan kadar hemoglobin (p = 0.000). Namun demikian, tidak ditemukan asosiasi antara jenis kelamin dengan derajat anemia maupun kadar hemoglobin (masing-masing p = 0.196; 0.557). Hasil studi ini memberikan gambaran terkini mengenai status anemia pasien thalassemia dan dapat digunakan dalam memberikan pelayanan terbaik kepada passion thalassemia.

Anemia, defined as a low level of hemoglobin concentration in the blood, is a major public health problem. Among the many causes of anemia, thalassemia, an inherited quantitative hemoglobinopathy, is one that is highly prevalent in south-east Asian countries such as Indonesia. This study aimed to find out the hemoglobin status of thalassemia patients in RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta and its relationship with age and gender. As many as 640 complete blood count results from outpatients previously diagnosed with thalassemia from the hospital?s Thalassemia Center during May 2012 were obtained for analysis. From statistical analyses, we concluded almost all thalassemia patients were anemic (638 patients), most of which experience moderate anemia.
From statistical testing, there proved to be an association between age and severity of anemia when compared between moderate and severe anemia (p = 0.000). A negative correlation (Spearman?s rho -0.212) was seen between age and hemoglobin level (p = 0.000). Meanwhile, no association was found between gender and severity of anemia or hemoglobin level (p = 0.196; 0.557, respectively). The results of this study provide the most recent information on the current status of anemia among thalassemia patients and can be used in the approach towards thalassemia patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>