Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 209039 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agung Mohamad Rheza
"Latar belakang: Tinea pedis merupakan dermatofitosis pada sela jari dan telapak kaki yang disebabkan jamur dermatofita. Populasi yang berisiko tinggi mengidap tinea pedis adalah yang memakai sepatu tertutup dalam jangka waktu lama, misalnya tentara. Masih sedikit sekali penelitian yang meneliti prevalensi dan hubungannya dengan media penularan pada populasi tentara. Media penularan yang dianggap paling berperan pada tinea pedis adalah kaus kaki, karena dapat menyebabkan rekurensi dan infeksi baru pada orang lain. Terdapat berbagai faktor yang dapat mempengaruhi kepositifan dermatofita pada kaus kaki di antaranya frekuensi mengganti, kebiasaan bertukar, dan cara mencuci kaus kaki.
Tujuan: Membuktikan adanya hubungan antara cara penanganan kaus kaki dengan dermatofita pada kaus kaki pasien tinea pedis tentara yang tidak sedang dalam masa pendidikan.
Metode: Penelitian ini merupakan suatu penelitian deskriptif analitik dengan desain potong lintang. Pada penelitian ini dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan langsung lesi kulit dengan KOH. Kaus kaki ditandai dan digunting sesuai area lesi kulit. Skuama dari lesi kulit dan potongan kaus kaki kemudian dikultur untuk menilai kepositifan dermatofita. Uji korelasi Chi-squaredigunakan untuk menilai hubungan kepositifan dermatofita dengan cara penanganan kaus kaki.
Hasil: Dari 50 individu tentara yang memenuhi kriteria klinis tinea pedis di Yon Kes 1/KOSTRAD. Didapatkan 16 orang yang ditemukan hifa panjang pada pemeriksaan KOH. Usia terbanyak adalah kelompok usia 20-29 tahun dengan median 27.5 (21-50) tahun. Pada media kultur, ditemukan pertumbuhan dermatofita berupa 5 Trichophyton rubrumdan 1 Trichophyton mentagrophytesbaik pada lesi kulit maupun kaus kaki. Tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara frekuensi mengganti kaus kaki dengan kepositifan dermatofita (p>0.05). Semua subjek penelitian mencuci kaus kaki dengan air dan detergen dan tidak memiliki kebiasaan bertukar kaus kaki sehingga tidak bisa dianalisis hubungannya dengan kepositifan dermatofita secara statistik.
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan antara frekuensi mengganti kaus kaki dengan kepositifan dermatofita pada kaus kaki tinea pedis tentara yang tidak sedang dalam masa pendidikan. Proporsi kepositifan dermatofita penyebab tinea pedis baik pada lesi kulit maupun kaus kaki tentara yang tidak sedang dalam masa pendidikan yaitu sebesar 37.5%. Spesies dermatofita penyebab tinea pedis baik pada lesi kulit mupun kaus kaki tentara yang tidak sedang dalam masa pendidikan yaitu T. rubrumdan T. mentagrophytes.

Background:Tinea pedis is a dermatophytosis of the toe web and soles of the feet caused by dermatophyte fungi. Populations at high risk of developing tinea pedis are those who wear closed shoes for a long time, such as soldiers. There are still very few studies examining the prevalence and its relationship to fomites in the army population. The fomites that is considered to have the most role in tinea pedis is socks, because it can cause reinfection and new infections in other people. There are various factors that can affect the positivity of dermatophytes in socks, including the frequency of changing, changing habits, and how to wash socks.
Objective:To prove the relationship between the handling of socks and dermatophytes in the socks of military tinea pedis patients who are not currently in military training.
Methods:This study is a descriptive analytic study with a cross-sectional design. In this study, anamnesis, physical examination, and direct examination of skin lesions with KOH were performed. Socks are marked and cut according to the area of ​​the skin lesion. Scales from skin lesions and sock pieces were then cultured for dermatophyte positivity. Chi-square correlation test was used to assess the correlation of dermatophyte positivity with the way of handling socks.
Results:Fifty individual soldiers met the clinical criteria for tinea pedis in Yon Kes 1/KOSTRAD. There were 16 people who found long hyphae on KOH examination. The highest age group was the age group of 20-29 years with a median of 27.5 (21-50) years. On culture media, dermatophyte growths were found in the form of 5 Trichophyton rubrumand 1 Trichophyton mentagrophytesboth on skin lesions and socks. There was no statistically significant relationship between the frequency of changing socks with dermatophyte positivity (p>0.05). All study subjects washed their socks with water and detergent and did not have the habit of exchanging so their relationship with dermatophyte positivity could not be analyzed statistically.
Conclusion:There is no relationship between the frequency of changing socks and the positivity of dermatophytes in the socks of tinea pedis soldiers who are not in military training. The proportion of dermatophytes found in tinea pedis soldiers who were not in military training was 37.5% in both skin lesion and socks. Dermatophyte species that cause tinea pedis in soldiers who are not in military training are T. rubrumand T. mentagrophytesboth in skin lesion and socks.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Indah Lestari
"ABSTRAK
Latar Belakang : Sepatu tertutup (boot) merupakan salah satu jenis APD (Alat Pelindung Diri) yang digunakan oleh operator cucian mobil area basah untuk mencegah kecelakaan kerja. Namun dalam penggunaannya justru menimbulkan masalah kesehatan baru bagi pekerja yaitu penyakit jamur pada kaki (Tinea pedis). Penelitian ini bertujuan mengetahui insidensi Tinea pedis pada operator cucian mobil area basah dan membandingkan efektivitas jenis pelindung kaki tertutup (boot) dengan berongga bagi pencegahan Tinea pedis serta faktor- faktor yang mempengaruhinya.
Metode: Penelitian Kuasi Eksperimental dilakukan pada pekerja cucian mobil area basah di perusahaan waralaba pencucian mobil. Data diperoleh dari kuisioner, anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan KOH 10%, pengamatan di lapangan.
Hasil : Dari 55 orang pekerja diberikan 27 sepatu tertutup dan 28 sepatu berongga terdapat 6 orang yang mengalami Tinea pedis yang diperoleh melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan lab KOH 10%. Dari 6 orang itu, 4 orang menggunakan sepatu tertutup (66,6%) dan 2 orang sepatu berongga (33.3%). Keempat orang yang positif berusia diatas 24 tahun dengan tingkat pendidikan sedang yaitu SLTA. Dari 6 orang tersebut juga diketahui tingkat pengetahuan terhadap Tinea pedis kurang sebanyak 5 orang dan tingkat sedang 1orang. Mereka yang memiliki tingkat kebersihan diri rendah berisiko 8 kali lebih besar untuk menderita Tinea pedis. (RR=8,000, 95% CI= 1,675- 38,204, p= 0,011). Pekerja pengguna sepatu tertutup memiliki proporsi 2 kali lebih besar dan risiko 2 kali lebih besar untuk mengalami Tinea pedis bila dibandingkan dengan pengguna sepatu berongga (RR= 2,074, 95% CI= 0,413- 10,407, p= 0,422).
Kesimpulan: Pengguna sepatu tertutup lebih berisiko mengalami Tinea pedis bila dibandingkan dengan pengguna sepatu berongga. Faktor kebersihan diri seseorang yang rendah juga merupakan faktor yang meningkatkan risiko terjadinya Tinea pedis.

ABSTRACT
Background: Shoes (boots) is one Personal Protective Equipment used by car wash operators in wet areas to prevent accidents. But it can cause fungal diseases on foot (Tinea pedis). The aims of this study are not only to determine the incidence of Tinea pedis within the car wash operator in the wet areas and to compare the effectiveness of two kinds of PPE, shoes (boots) and porous shoes which are appropiate for the prevention of Tinea pedis but also the influencing factors.
Methods: Quasi-Experimental Research on the operators of car wash franchise company in wet areas. Data are obtained from the questionnaire, anamnesis, physical examination, examination of KOH 10%, field observations.
Results: Within 55 operators, 27 operators are given boots and 28 are given porous shoes. There are 6 people who have Tinea pedis which is conclude through anamnesis, physical examination, laboratory tests KOH 10%. Among them, 4 people using boots (66,66%) and 2 porous shoes (33,33%). The four positive people aged ≥ 24 years and are high school graduated . Among them, 5 people have low level of knowledge for Tinea pedis, 1 person is at moderate level. Those who have a low level of personal hygiene are 8 times greater at risk of suffering from Tinea pedis. (RR = 8.000, 95% CI = 1,675- 38.204, p = 0.011). Operators who use boots have 2 times greater proportion and 2 times greater risk for experiencing Tinea pedis when compared to the operators who use porous shoes.(RR= 2,074, 95% CI= 0,413- 10,407, p= 0,422).
Conclusion: Operators using shoes (boots) are more at risk of Tinea pedis, One?s low personal hygiene is also a factor which increases the risk of Tinea pedis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ihsan Wardawati
"ABSTRAK
Latar Belakang: Tinea pedis adalah dermatofitosis pada kaki terutama pada sela-sela jari kaki dan telapak kaki, tersering terdapat diantara jari IV dan V. Penyebab tersering adalah Trichophyton rubrum, Trichophyton mentagrophytes dan Epidermophyton floccosum. Penyakit ini sering terjadi pada pekerja yang harus menggunakan sepatu tertutup yang mengakibatkan kondisi kaki menjadi lembab. Beberapa faktor risiko Tinea pedis adalah perilaku higiene pada kaki yang buruk, penggunaan sepatu tertutup yang lama setiap hari, lingkungan kerja panas, pemakaian kaos kaki ketika bekerja dan paparan jamur dermatofit.
Tujuan Penelitian ini untuk mengetahui gambaran model prediksi risiko kejadian tinea pedis pada pekerja laki-laki di lingkungan panas sehingga diharapkan dapat menurunkan angka tinea pedis di pabrik elektronik PT X Tangerang.
Metode penelitian : Penelitian ini memakai pendekatan desain kasus kontrol. Subyek penelitian adalah pekerja laki-laki di daerah produksi dengan lingkungan kerja panas dan menggunakan sepatu safety sebanyak 46 orang. Data dikumpulkan dengan wawancara dan pemeriksaan fisik secara langsung. Subyek yang mengalami gejala klinis tinea pedis diambil sampel kerokan kulit. Hasil kerokan kulit dibawa ke laboratorium untuk diuji dengan menggunakan pemeriksaan KOH. Variabel terikat yaitu kejadian penyakit tinea pedis. Variabel bebas terdiri dari lingkungan panas, umur, pendidikan, status gizi, masa kerja pengetahuan higiene pada kaki, perilaku higiene pada kaki, kondisi kaos kaki, kaos kaki bau, kaos kaki lembab, kaos kaki kotor, kondisi safety shoes, sepatu safety bau, sepatu safety lembab dan sepatu safety kotor. Hasil penelitian dilakukan analisa univariat, bivariat dan multivariat untuk mengetahui faktor risiko kejadian tinea pedis pada pekerja laki-laki di lingkungan panas.
Hasil : Hasil uji kerokan kulit diperoleh sebanyak 23 orang mengalami tinea pedis. Hasil analisis bivariat dengan Chi square didapatkan 5 variabel yang bermakna yaitu Kondisi sepatu, sepatu bau, sepatu lembab, sepatu kotor dan kondisi kaos kaki dengan p< 0,05 dan satu variabel <0,25 yaitu masa kerja. Dari analisis multivariate uji regresi logistik didapatkan variabel yang nilai p nya < 0.05 adalah sepatu lembab dengan nilai p = 0.002. Dengan perhitungan maximum likelihood didapatkan nilai 0.743. Artinya probabilitas maksimal seorang pekerja dengan sepatu lembab sebesar 74.3% untuk terjadinya tinea pedis.
Kesimpulan: Model prediksi risiko kejadian tinea pedis pada pekerja laki-laki dilingkungan panas adalah sepatu lembab dengan probabilitas maksimal sebesar 74.3% untuk terjadinya tinea pedis

ABSTRACT
Background: Tinea pedis is dermatophytosis on the feet, especially on the between the toes and soles of feet, there are between the most frequent finger IV and V. Commonest cause is Trichophyton rubrum, Trichophyton mentagrophytes and Epidermophyton floccosum.The disease is frequently happens in workers who have to using enclosed shoes which resulted in feet becomes humid conditions. Several risk factors Tinea pedis is the behavior of on the bad foot hygienic, the use of closed shoes which long time each day, the heat working environment, usage socks at work and exposures of dermatophyte fungi. The purpose of this research was to know the description occurrence risk prediction model of tinea pedis on the male employees at heat environments which we expect will reducing the number tinea pedis at electronics factory PT X Tangerang.
Methods: This research used case-control design approaches. Research subjects are male employees at the production area with the heat working environment and using of safety shoes as many as 46 persons. The data collected with interviews and directly of physical examination. Subjects were experiencing a clinical symptoms of tinea pedis be taken samples the skin scrape. The results of the skin scrape brought to the laboratory for been tested by using a KOH examination. Bound variable i.e. occurrence of disease tinea pedis. Independent variable consisted from the heat environmental, ages, educational, the nutritional status of, years of knowledge on the feet hygienic, hygienic behavior of on the feet, condition of socks, smelly socks, socks humid, dirty socks, condition of safety shoes, Safety footwear is stink, humid and is Safety footwear is dirty. The results of research carried unvaried analysis, bivariate and multivariate to determine the risk factors of tinea pedis on the male employees at heat environments.
Results: Result showed from tested skin scrapping is 23 people have tinea pedis . The results of bivariate analysis with Chi square found 5 significant variables, those are conditions of the shoes, stinky shoes, damp shoes, dirty shoes and conditions of socks with p <0.05 and one additional variable <0.25 is working period. The results of multivariate analysis with logistic regression test found p value <0.05 was damp shoes with p = 0.002. The results of calculations maximum likelihood obtained value is 0.743. It means the maximum probability of a worker with damp shoes at 74.3% to the occurrence of tinea pedis.
Conclusion: Risk prediction models of tinea pedis in the male workers at heat working environment is damp shoes with maximum probability of a worker at 74.3% to the occurrence of tinea pedis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58876
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
O. U. Herlina Narulita
"Latar Belakang : Tinea pedis dapat terjadi karena memakai sepatu tertutup (safety shoes) dalam waktu lama yang dapat menyebabkan keringat berlebih sehingga menambah kelembaban di daerah sekitar kaki. Selain itu kondisi sepatu tertutup (safety shoes), khususnya safety shoes dengan kondisi bau, lembab, kotor, rusak dan sempit juga dapat menambah faktor resiko terjadinya tinea pedis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui lama pemakaian safety shoes dan kondisi safety shoes terhadap kejadian tinea pedis pada pekerja kebersihan di RS Swasta Jakarta Selatan.
Metode : Desain penelitian menggunakan desain potong lintang yang melibatkan 86 pekerja kebersihan di RS Swasta Jakarta Selatan. Pengambilan data menggunakan kuesioner yang terdiri kuesioner Pengetahuan tentang foot hygiene, kuesioner perilaku tentang foot hygiene, pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH 10%.
Hasil : Prevalensi Tinea Pedis pada Petugas Kebersihan (n=86) 31,4%. Pada penelitian ini didapatkan bahwa faktor yang memiliki hubungan bermakna untuk terjadinya tinea pedis adalah lama pemakaian safety shoes dengan tinea pedis (p = 0,003), kondisi safety shoes yang tidak baik (p = 0,002), kondisi kaos kaki yang tidak baik (p = < 0,001), perilaku tentang foot hygiene yang tidak baik (p = < 0,001).
Kesimpulan dan Saran : Pada penelitian menemukan bahwa prevalensi tinea pedis pada pekerja kebersihan RS Swasta cukup tinggi. Didapatkan bahwa faktor lama pemakaian safety shoes, kondisi safety shoes yang tidak baik, kondisi kaos kaki yang tidak baik dan perilaku tentang foot hygiene yang tidak baik mempunyai hubungan bermakna dengan terjadinya tinea pedis di RS Swasta Jakarta Selatan.

Background : Tinea pedis may occur due to wear occlusive footwear for along time that can add excessive sweating that add humidity in the area around the foot. Conditions occlusive footwear, safety shoes with a particular odor conditions, damp, dirty, broken and narrow also can increase risk tinea pedis. The aim of this study was determine the assosiation of duration of use safety shoes and safety shoes conditions on the tinea pedis on housekeeper in hospital.
Methods: Cross sectional design using 86 samples on housekeeping workers of Hospital. Data are obtained from questionnaire, consists of knowledge quetionnaire about foot hygiene, Behavioral questionnaire about foot hygiene, and examination of KOH 10% field observations.
Results: Prevalensi of tinea pedis in housekeeper (n=86) 31,4%.In this study was found that the factors have significant relationship to the occurance of tinea pedis is the use of occlusive footwear (safety shoes) for along time (p = 0,003), safety shoes are not good conditions (p = 0,002) ,shocks are not good conditions (p = < 0,001), and behaviors about foot hygiene is not good conditions (p = < 0,001).
Conclution: The study found that the prevalence of tinea pedis on housekeeper is quite high. Several risk factors Tinea is use occlusive footwear which long time each day, conditions of safety shoes, conditions of socks and behaviors about foot hygiene is not good conditions have significant relationship.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Dewi Megayanti
"Diabetes self care DSC merupakan bagian dari pengelolaan diabetes. Tujuan penelitian ini adalah menganalisa hubungan DSC dengan score PEDIS dan kontrol glikemik pasien DM. Penelitian ini merupakan cross sectional studi yang melibatkan 106 pasien. Statistik menunjukkan ada hubungan bermakna antara DSC dengan score PEDIS p 0,0005 dengan korelasi kuat r -0,74 dan kontrol glikemik p 0,0005 dengan korelasi sedang 0,45 . Hasil Regresi menunjukkan DSC berhubungan dengan score PEDIS setelah dikontrol variabel jenis pekerjaan dan lama terdiagnosis DM. DSC berhubungan dengan kontrol glikemik setelah dikontrol jenis pekerjaan dan jenis OAD. Perawat dapat menggunakan DSC sebagai indikator score PEDIS dan kontrol glikemik pasien.

Diabetes self care DSC is an integrated part in diabetes management. The aim of this study was to analyze the correlation between DSC with PEDIS score and glycemic control in diabetes patients. This study applied a cross sectional design, involving 106 patients. Statistics showed a significant association between DSC and PEDIS score p 0.0005 with a strong correlation r 0.74 and glycemic control p 0.0005 with a moderate correlation 0.451 . The regression test showed that the DSC was associated with the PEDIS score after controlled with the variable of occupations and duration of having diabetes. DSC associated with the glycemic control after controlled with occupation and type of anti diabetics agent. Nurses may consider patient rsquo s diabetes self care score as an indicator of the PEDIS score and the glycemic control.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
T48516
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suriadi
"Ruang lingkup: Pekerja yang mendapatkan pajanan antara lain panas dan lembab tinggi, misalnya pada pekerja usaha makanan seafood kaki lima merupakan kelompok yang mudah terinfeksi tinea kruris. Kebiasaan pekerja tidur bersama-sama, kebersihan diri yang kurang, pendidikan rendah, serta beberapa variabel lain juga diduga merupakan faktor risiko terhadap tinea kruris. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui prevalensi serta faktor-faktor risiko yang dapat mempengaruhi kejadian tinea kruris. Metode : Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dengan jumlah sampel sebanyak 87 orang yang merupakan populasi terjangkau. Data diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan sediaan langsung KOH untuk memastikan diagnosis tinea kruris. Juga dilakukan wawancara dengan menggunakan kuesioner. Hasil penelitian : Didapatkan prevalensi tinea kruris pada pekerja usaha makanan seafood kaki lima di Kecamatan Taman Sari sebesar 33,3%. Faktor-faktor risiko seperti umur, jenis kelamin, pendidikan rendah, kebersihan diri, kontak erat dengan penderita tinea kruris, serta status gizi tidak terbukti rnerupakan faktor risiko untuk terjadinya tinea kruris pada pekerja usaha makanan seafood kaki lima. Ditemukan faktor risiko yang cenderung memiliki hubungan yang cukup kuat dengan tinea kruris, yaitu kebersihan diri (p= 0,052; OR= 7,30; 95% CI= 0,90-158,4). Kesimpulan dan Saran : Hasil penelitian ini mendapatkan prevalensi tinea kruris pada pekerja usaha makanan seafood kaki lima di Kecamatan Taman Sari ternyata tinggi dibandingkan dengan prevalensi pada komunitas pekerja lainnya. Karena kelemahan metode pada penelitian ini, panas dan lembab belum dapat dibuktikan berpengaruh terhadap kejadian tinea kruris. Kebersihan diri mempunyai kecenderungan hubungan yang kuat dengan tinea kruris. Penelitian selanjutnya untuk mengetahui pengaruh panas dan lembab terhadap tinea kruris, diperlukan pengelompokan populasi yang jelas berada pada dua tempat yang iklim kerjanya berbeda, atau dengan menggunakan analisis tugas (job analysis) pada 2 kelompok populasi yang iklim kerjanya tidak berbeda. Untuk mengetahui apakah kebersihan diri merupakan faktor risiko terhadap tinea kruris, diperlukan jumlah sampel yang seimbang untuk 2 kelompok yang diteliti. Penelitian hendaknya menggunakan kasus-kontrol sebagai desain penelitian."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T16195
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Willy Muljono
"Latar belakang: Ulkus Kaki diabetik atau Diabetic Foot Ulcer merupakan salah satu komplikasi yang berat, karena sering kali ulkus kaki diabetik berakhir dengan amputasi kecacatan dan kematian. USG Doppler merupakan modalitas yang mudah tersedia dan non invasif untuk evaluasi arteri ekstremitas inferior dan dapat mendeteksi tingkat keparahan gangguan aliran darah atau Penyakit Arteri Perifer (PAP) dengan sensitivitas 42,8% dan spesifisitas 97,5%. WHO merekomendasikan klasifikasi Perfusion, Extent/Size, Depth/Tissue Loss, Infection, Sensation (PEDIS) sebagai sarana penegakan diagnosis dan membantu menentukan tatalaksana kaki diabetik. Penelitian ini dilakukan untuk melihat korelasi skor PEDIS dalam menilai gangguan aliran arteri tungkai berdasarkan spektral USG Doppler pada penderita ulkus kaki diabetik di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta. Subjek dan Metode: Subjek penelitian adalah pasien ulkus kaki diabetes yang dirawat di Divisi Bedah Vaskular dan Endovaskular FKUI-RS Cipto Mangunkusumo Jakarta dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Penelitian ini dilakukan dengan perhitungan menggunakan sensitivitas estimasi sebesar 80%, error absolut (d=5%), prevalensi estimasi 51,8% maka besar sampel minimal adalah 76. Setelah itu diperoleh data berupa skor PEDIS dan hasil spektral USG pada arteri femoralis, arteri poplitea, arteri dorsalis pedis dan arteri tibialis posterior. Penelitian ini mengumpulkan 81 orang subjek dengan 52 orang (64%) jenis kelamin laki-laki, 29 orang (36%) perempuan dan rata-rata usia 59,8+10,5 tahun. Profil gula darah sewaktu subjek median 265 mg/dl dengan kisaran antara 105-571 mg/dl. Pada tabel 3 dalam menentukan Cut Off skor PEDIS menggunakan kurva ROC (Receiver Operating Characteristic), didapatkan Cut Off arteri poplitea >10, sedangkan arteri dorsalis pedis dan arteri tibialis posterior >8.

Main topics: Diabetic Foot Ulcer or Diabetic Foot Ulcer is one form that is severe, because often diabetic foot ulcers end with disability amputation and death. Doppler ultrasound is an easily available and unlimited modality for lower limb risk and can detect the severity of arterial disease or peripheral arterial sensitivity (PAP) with a sensitivity of 42.8% and specificity of 97.5%. WHO that performs Data Perfusion, Area/Size, Depth/Tissue Loss, Infection, Sensation (PEDIS) as a means of enforcing the diagnosis and helps determine the management of diabetic foot. This study was conducted to look at the PEDIS score in assessing the disturbance of limb arterial flow based on Doppler ultrasound in patients with diabetic foot ulcer at Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Subjects were patients with diabetic foot ulcers performed in the Division of Vascular and Endovascular Surgery of the Faculty of Medicine-Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta and fulfilled the inclusion and exclusion criteria. This research was conducted by calculating using an estimation sensitivity of 80%, absolute error (d = 5%), the largest prevalence of 51.8%, then the minimum sample size was 76. After that data was obtained in the form of PEDIS scores and spectral results of ultrasound in the femoral artery, arteries poplitea, dorsalis pedis artery and posterior tibial artery. This study collected 81 subjects with 52 people (64%) male gender, 29 people (36%) women and an average of 59.8 + 10.5 years. The blood sugar profile was median 265 mg/dl with a range of 105-571 mg/dl. In table 3 in determining the PEDIS score Cut-Off using the Receiver Operating Characteristic curve, obtained Cut-ff popliteal artery> 10, while the dorsalis pedis artery and posterior tibial artery> 8."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Komarudin
"ABSTRAK
Diabetes Mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekres Diabetes Mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya dan bisa menyebabkan ketidakseimbangan gula darah. Ketidakseimbangan glukosa darah yang berdampak pada neuropati dan menimnbulkan luka. Modern dressing adalah perawatan luka mampu untuk mempertahankan lingkungan lembab yang seimbang dengan permukaan luka, pemilihan dressing yang tepat seperti hidrogel, absorban, hydrocolloids, foams, alginates, and hydrofibers. Proses analisis menggunakan Bates Jensen Wound assessment tool. Hasil analisa terhadap intervensi yang dilakukan selama 7 hari berturut-turut didapatkan pertumbuhan jaringan granulasi pada luka yang dimiliki pasien dari nilai awal menjadi 24 setelah dilakukan perawatan dengan modern dressing. Penelitian selanjutnya bisa melakukan analisis lebih lanjut terhadap luka dengan jenis balutan modern dressing lainnnya.

ABSTRACT
Diabetes Mellitus is a group of metabolic diseases with characteristics of hyperglycemia that occur due to abnormal insulin secretion, insulin work or both and can cause blood sugar imbalances. Blood glucose imbalances that affect neuropathy and cause injury. Modern dressing is wound care capable of maintaining a moist environment that is balanced with the wound surface, choosing the right dressing such as hydrogels, absorptions, hydrocolloids, foams, alginates, and hydrofibers. The analysis process uses the Bates Jensen Wound assessment tool. The results of the analysis of the interventions carried out for 7 consecutive days obtained growth of granulation tissue in the wounds of the patients from the initial value to 24 after treatment with modern dressings. Future studies can further analyze the wound with other types of modern dressing.
"
2019
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Natasya Davita
"Pemantauan terapi obat (PTO) merupakan kegiatan yang dilakukan di rumah sakit untuk memastikan terapi yang diberikan aman, efektif dan rasional dengan cara pengkajian terapi dari segi obat, dosis, cara pemberian, respon terapi, dan reaksi obat yang tidak dikehendaki serta rekomendasi perubahan atau alternatif terapi yang dapat diberikan untuk mengoptimalkan efek terapi dan meminimalkan efek yang tidak dikehendaki tersebut. PTO dilakukan pada pasien dengan diagnosis utama yaitu sepsis, ulkus pedis sinistra, dan fraktur fibula sinistra. Tujuan dari laporan ini yaitu untuk mengetahui masalah terkait obat berdasarkan klasifikasi Hepler dan Strand dan memberikan rekomendasi penyelesaian masalah untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Metode yang digunakan dalam laporan yaitu mengumpulkan data dari Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi dan melakukan analisis PTO berdasarkan metode Hepler dan Stand. Berdasarkan analisis pemantauan terapi obat dengan metode Hepler dan Strand, dapat disimpulkan bahwa terdapat masalah terkait duplikasi penggunaan obat analgesik, interaksi obat, Reaksi obat yang tidak dikehendaki, dan penggunaan obat ketorolak melebihi batas yang telah ditentukan. Rekomendasi yang dapat dilakukan yaitu melakukan pemantauan lama penggunaan ketorolak, pemantauan penggunaan obat yang dapat menyebabkan interaksi, dan pemantauan efek terapi obat analgesik.

Drug therapy monitoring is an activity carried out in a hospital to ensure that the therapy given is safe, effective and rational through assessing therapy in terms of drug, dosage, method of administration, therapeutic response, and unwanted drug reactions, as well as recommendations for changes or alternatives. Therapy can be given to optimize the therapeutic effect and minimize these unwanted effects. Drug therapy monitoring was performed in patients with the primary diagnoses of sepsis, left foot ulcer, and left fibula fracture. This report aims to identify drug-related problems based on Hepler and Strand's classification and provide recommendations for problem solving to improve the patient's quality of life. The method used in the report is to collect data from the Integrated Patient Progress Record and perform a drug therapy monitoring analysis based on the Hepler and Stand methods. Based on the analysis of drug therapy monitoring using the Hepler and Strand methods, it can be concluded that there are problems related to the duplication of analgesic drug use, drug interactions, unwanted drug reactions, and the use of ketorolac drugs that exceed predetermined limits. Recommendations that can be made are monitoring the duration of using ketorolac, the use of drugs that can cause interactions, and the effects of analgesic drug therapy."
Depok: 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Depok : Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia , 2019
610 JKI 22:2 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>