Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 161493 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dian Novianti
"Latar Belakang: Obesitas merupakan kondisi inflamasi kronik yang dapat mengakibatkan penurunan massa otot dan kekuatan genggam tangan. Salah satu nutrisi yang berperan untuk meningkatkan sintesis protein dan menurunkan degradasi protein, yaitu eicosapentaenoic acid (EPA). Penelitian ini bertujuan untuk melihat korelasi antara asupan EPA dengan massa otot dan kekuatan genggam tangan pada karyawan kantoran dengan obesitas.
Metode: Penelitian potong lintang ini dilakukan pada subjek karyawan kantoran dengan obesitas. Asupan EPA dinilai dengan food frequency questionnaire semi kuantitatif. Massa otot diukur dengan menggunakan multifrequency bioelectrical impedance analysis. Sedangkan, kekuatan genggam tangan diukur menggunakan electric dynamometer.
Hasil: Penelitian ini mencakup 41 subjek penelitian yang memiliki median usia 35 (21-56) tahun dengan jumlah subjek perempuan lebih banyak dibandingkan dengan subjek laki-laki. Subjek penelitian dengan obesitas derajat 1 sebanyak 16 orang (39%) dan obesitas derajat 2 sebanyak 25 orang (61%). Subjek memiliki rerata asupan EPA sebesar 152,3±64,64 mg. Subjek penelitian memiliki median massa otot sebesar 19,8 (15,3-46,5) kg dan median kekuatan genggam tangan sebesar 24,5 (17,8-42,9) kg. Penelitian ini mendapatkan nilai koefisien korelasi cukup dan signifikan antara asupan EPA dengan massa otot (r=0,335, p=0,032). Sedangkan, tidak didapatkan korelasi yang bermakna antara asupan EPA dengan kekuatan genggam tangan.
Kesimpulan: Terdapat korelasi bermakna antara asupan EPA dengan massa otot pada karyawan kantoran dengan obesitas. Namun, tidak didapatkan korelasi antara asupan EPA dengan kekuatan genggam tangan.

Background: Obesity is a chronic inflammatory condition that can lead to decrease muscle mass and handgrip strength. One of the nutrients that plays role in increasing protein synthesis and reducing protein degradation is eicosapentaenoic acid (EPA). This study aims to investigate the correlation between EPA intake with muscle mass and handgrip strength in office workers with obesity.
method: This cross-sectional study was conducted on the subject of office workers with obesity. EPA intake was assessed with semi-quantitative food frequency questionnaire. Muscle mass was measured using a multifrequency bioelectrical impedance analysis. Meanwhile, handgrip strength was measured using a electric dynamometer
Results: This study included fourty one subjects with a median age of 35 (21-56) years old, mostly were female subjects. There were 16 people with obesity grade 1 (39%) and 25 people with obesity grade 2 (61%). Average EPA intake was 152,3±64,64 mg. The subjects had a median muscle mass of 19,8 (15,3-46,5) kg and median handgrip strength of 24,5 (17,8-42,9) kg. There was adequate correlation between EPA intake and muscle mass (r=0,335, p=0,032). There was no significant correlation between EPA intake and handgrip strength
Conclusion: There was a significant correlation between EPA intake muscle mass in office workers with obesity. However, there was no correlation between EPA intake and handgrip strength.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gabriella Nurahmani Putri
"Latar Belakang: Obesitas merupakan salah satu kondisi yang sering ditemukan pada penduduk dewasa di Indonesia, di mana 29,3% di antaranya adalah perempuan. Individu obesitas dapat mengalami penurunan massa otot yang disebabkan oleh inaktivitas dan penumpukan lemak yang menghambat proses sintesis otot. Jika tidak ditangani, obesitas dapat menyebabkan berbagai komplikasi, salah satunya adalah sarkopenia obesitas. Sarkopenia obesitas adalah kondisi yang ditandai dengan obesitas dan penurunan fungsi dan massa otot, terdiagnosis dengan  IMT >25 kg/m2, skeletal muscle index (SMI) yang menurun, dan kekuatan genggam tangan atau status performa yang rendah. Sarkopenia lebih sering terdeteksi pada lansia, namun penurunan massa otot sudah dapat terjadi sejak usia dewasa. Penelitian ini melihat apabila perempuan dewasa dengan obesitas sudah memiliki tanda-tanda sarkopenia obesitas seperti penurunan massa otot, SMI, dan hubungannya terhadap kekuatan genggam tangan.
Metode: Studi ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan pada 64 karyawati obesitas RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Massa otot diukur menggunakan body impedance analysis dan skeletal muscle index dihitung menggunakan massa otot dibagi dengan tinggi badan (m2). Kekuatan genggam tangan dihitung menggunakan dinamometer tangan. Analisis hubungan massa otot dan skeletal muscle index dengan kekuatan genggam tangan dihitung menggunakan uji korelasi Pearson.
Hasil: Dari 64 subjek perempuan dewasa obesitas, 85,7% di antaranya memiliki massa otot yang rendah, dengan korelasi yang positif terhadap kekuatan genggam tangan kiri (p < 0,05, r = 0,354) dan tangan kanan (p < 0,05, r = 0,401). Namun hasil juga menunjukkan bahwa SMI subjek tidak memiliki korelasi dengan kekuatan genggam tangan mereka (p > 0,05), yang dapat disebabkan karena tinggi badan subjek yang lebih pendek dibandingkan standar tinggi sesuai usia.
Kesimpulan: Hasil penelitian ini mendukung hipotesis bahwa perempuan obesitas memiliki kadar massa otot yang rendah, yang jika menetap dapat menyebabkan penurunan kekuatan genggam tangan, sehingga meningkatkan kerentanan mereka untuk mengidap sarkopenia obesitas.

Background: Obesity is a condition prevalent in Indonesian adults, in which 29,3% of them are women. Obesity may come with decreased muscle mass due to inactivity and inhibition of protein synthesis by fat. In women, decreased muscle mass may also be caused by reduced estradiol. Obesity may lead to complications such as diabetes mellitus type 2, heart disease, stroke, osteoarthritis, and sarcopenic obesity. Sarcopenic obesity is a condition characterized by obesity and a decrease muscle mass and function, seen through body mass index of > 25 kg/m2, reduced skeletal muscle index (SMI), and reduced handgrip strength or physical performance. Sarcopenia is more prevalent in the elderly, but previous studies have proven that decreases in muscle mass begins earlier. This study was done to see if adult obese female workers in Dr. Cipto Mangunkusumo hospital have already experienced a decrease in muscle mass, SMI, and their correlation with handgrip strength.
Method: This cross-sectional study was done on  64 obese female adult workers in Dr. Cipto Mangunkusumo hospital. Their muscle mass was measured using body impedance analysis and their skeletal muscle index was calculated by their muscle mass divided by their height (m2). Their handgrip strength was measured using a hand dynamometer. Analysis of the correlation of muscle mass and skeletal muscle with their handgrip strength was done using Pearson correlation.
Result: Of 64 obese female subjects, 85,7% of them have decreased muscle mass. Their muscle mass has positive correlation with both their left handgrip strength (p < 0,05, r = 0,354) and right handgrip strength (p < 0,05, r = 0,401). However, this study shows that SMI of subjects are not correlated with their handgrip strengths (p > 0,05). This can be caused by the subjects’ height being lower than the national age-standardized height.
Conclusion: Therefore, the results of this study supports the hypothesis that obesity is associated with lower muscle mass which could subsequently reduce handgrip strength, which increases their risk of having sarcopenic obesity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Maryam
"Latar Belakang: Obesitas merupakan masalah global yang prevalensinya terus meningkat, terutama pada individu sedenter.  Peningkatan lemak viseral pada obesitas berperan penting dalam terjadinya kelainan metabolik, seperti hiperurisemia. Hiperurisemia dapat mengakibatkan disfungsi endotel yang menyebabkan aterosklerosis. Studi ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara lemak viseral dan asam urat pada pekerja kantor di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.
Metode: Studi potong lintang ini dilakukan pada 92 pekerja kantor dengan obesitas (IMT ≥25 kg/m2) di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Pengukuran lemak viseral menggunakan bioelectrical impedance analysis (BIA) seca mBCA 525, dengan lemak viseral ≥2,3 L pada laki-laki; ≥1,7 L pada perempuan menunjukkan peningkatan lemak viseral. Faktor komorbiditas juga diobservasi pada studi ini.
Hasil: 29% subjek dengan hiperurisemia dan 86% subjek dengan lemak viseral yang tinggi. Median lemak viseral 2,8 L dan rerata asam urat serum 5,7 mg/dL. Komorbid tertinggi, yaitu dislipidemia, disusul dengan hipertensi, merokok, dan DM. Terdapat korelasi positif yang signifikan dengan kekuatan lemah antara lemak viseral dan asam urat serum (r=0,363; p<0,001).
Kesimpulan: Ditemukan korelasi positif yang signifikan dengan kekuatan lemah antara lemak viseral dan asam urat serum pada pekerja kantor dengan obesitas

Background: Obesity is an increasing, global public health issue, largely in sedentary lifestyle. Increased visceral fat in obesity has an important role in metabolic disorders, including hyperuricemia. Hyperuricemia can result in endothelial dysfunction that causes atherosclerosis. This study examined correlation between visceral fat and uric acid in obese office workers at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital.
Method: This cross sectional study involving 92 office workers with obesity (BMI ≥25 kg/m2) at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Visceral fat (VF) was measured using bioelectrical impedance analysis (BIA) seca mBCA 525, and VF ≥2,3 L in men; ≥1,7 L in women was defined as increased VF. The frequencies of comorbidity were also investigated.
Results: 29% of subjects with hyperuricemia and 86% of subjects with increased VF. Median VF was 2.8 L and mean serum uric acid was 5.7 mg/dL. The highest comorbidity is dyslipidemia, followed by hypertension, smoking, and DM. There is a significant positive weak correlation between visceral fat and serum uric acid (r=0.363; p<0.001).
Conclusion: This study shows a significant positive weak correlation between visceral fat and serum uric acid in office workers with obesity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Syaufi Zahrah
"Prevalensi obesitas di Indonesia menunjukkan peningkatan yang bermakna dari tahun ke tahun, termasuk di dalamnya prevalensi obesitas sentral yang dapat diukur melalui lingkar pinggang. Penelitian ini merupakan penelitian dengan desain potong lintang yang bertujuan untuk melihat korelasi antara asupan energi total, asupan lemak, dan lingkar pinggang dengan kadar HbA1c pada obesitas. Penelitian dilakukan di kantor Balai Kota DKI Jakarta dari akhir bulan November sampai Desember 2013. Pengambilan subyek dilakukan dengan cara consecutive sampling, didapatkan 47 subyek yang memenuhi kriteria penelitian. Karakteristik subyek yang diambil adalah usia, jenis kelamin dan indeks massa tubuh (IMT). Variabel data yang diteliti adalah asupan energi total, asupan lemak, lingkar pinggang, dan kadar HbA1c.
Hasil penelitian didapatkan subyek terbanyak berusia antara 36-50 tahun (93,6%), sebagian besar berjenis kelamin perempuan sebanyak 27 subyek (57,4%), dan sebanyak 35 subyek (74,5%) termasuk kategori obes I, karena sebagian besar subyek berada pada rentang usia 36 sampai 50 tahun, maka selanjutnya analisis data dan pembahasan dilakukan pada 44 subyek dengan rentang usia tersebut. Asupan energi total 32 subyek (72,7%) dibawah AKG (˂ 70% AKG). Median (min-maks) asupan energi total adalah sebesar 1225,8(766,0-4680) kkal. Sebagian besar subyek penelitian mengonsumsi lemak lebih dari persentase KET yang dianjurkan yaitu sebanyak 42 orang subyek (95,5%). Seluruh subyek laki-laki dan sebagian besar subyek perempuan (84%) memiliki LP lebih. Rerata kadar HbA1c pada subyek laki-laki adalah 6,3±0,2% dan perempuan 6,3±0,3%, dan hampir sebagian besar (68,2%) memiliki kadar HbA1c berisiko tinggi. Terdapat korelasi negatif tidak bermakna antara asupan energi total dengan kadar HbA1c pada subyek laki-laki (r=-0,15, p=0,536) dan korelasi positif tidak bermakna pada subyek perempuan (r=0,28, p=0,898). Korelasi negatif tidak bermakna dijumpai antara asupan lemak dengan kadar HbA1c pada seluruh subyek (r=-0,06, p=0,687). Korelasi positif tidak bermakna antara lingkar pinggang dengan kadar HbA1c terdapat pada seluruh subyek (r=0,18, p=0,236).

The prevalence of obesity in Indonesia is increasing and also the prevalence of central obesity which can be measured by waist circumference. The aim of this cross sectional study was to find the correlation between total energy intake, fat intake, and waist circumference with HbA1c levels in obes subject. Data collection was conducted during November to December 2013 in the institution of Balaikota DKI Jakarta. The subjects was obtained by consecutive sampling, and 47 subjects who meet study criteria were enrolled in this study. The data collection were characteristics of the subjects including age, gender and body mass index (BMI), as well as total energy intake, fat intake, waist circumference, and HbA1c levels.
The results showed the highest age between 36-50 years (93.6%), majority of the subjects were female (57.4%), and catagorized as obese I (74.5%). Because most of the subjects were in the range of age 36 to 50 years, the data analysis and discussion conducted on 44 subjects. Most of the subject had total energy intake under RDI requirements, i.e., 13 people (68.4 %) of male and 19 subjects (76%) of female subjects. Most of the subjects (42 subjects, 95.5%) had fat intake over recommended percentage of total energy requirement. All of the male and most of female subjects (84%) have waist circumference greater than the normal criteria. Mean of HbA1c levels were 6.3±0.2%, for male subjects and almost the same levels for female subjects, while 68.2% of the subjects were categorized as high risk. The were no significant negative correlation between total energy intake and HbA1c levels in male subjects (r =-0.15, p=0,536) and no significant in female subjects (r=0.28, p=0.898). There were no significant negative correlation between fat intake and HbA1c levels in all subjects (r=-0.06, p=0.687), while non significant positive correlation between waist circumference and HbA1c levels were found in all subjects (r=0.18, p=0.236).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ikram Picaso
"Obesitas merupakan suatu trend yang semakin banyak di dunia. Hal ini terjadi karena banyak faktor seperti junk food, globalisasi, dan penurunan aktivitas fisik. Obesitas sendiri merupakan faktor terbesar terjadinya Osteoartritis (OA) lutut. Otot quadriceps adalah salah satu otot yang melindungi sendi lutut. Pasien OA lutut ditemukan memiliki kelemahan otot quadriceps. Hubungan antara obesitas dan OA lutut serta hubungan antara OA lutut dengan kekuatan otot quadriceps sudah banyak diteliti, namun hubungan antara IMT dan kekuatan otot quadriceps masih belum jelas. Penelitian ini diadakan dengan tujuan untuk mengetahui hubungan antara Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan kekuatan otot quadriceps pada pasien obesitas dengan OA lutut. Penelitian ini menggunakan desain studi cross-sectional secara analitik. Populasi subjek penelitian merupakan pasien obesitas dengan OA lutut di poli Rehabilitasi Medik RSCM. Data subjek penelitian diambil dari rekam medis elektronik lalu diskrining menggunakan kriteria eligibilitas sehingga didapatkan 18 subjek penelitian berdasarkan jumlah minimum sampel. Analisis data digunakan korelasi spearman di software SPSS. Hubungan dinyatakan bermakna secara statistik apabila p<0.05. Proses analisis data dengan korelasi spearman pada variabel Indeks Massa Tubuh (IMT) dan kekuatan otot quadriceps menghasilkan nilai p<0.05 dengan nilai rho -0,498. Hasil dari analisis data menunjukkan bahwa terdapat inverse correlation antara Indeks Massa Tubuh (IMT) dan kekuatan otot quadriceps yang bermakna secara statistic, maka semakin besar IMT seseorang, semakin lemah kekuatan otot quadriceps subjek pada populasi pasien obesitas dengan OA lutut.

Obesity is an increasing trend in today’s world. This happens because various factors such as increase in availability of junk food, globalization, and decrease in physical activity. Obesity is one of the biggest risk factor for knee OA. Quadriceps muscle is one of the muscle that protects the knee joint. There is a lot of findings of weakening in quadriceps muscle strength in knee OA patients. There is a lot of evidence for the correlation of obesity and knee OA, there is also a lot of evidence for the correlation of knee OA and quadriceps muscle strength, but there is very little evidence for the correlation between BMI and quadriceps muscle strength. This study is made to find the correlation between BMI and quadriceps muscle strength in obese patients with knee OA. This study has an analytic cross-sectional design. The population of this study’s subject is obese patients with knee OA in the Department of Medical Rehabilitation of dr. Cipto Mangunkusumo Hospital. Subject’s data is acquired through electronic medical records and then screened using a particular eligibility criteria. This study acquired 18 subjects according to the minimum study sample. Data was analysed using spearman correlation in SPSS software. The correlation is stated statistically significant if p<0,05. Data analysis using spearman correlation to search for the correlation between BMI variable and quadriceps muscle strength variable shows a result with p<0.05 and a rho of -0,498. Based on the results of data analysis, it can be concluded that there is an inverse correlation between BMI and quadriceps muscle strength that’s statistically significant. Therefore, in obese patients with knee OA, the higher the BMI means the lower the strength of quadriceps muscle is."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadira Putri Pinasthika
"Dua persen dari 48 juta penyandang cacat menderita tuna grahita, dimana penyebab terbesar adalah kekurangan Arachidonic Acid AA , Docosahexaeonic Acid DHA dan Eicosapentanoic Acid EPA yang berperan dalam perkembangan otak. Single Cell Oil, yaitu pemanfaatan mikroorganisme satu sel, dapat menjadi solusi, seperti kapang Aspergillus oryzae, untuk menghasilkan AA, DHA EPA. Kapang A. oryzae dikultivasi pada medium Potato Dextrose Agar PDA, Czapek Dox Agar CDA dan Malt Extract Agar MEA, lalu divariasikan waktu inkubasinya selama 2,4,5,6 dan 7 hari pada medium yang optimal. Lipid kapang diekstrak menggunakan etanol dan n-heksana. Karakterisasi lipid kapang dilakukan dengan metode kromatografi gas GC. Medium yang paling optimal adalah CDA dengan produktivitas lipid 21,516. Waktu inkubasi yang paling optimal pada medium CDA adalah 5 hari dengan produktivitas lipid sebesar 33,59 yang mengandung 58,3 asam lemak tak jenuh. Komposisi asam lemak tak jenuh yang dihasilkan pada hari ke-5 adalah 29,2 oleat; 29,1 linoleat dan 0,046 EPA.

Two percent of the 48 million people with disabilities suffer from mental illness, where the biggest cause is the lack of Arachidonic Acid AA , Docosahexaeonic Acid DHA and Eicosapentanoic Acid EPA that play a role in brain development. Single Cell Oil, which utilizes one cell microorganism, can be a solution, such as Aspergillus oryzae, to produce AA, DHA EPA. A. oryzae was cultivated on Potato Dextrose Agar PDA, Czapek Dox Agar CDA and Malt Extract Agar MEA, then the incubation time are 2,4,5,6 and 7 days in optimal medium. Lipid were extracted using ethanol and n hexane. The characterization of lipid was done by gas chromatography GC method. The most optimal medium is CDA with a lipid yield of 21.516. The most optimal incubation time on CDA medium was 5 days with 33.59 lipid productivity containing 58.3 unsaturated fatty acid. The unsaturated fatty acid composition produced on the 5th day was 29.2 oleate 29.1 linoleate and 0.046 EPA."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2017
S67559
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raphael Kosasih
"Kanker payudara merupakan penyebab kematian tersering pada wanita. Salah satu faktor risiko kanker payudara adalah obesitas. Obesitas merupakan masalah kesehatan global yang diderita 13% populasi dunia. Sekitar 56 % pasien kanker payudara mengalami obesitas. Sebagian besar pasien kanker payudara dengan obesitas mengalami peningkatan berat badan setelah diagnosis dan semakin memberat saat mejalani terapi anti-kanker. Peningkatan massa lemak berperan dalam progresivitas sel kanker dan resistensi kanker terhadap kemoradiasi. Asam lemak omega-3, yaitu eicosapentaenoic acid (EPA) dan docosahexaenoic acid (DHA) merupakan nutrien spesifik dalam terapi medik gizi pasien kanker. Penelitian menunjukkan EPA dan DHA dapat memiliki efek anti-kanker, antiinflamasi, dan anti-obesitas yang dapat menurunkan massa lemak, berat badan, dan meningkatkan sensitivitas terapi anti-kanker. Terapi medik gizi dilakukan pada empat pasien kanker payudara dengan obesitas dengan rentang usia 44–58 tahun. Satu pasien tidak mencapai target asupan energi dan satu pasien melebihi target asupan energi, dengan rentang rerata asupan 23–31 kkal/kgBB. Satu pasien tidak mencapai target asupan protein dengan rentang rerata asupan 1–1,4 g/kgBB. Asupan nutrien spesifik asam amino rantai cabang keempat pasien belum mencapai 10 g/hari dengan rentang rerata asupan 8,3–9,3 g/hari. Asupan EPA dan DHA keempat pasien memiliki rentang rerata 1,8–1,9 g/hari. Tiga dari empat pasien mengalami penurunan berat badan dan free fat mass index (FFMI), satu pasien mengalami peningkatan BB dan FFMI, dan dua dari empat pasien mengalami peningkatan kekuatan genggam. Satu pasien mengalami peningkatan C-reactive protein (CRP) dan satu pasien mengalami penurunan CRP. Keempat pasien memiliki rasio neutrofil limfosit diatas 3,49 yang mengindikasikan peningkatan risiko rekurensi. Keempat pasien mengalami toksisitas akur ringan selama radioterapi. Kendala utama dalam aplikasi terapi medik gizi pada keempat pasien adalah tingkat kepatuhan terhadap preskripsi yang semakin menurun menjelang minggu akhir pemantauan Dibutuhkan tatalaksana gizi lebih lanjut pasca radiasi untuk mencapai target nutrisi disertai peningkatan aktivitas fisik untuk mempertahankan atau meningkatkan massa otot.

Breast cancer is a leading cause of death in women. One risk factor for breast cancer is obesity, a global health problem affecting 13% of the world's population. About 56% of breast cancer patients are obese. Most breast cancer patients with obesity gain weight after diagnosis and get worse while undergoing anti-cancer therapy. Increased fat mass plays a role in the progression of cancer cells and cancer resistance to chemoradiation. Omega-3 fatty acids, namely eicosapentaenoic acid (EPA) and docosahexaenoic acid (DHA), are specific nutrients in medical nutrition therapy for cancer patients. Research shows that EPA and DHA have anti-cancer, anti-inflammatory, and anti-obesity effects that can reduce fat mass and body weight and increase the sensitivity of anti-cancer therapy. Medical nutrition therapy was done on four obese breast cancer patients aged 44–58. One patient did not reach the energy intake target, and one exceeded the energy intake target, with a mean intake range of 23–31 kcal/kg BW. One patient did not achieve the target protein intake with an average intake of 1–1.4 g/kg BW. The intake of specific nutrients for branched-chain amino acids in the four patients had not yet reached ten g/day with a mean intake range of 8.3–9.3 g/day. The EPA and DHA intakes of the four patients had a mean range of 1.8–1.9 g/day. Three of four patients experienced weight loss and free fat mass index (FFMI), one patient experienced an increase in weight and FFMI, and two of four patients experienced an increase in grip strength. One patient had an increase in C-reactive protein (CRP), and one had a decrease in CRP. All four patients had a neutrophil-lymphocyte ratio above 3.49, indicating an increased risk of recurrence. All four patients experienced mild acute toxicity during radiotherapy. The main obstacle in applying medical nutrition therapy to the four patients was the level of adherence to prescriptions which decreased towards the end of the monitoring week. Further nutritional management after radiation was needed to achieve nutritional targets with increased physical activity to maintain or increase muscle mass."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nani Utami Dewi
"ABSTRAK
Prevalensi obesitas di Indonesia makin meningkat . Obesitas yang terjadi akibat energi yang masuk lebih besar daripada yang dikeluarkan akan menyebabkan peningkatan massa lemak total tubuh, termasuk massa lemak viseral. Massa lemak dapat melatarbelakangi penyakit degeneratif. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui korelasi rasio asupan energi (AE) terhadap kebutuhan energi total (KET) individu dengan massa lemak viseral dan kadar HbA1c plasma pada subjek obesitas di Indonesia.
Penelitian ini merupakan studi potong lintang, yang dilakukan di kantor Balaikota DKI Jakarta pada bulan September sampai dengan Oktober 2014. Subjek penelitian didapatkan melalui Simple Random Sampling, sebanyak 52 orang yang sesuai kriteria penelitian ditetapkan sebagai subjek penelitian. Didapatkan hasil sebagian besar subjek termasuk usia 46–55 tahun (55,8%), sebagian besar subjek penelitian adalah perempuan (65,4%), dengan IMT sama besar antara obes 1 dan 2. Lebih dari separuh subjek penelitian mempunyai rasio AE terhadap KET yang kurang karena under report pada pelaporan asupan per hari. Hampir seluruh subjek laki-laki mempunyai massa lemak viseral berlebih (94,4%), sementara pada subjek perempuan sebagian besar mempunyai massa lemak viseral normal. Seluruh subjek mempunyai massa lemak total berlebih. Kadar HbA1c plasma pada 75% subjek termasuk kategori berisiko DM. Tidak terdapat korelasi yang bermakna antara rasio AE terhadap KET dengan massa lemak viseral (r = 0,1; p=0,7). Korelasi antara rasio AE terhadap KET dengan kadar HbA1c didapatkan hasil bermakna dengan kekuatan sedang untuk usia 46–55 tahun (r=0,42;p=0,02). Tidak terdapat korelasi yang bermakna antara massa lemak viseral dengan kadar HbA1c plasma.

ABSTRAK
The prevalence of obesity in Indonesia is increasing. Obesity, as the consequence of greater energy ingested than energy expended, cause an increase in total body fat mass including visceral fat mass that underlie degenerative diseases. The aim of this study was to find correlation between ratio of energy intake (EI) to individual total energy requirement (TER) with visceral fat mass and HbA1c levels in obese subject. The method used in this study was cross sectional, held in the institution of Balaikota DKI Jakarta during September to October 2014. The subject was obtained by simple random sampling and 52 subjects who meet study criteria were enrolled in this study. The results showed most of subjects age between 46–55 years (55,8%), majority of subjects were female (65,4%), with the same number of subjects categorized as obese 1 and obese 2. More than half of this subjects have ratio of EI to TER less than normal. Majority of the male subject have visceral fat mass greater than normal criteria (94,4%), while most of female subjects have normal criteria of visceral fat mass. All of the subjects have greater level of total body fat mass. Level of HbA1c in most of the subject are normal categories (75%). Ratio EI to TER did not correlate significantly with visceral fat mass (r=0,1; p=0,7). There were significant positive correlation between ratio EI to TER with HbA1c level in age of 46–55 year (r=0,42;p=0,02). Visceral fat mass did not correlate significantly with HbA1c plasma levels."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Mei Lestari
"Tindakan bedah perlu dilakukan pada semua penderita Tetralogi Fallot (TF) untuk melakukan koreksi kelainan anatomi. mengatasi simptom serta memperbaiki status hemodinamik. Keberhasilan bedah total koreksi tidak hanya terlihat pada berkurangnya tekanan pada ventrikel kanan, tidak adanya defek residual, tapi juga preservasi miokardium yang merupakan hal penting untuk morbiditas dan mortalitas. Timbulnya radikal bebas pada saat iniuri reperfusi adalah salah satu penyebab menurunnya fungsi ventrikel yang terjadi sewaktu pembedahan pada penderita TF. Pada percobaan binatang terdapat hubungan antara diet asam lemak tak jenuh dengan produksi radikal bebas. Timbul pemikiran apakah ada hubungan antara komposisi asam lemak tak jenuh atau rasio asam arakidonat (AA) dan asam ekosapentanoat(EPA) plasma dengan produksi radikal bebas dan fungsi ventrikel pascabedah jantung TF Dilakukan penelitian cross sectional terhadap 26 penderita TF yang menjalani bedah koreksi di RS Jantung Harapan Kita periode Mei s/d November 1997, dari jumlah ini 6 orang dikeluarkan dari penelitian oleh karena telah menjalani bedah pirai sebelumnya dan saturasi oksigen> 85%. Terdapat 20 penderita terdiri 10 laki-laki dan 10 wanita dengan usia 74,20±56,20 bulan. Analisa stasistik dilakukan dengan cara Wilcoxon dan Spearman rank Correlation. Hasil penelitian didapatkan kadar AA 17,34±11,15 µg. kadar EPA 1,25±0,9 pg dan rasio AA/EPA 16,62±9,42. Terdapat peningkatan yang bermakna dari lipid peroksida selama tindakan operasi ( 0,29±1,03 vs 0,61±0,28 µM, p= 0,0001) Tidak terdapat hubungan antara rasio AA/EPA dengan peningkatan radikal bebas Terdapat hubungan antara peningkatan radikal bebas darah dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri (r-0,45 dan t= 2,4) Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan bermakna antara rasio AA/EPA plasma dengan peningkatan radikal bebas, dan terdapat hubungan antara peningkatan radikal bebas darah dengan penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T57314
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astrid Miranti
"Zat yang harus terpenuhi untuk proses perkembangan sel terutama sel otak, adalah asam lemak seperti AA, DHA dan EPA. Kapang dapat menjadi sumber alternatif asam lemak tak jenuh seperti omega 3, omega 6, dan omega 9 khususnya AA, DHA dan EPA. Dalam penelitian ini, akan dilakukan penelitian mengenai variasi kondisi operasi yang sesuai untuk pertumbuhan Aspergillus oryzae dalam produksi asam lemak tak jenuh AA, DHA dan EPA dengan metode Submerged Fermentation menggunakan media sintetis dan ekstrasi bertingkat. Aspergillus oryzae akan dikultivasi pada medium PDA dengan menggunakan sumber karbon pada substrat berupa glukosa dan Ammonium sulfate serta yeast extract sebagai sumber nitrogen. Ekstraksi yang digunakan menggunakan etanol dan n-heksana.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa laju agitasi optimum untuk produksi asam lemak tak jenuh dari Aspergillus oryzae adalah 120 RPM dengan yield lipid sebesar 28,28 dan menghasilkan kadar asam lemak tak jenuh sebesar 50,36 . Laju agitasi optimum untuk produksi EPA adalah sebesar 120 RPM dengan komposisi EPA yang didapatkan sebesar 2,42. Serta pH medium optimum untuk produksi asam lemak tak jenuh dari Aspergillus oryzae adalah pH 6 dengan yield lipid sebesar 22,35 dan menghasilkan kadar asam lemak tak jenuh sebesar 45,5. Sedangkan Suhu inkubasi optimum untuk produksi asam lemak tak jenuh dari Aspergillus oryzae adalah 25°C dengan yield lipid sebesar 13,19 dan menghasilkan kadar asam lemak tak jenuh sebesar 62,15 . Jenis asam lemak tak jenuh yang diperoleh dari Aspergillus oryzae adalah oleat, linoleat, linolenat dan EPA.
There are several substances that needs to be fulfill to keep the brain cell growth such as AA, DHA and EPA. Fungi is one of the alternative source of omega 3, omega 6, omega 9 especially AA, DHA and EPA. This research variates operating condition that is suitable for the growth of Aspergillus oryzae in AA, DHA, and EPA fatty acid production with Submerged Fermentation using synthetic medium and layered extraction. Aspergillus oryzae will be cultivated in medium using glucose as carbon source and Ammonium sulfate and yeast extract as nitrogen source. The extraction method using ethanol and n hexane as solvent.
The result shows that optimum agitation rate for unsaturated fatty acid production of Aspergillus oryzae is 120 RPM, lipid yield 28,28 and unsaturated fatty acid content 50,36. Optimum medium pH for PUFA production of Aspergillus oryzae is 6, lipid yield 22,35 and unsaturated fatty acid content 45,5. Optimum incubation temperature for unsaturated fatty acid production of Aspergillus oryzae is 25°C, lipid yield 13,19 and unsaturated fatty acid content 62,15. Unsaturated fatty acids produced from Aspergillus oryzae are oleic, linoleic, linolenic and EPA.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2017
S68251
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>