Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 131378 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Damping, Reinhardt William
"Telah diterima dalam pandangan masyarakat pada umumnya bahwa korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa, maka pemberantasan serta penghukumannya-pun haruslah luar biasa pula. Paham ini muncul sebagai akibat dari situasi korupsi yang bertambah di Indonesia dari tahun ke tahun. Berbagai cara telah dicanangkan sebagai bentuk penghukuman tersebut yang salah satunya adalah dengan melakukan pencabutan hak berpolitik, baik pada pelaku maupun terutama kepada para mantan pelaku tindak pidana korupsi. Paham ini tentu tidak dapat diterima oleh sebagian banyak orang, yang menyatakan pencabutan demikian melanggar hak asasi manusia. Didasarkan pada metode peneltian hukum normatif, permasalahan yang didapati adalah bahwa dalam penerapannya seringkali tidak mengikuti ketentuan ataupun konsep yang ada terkait dengan pencabutan hak berpolitik baik dalam Undang-Undang HAM ataupun KUHP itu sendiri. Oleh karenanya, demi mewujudkan kepastian hukum baik bagi masyarakat maupun para pelaku ataupun mantan pelaku tindak pidana korupsi, sudah sepatutnya pencabutan hak berpolitik diterapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini.

It has been widely accepted by the general masses that since corruption is an extraordinary crime therefore its own abolition and punishment has to be extraordinary too. This concept stem as a result of the corruption situation in Indonesia that are growing throughout the years. There have been many ways planned for said punishment, with one case being to revoke the perpetrators and mainly ex-perpetrators of corruption political rights. Of course, many people are against such concept, with the reason being that such feat violates the human rights.
Based on a normative legal research method, it has been found out that the problem right now is that often times the application of revoking these political rights does not follow the provision or concept that are, such as Human Rights Act or Wetboek van Strafrecht (Criminal Law Book). Therefore, it’s rightly that the application of revoking these political rights must follow the govern rules in Indonesia in hope to actualize the legal certainty for the general masses and even for the perpetrators or ex-perpetrators of corruption.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alya Fakhira
"Pemilikan hak atas tanah di Indonesia memandatkan kepada pemiliknya untuk memiliki tanah secara yuridis dan menguasainya secara fisik. Akan tetapi, pada faktanya pemilikan hak atas tanah dan penguasaan secara fisik dapat dilakukan oleh 2 (dua) subjek yang berbeda. Penguasa fisik dalam hal ini memanfaatkan dan menikmati tanah, padahal ia bukanlah pemilik hak atas tanah. Secara normatif, Indonesia tidak mengenal pemisahan pemilikan hak atas tanah secara yuridis dan penguasaan secara fisik. Hal ini berbeda dengan di Inggris yang mengakui pemilikan secara yuridis dan secara fisik tersebut. Inggris menerapkan konsep trust yang membuat pemilikan tanah dapat dipisah, yaitu pemilikan secara hukum (legal right) yang dipegang oleh trustee dan pemilikan manfaat (equitable right) yang dipegang oleh beneficial owner. Hak penguasaan secara fisik oleh beneficial owner ini tidak didaftarkan, namun tetap dilindungi oleh hukum dan equity apabila tanah yang dihuni hendak dijual atau dialihkan. Selain itu, pembeli tanah yang hendak membeli tanah yang di atasnya terdapat beneficial owner pun juga terlindungi melalui konsep overreaching. Skripsi ini membahas 2 (dua) hal, yaitu: (1) pengaturan beneficial owner dalam konteks pertanahan di Indonesia; dan (2) fisibilitas penerapan overreaching untuk melindungi kepentingan pembeli tanah dan penguasa fisik tanah. Penelitian terhadap 2 (dua) masalah tersebut dianalisis menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perbandingan hukum. Indonesia pada hakikatnya tidak mengenal konsep beneficial owner dalam konteks pertanahan. Akan tetapi, nuansanya dapat dilihat dari beberapa pengaturan hak terhadap tanah. Terakhir, konsep overreaching dari Inggris dapat diterapkan di Indonesia mengingat diaturnya pranata serupa trust dalam KUHPerdata dan dianutnya asas pemisahan horizontal (horizontale scheiding beginsel). Perlu adanya penyesuaian apabila konsep overreaching ini diadopsi ke dalam hukum Indonesia sehingga esensi dan semangat perlindungan overreaching dapat tercipta

Land ownership in Indonesia mandates the owner to own the land juridically and possess it physically. However, in fact the ownership of land rights and physical possession can be vested in 2 (two) different subjects. The subject who is vested the physical right utilizes, benefits, and enjoys the land, notwithstanding s/he is not the legal owner of the land. By law, Indonesia does not recognize the separation of the land ownership which is different in the UK that is recognized the land ownership legally and physically. The UK applies the concept of trust that makes land ownership separateable, i.e. legal rights held by trustees and equitable rights held by beneficial owners. The right of physical possession by the beneficial owner is not registered but is still protected by law and equity if the land occupied is to be sold or transferred. In addition, land buyers who want to buy land on which there is a beneficial owner are also protected through the concept of overreaching. This thesis discusses 2 (two) things, namely: (1) beneficial owner arrangements in the context of land in Indonesia; and (2) the feasibility overreaching to protect the interests of land buyers and physical landlords. Research on these 2 (two) problems was analyzed using normative juridical methods with a comparative legal approach. Indonesia basically does not recognize the concept of beneficial owner in the context of land. However, the nuances can be seen from several arrangements for land rights, considering that Indonesia adheres to the principle of horizontal separation (horizontale scheiding beginsel). Lastly, the concept of overreaching from the UK can be applied in Indonesia taking into account the regulation of trust-like is stipulated in the Civil Code. An adjustment is needed if the concept of overreaching is adopted into Indonesian law so that the essence and spirit of overreaching protection can be created."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhief F. Ramadhani
"ABSTRAK
Hak kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia yang tidak boleh dibatasi dalam keadaan apapun. Hak kebebasan beragama tidak hanya mencakup kebebasan setiap manusia untuk memilih keyakinan yang menurutnya benar, namun juga termasuk hak bagi tiap-tiap manusia untuk mengekspresikan keyakinannya dan juga hak untuk menjalankan segala ajaran agama atau kepercayaan yang diyakininya. Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 hanya mengakui enam agama yaitu Islam, Kristen, Protestan, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Pengakuan negara terhadap agama tertentu memang dibolehkan dan tidak melanggar hak asasi manusia. Sayangnya pengakuan negara terhadap enam agama tersebut menimbulkan dampak terlanggarnya beberapa hak asasi manusia, khususnya para penganut aliran kepercayaan dan agama-agama selain agama resmi yang diakui negara. Dampak yang timbul dari pengakuan negara terhadap agama-agama tertentu tersebut adalah pembubaran aliran-aliran yang dianggap sesat, pencantuman agama di dalam KTP yang kemudian menjadi pintu masuk pembatasan hak-hak para penganut aliran kepercayaan dan agama yang tidak diakui negara, pendirian rumah ibadat, dan pendidikan agama di sekolah.

ABSTRACT
The right to freedom of religion is a human right that should not be restricted in any circumstances. Right to freedom of religion not only includes the freedom of every human being to choose beliefs which he said is true, but it also includes a right for every human being to express his convictions and also right to perform any religious doctrine or belief that he believes. Indonesia through Law No. 1/PNPS of 1965 only recognizes six religions: Islam, Christianity, Protestantism, Hinduism, Buddhism, and Confucianism. State recognition of a particular religion is permissible and does not violate human rights. Unfortunately the state recognition of the six religious impact some human rights violations, especially the adherents of religions, beliefs and religions other than official religions recognized by the state. Impacts arising from the state recognition of certain religions is the dissolution of streams that are considered heretical, the inclusion of religion on identity cards which later became the entrance to the restrictions of the rights of followers of religions, beliefs and religions that are not recognized by the state, the establishment of the synagogue, and religious education in schools."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S439
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Meta Nadia
"Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini mengenai kedudukan tanda bukti hak lama sebagai petunjuk kepemilikan hak atas tanah. Mengacu pada ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah. PP No. 18 tahun 2021 ini menanggapi kedudukan hukum tanda bukti hak lama saat ini hanya merupakan petunjuk untuk kepentingan pendaftaran tanah untuk pertama kali dan derajatnya lebih rendah daripada alat buktiuntuk melakukan perbuatan hukum. Keberadaan tanda bukti hak lama menjadi dasar penerbitan sertifikat. Dengan adanya PP ini pemerintah secara tidak langsung memaksa masyarakat untuk mendaftarkan tanahnya, agar terhindar dari permasalah seperti tumpang tindih alat bukti dalam suatu bidang tanah. Untuk mengurangi timbulnya berbagai permasalahan terkait pembuktian hak lama, sebaiknya Pemerintah memfasilitasi dan memberikan kemudahan dalam pelaksanaan pendaftaran tanah. Badan Pertanahan Nasional sebaiknya memberikan penyuluhan dan mendampingi masyarakat terkait pendaftaran tanah untuk pertama kali. Kepada masyarakat agar lebih meningkatkan kesadaran untuk mendaftarkan tanahnya untuk pertama kali agar mendapat kepastian hukum pemegang haknya.

The main problem in this paper is regarding the position of the old rights evidence as an indication of ownership of land rights. Referring to the provisions of Government Regulation Number 18 of 2021 concerning Management Rights, Land Rights, Apartement and Land Registration. PP No. 18 of 2021, responding to the legal position of the old right evidence that currently is only a guide for the interests of land registration for the first time and is of a lower degree than evidence for carrying out legal actions. The existence of proof of old rights becomes the basis for issuing certificates. With this PP, the government indirectly forces the community to register their land, in order to avoid problems such as overlapping evidence in a plot of land. To reduce the emergence of various problems related to proving old rights, the Government should facilitate and provide convenience in the implementation of land registration. The National Land Agency should provide counseling and assist the community regarding land registration for the first time. To the community to increase awareness of registering their land for the first time in order to obtain legal certainty for the holder of the right."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nashriana
"Topik ini membahas tentang hak-hak yang sekarang mendominasi debat politik di Amerika Serikat. Apakah pemerintah menghormati hal-hak warga negaranya moral dan politik. Pada dasarnya itu hanya hak milik pribadi seseorang. Hal ini ada karena hak asasi manusia harus mencapai tujuan akhir dengan mengikuti UU moral. Dalam hal ini kanan adalah fundamental. Oleh karena itu, satu-satunya orang yang dibimbing dirinya untuk mencapai tujuan yang ingin anda gunakan kehendak bebas yang dimiliki. Dalam hubungan ini harus membedakan antara hak konstitusi (hak konstitusi) dan hak yang lahir dari hukum (legal rights). Hak konstitusi (hak konstitusional) adalah hak dijamin dalam dan oleh UUD 1945, sedangkan hak-hak hukum (hak hukum) yang timbul berdasarkan undang-undanga asuransi dan peraturan dibawahnya (peraturan perundang-undangan bawahan). Hak asasi manusia sejak diadopsi konstitusi pada tahun 1945, ia menjadi hak konstitusi, sedangkan hukum hak muncul karena pengaturan hukum, seperti hak untuk alat pengukuran dikirimkan disediakan oleh pemerintah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Meteorologi."
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
348 JHUSR 6 (2) 2008
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Lestarina
"Jual beli tanah merupakan perbuatan hukum yang mengakibatkan adanya peralihan hak atas tanah, sehingga dalam proses jual beli dibutuhkan suatu akta yang dibuat oleh PPAT yang berguna sebagai syarat dapat dilakukannya proses peralihan hak atas tanah. Dalam kenyataannya masih banyak jual beli tanah yang tidak dilakukan di hadapan PPAT. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai pertimbangan hakim dalam pengesahan jual beli Hak Guna Bangunan yang tidak dilakukan di hadapan PPAT dan pemeliharaan data pendaftaran dengan pencatatan peralihan hak karena jual beli di kantor pertanahan setempat. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian yuridis normatif dengan bentuk penelitian eksplanatoris analitis. Hasil analisa adalah pertimbangan hakim mengesahkan jual beli Hak Guna Bangunan yang tidak dilakukan di hadapan PPAT telah memenuhi syarat materiil. Bahwa penjual benar pemegang hak yang menjual dibuktikan dengan sertipikat Hak Guna Bangunan atas nama penjual dan pembeli sebagai subyek telah memenuhi syarat sebagai pemegang hak serta tanah yang diperjual belikan merupakan tanah yang tidak dalam sengketa. Pemeliharaan data pendaftaran dengan pencatatan peralihan hak karena jual beli di kantor pertanahan setempat dalam hal jual beli Hak Guna Bangunan yang tidak dilakukan di hadapan PPAT, harus menggunakan akta jual beli yang dibuat oleh PPAT. Untuk mempermudah peroses pemeliharaan data pendaftaran dengan pencatatan peralihan hak karena jual beli di kantor pertanahan setempat, dapat diselesaikan dengan jalur litigasi guna memperoleh ijin dan kuasa bertindak atas nama penjual dan bertindak atas dirinya sendiri.

Buying and selling is a legal act that results in the transfer of land rights, so that in the process of buying and selling a deed made by ppat that is useful as a condition of the transfer of land rights. In reality there are still many land trades that are not done in the presence of PPAT. The issue raised in this study is about the consideration of judges in the legalization of the sale and purchase of Building Rights that are not carried out before ppat and maintenance of registration data with the recording of the transfer of rights due to buying and selling at the local land office. To answer the problem, normative juridical research methods are used with analytical explanatory research forms. The result of the analysis is the consideration of the judge to authorize the sale and purchase of Building Rights that are not carried out before the PPAT has qualified materially. That the seller is the true holder of the right to sell is evidenced by the certificate of Building Rights on behalf of the seller and the buyer as the subject has qualified as the rights holder and the land sold is land that is not in dispute. Maintenance of registration data with the recording of the transfer of rights due to the sale and purchase at the local land office in the case of the sale and purchase of Building Rights that are not carried out in the presence of PPAT, must use the deed of sale and purchase made by PPAT. To facilitate the maintenance of registration data peroses with the recording of the transfer of rights due to sale and purchase at the local land office, it can be resolved by litigation to obtain permission and power of action on behalf of the seller and act on his own."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harifin A. Tumpa
Jakarta: Kencana, 2010
341.48 HAR p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Benedik
"Tanah adalah sumber daya alam yang dibutuhkan oleh banyak aspek dalam kehidupan. Sebagai salah satu landasan untuk terpenuhinya kebutuhan manusia, Tergugat I mengajukan penetapan menjadi pengampu dan ijin jual ke PN Ngawi dengan alasan untuk biaya hidup maupun perawatan. Kedua objek tanah tersebut termasuk merupakan harta warisan yang didapatkan oleh Endang Hariwarti melalui waris berdasatkan Surat Keterangan Waris tanggal 21-10-2013 atas nama Endang Hariwarti yang dibenarkan Kepala Desa Gelung Tanggal 21-10-2013 no. 1327/404.314.12/2013 dan dikuatkan Camat Paron tanggal 16-12-2013 no. 594.4/01.02/WRS/404.314/2013. Oleh karena itu permasalahan yang akan diteliti adalah keabsahan jual beli hak atas tanah bawaan oleh pegampu berdasarkan penetapan pengadilan dan bagaimana tanggung jawab PPAT terhadap Akta Jual Beli Tanah yang dibatalkan dalam hal tanah bawaan. Dengan demikian berdasarkan hasil analisis Penulis diketahui bahwa Majelis Hakim mengabulkan gugatan dari Penggugat I untuk membatalkan jual beli yang dilakukan Tergugat I dengan Tergugat II dan Tergugat III dan menyatakan sertipikat Hak Milik nomor 2201 dan Hak Milik 2202 berikut juga menyatakan jual beli yang dilakukan adalah cacat hukum. Peran aktif dari Balai Harta Peninggalan untuk memonitor pelaksanaan dari penetapan hakim yang meletakkan seseorang berada di bawah pengampuan.

Land is a natural resource that is needed by many aspects of life. As one of the foundations for the fulfillment of human needs, Defendant I submitted a determination to be a Curator and permission to sell to the Ngawi District Court on the grounds of living expenses and maintenance. The two land objects are inherited assets obtained by Endang Hariwarti through an inheritance based on a Certificate of Inheritance dated 21-10-2013 in the name of Endang Hariwarti which was confirmed by the Head of Gelung Village on 21-10-2013 no. 1327/404.314.12/2013 and strengthened by the Head of Paron District on 16-12-2013 no. 594.4/01.02/WRS/404.314/2013. Therefore, the problems that will be investigated are the legality of the sale and purchase of inherited land rights by the curator based on a court ruling and how Land Deed Official is responsible for the canceled Land Sale and Purchase Deed in the case of inherited land. Thus, based on the results of the author's analysis, it is known that the Panel of Judges granted the claim of Plaintiff I to cancel the sale and purchase carried out by Defendant I with Defendant I and Defendant II and Defendant III and stated that the certificate of Property Rights number 2201 and Property Rights number 2202 also stated that the sale and purchase carried out was legally flawed. The active role of the Heritage Hall is to monitor the implementation of judges' orders that place a person under interdiction."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurjannah
"Penyadapan dalam aspek penegakan hukum menjadi hal krusial karena berkaitan pembatasan hak asasi manusia terutama kebebasan pribadi (privacy right). Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif besifat preskriptif, mengenai pengaturan kewenangan penyadapan KPK yang disesuaikan dengan menggunakan the international principles of the application of human rights in communication surveillance. Fokus peneltian ini adalah mengkaji bagaimana Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 70/PUU-XVII/2019 mengakomodir prinsip-prinsip perlindungan terhadap hak asasi manusia serta perbandingannya dengan lembaga anti kprupsi di berbagai negara seperi Malaysia, Hongkong dan Australia. Berdasarkan hal tersebut, permasalahan yangdibahas dalam penelitian ini adalah: (1) apakah pengaturan kewenangan penyadapan oleh KPK dalam Perubahan Kedua UU KPK sudah sesuai dengan konsep hak asasi manusia dalam hal perlindungan hak atas privasi terhadap subjek sadap KPK; dan (2) bagaimana dengan konsep konsep ideal regulasi kewenangan penyadapan KPK berdasarkan perspektif hak asasi manusia. Pengumupulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dengan studi pustaka dan pengumpulan data primer dilakukan dengan permintaan wawancara dengan pihak terkait sedangkan data sekunder dari laporan, jurnal, buku dan peraturan perundang-undangan. Penelitian ini berkesimpulan bahwa dalam Perubahan Kedua UU KPK udah lebih maju dibandingkan dengan regulasi sebelumnya, dengan indikasi dari aspek legalitas karena sudah diatur dalam undang-undang dengan menambahkan ketentuan-ketetntuan baru mengenai penyadapan. Akan tetapi, hak privasi dalam penegakan hukum dapat dilakukan pembatasannya melalui peraturan setingkat undang-undang, sedangkan muatan materi dalam UU Nomor 19 tahun 2019 masih belum memadai sehingga tetap berpotensi terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Pengaturan penyadapan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 juga belum memenuhi prinsip-prinsip internasional mengenai perlindungan hak asasi manusia. Hal ini berarti Indonesia perlu memperbaiki undang-undangnya dengan menambahkan beberapa pasal atau membuat undang-undang khusus mengenai penyadapan agar dapat sepenuhnya mematuhi prinsip-prinsip internasional tentang hak asasi manusia dalam tindakan pengawasan elektronik.

Interception in the aspect of law enforcement is crucial because it is related to the limitation of human rights, especially personal freedom (privacy right). This research is a prescriptive normative juridical research, regarding the regulation of the KPK's wiretapping authority in regard to the international principles of the application of human rights in communication surveillance. The focus of this research is to examine how Law Number 19 of 2019 after the Constitutional Court Decision (MK) No. 70/PUU-XVII/2019 accommodates the principles of protection of human rights and its comparison with anti-corruption institutions in various countries such as Malaysia, Hong Kong and Australia. Due to this, the problems discussed in this research are: (1) whether the regulation of the KPK's wiretapping authority in the Second Amendment to the KPK Law is in accordance with the concept of human rights in terms of protecting the right to privacy of the KPK's tapping subjects; and (2) what is the ideal concept of the KPK's regulation of wiretapping authority based on a human rights perspective?. Data collection used in this research is secondary data obtained by literature study and primary data collection is carried out by requesting interviews with relevant parties while secondary data from reports, journals, books and laws and regulations. This research concludes that the Second Amendment to the KPK Law is already more advanced than the previous regulation in term of interception, with an indication of the legality aspect because it has been regulated in law by adding new provisions. However, the right to privacy in law enforcement can be limited through regulations, at the level of law, while the material content in Law Number 19 of 2019 is still inadequate so that there is still the potential for human rights violations. The authority of interception regulated in Law No. 19/2019 also does not meet the international principles regarding the protection of human rights. It means that Indonesia needs to improve its law by adding several articles or creating a special law on wiretapping in order to fully comply with international principles on human rights in electronic surveillance."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gatot Goei
"Nota Kesepahaman 5 (lima) badan nasional independen (Komnas HAM, Ombudsman RI, KPAI, LPSK dan Komnas Perempuan pada tahun 2016 bermaksud mendorong sistem pengawasan terhadap pelaksanaan Pasal 28 (G) ayat 2 UUD NRI 1945, yakni tentang Kebebasan setiap orang dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan martabat manusia. Namun sebagai badan nasional, beberapa lembaga negara tidak masuk dalam ranah kekuasaan pengawasan melainkan pelaksana (eksekutif) seperti LPSK dan Komnas Perempuan. OPCAT mensyaratkan sebuah lembaga independent wajib diatur dalam tingkat UU dan ketentuan Paris Principle mengharuskan keuangan yang mandiri dari sebuah lembaga indenpendent. Berdasarkan ini maka Komnas Perempuan belum memenuhi kriteria tersebut karena diatur pada tingkat Keppres dan mekanisme penganggaran yang tunduk pada Komnas HAM. Secara umum, mekanisme untuk memastikan setiap orang untuk bebas dari penyiksan dan pelakuan yang merendahkan martabat manusia telah dilakukan oleh kelima lembaga negara tersebut. Sejak periode 2016-2018 lima lembaga negara telah melakukan kunjungan berkala dan tanpa pemberitahuan di lapas, rutan, pusat kesehatan mental, tahanan imigrasi, dll sebagai wujud dari kekuasaan yang diberikan.

Memorandum of Understanding among 5 (five) independent national body (Komnas HAM, Ombudsman RI, KPAI, LPSK and Komnas Perempuan) have a purpose to encourage monitoring system of implementation of the article 28 G paragraph (2) UUD NRI 1945 namely about the freedom of everyone from torture or degrading treatment. However as a national bodies, some of them are not part of supervisory power whereas enter in realm part of executive power, such as LPSK and Komnas Perempuan. OPCAT requires that an independent body must be regulated in legislation level and fulfilled the criteria which is regulated in the Paris Principle. Generally, mechanism to ensure everybody free from torture or degrading treatment have been implemented by 5 (five) SAB in Indonesia. In period of 2016-2018. 5 (five) SAB have conducted regular and unannoucement visit in prison, detention center, mental health center, immigration detention, etc., as manifestation of their power. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T55332
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>