Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 180586 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nur Rafni Rafid
"Latar belakang: Memar merupakan salah satu kekerasan fisik yang paling sering terjadi. Akan tetapi, perubahan warna memar belum cukup untuk menentukan usia memar dan sering kali bukti adanya memar tidak terlihat dengan pengamatan langsung tanpa alat. Oleh sebab itu, peneliti ingin menilai kemampulaksanaan sumber cahaya alternatif (ALS) dalam memperkirakan usia memar. Metode: Penelitian eksperimental dengan teknik consecutive sampling dengan jumlah 20 memar pada orang dewasa berkulit sawo matang. Sampel yang memenuhi kriteria akan dibekam di lengan atas kiri dan kanan di bagian sisi dalam untuk induksi memar. Memar kemudian diamati sesaat setelah induki dengan pengamatan langsung tanpa alat dan pengamatan dengan sumber cahaya alternatif (ALS) dengan panjang gelombang 430-470 nm sampai memar tidak tampak lagi dengan ALS atau paling lama hari ke-28 pengamatan. Hasil: Di awal induksi, memar berwarna merah dan merah keunguan. Memar lalu berubah warna menjadi ungu, kuning, dan coklat seiring dari hari ke hari. Perbandingan luas memar ditemukan signifikan secara statistik pada hari ke-4, hari ke-5, hari ke-6, hari ke-7, hari ke-8 dan hari ke-15. Perbandingan ada dan tidaknya memar ditemukan signifikan secara statistik pada hari ke-7 dan pada hari ke-8. Median usia memar yang diamati secara langsung tanpa alat yaitu 6 hari sedangkan median usia memar yang diamati dengan ALS yaitu 8,5 hari. Perbandingan usia memar ditemukan signifikan secara statistik dengan nilai p<0,05. Kesimpulan: Penggunaan ALS dapat memberikan gambaran yang lebih akurat dalam membantu melihat adanya memar dibandingkan dengan pengamatan langsung tanpa alat. Kata kunci: pengamatan langsung, sumber cahaya alternatif, usia memar, ukuran memar, warna memar

Introduction: Bruises are one of the most common forms of physical violence. However, the discoloration of a bruise is not sufficient to determine the age of a bruise and the evidence of a bruise is often not visible by direct observation without any tools. Therefore, the researcher aimed to assess the efficacy of alternative light sources (ALS) in estimating the age of bruising. Methods: Experimental study with consecutive sampling in tan-skinned adults. Twenty samples that meet the criteria will be cupped on the left and right upper arm on the inside for bruising induction. Then, bruises were observed after induction by direct observation without any tools and observation with an alternative light source (ALS) with wavelenght 430-470 nm until they were not visible with ALS or until the 28th day of observation. Results: Right after induction, the bruises were red and purplish in color. The bruise color then changes to purple, yellow, and brown as the day progresses. The comparison of bruise area was found statistically significant on the day-4, day-5, day-6, day-7, day-8 and day-15 observations. The comparison of the presence and absence of bruising was found to be statistically significant on day-7 and day-8 observations. The median age of bruising observed directly without tools was 6 days, while the median age of bruising observed with ALS was 8.5 days. The comparison of bruise ages was found to be statistically significant with p value <0.05. Conclusion: The use of ALS can provide a more accurate picture to see the presence of bruises compared to direct observation without tools. Keywords: alternative light source, bruise color, bruise age, bruise size, direct observation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra
"ABSTRAK
Cedera kepala traumatik merupakan penyebab kematian tersering pada kecelakaan. Trauma tumpul pada kepala dapat menimbulkan contusio cerebri berupa lesi coup dan contrecoup. Namun, mekanisme dari terjadinya lesi coup dan contrecoup belum diketahui dengan jelas. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara letak trauma tumpul pada kepala dengan terjadinya lesi coup dan contrecoup.Metode: Sampel penelitian diambil dari rekam medis jenazah dengan trauma tumpul pada kepala yang diotopsi di Departemen Forensik dan Medikolegal RSCM pada tahun 2012-2016. Peneliti kemudian mencari tahu mengenai letak trauma tumpul dan temuan contusio cerebri pada rekam medis jenazah.Hasil: Dari 97 sampel dengan trauma tumpul pada kepala, didapatkan proporsi lesi coup sebesar 5,2 , 11,3 , dan 2,1 , dan proporsi lesi contrecoup sebesar 1,0 , 15,5 , dan 2,1 pada trauma tumpul yang terjadi di depan, samping, dan belakang kepala secara berturut-turut. Hasil uji chi square menunjukkan hubungan yang bermakna antara trauma tumpul pada sisi depan p=0,005 dan samping p=0,002 kepala dengan lesi contrecoup.Pembahasan: Terjadinya lesi coup tidak selalu diikuti oleh terjadinya lesi contrecoup, dan berlaku juga sebaliknya. Hubungan bermakna antara trauma tumpul pada sisi samping kepala dengan lesi contrecoup secara teori dapat dikaitkan dengan teori sistem suspensori otak.Kesimpulan: Dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara trauma tumpul pada sisi depan dan samping kepala dengan lesi contrecoup.

ABSTRACT
Traumatic brain injury remains the most common cause of mortality in accidents. Blunt trauma in the head may cause cerebral contusion, which includes coup and contrecoup contusion. However, the mechanism of coup and contrecoup contusion formation remains unknown. This research aims to know the relationship between the position of head blunt trauma with coup and contrecoup contusion.Methods Research samples were taken from corpse medical records with head blunt trauma who had undergone autopsy in Forensics and Medicolegal Department of Cipto Mangunkusumo Hospital from 2012 2016. The position of head blunt trauma and findings of cerebral contusions were recorded.Results Out of 97 samples with head blunt trauma, the proportions for coup contusion were 5,2 , 11,3 , and 2,1 , while the proportions for contrecoup contusion were 1,0 , 15,5 , and 2,1 in blunt trauma happening at the front, side, and back part of the head respectively. Chi square tests showed significant relationships between blunt trauma of front p 0,005 and side p 0,002 part of the head with contrecoup contusion.Discussion Coup contusion is not always followed by contrecoup contusion, and vice versa. The significant relationship between blunt trauma of the side part of the head and contrecoup contusion can be explained by the theory of brain suspensory system.Conclusion This research concludes that blunt trauma of the front and side part of the head is related to contrecoup contusion."
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Warini
"Komplikasi diabetes melitus terjadi pada makrovaskuler yaitu komplikasi yang mengenai pembuluh arteri yang lebih besar, sehingga menyebabkan atheroslerosis, akibatnya menyebabkan ulkus diabetikum. Penelitin ini bertujuan untuk membandingkan instrumen bates jensen antara langsung dan tidak langsung. Desain penelitian yang digunakan deskriptif kuantitatif dan penelitian Crosssectional. Intrumen penelitian yang digunakan skala Bates Jensen berbentuk skala deskriptif. Penelitian ini dilakukan di RS Husada, RSPI Sulianti Saroso dan Wocare Clinic Bogor berjumlah 52 responden, hasil penilaian BWAT direct ratarata 31,59 dengan standar devisiasi 9,212 (95% CI 29,03-34,16), hasil penilaian indirect observer I rata-rata 31,76 dengan standar devisiasi 8,7 (095% CI 29,3-34,1), sedangkan hasil penilaian indirect observer II rata-rata 29,4 dengan standar devisiasi 9,1 (95% CI 26,9-32,01). Dengan uji anova disimpulkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara penilaian direct indirect. Penelitian ini merekomendasikan penilaian indirect sebagai alat untuk berkonsultasi pengobatan ulkus diabetikum.

Complications of diabetes mellitus that occurs in macrovascular complications of the larger arteries, causing atheroslerosis, consequently causing diabetic ulcers. This research is aimed to compare the instruments bates jensen between direct and indirect. The study design used quantitative descriptive and cross-sectional studies. Scale research instruments used Jensen Bates shaped descriptive scale. This study was conducted at Hospital Husada, Sulianti Saroso and Wocare Clinic Bogor totaled 52 respondents, direct assessment results bwat 31.59 average with standard deviation 9.212 (95% CI 29.03 to 34.16), the results of the first observer indirect assessment an average of 31.76 with a standard deviation of 8.7 (095% CI 29.3 to 34.1), while the indirect assessment observer II average of 29.4 with a standard deviation 9.1 (95% CI 26.9 -32.01). With ANOVA test concluded there was no significant difference between direct and indirect assessment. The study recommends indirect assessment as a tool to consult the treatment of diabetic ulcer.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
S55510
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosalin Damacena
"Kanker serviks merupakan salah satu jenis kanker dengan prevalensi dan penyebab kematian tertinggi di dunia. Salah satu metode pengobatan kanker serviks adalah kemoterapi dengan menggunakan doxorubicin. Doxorubicin merupakan salah satu senyawa obat kelas antrasiklin yang dapat menghambat kerja enzim Topoisomerase II. Topoisomerase II diketahui memiliki peranan dalam mempertahankan struktur kromosom. Namun, hingga saat ini pengaruh doxorubicin terhadap kromosom sel kanker belum diketahui. Perubahan struktur kromosom yang terdeteksi lebih cepat dapat menjadi pertimbangan dalam optimasi dosis doxorubicin pada kemoterapi kanker serviks. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian doxorubicin terhadap jumlah, panjang, dan luas area kromosom sel HeLa menggunakan mikroskop cahaya. Kultur sel HeLa ditumbuhkan dan dipanen kromosomnya di atas coverslip. Kultur sel HeLa kemudian diberi perlakuan doxorubicin dengan konsentrasi 4 μg/mL selama 24 jam. Kromosom metafase sel HeLa kontrol dan perlakuan kemudian dipanen dan diwarnai dengan pewarna Giemsa untuk pengamatan dengan mikroskop cahaya. Hasil pengamatan kromosom sel HeLa kontrol menunjukkan jumlah kromosom 41—75 kromosom per sel, panjang kromosom sebesar 2—5 μm, dan luas area sebesar 4—15 μm2 per kromosom. Kromosom metafase tidak diperoleh dari sel yang diberi perlakuan doxorubicin. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh pengaruh inhibisi doxorubicin terhadap aktivitas enzim Topoisomerase II sehingga terjadi kerusakan DNA yang memicu apoptosis sel.

Cervical cancer is one of the cancers with the highest prevalence in the world. One of the treatments commonly used for cervical cancer is chemotherapy using doxorubicin. Doxorubicin is one of the compounds belong to the antracycline class which responsible for inhibiting the Topoisomerase II enzyme. Topoisomerase II has also been reported to be correlated with the maintenance of chromosome structure. Nevertheless, to date, the information about the effects of doxorubicin on chromosome structure has yet to be revealed. Alterations in chromosome structure which are detected more quickly can be a consideration in optimizing the dose of doxorubicin in cervical cancer chemotherapy. This study aimed to evaluate the effects of doxorubicin on the HeLa chromosome number, length, and area using a light microscope. HeLa cell was cultured and treated with 4 μg/mL doxorubicin for 24 hours. The cells were then harvested on the coverslips. Metaphase chromosomes of HeLa cells treated with doxorubicin and the control were stained with Giemsa and finally observed by using a light microscope. The results obtained from this study showed that the number, length, and area of the control chromosomes were 41—75 chromosomes per cell, 2—5 μm, and 4—15 μm2, respectively. Furthermore, the metaphase chromosome from the cells treated with doxorubicin could not be obtained. This result indicated that the doxorubicin treatment might inhibits the activity of the Topoisomerase II enzyme, causing DNA damage that triggers cell apoptosis."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Liria Gusesha
"Diketahui penggunaan geosintetik dalam perkuatan dan stabilisasi tanah telah banyak digunakan di Indonesia pada beberapa tahun belakangan ini. Salah satu jenis geosintetik yang sering digunakan adalah geotekstil. Dalam penggunaan geotekstil sebagai bahan stabilisasi dalam suatu tanah, tentu perlu diketahui parameter kekuatan antara dua material yang akan dikombinasikan sebagai bahan perkuatan atau stabilisasi. Sudut friksi dan adhesi yang terjadi diantara kedua bidang material yang berbeda, yaitu tanah pasir dan geotekstil merupakan parameter desain dalam penggunaan geotekstil sebagai bahan perkuatan ataupun stabilisasi tanah.
Untuk mengetahui parameter desain perkuatan tersebut, dilakukan suatu penelitian pada model lapisan geotekstil woven dan non woven yang diletakkan tepat dibawah lapisan tanah pasir dan pasir kelanauan. Kemudian dilakukan uji geser langsung antara kedua material.
Dari hasil pengujian diketahui bahwa sudut friksi yang paling minimum terjadi pada pergeseran antara pasir kelanauan dengan permukaan geotekstil woven dimana jenis geotekstil ini mempunyai permukaan yang halus dan licin. Sedangkan sudut friksi maksimum terjadi antara pasir dengan geotekstil non woven, yang mana jenis geotekstil ini memiliki permukaan yang kasar.

Geosynthetics have been used as soil reinforcement in Indonesia in recent years. One of geosynthetics that is mostly used is geotextile. To use geotextile as soil reinforcement, we need to know the strength parameter between the two combined materials. Angle of friction and adhesion at the interface of the two different materials are the required design parameters.
To find those parameters, we conducted a study on the model layer of woven and non woven geotextile placed beneath the layer of sand and silty sand. A direct shear test was subsequently performed between the two materials.
From the direct shear test that conducted produce the minimum angle of friction occurs in the interface between silty sand and woven geotextile which has a smooth and slippery surface, while the maximum angle of friction occurs in the interface between sand and non woven geotextile which has a rough surface.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2010
S50665
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yopie Suryadi
"ABSTRAK
Pembangunan konstruksi bangunan sipil tidak selalu berada di atas tanah dasar
yang relatif baik, tanah lunak sebagai konsekwensi tempat pelaksanaan konstruksi
menjadi kendala terutama pada proses konsolidasi yang nilainya cukup besar
dengan waktu yang lama.
Dalam pemodelan tanah berdasarkan parameter hasil uji lapangan dan uji
laboratorium perlu ketelitian dan pemahaman yang komprehensif sehingga
diperoleh pemodelan tanah yang mendekati kondisi ideal di lapangan. Dengan
pemodelan yang akurat akan diperoleh estimasi settlement konsolidasi yang
mendekati kondisi lapangan sehingga deviasi settlement hasil analisis teori dan
pelaksanaan di lapangan bisa diminimalisir.
Dari hasil penelitian, perbaikan tanah dengan preloading dan drainase vertikal
akan mempercepat proses settlement konsolidasi. Optimalisasi desain preloading
dan drainase vertikal ( jarak spasi, kedalaman instalasi dan property material )
sangat mempengaruhi besaran settlement konsolidasi yang dihasilkan. Dengan
perencanaan perbaikan tanah yang baik, akan menghasilkan waktu konsolidasi
yang cepat dan biaya konstruksi yang ekonomis."
2011
S94198
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ferditya Harley Perdana
"Latar belakang: Resin komposit nanofill dan bulkfill memiliki tampilan warna yang estetik. Warna resin komposit dapat berubah setelah dilakukan polimerisasi dengan light curing unit. Mode penyinaran pulsa yang memberikan suhu relatif rendah pada jaringan pulpa mulai dikembangkan sebagai alternatif penyinaran konvensional atau kontinu. Tujuan: Mengetahui pengaruh penyinaran mode kontinu dan pulsa terhadap perubahan warna resin komposit nanofill serta bulkfill. Metode: Penelitian eksperimental laboratorik menggunakan 24 spesimen resin komposit yang dibagi menjadi 4 kelompok perlakuan terdiri dari 2 kelompok penyinaran (pulsa dan kontinu) dan 2 kelompok resin komposit (nanofill dan bulkfill). Spesimen berbentuk silindris dengan diameter 6 mm dan tebal 2 mm yang direndam dalam 5 ml akuades serta disimpan dalam inkubator 37˚C selama 24 jam setelah dilakukan penyinaran untuk menyelesaikan polimerisasi. Pengujian warna dilakukan sebelum dan setelah polimerisasi dengan penyinaran pada spesimen menggunakan Colorimeter sebanyak 3 kali pada sisi yang sama namun posisi berbeda lalu diambil rata-rata untuk merepresentasikan seluruh permukaannya. Hasil: ΔL*, Δa*, Δb* dan ΔE hasil penyinaran kontinu baik pada resin komposit nanofill maupun bulkfill berturut-turut berkisar -1,03 – 1,30, 0,98 – 1,78, 1,24 – 2,66, dan 2,05 – 3,37. Sebagai pembanding, resin komposit nanofill dan bulkfill menghasilkan ΔL*, Δa*, Δb*, dan ΔE masing-masing berkisar dari -1,08 – 1,16, 0,97 – 1,69, 1,30 – 2,66, dan 2,04 – 3,34. Uji statistik menggunakan Independent T-Test menunjukkan ΔL*,Δa*, Δb* dan ΔE resin komposit nanofill hasil penyinaran mode kontinu dan pulsa berbeda tidak bermakna (p>0,05). Perbedaan tidak bermakna turut pula ditemui pada ΔL*,Δa*, Δb*, dan ΔE resin komposit bulkfill hasil kedua penyinaran (p>0,05). Kesimpulan: Mode penyinaran kontinu dan pulsa menghasilkan ΔL*, Δa*, Δb*, dan ΔE resin komposit nanofill maupun bulkfill yang tidak berbeda signifikan.

Background: Nanofill and bulkfill composite resins have an aesthetic color that could changed due to light curing polymerization. Pulse-lighting mode developed as an alternative to conventional or continous one in order to reduce temperature change on dental pulp cells. Aims: To evaluate the influence of continous-lightning and pulse-lightning mode on the discoloration of nanofill and bulkfill composite resins. Methods: Twenty four composite resin specimens devided into 2 groups of lighting mode (continous and pulse) and 2 materials (nanofill and bulkfill), 6 mm in diameter and 2 mm in thick prepared, then immersed in 8mL of aquadest and keep 37˚C incubator for 24 hours post irradiation in order to completion of polymerization. Changes in color parameter were measured using CIEL*a*b* system before and after composite resin polymerization for each specimen. Data were analyzed using Independent T-Test (p<0,05). Result: The ranges of ΔL*, Δa*, Δb* dan ΔE after continous-lighting on nanofill and bulkfill were -1,03 – 1,30, 0,98 – 1,78, 1,24 – 2,66 dan 2,05 – 3,37 respectively. In comparison, ΔL*, Δa*, Δb* dan ΔE after pulse-lighting on nanofill and bulkfill were -1,08 – 1,16, 0,97 – 1,69, 1,30 – 2,66 dan 2,04 – 3,34 respectively. ΔL*,Δa*, Δb* dan ΔE of nanofill composite resin on continous-lighting compared to pulse on nanofill composite resin exhibited no significant difference (p>0,05). The same result also found in bulkfill composite resin cured with continous-lighting compared to the pulse-lighting (p>0,05). Conclusion: Discolorization of nanofill and bulkfill composite resin induced by continous-lighting and pulse-lighting did not exhibit significanct difference.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siphora Dien
"ABSTRAK
Latar belakang Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronis pada kulit. Fototerapi menggunakan sinar narrow band ultraviolet B NB-UVB adalah salah satu modalitas terapi yang efektif untuk penyakit psoriasis tipe plak derajat sedang-berat. Dosis inisial fototerapi sebaiknya ditentukan dari dosis eritema minimum DEM , namun belum ada penelitian khusus mengenai DEM pada pasien psoriasis orang Indonesia. Penelitian ini bertujuan mengetahui nilai dosis eritema minimum pada pasien psoriasis dan perbedaannya dengan orang sehat tipe kulit Indonesia. Metode Subyek penelitian terdiri atas 20 pasien psoriasis tipe plakat dan 20 orang sehat yang masing-masing dibagi dalam 2 kelompok tipe kulit Fitzpatrick IV dan V n=10 . Pada regio infraskapula dilakukan penyinaran menggunakan unit fototerapi NB-UVB wholebody Daavlin seri 3 dengan berbagai dosis antara 300-1400 mJ/cm2. Setelah 18-24 jam pasca penyinaran dosis eritema minimum dibaca oleh dua pengamat. Efek samping akibat penyinaran juga dicatat. Hasil Rerata DEM sinar NB-UVB kelompok pasien psoriasis tipe kulit IV 880 SB 181,35 mJ/cm2 dan tipe kulit V 1070 SB 125,16 mJ/cm2. Rerata DEM sinar NB-UVB kelompok orang sehat tipe kulit IV 650 SB 97,18 mJ/cm2 dan tipe kulit V 970 SB 156,70 mJ/cm2. Rerata DEM tipe kulit V lebih tinggi daripada tipe kulit IV p < 0,05 . Rerata DEM kelompok pasien psoriasis lebih tinggi bermakna dibandingkan kelompok orang sehat p < 0,05 . Tidak ditemukan efek samping pasca penyinaran pada semua subyek. Kesimpulan Pada orang Indonesia rerata DEM sinar NB-UVB tipe kulit V lebih tinggi daripada tipe kulit IV. Nilai rerata DEM pasien psoriasis lebih tinggi dibandingkan dengan orang sehat.

ABSTRACT
Background Psoriasis is a chronic inflammation skin disease. Narrowband ultraviolet B NB UVB has been considered as an effective treatment for moderate and severe psoriasis plaque. Initial dose should be determined from minimal erythema dose MED . However, study of MED in psoriasis patient Indonesian skin type has not been reported. This study aims to compare MED of psoriasis patient and healthy subjects Indonesian skin type. Methods Twenty plaque psoriasis patients dan 20 healthy subjects was divided into 2 skin type groups Fitzpatrick IV and V n 10 . Wholebody NB UVB phototherapy unit Daavlin 3 series was used to irradiate backs with doses ranging from 300 to1400 mJ cm2. After 18 24 hours post exposure, MED was determined by two examiners. Side effects of radiation were documented. Results Mean MED of psoriasis patients group skin type IV was 880 SD 181.35 mJ cm2 and type V was 1070 SD 125.16 mJ cm2. In healthy group, the average of skin type IV was 650 SD 97.18 mJ cm2 and skin type V was 970 SD 156.70 mJ cm2. Skin type V showed higher MED than skin type IV p 0.05 . There was significantly higher mean MED in psoriasis patients compared to healthy subjects p 0.05 . Post radiation side effects were not found. Conclusion Minimal erythema dose of Indonesian skin type V is higher than skin type IV. Psoriasis patients have a significantly higher MED than healthy subjects. "
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tsaniya Hasya
"Bidang interdisipliner yang dikenal sebagai pendekatan neuroarsitektur menggabungkan prinsip-prinsip neurosains dengan arsitektur dan desain interior untuk membuat ruang yang tidak hanya fungsional tetapi juga membantu pengguna menikmati kesehatan fisik dan mental. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari bagaimana bentuk, warna, dan cahaya mempengaruhi perasaan seseorang saat berada di dalam ruang berdasarkan respon neurologis. Untuk mengetahui bagaimana elemen-elemen desain ini dapat mempengaruhi respon neurologis dan emosi pengguna, metodologi yang digunakan mencakup penelitian teori dan literatur sebelumnya. Studi ini mencakup prinsip-prinsip neuroarsitektur serta design vocabulary yang relevan sebagai stimulan, yang merupakan variabel bebas dalam penelitian ini. Studi preseden neuroarsitektur dalam desain interior juga dibahas dalam tulisan ini. Preseden-preseden ini menunjukkan bahwa menerapkan elemen-elemen ini dapat memberikan manfaat dan tujuan yang berbeda. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang lebih mendalam bagi desainer interior dan arsitek tentang seberapa pentingnya mempertimbangkan respon neurologis saat membuat desain ruang agar lingkungan menjadi lebih sehat dan menyenangkan. Oleh karena itu, pendekatan neuroarsitektur dapat berfungsi sebagai dasar untuk kemajuan dalam desain interior yang lebih humanis dan berbasis bukti.

The neuroarchitecture approach is an interdisciplinary field that combines principles of neuroscience with principles of architecture and interior design in order to create spaces that are not only functional but also promote physical and mental health for users. The goal of this study is to understand how shape, color, and light affect a person's feelings while being inside a space based on neurological responses. The methodology used in this study includes theoretical research and a review of previous literature. It also covers the principles of neuroarchitecture as well as relevant design vocabulary as stimuli, which are the independent variable. These examples show how putting these components to use can achieve a variety of goals and advantages. It is anticipated that this research will provide architects and interior designers more understanding of the significance of taking neurological responses into account when designing spaces to create happier, healthier settings. Therefore, advancements in more humane and empirically based interior design can be built upon the neuroarchitecture method."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aidrus
"Tujuan : Membandingkan dan menentukan perbedaan kadar homosistein dalam darah dan zalir folikel pada wanita infertil dengan dan tanpa endometriosis, kemudian menganalisis pengaruh kadar homosistein tersebut dengan mutu oosit.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang (cross sectional). Lima puluh sembilan subjek mengikuti program fertilisasi in-vitro yang masuk dalam kriteria penerimaan dibagi menjadi dua kelompok sama besar, yakni
kelompok endometriosis dan tanpa endometriosis secara konsekutif (consecutive sampling). Masing-masing subjek diambil percontoh dari darah dan zalir folikel kemudian diukur kadar homosisteinnya dengan metode teraimun CMIA. Rerata masing-masing kelompok diuji statistik dengan uji t independen.
Hasil : Rerata kadar homosistein dalam darah pada kelompok endometriosis lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa endometriosis dan secara statisik berbeda bermakna (8,34 ±2,68 vs 6,71 ±1,56, p=0.007;95%CI: 0,02417-0,14657).
Demikian pula dengan kadar homosistein dalam zalir folikel, kelompok endometriosis lebih tinggi dan secara statistik berbeda bermakna (6,19 ±1,67 vs 3,46 ±1,03; p= 0,000; 95% CI : 0,19310-0,32353). Semua mutu oosit baik pada
kedua kelompok, yakni derajat 3. Terdapat korelasi antara kadar homosistein di dalam darah dan zalir folikel pada kelompok endometriosis dan dinilai dengan uji Pearson didapatkan bermakna (p = 0,002) dan nilai korelasi 0,553 (kekuatan korelasi sedang) dan arah korelasi positif.
Kesimpulan : Rerata kadar homosistein dalam darah dan zalir folikel pada wanita infertil dengan endometriosis lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa endometriosis dan secara statistik berbeda bermakna. Kadar homosistein ini tidak
berpengaruh terhadap mutu oosit. Terdapat korelasi positif antara kadar homosistein dalam darah dan zalir folikel pada kelompok endometriosis.

Purpose : Compare and determine the differences in levels of homocysteine in
the blood and follicular fluid in infertile women with and without endometriosis, then analyze the effect of homocysteine levels with oocyte quality.
Method : This study was cross-sectional study. Fifty-nine subjects following the
in-vitro fertilization program are included in the admission criteria were divided into two equal groups, ie groups of endometriosis and without endometriosis consecutively (consecutive sampling). Each subject taken from the blood and follicular fluid then measured the levels of homocystein levels with immuoassay
method : The mean of each group was statistically tested with an independent t
test.
Results : The mean levels of homocysteine in the blood is higher in the endometriosis group than without endometriosis group and it was statisticaly significance (8,34 ±2,68 vs 6,71 ±1,56, p=0.007;95%CI: 0,02417-0,14657).
Similarly, the levels of homocysteine in follicular fluid , the endometriosis group
is higher and statisticaly significance (6,19 ±1,67 vs 3,46 ±1,03; p= 0,000; 95% CI : 0,19310-0,32353). All oocytes are in good quality in both groups, maturation grade 3. There is a correlation between the levels of homocysteine in the blood and follicular fluid in the endometriosis group and assessed with Pearson test, and it found significant (p = 0.002) and the correlation value 0.553 (moderate correlation strength) and direction of a positive correlation.
Conclusion : The mean levels of homocysteine in the blood and follicular fluid in infertile women with endometriosis is higher than without endometriosis and were statistically significantly different. These homocysteine levels does not affect the quality of oocytes. There is a positive correlation between the levels of homocysteine in the blood and follicular fluid in endometriosis group.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>