Ditemukan 220560 dokumen yang sesuai dengan query
Zahra Fitriana Suhirta
"Penelitian skripsi ini dilakukan dengan menganalisis permasalahan hukum tertuang dalam Time Charter Party dan Voyage Charter Party PT PIS Melawan Prinsip hukum transportasi laut Indonesia, dengan metode penelitian yuridis normatif. Landasan teori yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah teori hukum angkutan laut dan teori hukum perjanjian. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa bentuk standar Time Charter Party dan Voyage Pihak Piagam PT PIS belum memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, juga Kode Hukum Dagang Kode Hukum Perdata. Ini ditunjukkan dengan adanya enam pasal-pasal Partai Piagam Waktu dan lima pasal Partai Piagam Pelayaran memiliki ketentuan yang berbeda dengan ketentuan dalam UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, dan Kode Sipil. Saran yang bisa disampaikan kepada pihak yang mengeluarkan formulir perjanjian piagam standar untuk memenuhi syarat melakukan tinjauan terhadap klausul formulir standar dan menyesuaikannya dengan prinsip hukum perhubungan laut Indonesia.
This thesis research is conducted by analyzing legal problems contained in the Time Charter Party and Voyage Charter Party of PT PIS Against the principles of Indonesian sea transportation law, using the method normative juridical research. The theoretical basis used in this thesis research is sea transportation law theory and agreement law theory. The results show that the standard forms of Time Charter Party and Voyage of PT PIS Charter Parties have not met the provisions in Law Number 17 of 2008 concerning Shipping, as well as the Code of Commercial Law, Code of Civil Law. This is indicated by the existence of six articles of the Time Charter Party and five articles of the Shipping Charter Party which have different provisions from the provisions in Law Number 17 of 2008 concerning Shipping, the Code of Trade Law, and the Civil Code. Suggestions can be conveyed to the party issuing the standard charter agreement form to fulfill the requirements to review the clauses of the standard form and adapt them to the principles of Indonesian sea transportation law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Annisa Sathila Kusumaningtyas
"Tesis ini meneliti tentang hambatan yang dihadapi Indonesia, Malaysia, dan Filipina dalam kerja sama patroli maritim trilateral (trilateral maritime patrol) di Laut Sulu dan Sulawesi dengan menggunakan kelima variabel rezim keamanan yakni norma dan prinsip, aturan main, kepentingan nasional, kekuatan politik, dan pengetahuan yang didasari oleh ancaman yang ada di kawasan Laut Sulu dan Sulawesi. Analisis tersebut memberikan hasil bahwa ketiga negara kesulitan melakukan kerja sama dikarenakan beberapa hambatan berikut: prinsip kedaulatan dalam ASEAN Way yang dianut ketiga negara justru menghambat pelaksanaan patroli, aturan main dalam TCA tidak mengikat secara hukum dan tidak mengatur perluasan hak pengejaran seketika, adanya kepentingan nasional yang tumpang-tindih membuat negara-negara lalai akan tujuan utama kerja sama, dan terdapat ketimpangan yang cukup besar dalam kekuatan politik ketiga negara. Oleh karena itu, Indonesia sebagai negara dengan insentif kerja sama terbesar perlu untuk terus mendorong kedua negara lainnya untuk segera merealisasikan kerja sama. Selain itu ketiga negara perlu menunjuk keketuaan atau koordinator secara bergiliran untuk menjamin pertanggungjawaban pelaksanaan kerja sama dan merumuskan aturan main yang lebih mengikat secara hukum.Ketiga negara juga perlu untuk bekerja sama dalam capacity building untuk membantu negara yang lebih lemah menyetarakan (jenis dan teknologi) kapal-kapal yang akan digunakan untuk patroli agar memudahkan dalam komando dan pengendaliannya.
This thesis examines the obstacles faced by Indonesia, Malaysia and the Philippines in the cooperation of trilateral maritime patrols in the Sulu Sea and Sulawesi. In analyzing these obstacles, this thesis uses the five variables of the security regime: norms and principles, rules of conduct, national interests, political power, and knowledge based on the threats that exist in the Sulu and Sulawesi. The purpose of this exercise to identify the constraints that exist in the joint trilateral joint patrol cooperation between Indonesia, Malaysia and the Philippines. This thesis finds that the three countries embrace the norms and principles of the ASEAN Way which embraces the principle of sovereignty, and as such erodes the effectiveness of cooperation. In addition, the TCA principles result in the absence of legally-binding, and the regulation of the extention of the right of hot pursuit. The over-emphasis on non-intervention in the pursuit of national interests leads tothe neglect of the main purpose of cooperation, and there is considerable imbalance in the political power of the three countries. Therefore, referring to the concept of the security regime, this cooperation will not work effectively if the variables in the regime are not met. Indonesia as a country with the largest cooperation incentives needs to continue to encourage the other two countries to immediately realize the critical significan of the cooperation. In addition, the three countries also need to appoint a coordinator to ensure the accountability of the implementation of cooperation.There is also a need to formulate more legally binding rules. Finally, the states in the region need cooperate in the capacity building that helps weaker states to equalize the type and technology of vessels to be used for patrols to facilitate command and control."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Nisrina Nur Aathif
"Tesis ini membahas mengenai preferensi kerja sama maritim terhadap isu kekerasan maritim di perairan Sulu-Sulawesi antara Indonesia dan Filipina pada tahun 2016-2020. Sebagai dua negara yang sama-sama berada di kawasan Asia Tenggara, berbentuk kepulauan-maritim, memiliki kepentingan di Laut Sulu-Sulawesi, dan memiliki identitas independen dalam politik luar negerinya, Indonesia dan Filipina faktanya memiliki preferensi kerja sama yang berbeda dalam menangani isu kekerasan maritim tersebut. Di satu sisi, Indonesia lebih memilih kerangka kerja sama maritim yang berdasarkan pada diplomasi maritim guna menghindari adanya dominasi, sedangkan Filipina di sisi lain lebih cenderung pragmatis dalam menginisiasi kerja sama dengan siapapun yang memang berpotensi memberikan kontribusi bagi pencapaian kepentingan nasional Filipina. Perbedaan preferensi kerja sama maritim kedua negara ini dianalisis dengan menggunakan Teori Peran milik Breuning, yang memiliki asumsi bahwa perilaku kebijakan luar negeri dilatarbelakangi oleh konsepsi peran nasional oleh para pembuat kebijakan yang mana dipengaruhi oleh faktor ideasional dan material. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan studi kasus komparatif. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumentasi, dokumen arsip, dan wawancara. Tesis ini menemukan bahwa konsepsi peran nasional mempengaruhi perbedaan preferensi kerjasama maritim di antara kedua negara yang faktanya memiliki karakteristik yang hampir sama. Dengan mengkaji seluruh faktor pembentuk konsepsi peran nasional, ditemukan bahwa Indonesia memiliki peran nasional sebagai negara independen-aktif, negara maritim, dan pemimpin kawasan, sedangkan Filipina memiliki peran nasional independen-pragmatis, negara maritim, dan kolaborator.
This thesis discusses the preferences for maritime cooperation on the issue of maritime violence in Sulu-Sulawesi waters between Indonesia and the Philippines in 2016-2020. As two countries that are both located in the Southeast Asia region, having archipelagic-maritime nature, having interests in the Sulu-Sulawesi Sea, and having independent identities in their foreign policy, Indonesia and the Philippines, in fact, possess different preferences for maritime cooperation in dealing with the issues of maritime violence. On the one hand, Indonesia prefers a maritime cooperation framework based on maritime diplomacy to avoid domination, while the Philippines, on the other hand, tends to be pragmatic in initiating cooperation with anyone who has potential to contribute to the achievement of the Philippine‟s national interest. Differences in maritime cooperation preferences between the two countries are analyzed using Breuning's Role Theory, which assumes that foreign policy behavior of a country is driven by particular national role conceptualized by its policy makers which is influenced by both the ideational and material factors. This thesis used a qualitative method with a comparative case study. Sources of data used in this thesis are documentation, archival documents, and interview. This thesis finds that the conception of the national role affects the differences in preferences for maritime cooperation between the two countries, although both have almost the same characteristics. By examining all the factors influencing the national role conception, it is found that national role conception of Indonesia are independent-active, maritime country, and regional leader, while the national role conception of Philippines are independent-pragmatic, maritime country, and collaborator."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Chairul Anwar
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1994
D1787
UI - Disertasi Membership Universitas Indonesia Library
M. Pardi
Jakarta: Timun Mas, 1954
341.44 PAR p
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Netherland: Asser Press, 2004
340.9 INT
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Anindita Galuh Saraswati
"Skripsi ini membahas Artemis Accords sebagai kerangka hukum internasional baru yang mengatur eksplorasi dan eksploitasi sumber daya ruang angkasa. Artemis Accords bertujuan untuk menunjang kegiatan komersial sumber daya ruang angkasa berdasarkan Outer Space Treaty. Artemis Accords tidak menggunakan Moon Agreement sebagai dasar perjanjiannya karena Moon Agreement mengatur bahwa Bulan, benda-benda ruang angkasa lain, dan sumber daya di dalamnya merupakan common heritage of mankind (CHM) yang manfaatnya harus dibagi kepada seluruh umat manusia dan tidak ada negara manapun yang dapat melakukan apropriasi atas ruang angkasa, berbeda dengan Artemis Accords yang tidak mengatur hal tersebut. Sementara itu, Outer Space Treaty mengatur bahwa ruang angkasa bebas untuk diakses dan dimanfaatkan oleh semua negara selama berlandaskan kepentingan seluruh negara dan menjadi province of all mankind (POM). Berdasarkan hal tersebut, prinsip yang lebih baik untuk mengatur eksplorasi dan eksploitasi sumber daya ruang angkasa adalah prinsip CHM. Akan tetapi, apabila implementasi prinsip CHM di ruang angkasa dibandingkan dengan wilayah berstatus CHM lainnya, terlihat bahwa hukum ruang angkasa internasional belum mengatur secara spesifik mekanisme hukum eksplorasi dan eksploitasi sumber daya ruang angkasa serta pembagian manfaat yang adil untuk semua negara. Dalam hal ini, Artemis Accords juga belum mengatur mekanisme hukum yang jelas dalam eksplorasi dan eksploitasi sumber daya ruang angkasa dan tidak memandang ruang angkasa sebagai CHM, maka dari itu terdapat kemungkinan terjadinya eksploitasi berlebih oleh negara tertentu yang dapat merugikan keberlanjutan sumber daya ruang angkasa.
This thesis discusses the Artemis Accords as a new international legal framework governing the exploration and exploitation of space resources. Artemis Accords aims to support commercial activities of space resources under the Outer Space Treaty. The Artemis Accords did not based its principles on the Moon Agreement because the Moon Agreement stipulates that the Moon, other celestial bodies, and its resources are the common heritage of mankind (CHM) which its benefits must be shared with all mankind and no other country can make appropriations over space, in contrast to the Artemis Accords which does not regulate this. Meanwhile, the Outer Space Treaty stipulates that outer space is free to be accessed and utilized by all countries as long as it is based on the interests of all countries and becomes a province of all mankind (POM). Based on this, a better principle for regulating the exploration and exploitation of space resources is the CHM principle. However, if the implementation of the CHM principle in space is compared with other CHM status areas, it appears that international space law has not specifically regulated the legal mechanism for the exploration and exploitation of space resources and equitable benefit sharing for all countries. In this case, the Artemis Accords also has not regulated a clear legal mechanism in the exploration and exploitation of space resources and does not view space as a CHM, therefore there is a possibility of overexploitation by certain countries which can harm the sustainability of space resources."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Luna Puspita
"Fokus dari skripsi ini adalah untuk membahas prinsip perbatasan maritime dan penerapannya pada Sengketa Laut Cina Selatan, khususnya pada batas maritim negara penuntut. Skripsi ini juga menguraikan lebih lanjut mengenai posisi Indonesia di dalam sengketa tersebut. Tujuan dari skripsi ini adalah untuk memberikan pemahaman lebih lanjut mengenai Sengketa Laut Cina Selatan dan mendiskusikan lebih lanjut mengenai negara penutut yang mana yang memiliki klaim paling sah di Laut Cina Selatan.
The focus of this thesis is to discuss the maritime boundaries principle and applying the principle in the South China Sea Dispute regarding the maritime boundaries of the Claimant States. The thesis also elaborates more about Indonesia's position in the dispute. The purpose of this thesis is to give a more thorough understanding about the South China Sea Dispute, and discuss further regarding which claimant state has the most legitimate claim in the South China Sea."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S56468
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Virdi Lagaida Umam
"Dalam proses menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan, agenda keamanan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN)—sebagai institusi internasional utama di Asia Tenggara—melibatkan negara-negara anggotanya serta negara mitra dari luar dalam kegiatan-kegiatannya. Dengan sengketa maritim yang belum terselesaikan, meningkatnya pengaruh dari negara-negara kuat di ambang perbatasannya, serta munculnya pertanyaan-pertanyaan kritis yang diarahkan pada kemampuan institusi-institusi internasional, peran ASEAN dalam dimensi keamanan maritim lantas menjadi titik kritis secara akademik dan politik. Tinjauan literatur ini bertujuan untuk menganalisis pemahaman akademis mengenai kerja sama keamanan maritim ASEAN secara kritis, serta menerapkan analisis tersebut pada konteks regional yang terus berkembang. Menggunakan 25 literatur serta metode taksonomi, artikel ini mengidentifikasi tiga titik fokus utama literatur: 1) ASEAN sebagai aktor dalam sengketa Laut Tiongkok Selatan; 2) keamanan non-tradisional sebagai fokus utama keamanan maritim ASEAN; dan 3) analisis kritis mengenai kapabilitas dan agensi ASEAN sebagai institusi internasional. Tinjauan ini menemukan bahwa Tiongkok tetap menjadi faktor utama yang konstan dalam diskursus keamanan ASEAN, dan tindakannya di Laut Tiongkok Selatan menjadi tantangan keamanan utama bagi agenda keamanan ASEAN. Tinjauan ini juga menemukan bahwa diskursus akademik terpengaruh oleh interaksi antar-negara adidaya (great powers), khususnya kontestasi antara AS dan Tiongkok. Mengingat aspirasi ASEAN untuk mempertahankan sentralitasnya dalam menjamin perdamaian dan stabilitas kawasan, kajian literatur ini menyimpulkan bahwa ASEAN harus mengambil tindakan jika ingin mempertahankan sentralitas tersebut saat ini.
The issue of maritime security cooperation has become one of considerable importance within the changing political context of the maritime Southeast Asia region. In the process of establishing and maintaining the region’s peace and stability, the security agendas of the Association of Southeast Asian Nation—acting as Southeast Asia’s premier international institution—sees active participation by both its member states within the region as well as partners from without. But how does it fare in the face of its changing security challenges? With unresolved maritime disputes within its borders, the growing influence of international powers, and critical questions poised at the capabilities of international institutions, ASEAN’s role within the dimension of maritime security becomes a critical academic and political juncture. This literature review aims to critically analyze current academic understanding of ASEAN maritime security cooperation, applying it to the changing regional context. Using 25 relevant academic articles, this article identifies three main focal points of literature: 1) ASEAN as an actor in the South China Sea disputes’ 2) non-traditional security as the primary focus of ASEAN maritime security; and 3) critical analyses regarding ASEAN’s institutional capability and agency. It finds that China remains a constant primary factor in ASEAN’s security discourse, and its actions in the South China Sea constitutes ASEAN’s main security challenge. It also finds that the academic discourse is subject to the encroachment of great power politics, particularly the US-China contestation. Considering ASEAN’s aspirations to maintain its centrality in guaranteeing the region’s peace and stability, this literature review concludes that ASEAN must take political and academic action if it seeks to maintain its current trajectory."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Valentina Sahasra Kirana
"Sejak tahun 2009, Indonesia terikat oleh kerjasama open sky ASEAN. Tesis ini membahas keikutsertaan Indonesia dalam kerjasama ini ditinjau dari perspektif hukum internasional dan hubungan internasional. Teori yang menggambarkan hubungan antara kepentingan negara dan kepentingan rezim dalam kerjasama internasional yang seringkali berbenturan digunakan untuk menjelaskan kepentingan nasional Indonesia yang terganggu dalam kerjasama open sky ASEAN di satu sisi dan manfaat kerjasama ini di sisi lain. Di satu sisi, Indonesia bersama dengan kesepuluh negara anggota ASEAN lain memperoleh manfaat dari kerjasama open sky ASEAN melalui proyek Masyarakat ASEAN. Di sisi lain, kepentingan nasional Indonesia untuk melindungi kedaulatan di wilayah udara dan industri penerbangan nasionalnya terganggu dalam kerjasama ini. Ketentuan dalam Konvensi Wina sebagai sumber hukum internasional berperan dalam memberikan peluang bagi Indonesia berupa penarikan diri, reservasi maupun amandemen untuk memperjuangkan kepentingan nasionalnya yang terganggu oleh kerjasama ini, namun dengan tetap menjalankan kewajibannya terhadap rezim. Meskipun ketiga peluang ini dimungkinkan menurut hukum internasional, menurut hubungan internasional peluang untuk reservasi dan amandemen merupakan pilihan yang lebih diplomatis. Dengan meneliti posisi keikut-sertaan Indonesia dalam kerjasama open sky ASEAN, tampak bahwa hukum internasional dan hubungan internasional merupakan dua kajian yang saling mendukung. Hukum internasional merupakan kerangka normatif dalam hubungan internasional yang bertujuan untuk menyeimbangkan kepentingan negara dengan kepentingan rezim dalam sebuah kerjasama internasional. Meskipun demikian, dalam hubungan sarat konflik antara kepentingan rezim dengan kepentingan negara, kepentingan negara lebih banyak memengaruhi kepentingan rezim.
Since 2009, Indonesia has committed to ASEAN open sky cooperation. This research aims to observe Indonesia's participation within this cooperation through international law and international relations lenses. A theory describing conflict relations between state's and regime's interest within international cooperation is used to explain Indonesia's interest when facing challenges within this cooperation, while showing that there are also benefits from this cooperation. On the one side, Indonesia and the other ten ASEAN members enjoy open sky cooperation trough ASEAN Community project. On the other side, this cooperation has posed some challenge to Indonesia in protecting its air sovereignty and national airlines industry. The Vienna Convention as a source of international law offers some possibilities for Indonesia in the forms of withdrawal, reservation, or amendment in order to protect its national interests which have undergone some challenges while still adhering to its obligation to the regime. Even though the three possibilities are supported by international law, from international relation perspective possibilities to reserve and amend are considered more diplomatic. By observing Indonesia's partnership in ASEAN open sky cooperation, it can be concluded that international law and international relations are two disciplines that are complementing each other. International law is a normative construct in international relations that aims to balance state's and regime's interest. However, within conflict relations between regime's and state's interest, it is suggested that state's interest has more domination over regime's interest."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library