Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 106724 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Artahsasta Prasetyo Santoso
"Kesehatan merupakan suatu bagian dari hak asasi manusia yang dirumuskan dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, sehingga masyarakat perlu mengenal untuk dapat menjamin hak sebagai masyarakat. Penyelenggaraan kesehatan dipercayakan kepada tenaga kesehatan yaitu dokter dan penyedia fasilitas kesehatan, yaitu rumah sakit. Kenyataannya masih banyak masyarakat yang belum mengetahui tentang hak dan kewajiban sebagai pasien, khususnya hak dan kewajiban di mata hukum saat terjadi kasus-kasus malpraktik yang merugikan mereka. Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, malpraktik medis sendiri tidak diatur secara khusus. Saat terjadinya suatu kasus malpraktik medis, pasien memiliki hak untuk menuntut haknya, dengan begitu dokter yang melakukan malpraktik medis harus bertanggung jawab atas tindakan medis tersebut. Pada kasus-kasus tertentu, terdapat peran rumah sakit dalam terjadi malpraktik tersebut yang membuat rumah sakit dapat bertanggung jawab. Pengaturan ini secara eksplisit diatur di dalam Pasal 46 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Namun patut disayangkan, sering kali pasien maupun penegak hukum tidak mengetahui bahwa rumah sakit juga dapat bertanggung jawab. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya kasus yang masuk ke sistem peradilan pidana di Indonesia terkait dengan pertanggungjawaban pidana dari rumah sakit sebagai suatu korporasi terhadap terjadinya suatu kasus malpraktik.

Health is a part of human rights formulated in Article 28H of the Constitution of the Republic of Indonesia, 1945 so that people need to know how to be able to guarantee their rights as a citizen. Health care is entrusted to health workers, namely doctors and providers of health facilities, namely hospitals. In fact, many people do not know about their rights and obligations as patients, especially in the eyes of the law when medical malpractice occurs regardless of injure. In the laws and regulations in Indonesia, medical malpractice itself is specifically unregulated. When a medical malpractice case occurs, the patient occupies the claims of their rights, so the doctor who commits medical malpractice must be responsible for the medical action. In certain cases, there is an influential role from the hospital in the possible occurrence of malpractice which cautiously makes the medical institution responsible. This unique arrangement is explicitly regulated in Article 46 of Law Number 44, 2009 about Hospital. Unfortunately, often patients and law enforcement do not know hospitals can also be held responsible. This is evidenced by the frequent absence of specific cases entering the criminal justice system in Indonesia positively related to the criminal liability of hospital as a corporation for the tragic occurrence of medical malpractice cases."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Artahsasta Prasetyo Santoso
"Kesehatan merupakan suatu bagian dari hak asasi manusia yang dirumuskan dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, sehingga masyarakat perlu mengenal untuk dapat menjamin hak sebagai masyarakat. Penyelenggaraan kesehatan dipercayakan kepada tenaga kesehatan yaitu dokter dan penyedia fasilitas kesehatan, yaitu rumah sakit. Kenyataannya masih banyak masyarakat yang belum mengetahui tentang hak dan kewajiban sebagai pasien, khususnya hak dan kewajiban di mata hukum saat terjadi kasus-kasus malpraktik yang merugikan mereka. Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, malpraktik medis sendiri tidak diatur secara khusus. Saat terjadinya suatu kasus malpraktik medis, pasien memiliki hak untuk menuntut haknya, dengan begitu dokter yang melakukan malpraktik medis harus bertanggung jawab atas tindakan medis tersebut. Pada kasus-kasus tertentu, terdapat peran rumah sakit dalam terjadi malpraktik tersebut yang membuat rumah sakit dapat bertanggung jawab. Pengaturan ini secara eksplisit diatur di dalam Pasal 46 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Namun patut disayangkan, sering kali pasien maupun penegak hukum tidak mengetahui bahwa rumah sakit juga dapat bertanggung jawab. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya kasus yang masuk ke sistem peradilan pidana di Indonesia terkait dengan pertanggungjawaban pidana dari rumah sakit sebagai suatu korporasi terhadap terjadinya suatu kasus malpraktik.

Health is a part of human rights formulated in Article 28H of the Constitution of the Republic of Indonesia, 1945 so that people need to know how to be able to guarantee their rights as a citizen. Health care is entrusted to health workers, namely doctors and providers of health facilities, namely hospitals. In fact, many people do not know about their rights and obligations as patients, especially in the eyes of the law when medical malpractice occurs regardless of injure. In the laws and regulations in Indonesia, medical malpractice itself is specifically unregulated. When a medical malpractice case occurs, the patient occupies the claims of their rights, so the doctor who commits medical malpractice must be responsible for the medical action. In certain cases, there is an influential role from the hospital in the possible occurrence of malpractice which cautiously makes the medical institution responsible. This unique arrangement is explicitly regulated in Article 46 of Law Number 44, 2009 about Hospital. Unfortunately, often patients and law enforcement do not know hospitals can also be held responsible. This is evidenced by the frequent absence of specific cases entering the criminal justice system in Indonesia positively related to the criminal liability of hospital as a corporation for the tragic occurrence of medical malpractice cases. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siagian, Randolph Yosua
"Penelitian ini pada dasarnya berhubungan dengan kesehatan sebagai hak asasi manusia. Kesehatan sebagai hak asasi manusia ini diatur pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia pada Pasal 28 H ayat (1). Selain itu mengenai hak atas kesehatan ini Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan pada pasal 4 juga menyatakan hal yang sama. Namun pada penerapan di masyarakat berbeda dari apa yang tertulis di undang-undang. Pada kehidupan masyarakat masih terdapat penolakan pasien yang dilakukan oleh rumah sakit kepada pasien dalam keadaan darurat sehingga berakibat kematian. Penolakan ini dalam keadaan darurat sebenarnya dilarang oleh pasal 32 Undang-Undang Kesehatan. Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 32 Undang-Undang Kesehatan dapat berakibat kepada dijatuhkannya pidana pada pelaku pelanggaran sesuai pasal 190 Undang-Undang Kesehatan. Korporasi dalam hal inipun dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana sesuai pasal 201 Undang-Undang Kesehatan. Yang menjadi permasalahan dalam ketentuan pasal 32 Undang-Undang Kesehatan adalah definisi keadaan darurat tidak terdapat dalam undangundang kesehatan itu sendiri. Dalam penelitian ini akhirnya dapat disimpulkan bahwa definisi keadaan darurat dapat merujuk pada empat hal yaitu dari sejarah pembentukan undang-undang kesehatan, dari ilmu medis, dari kamus besar Bahasa Indonesia, dan undang-undang lain. Selain itu terhadap penegakan hukum pasal 190 Undang-Undang kesehatan belum ditemukan adanya kasus yang masuk dalam sistem peradilan pidana.

This Researh is basically related to health as a human rights. Health as a human right are regulated in Constitution of the Republic Indonesia in Paragraph H of article 28 (1). Beside that, Act No. 36 of 2009 about health is also state the same thing (health as a human rights). However, the application of this regulation is different from what is regulated in the regulation. There are still denial of patients in emergency situation (resulting a death) which is conducted by hospital and its instruments. This rejection is actually prohibited by article 32 of the health act. Violation of provisions of article 32 of the health act could result a criminal responsibility according to article 190 of the health act. According to article 201 of the health act, corporations is also can take a criminal responsibility. The problem is, the definition of emergency in article 32 is not included in the health act. This research ultimately concluded that the definitions of an emergency can refer to the four issues: the health act law maker?s definition, from the medical science, from the dictionary of indonesian, and other laws. In addition to the enforcement of article 190 and 201 of the health act, researcher have not found any cases that fall into the criminal justice systems."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
S43651
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Suhariyanto
"Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) telah mengatur model pertanggungjawaban pidana korporasi yaitu bilamana suatu tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama korporasi maka tuntutan dan penjatuhan pidananya dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. UU Tipikor tidak mengatur kriteria bilamana pertanggungjawaban pidana hanya ditujukan terhadap korporasi atau korporasi dan pengurusnya. Ketidaklengkapan UU Tipikor tersebut menyebabkan multi tafsir di kalangan penegak hukum dan hakim sehingga menimbulkan ketidak-pastian hukum dan ketidak-konsistenan putusan pengadilan. Disertasi ini melakukan telaah mengenai perumusan model pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perkara korupsi yang ideal di Indonesia agar tidak terjadi lagi ketidakpastian hukum dan multi tafsir dalam putusan pengadilan. Metode penelitian yang digunakan adalah studi dokumen, didukung dengan wawancara mendalam (in-depth interview) terhadap penegak hukum dan hakim. Adapun pendekatan masalah penelitian yang digunakan yaitu pendekatan perundang-undangan, konseptual, kasus dan perbandingan. Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa diperlukan penentuan kriteria model pertanggungjawaban pidana korporasi secara otonom, dependen dan independen. Model otonom mensyaratkan pertanggungjawaban korporasi tidak digantungkan dan dihubungkan dengan pertanggungjawaban pengurusnya sama sekali karena kesalahan korporasi tidak berasal dari atribusi kesalahan pengurusnya secara individu. Terdapat empat kriteria dalam model otonom yaitu: pertama, perbuatan pengurus merupakan perbuatan korporasi; kedua, perbuatan pengurus dilakukan untuk dan dalam rangka kepentingan korporasi dan tidak ada kepentingan individu pengurus; ketiga, kesalahan korporasi berasal dari atribusi kesalahan perbuatan korporasi; dan keempat, alokasi tanggung jawab hanya dibebankan kepada korporasi, tanpa sekalipun membebani tanggung jawab kepada pengurus. Model dependen mensyaratkan alokasi kesalahan dan pertanggungjawaban korporasi digantungkan pada terbuktinya kesalahan pengurus atas terjadinya tindak pidana korupsi. Terdapat dua kriteria model dependen yaitu pertanggungjawaban korporasi atas penerimaan manfaat hasil tindak pidana korupsi dan/atau pertanggungjawaban korporasi sebagai sarana tindak pidana korupsi. Model independen mensyaratkan pertanggungjawaban korporasi diajukan secara gabungan dengan pengurusnya dimana konstruksi kesalahan korporasi dibedakan dari pengurusnya dengan mengakomodasi kesalahan original atau organisasi atas reaksi saat terjadinya korupsi dan/atau budaya korporasi yang memicu korupsi. Penelitian ini merekomendasikan agar dilakukan reformulasi UU Tipikor dan pembentukan yurisprudensi terkait dengan kriteria model pertanggungjawaban pidana korporasi

Law Number 31 of 1999 as amended with Law Number 20 of 2001 on Corruption Crime Eradication (Corruption Law) governs a corporation criminal liability model i.e. if a corruption crime is committed by or on behalf of a corporation, then its indictment and criminal charge may be implemented against the corporation and/or its management. However, Corruption Law does not govern criteria whether criminal liability is only addressed to corporation or corporation and its management. Incomplete Corruption Law has led to multi-interpretations among law enforcers and judges causing legal uncertainty and inconsistency in court verdicts. This dissertation scrutinizes the formulation of a corporation criminal liability model in corruption cases that is ideal for Indonesia to prevent legal uncertainty and multi-interpretations in court verdicts. The research method used is a document study, supported with in-depth interviews with law enforcers and judges. The approaches of research problems used are the approaches of statutory laws, concept, case, and comparison. The research concludes that the determination of an autonomous, dependent, and independent corporation criminal liability model criteria is required. Autonomous model requires that corporation liability does not depend on and is not related to the liability of its management at all since the faults of a corporation are not originated from the attribution of its management’s faults individually. There are four criteria in the autonomous model, namely: first, the act of management is the act of a corporation; second, the act of management is conducted for and for the interest of a corporation and there is no individual interest of the management; third, the faults of a corporation come from the attribution of the faults of a corporation’s acts; and fourth, the allocation of liability is only imposed to corporation, without imposing liability to management. The dependent model requires that the allocation of faults and liability of a corporation depends on the proven faults of management regarding a corruption crime. There are two dependent model criteria namely corporation liability over the receipt of proceeds of corruption crime and/or corporation liability as a facility for corruption crime. The independent model requires corporation liability to be submitted collectively with its management in which the construction of a corporation’s faults is distinguished from its management by accommodating original or organizational faults over a reaction during the occurrence of corruption and/or corporation cultures that trigger corruption. This research recommends the reformulation of Corruption Law and the formation of relevant jurisprudence through corporation criminal liability model criteria."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Suhariyanto
"Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) telah mengatur model pertanggungjawaban pidana korporasi yaitu bilamana suatu tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama korporasi maka tuntutan dan penjatuhan pidananya dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. UU Tipikor tidak mengatur kriteria bilamana pertanggungjawaban pidana hanya ditujukan terhadap korporasi atau korporasi dan pengurusnya. Ketidaklengkapan UU Tipikor tersebut menyebabkan multi tafsir di kalangan penegak hukum dan hakim sehingga menimbulkan ketidak-pastian hukum dan ketidak-konsistenan putusan pengadilan. Disertasi ini melakukan telaah mengenai perumusan model pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perkara korupsi yang ideal di Indonesia agar tidak terjadi lagi ketidakpastian hukum dan multi tafsir dalam putusan pengadilan. Metode penelitian yang digunakan adalah studi dokumen, didukung dengan wawancara mendalam (in-depth interview) terhadap penegak hukum dan hakim. Adapun pendekatan masalah penelitian yang digunakan yaitu pendekatan perundang-undangan, konseptual, kasus dan perbandingan. Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa diperlukan penentuan kriteria model pertanggungjawaban pidana korporasi secara otonom, dependen dan independen. Model otonom mensyaratkan pertanggungjawaban korporasi tidak digantungkan dan dihubungkan dengan pertanggungjawaban pengurusnya sama sekali karena kesalahan korporasi tidak berasal dari atribusi kesalahan pengurusnya secara individu. Terdapat empat kriteria dalam model otonom yaitu: pertama, perbuatan pengurus merupakan perbuatan korporasi; kedua, perbuatan pengurus dilakukan untuk dan dalam rangka kepentingan korporasi dan tidak ada kepentingan individu pengurus; ketiga, kesalahan korporasi berasal dari atribusi kesalahan perbuatan korporasi; dan keempat, alokasi tanggung jawab hanya dibebankan kepada korporasi, tanpa sekalipun membebani tanggung jawab kepada pengurus. Model dependen mensyaratkan alokasi kesalahan dan pertanggungjawaban korporasi digantungkan pada terbuktinya kesalahan pengurus atas terjadinya tindak pidana korupsi. Terdapat dua kriteria model dependen yaitu pertanggungjawaban korporasi atas penerimaan manfaat hasil tindak pidana korupsi dan/atau pertanggungjawaban korporasi sebagai sarana tindak pidana korupsi. Model independen mensyaratkan pertanggungjawaban korporasi diajukan secara gabungan dengan pengurusnya dimana konstruksi kesalahan korporasi dibedakan dari pengurusnya dengan mengakomodasi kesalahan original atau organisasi atas reaksi saat terjadinya korupsi dan/atau budaya korporasi yang memicu korupsi. Penelitian ini merekomendasikan agar dilakukan reformulasi UU Tipikor dan pembentukan yurisprudensi terkait dengan kriteria model pertanggungjawaban pidana korporasi

Law Number 31 of 1999 as amended with Law Number 20 of 2001 on Corruption Crime Eradication (Corruption Law) governs a corporation criminal liability model i.e. if a corruption crime is committed by or on behalf of a corporation, then its indictment and criminal charge may be implemented against the corporation and/or its management. However, Corruption Law does not govern criteria whether criminal liability is only addressed to corporation or corporation and its management. Incomplete Corruption Law has led to multi-interpretations among law enforcers and judges causing legal uncertainty and inconsistency in court verdicts. This dissertation scrutinizes the formulation of a corporation criminal liability model in corruption cases that is ideal for Indonesia to prevent legal uncertainty and multi-interpretations in court verdicts. The research method used is a document study, supported with in-depth interviews with law enforcers and judges. The approaches of research problems used are the approaches of statutory laws, concept, case, and comparison. The research concludes that the determination of an autonomous, dependent, and independent corporation criminal liability model criteria is required. Autonomous model requires that corporation liability does not depend on and is not related to the liability of its management at all since the faults of a corporation are not originated from the attribution of its management’s faults individually. There are four criteria in the autonomous model, namely: first, the act of management is the act of a corporation; second, the act of management is conducted for and for the interest of a corporation and there is no individual interest of the management; third, the faults of a corporation come from the attribution of the faults of a corporation’s acts; and fourth, the allocation of liability is only imposed to corporation, without imposing liability to management. The dependent model requires that the allocation of faults and liability of a corporation depends on the proven faults of management regarding a corruption crime. There are two dependent model criteria namely corporation liability over the receipt of proceeds of corruption crime and/or corporation liability as a facility for corruption crime. The independent model requires corporation liability to be submitted collectively with its management in which the construction of a corporation’s faults is distinguished from its management by accommodating original or organizational faults over a reaction during the occurrence of corruption and/or corporation cultures that trigger corruption. This research recommends the reformulation of Corruption Law and the formation of relevant jurisprudence through corporation criminal liability model criteria."
Jakarta: Fakultas Hukum, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aria Bahana Utama
"Skripsi ini membahas mengenai bagaimana di dalam praktek penerapan pasal 1367 KUH Perdata dalam pertanggungjawaban Rumah Sakit Swasta apabila dokter purnawaktu yang bekerja padanya melakukan suatu tindakan malpraktik medis. Pada praktiknya, penerapan pasal 1367 KUH Perdata tidaklah mutlak. Yang menjadi batasan adalah hak regres yang dimiliki oleh rumah sakit yang didasari oleh pasal 30 ayat (1) huruf e UU No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Adanya hak regres ini merupakan suatu penerapan hukum yang keliru karena hak regres tidak seharusnya berlaku di dalam lingkup hukum tentang harta kekayaan melainkan di dalam lingkup hukum ketenagakerjaan.

This thesis discusses about how in practice the application of article 1367 Indonesian Civil Code in Private Hospital Responsibility if their full time doctor committed a medical malpractice. In fact, article 1367 Indonesian Civil Code can not be applied absolutely. The obstacle is the recourse right owned by the private hospital based on article 30 paragraph (1) letter e Law No. 44 of 2009 on Hospital (Hospital Law). The existence of the recourse right is a fallacy of the application of the law because the recourse right does not supposed to be applied within the scope of the law of property but within the scope of labor law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S44810
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reihan Putri
"Skripsi ini membahas mengenai pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana narkotika. Korporasi tidak dikenal sebagai subjek hukum pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), namun korporasi telah diakui sebagai subjek hukum pidana dalam beberapa unang-undang di luar KUHP. Salah satu undang-undang yang mengakui korporasi sebagai subjek hukum pidana adalah UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk dapat mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Tindak Pidana khususnya dalam tindak pidana Narkotika. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif untuk disajikan secara deskriptif analitis. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa korporasi dapat menjadi pelaku tindak pidana dalam tindak pidana narkotika dan dapat dibebani pertanggungjawaban pidana dengan menggunakan doktrin-doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi.

The focus of this thesis is about corporate criminal liability in narcotics crime. Corporation is not known as the subject of criminal law in the Code of Penal (Penal Code), however Corporation has been recognized as a subject of criminal law through legislation outside the Indonesian Penal Code. One of the law that recognizes corporation as the subject of criminal law is Act No. 35 of 2009. The aim of this research is to know how a corporation could be responsible in criminal law especially in narcotics crime. This research use literature research method in the form of normative juridical with qualitative approach in order to provide analytical descriptive data. The conclusion of this thesis is that a corporation could be liable for committing narcotics crime according to the doctrines of corporate criminal liability.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S60492
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sandi Yudha Prayoga
"Korporasi sebagai badan hukum memiliki peranan besar dalam pertumbuhan perekonomian Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang pesat akibat korporasi ini diiringi dengan munculnya modus operandi baru dalam melakukan tindak pidana, khususnya pada tindak pidana perikanan. Dalam tindak pidana perikanan, ketika terjadi suatu tindak pidana yang melibatkan korporasi maka pertanggungjawaban secara pidana terhadap korporasi merujuk kepada peraturan hukum yang berlaku. Penelitian ini berusaha untuk menjawab beberapa permasalahan, yaitu pertama, pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi di bidang perikanan; kedua, penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi di bidang perikanan; ketiga, pengaturan yang ideal mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi di bidang perikanan. Penelitian ini mendasarkan kepada penelitian hukum normatif, di mana mengacu kepada sumber data sekunder berupa bahan hukum dan bahan non-hukum. Hasil penelitian membuktikan bahwa: pertama, pengaturan mengenai pertangggungjawaban pidana korporasi di bidang perikanan memiliki kelemahan terutama terkait dengan beban pertanggungjawaban pidana korporasi yang dibebankan kepada pengurus dan korporasi; kedua, penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi di bidang perikanan belum pernah ditempuh walaupun terdapat kasus tindak pidana di bidang perikanan yang melibatkan korporasi; ketiga, pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi di bidang perikanan yang ideal adalah ketika subjek tindak pidana dibebankan secara alternatif-kumulatif dan dilakukan sinkronisasi terhadap sanksi pidana pada pasal-pasal tindak pidana perikanan. Oleh karena itu, perlu mengambil langkah-langkah penting: (1) mengubah dan menambah rumusan mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi di bidang perikanan terkait dengan: subjek, pengaturan dan mekanisme serta sanksi; (2) meningkatkan pengetahuan dan kemampuan aparat penegak hukum; (3) mengoptimalkan koordinasi antar instansi penyidik tindak pidana di bidang perikanan; dan (4) membuat pedoman penanganan perkara tindak pidana perikanan dengan subjek hukum korporasi.

A corporation as a legal entity has played a major role in Indonesia’s economic growth. The rapid economic growth due to the role of corporations has also been accompanied by the emergence of a new modus operandi in committing criminal acts, especially in fisheries crimes. In this context, when a criminal act involving a corporation occurs, the application of corporate criminal liability should be based on the existing regulations. This research seeks to address several issues: first, the regulation of corporate criminal liability in the fisheries crimes; second, the application of corporate criminal liability in the fisheries crimes; third, the ideal formulation regulating corporate criminal liability in the fisheries crimes. This research is based on normative legal research using secondary data sources consisting of legal and non-legal materials. The findings of the research demonstrate that: first, regulations regarding corporate criminal responsibility in fisheries crimes have some weaknesses, especially in relation to the burden of criminal liability imposed on management and corporations; second, in reality, the concept of corporate liability has never been applied in fishery crimes although there were cases which might have been involving corporate crimes; third, the ideal arrangement regarding corporate criminal liability in fisheries crime is when the subject of a criminal act is charged in an alternative-cumulative manner and synchronization of criminal sanctions in the articles of criminal acts of fisheries crime. Therefore, it’s necessary to take important steps: (1) change and add to the formulation of corporate criminal liability in fisheries crime related to: subject, regulation & mechanism and sanctions; (2) increase the knowledge and capacity of law enforcement officers; (3) optimizing coordination between criminal investigation agencies in fisheries cime; and (4) make guidelines for handling fisheries crime cases with corporate subjects."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sandi Yudha Prayoga
"Korporasi sebagai badan hukum memiliki peranan besar dalam pertumbuhan perekonomian Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang pesat akibat korporasi ini diiringi dengan munculnya modus operandi baru dalam melakukan tindak pidana, khususnya pada tindak pidana perikanan. Dalam tindak pidana perikanan, ketika terjadi suatu tindak pidana yang melibatkan korporasi maka pertanggungjawaban secara pidana terhadap korporasi merujuk kepada peraturan hukum yang berlaku. Penelitian ini berusaha untuk menjawab beberapa permasalahan, yaitu pertama, pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi di bidang perikanan; kedua, penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi di bidang perikanan; ketiga, pengaturan yang ideal mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi di bidang perikanan. Penelitian ini mendasarkan kepada penelitian hukum normatif, di mana mengacu kepada sumber data sekunder berupa bahan hukum dan bahan non-hukum. Hasil penelitian membuktikan bahwa: pertama, pengaturan mengenai pertangggungjawaban pidana korporasi di bidang perikanan memiliki kelemahan terutama terkait dengan beban pertanggungjawaban pidana korporasi yang dibebankan kepada pengurus dan korporasi; kedua, penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi di bidang perikanan belum pernah ditempuh walaupun terdapat kasus tindak pidana di bidang perikanan yang melibatkan korporasi; ketiga, pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi di bidang perikanan yang ideal adalah ketika subjek tindak pidana dibebankan secara alternatif-kumulatif dan dilakukan sinkronisasi terhadap sanksi pidana pada pasal-pasal tindak pidana perikanan. Oleh karena itu, perlu mengambil langkah-langkah penting: (1) mengubah dan menambah rumusan mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi di bidang perikanan terkait dengan: subjek, pengaturan dan mekanisme serta sanksi; (2) meningkatkan pengetahuan dan kemampuan aparat penegak hukum; (3) mengoptimalkan koordinasi antar instansi penyidik tindak pidana di bidang perikanan; dan (4) membuat pedoman penanganan perkara tindak pidana perikanan dengan subjek hukum korporasi.

A corporation as a legal entity has played a major role in Indonesia’s economic growth. The rapid economic growth due to the role of corporations has also been accompanied by the emergence of a new modus operandi in committing criminal acts, especially in fisheries crimes. In this context, when a criminal act involving a corporation occurs, the application of corporate criminal liability should be based on the existing regulations. This research seeks to address several issues: first, the regulation of corporate criminal liability in the fisheries crimes; second, the application of corporate criminal liability in the fisheries crimes; third, the ideal formulation regulating corporate criminal liability in the fisheries crimes. This research is based on normative legal research using secondary data sources consisting of legal and non-legal materials. The findings of the research demonstrate that: first, regulations regarding corporate criminal responsibility in fisheries crimes have some weaknesses, especially in relation to the burden of criminal liability imposed on management and corporations; second, in reality, the concept of corporate liability has never been applied in fishery crimes although there were cases which might have been involving corporate crimes; third, the ideal arrangement regarding corporate criminal liability in fisheries crime is when the subject of a criminal act is charged in an alternative-cumulative manner and synchronization of criminal sanctions in the articles of criminal acts of fisheries crime. Therefore, it’s necessary to take important steps: (1) change and add to the formulation of corporate criminal liability in fisheries crime related to: subject, regulation & mechanism and sanctions; (2) increase the knowledge and capacity of law enforcement officers; (3) optimizing coordination between criminal investigation agencies in fisheries cime; and (4) make guidelines for handling fisheries crime cases with corporate subjects."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Zahra Syafitri Enanie
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai bentuk pertanggungjawaban tenaga kesehatan khususnya profesi perawat. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif yaitu penelitian ini mengacu pada ketentuan normatif atau peraturan perundang-undangan mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang menjalankan praktik pelayanan kesehatan serta menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Pendekatan kasus meliputi pertanggungjawaban pidana tenaga kesehatan perawat melalui pengadilan sebanyak tiga putusan. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa tugas dan wewenang tenaga kesehatan perawat dalam melakukan pelayanan kesehatan adalah praktik keperawatan professional meliputi seluruh aspek keperawatan yang diberikan kepada individu keluarga dan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni Undang-Undang Tentang Keperawatan No.38 Tahun 2014, Undang-Undang Tentang Kesehatan No.36 Tahun 2009 dan peraturan yang terkait lainnya. Perawat dalam menjalankan praktik keperawatan harus memiliki batas-batas tertentu dalam melakukan kegiatan pelayanan kesehatan atau praktik keperawatan. Ruang lingkup dari malpraktik medis meliputi praktik yang buruk/ salah yang berkaitan dengan profesi dibidang medis atau kesehatan yaitu profesi dokter, bidan dan perawat. Untuk membuktikan terjadinya malpraktik, faktor-faktor yang sangat penting adalah, Duty kewajiban , Breach of Duty Penyimpangan dari kewajiban , Direct Causation Akibat langsung , Damage Kerugian . Perawat dalam memberikan asuhan/pelayanan keperawatan harus bertanggungjawab baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap masyarakat. Bentuk pertanggungjawaban di sini baik berupa tanggung jawab maupun tanggung gugat. Tanggung jawab perawat dalam pelayanan kesehatan dapat dibagi menjadi 3 tiga yaitu tanggung jawab perdata, tanggung jawab administratif, dan tanggung jawab pidana.

ABSTRACT
This thesis discusses about the form of responsibility of health workers especially nursing profession. The author use normative methode which is the methode refers to normative or regulation provisions concerning criminal acts committed by health workers who carry out health service practice and use two approaches namely approach of legislation and approach of case. The case approach involves the criminal responsibility of health workers Nurses through the court of three decisions. The data already got will be analyzed by qualitative means describe the data in the form of a sentence and then interpreted by binding to the legislation so that eventually will lead to a conclusion. The result is the authorities of health workers Nurses in performing health services is a professional nursing practice covering all aspects of nursing given to individual families and communities in accordance with applicable legislation in Indonesia UU about Nurses No.38 in 2014. UU about healthy No.36 in 2009, etc. Nurses in doing nursing practice must have certain limits on doing health services or nursing practice. The scope of medical malpractice includes bad or false practices related to the medical or health professions such a doctors, midwives and nurses. The Fact For proven the malpractice are Duty, Breach of duty, Direct Causation, and Damage. The nurse in providing nursing care must be responsible both to himself and to the community. This form of accountability is both responsibility and accountability. The responsibility of the nurse in the health service can be divided into three namely civil liability, administrative responsibility, and criminal responsibility."
2017
T48443
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>