Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 203912 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Saragih, Habdad Alwi
"Unjuk rasa dalam menolak rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan unjuk rasa yang terjadi pada tahun 2019 yang diikuti oleh ribuan mahasiswa di Indonesia. Dalam unjuk rasa tersebut, banyak mahasiswa yang mengalami luka hingga meninggal dunia akibat bentrok dengan aparat kepolisian. Tulisan ini berfokus pada visualisasi kekerasan yang dilakukan polisi terhadap mahasiswa dalam melakukan pemolisian unjuk rasa. Penulis menggunakan teori kekerasan kolektif yang akan menjadi landasan untuk menganalisis 32 gambar yang ada pada temuan data terkait kekerasan polisi dalam unjuk rasa tahun 2019. Hasilnya didapati bahwa kekerasan dan tindakan represif aparat kepolisian tervisualkan dalam gambar-gambar tersebut. Tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan bertentangan dengan prinsip demokrasi yang dianut oleh negara Indonesia.

The protest against the Criminal Code draft and the revision of the Corruption Eradication Commission Law was a protest that took place in 2019, which was attended by thousands of students in Indonesia. During the protest, many students were injured and died due to clashes with the police. This paper focuses on the visualization of violence perpetrated by police against students in policing demonstrations. The author uses collective violence theory, which will be the basis for analyzing 32 images in the data findings related to police violence in the 2019 protest. The results show that violence and repressive actions by the police apparatus are visualized in these pictures. This act constitutes a violation of human rights and is against the principles of democracy adhered to by the Indonesian state."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anis Zakiyah
"Korupsi merupakan jenis tindak pidana yang luar biasa (extraordinary crime). Penanganan kasus korupsi pun memerlukan teknik-teknik khusus yang berbeda dari tindak pidana konvensional lainnya. Sebagai negara yang sudah meratifikasi UNCAC dan UNCATOC maka Indonesia pun mulai mengadopsi konsep justice collaborator dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi. Untuk memancing minat para pelaku korupsi agar mau menjadi justice collaborator maka Aparat Penegak Hukum yang dilegitimasi oleh regulasi yang ada memberikan sejumlah tawaran hadiah sebagai balas jasa atas informasi relevan yang akan diberikan oleh para justice collaborator. Hadiah tersebut salah satunya adalah memberikan kesempatan bagi para justice collaborator untuk bisa mendapatkan remisi. Menariknya hadiah yang dijanjikan kepada para justice collaborator telah membuat melonjaknya angka pemohon justice collaborator yang mau memberikan informasi terkait kasus tindak pidana korupsi tersebut. Hal ini telah berpengaruh sangat banyak terhadap penanganan serta pemberantasan kasus tindak pidana korupsi yang ada. Namun pada tanggal 28 Oktober 2021 ketentuan yang mewajibkan narapidana korupsi untuk menjadi justice collaborator baru bisa mendapatkan remisi dicabut. Hal ini membuat minat dan pamor justice collaborator menjadi turun lantaran tidak banyak lagi keuntungan yang bisa mereka dapatkan. Pencabutan pasal ini kemudian telah memberikan dampak kepada sistem peradilan pidana yang ada di Indonesia.

Corruption is one of the many forms of extraordinary crime. Therefore handling corruption cases requires special techniques that are different from other conventional criminal acts. As a country that has ratified UNCAC and UNCATOC, Indonesia has begun to adopt the concept of justice collaborator in handling corruption cases. To attract the interest of the perpetrators of corruption in order to become justice collaborators, Law Enforcement Officials who are legitimized by existing regulations provide a number of offers of rewards as compensation for relevant information that will be provided for justice collaborators. One of the rewards is to provide opportunities for justice collaborators to be able to get remissions. Because of the rewards promised to justice collaborators have increased the number of justice collaborator applicants who are willing to provide information related to the corruption case. This has greatly influenced the handling and eradication of existing corruption cases. However, on October 28, 2021, the provisions requiring corruption convicts to become justice collaborators has been revoked. This reduces the interest and prestige of justice collaborators because there are not many more benefits they can get. The revocation of this article has then had an impact on the criminal justice system in Indonesia as well.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sihotang, Gabriel Widiasta Ro
"Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sebagai rancangan peraturan khusus untuk menangani kasus kekerasan seksual masih dalam tahap pembahasan. Terdapat dua reaksi utama terhadap pembahasannya, yaitu dukungan dan penolakan. Bentuk dukungan dan penolakan yang cukup menarik perhatian adalah aksi
damai dan aksi unjuk rasa. Fenomena ini kemudian diberitakan oleh media massa daring dengan dua cara, secara tekstual dan secara visual dalam bentuk foto. Tulisan ini berfokus pada konteks visual, mengulas bagaimana visualisasi aksi mendukung ataupun menolak RUU PKS melalui foto-foto yang dipublikasikan oleh media daring. Kerangka berpikir dan analisis tulisan ini dilandasi pemikiran Gusfiled terkait status politik dan pemikiran beberapa kriminolog di bidang kriminologi visual. Status politik berkaitan dengan aksi poltik, gerakan kolektif, persaingan, dan prestise. Sedangkan kriminologi visual berkaitan dengan media baru, visualitas, dan photovoice. Hasilnya, kedua landasan pemikiran pada tulisan ini tervisualisasikan pada foto-foto yang dipublikasikan media daring.

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) as a draft of special regulation to deal with cases of sexual violence is still under discussion. There are two main reactions to the discussion, support and rejection. The forms of support and rejection that were quite interesting were the peaceful social movement and demonstrations. The phenomenons were reported by the online mass media in two ways, textually and visually in the form of photographs. This paper focuses on the visual context, reviewing how visualization of actions supports or rejects the RUU PKS through photographs published by online media. The thinking framework and analysis of this paper is based on Gusfiled`s status politics, i.e. political action, collective movement, competition and prestige. Also using visual criminology concepts, i.e. new media, visuality, and photovoice. As a result, the two bases for this paper were visualized in photographs which published by online media."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fachri Muchtar
"Perkembangan teknologi informasi mendorong lahirnya media baru di Internet. Media baru memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh penggunanya untuk membagikan informasi yang dimiliki. Hal ini membuat media baru sebagai sarana yang efektif untuk menyebarluaskan informasi di masyarakat, sebagai sarana kritik dan juga sebagai sarana untuk membangun wacana tandingan. Pada medio 2019-2020 media baru, terutama twitter, digunakan oleh mahasiswa untuk menyebarluaskan kritik kepada pemerintah sekaligus mengajak orang-orang untuk bersama-sama turun ke jalan melakukan demonstrasi penolakan berbagai RUU yang dianggap bermasalah, seperti RUU KPK, RKUHP dan RUU Cipta Kerja. Walaupun begitu, media baru juga digunakan untuk mendelegitimasi gerakan sosial mahasiswa oleh akun-akun yang memiliki afiliasi wacana dengan negara. Tulisan ini akan berfokus pada berbagai macam bentuk delegitimasi gerakan sosial mahasiswa yang dilakukan secara langsung oleh akun-akun yang memiliki afiliasi wacana dengan negara melalui media sosial twitter. Upaya delegitimasi tersebut dilakukan dalam rangka memonopoli narasi kebijakan dan membendung berbagai macam kritik agar stabilitas politik tetap terjaga. Tulisan ini akan menggunakan teori Quinney tentang represi dan dominasi dan teori Gramsci tentang hegemoni untuk menjelaskan upaya delegetimasi tersebut dan bagaimana hubungannya dengan upaya negara yang dikuasai oleh kelas penguasa untuk memanipulasi kesadaran warganya.

The development of information technology encourages the birth of new media on the Internet. New media provide equal opportunities for all users to share their information. This makes new media an effective means of disseminating information in society, as a means of criticism and also as a means to build counter discourse. In mid 2019-2020 new media, especially twitter, were used by students to spread criticism to the government as well as to invite people to take to the streets together to protest against various bills that were considered problematic, such as the RUU KPK, RKUHP and RUU Cipta Kerja. However, new media are also used to delegitimize student social movements by accounts that have discourse affiliations with the state. This paper will focus on various forms of delegitimization of student social movements that are carried out directly by accounts that have discourse affiliations with the state through Twitter social media. The delegitimization effort was carried out in order to monopolize the policy narrative and stem various kinds of criticism so that political stability was maintained. This paper will use Quinney's theory of repression and domination and Gramsci's theory of hegemony to explain the delegation effort and how it relates to the efforts of the state ruled by the ruling class to manipulate the consciousness of its citizens."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anisa Ganing Permata
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana peran masyarakat sipil dalam demokrasi dan strategi advokasi yang dilakukan oleh masyarakat sipil, dalam hal ini adalah Indonesia Corruption Watch (ICW). Penelitian ini menggunakan teori peran masyarakat sipil dalam demokrasi dari Larry Diamond, serta teori advokasi dari S. Gen dan A. C Wright. ICW telah mengawasi kekuasaan negara dengan meminta pemerintah dan DPR untuk bertanggungjawab pada hukum dan harapan-harapan publik, yaitu mendukung pemberantasan korupsi dengan tidak melemahkan institusi KPK, serta meningkatkan kesadaran masyarakat tentang isu-isu publik yang penting melalui advokasinya, dalam hal ini mengenai wacana revisi UU KPK oleh DPR. ICW melakukan advokasi untuk mencegah revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi tahun 2010 dan 2015. Strategi advokasi yang dilakukan ICW terhadap revisi UU KPK diantaranya adalah membangun koalisi, melobi dan membangun hubungan dengan pembuat kebijakan, melakukan penelitian atau kajian, melakukan framing dan labelling, studi atau liputan media, dan melibatkan dan memobilisasi publik.

ABSTRACT
This study aims at explain the role of civil society in democracy and advocacy strategies undertaken by civil society, in this case is Indonesia Corruption Watch (ICW). This research uses theory of civil society in the democracy from Larry Diamond, and the advocacy theory from Sheldon Gen and Amy Conley Wright. ICW controls state power by demanding the government and the People`s Legislative Assembly to be accountable to the law and public by supporting the Eradication of Corruption Commission KPK by not weakening the institution of the KPK, and raising public awareness of important public issues through its advocacy, in this case the revised discourse KPK law by Parliament. ICW conducts advocacy to prevent the revision of Law No. 30 Year 2002 on Corruption Eradication Commission Year 2010 and 2015. ICW`s adopts advocacy strategy through building coalitions, lobbying and building relationships with policy makers, conducting research or studies, and labeling, media coverage, and engaging and mobilizing the public. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hesti Widyaningrum
"Penyidik KPK dapat melakukan penyitaan tanpa surat izin ketua pengadilan negeri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, namun ketentuan ini tidak sesuai dengan aturan umum yang diatur dalam KUHAP. Dalam penulisan tesis ini terdapat tiga pertanyaan penelitian, yaitu: Mengapa KPK diberikan kewenangan untuk melakukan penyitaan tanpa izin dari Ketua Pengadilan Negeri? Bagaimanakah batasan terhadap kewenangan penyidik KPK untuk melakukan penyitaan aset tersangka tindak pidana korupsi? dan Apa akibat hukumnya jika penyidik KPK melampaui batasan kewenangan ketika melakukan penyitaan aset tersangka tindak pidana korupsi? Penelitian ini merupakan penelitian yang menelaah dan menganalisis data sekunder yang berupa peraturan perundang-undangan, literatur, artikel, jurnal, dan sebagainya. Sebagai pendukung penelitian ini, maka digunakan juga data primer yang didapatkan melalui wawancara dengan akademisi dan praktisi hukum. Hasil analisa tersebut ditarik kesimpulan secara induktif.
Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa dasar pemikiran dari pengaturan penyitaan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 berdasarkan 2 (dua) alasan, yakni: 1. Alasan Penegakan Hukum Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang luar biasa, 2. Alasan tentang pemberantasan korupsi yang harus efektif. Syarat sebagai batasan penyidik KPK untuk melakukan penyitaan harus disertai surat perintah penyidikan untuk melakukan penyitaan, benda sitaan harus diseleksi kembali dalam 2 tahap (penyidikan dan prapenuntutan) sebagai pelaksanaan dari prinsip kehati-hatian oleh penyidik KPK. Kedua syarat tersebut dinilai masih memiliki kekurangan sehingga ketentuan mengenai kewenangan penyitaan oleh penyidik KPK harus dilengkapi dengan ketentuan yang jelas dan tegas. Dengan demikian, perlu adanya SOP (Standard Operational Procedure) untuk melengkapi kekurangan dari ketentuan yang telah ada. Jika batasan tersebut dilanggar, maka KPK memberikan sanksi berdasarkan tingkat pelanggarannya yang didasarkan pada temuan pengawas internal. Akan tetapi, temuan pelanggaran tersebut sulit diketahui oleh pengawas internal karena tidak adanya kewajiban penyidik KPK untuk menyerahkan berita acara/ resume penyitaan kepada pengawas internal. Oleh karena itu, KPK agar mewajibkan penyidik KPK untuk menyerahkan berita acara/resume singkat penyitaan kepada pengawas internal dan tetap menjaga profesionalitas, kredibilitas, integritas, dan kesadaran hukum yang tinggi sebagai upaya memberikan perlindungan terhadap hak tersangka.

Seizure By Investigator of Indonesian Corruption Eradication Commission can be done without the permission of the Chairman of the District Court, as stipulated in The Law No. 30 of 2002, but this provision is not in accordance with the general rules set out in the Criminal Procedure Code (KUHAP). Therefore, the implementation poses problems. In this thesis, There are three research questions, namely: Why the Commission is given the authority to expropriate without the permission of the Chairman of the District Court? How limits The Authority of The Investigators of Indonesian Corruption Eradication Commission When The Seizure of Assets suspected of Corruption? And what legal consequences in terms of Indonesian Corruption Eradication Commission?s Investigator transcend The limits of Authority when The seizure of Assets suspected of Corruption? This research is the study and analyze secondary data in the form of legislation, literature, articles, journal, and so on. As a supporter of this research, it is also used primary data obtained through interviews with academics and legal practitioners.
The results of this analysis conclude inductively. The results of this study indicate that the rationale of seizure provision in Law No. 30 of 2002 considered on the nature of the crime of corruption by 2 reason: 1. Reason of law enforcement which is use extraordinary methods. 2. Reason on Eradication Corruption should effectively. Requirement as a limit for Indonesian Corruption Eradication Commission?s Investigator to conduct a seizure must be accompanied by an investigation warrant for the seizure, the seized objects should be selected again in 2 phases (investigation and Pre-Prosecution) as the implementation of the prudential principle by Indonesian Corruption Eradication Commission's Investigator. Both of these requirement are still considered to have a lack so that the provisions of seizure powers by Indonesian Corruption Eradication Commission?s Investigator must be equipped with a clear and unequivocal. Thus, the need for SOP (Standard Operational Procedure) to complement the lack of the existing provisions. If these limits are violated, investigator given sanction by the offense level as seen from the findings of an Internal Controller. However, the findings are difficult to detect violations by Internal Controller because are Indonesian Corruption Eradication Commission's Investigator are not required to submit an official report/resume seizure to an Internal Controller. Therefore, the Commission requires that Indonesian Corruption Eradication Commission?s investigator to submit an official report/resume seizure to Internal Controller and still maintain professionalism, credibility, integrity, and high awareness of the law as an effort to protect the rights of suspects.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T41812
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yogi Prima Danu
"ABSTRAK
Penelitian ini fokus pada pola kerjasama interorganisasional KPK ? ICW dalam
agenda pemberantasan korupsi politik di Indonesia melalui pendekatan teori New
Institusionalisme Victor Nee. Pola kerjasama interorganisasional KPK ? ICW
terbangun karena adanya kesamaan visi dan konsen terhadap agenda pemberantasan
korupsi, serta interaksi antar aktor ? aktor anti korupsi KPK ? ICW. Pola kerjasama
interorganisasional KPK ? ICW menuai dukungan dan tantangan.Dukungan secara
moril maupun materil datang dari masyarakat sipil serta dunia internasional.
Sedangkan tantangan popular dikenal dengan istilah?Corruptor Fight Back?.
Terdapat dinamika diantara aparatur hukum negara, bahkan diantara KPK ? ICW
juga terdapatdinamika, walaupun mereka masih tetap konsisten sebagai aktor anti
korupsi

ABSTRACT
This study focuses on the pattern of interorganizational cooperation KPK - ICW in
the agenda of political corruption eradication in Indonesia by theoretical approaches
New institutionalism Victor Nee. Interorganizational cooperation pattern Commission
- ICW woke up because of the similarity of vision and concern about the anticorruption
agenda, as well as the interaction between actors of anti -corruption
between KPK - ICW. Interorganizational cooperation between KPK - ICW getting
support and challenge. Moral and material supporting come from the civil society and
the international community. In the other side the challenge popularly known by the
term "Corruptor Fight Back". There is a dynamic between the legal apparatus of the
state, even among KPK - ICW also found dynamics, although they still remain
consistent as anti -corruption actors"
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfret Jacob Tilukay
"Penelitian ini mengkaji mengenai pengaruh Kode Etik dan Kode Perilaku Insan KPK yang mencakup 5 (lima) nilai dasar, yaitu: integritas, sinergi, keadilan, kepemimpinan, dan profesionalisme terhadap pencegahan perilaku koruptif pada pegawai KPK. Tujuan penelitian adalah untuk menguji dan menganalisis pengaruh masing-masing nilai dasar yaitu integritas, sinergi, keadilan dan kepemimpinan terhadap profesionalisme dan juga menguji serta menganalisis pengaruh profesionalisme terhadap pencegahan perilaku koruptif pada pegawai KPK serta pengaruh masing-masing nilai dasar yaitu integritas, sinergi, keadilan dan kepemimpinan terhadap pencegahan perilaku koruptif pada Pegawai KPK melalui profesionalisme. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian campuran dengan jenis seguential explanatory design yaitu pada tahap pertama menggunakan pendekatan kuantitatif melalui analisis SEM (Structural Equotion Model) dan dilanjutkan pada tahap kedua dengan pendekatan kualitatif melalui wawancara. Populasi penelitian adalah pegawai KPK dengan jumlah sampel sebanyak 321 orang yang dihitung berdasarkan rumus Slovin dan pengambilannya menggunakan teknik proportionate random sampling. Operasionalisasi variabel menggunakan indikator yang telah dirumuskan dalam Kode Etik dan Kode Perilaku Pegawai KPK sebagaimana tertuang dalam Perdewas KPK Nomor 2 Tahun 2021 dan dari berbagai teori. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner yang dibagikan kepada responden. Skala Likert dalam pengukuran kuesioner menggunakan skala 1-6. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa hipotesis penelitian terkait pengaruh variabel integritas, sinergi dan kepemimpinan terhadap profesionalisme dapat diterima sedangkan pengaruh variabel keadilan ditolak. Demikian juga hipotesis terkait pengaruh variabel profesionalisme terhadap pencegahan perilaku koruptif dan pengaruh variabel integritas, sinergi dan kepemimpinan terhadap pencegahan perilaku koruptif pada pegawai KPK melalui profesionalisme dapat diterima sedangkan pengaruh variabel keadilan terhadap pencegahan perilaku koruptif pada pegawai KPK melalui profesionalisme ditolak. Hal ini memiliki makna jika integritas, sinergi dan kepemimpinan ditingkatkan kualitasnya maka akan diikuti dengan peningkatan profesionalisme dan pencegahan perilaku koruptif. Unsur keadilan dirasakan sudah melandasi kegiatan di KPK sehingga tidak berpengaruh pada profesionalisme dan pencegahan perilkau koruptif akan tetapi perlu tetap dipertahankan.

This research examines the influence of the Code of Ethics and Code of Conduct for KPK Employees which includes 5 (five) basic values, namely: integrity, synergy, fairness, leadership, and professionalism on preventing corrupt behavior among KPK employees. The purpose of this research is to examine and analyze the influence of each basic value, namely integrity, synergy, fairness and leadership on professionalism and also examine and analyze the influence of professionalism on the prevention of corrupt behavior in KPK employees and the influence of each basic value, namely integrity, synergy, fairness. and leadership in preventing corrupt behavior among KPK employees through professionalism. The method of the research is mixed, with sequential explanatory design which is in the first stage using a quantitative approach through SEM (Structural Equation Model) analysis and continued in the second stage with a qualitative approach through interviews. The survey use 321 respondents of total population of KPK employees. The variable operationalization uses indicators that have been formulated in the Code of Ethics and Code of Conduct for KPK Employees as stated in Perdewas KPK Number 2 of 2021 and from various theories. Data collection techniques using questionnaires distributed to respondents. The Likert scale in measuring the questionnaire uses a scale of 1-6. The results of the study concluded that the research hypothesis related to the influence of integrity, synergy and leadership variables on professionalism can be accepted while the influence of justice variables is rejected. Likewise, the hypothesis related to the effect of professionalism on preventing corrupt behavior and the influence of integrity, synergy and leadership on preventing corrupt behavior in KPK employees through professionalism is acceptable, while the influence of justice variables on preventing corrupt behavior in KPK employees through professionalism is rejected. This means that if the quality of integrity, synergy and leadership is improved, it will be followed by increased professionalism and prevention of corrupt behavior. The element of fairness is felt to have underpinned activities at the KPK so that it does not affect professionalism and prevention of corrupt behavior among KPK employess but needs to be maintained."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trypu Vevianto
"Tindak pidana pada awalnya merupakan tindakan yang merugikan keuangan negara. dalam perkembangannya kondisi yang diciptakan akibat tindak pidana korupsi adalah membahayakan keamanan negara, dan akhirnya tindak pidana korupsi menimbulkan bahaya keamanan asimetrik atau non-tradisional yaitu bahaya terhadap keamanan umat manusia, karena dampak negatifnya telah menambah ke dunia pendidikan, kesehatan, penyediaan sandang pangan, keagamaan dan fingsi fungsi pelayanan sosial lainnya.

Criminal acts were initially acts that were detrimental to state finances. in its development the conditions created due to criminal acts of corruption are endangering the security of the state, and ultimately corruption acts pose asymmetric or non-traditional security hazards, namely the danger to the security of mankind, because the negative effects have added to the world of education, health, food and religious clothing, religious and function of other social service functions.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T29370
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tuminah
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang awal mula pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi yang dibentuk pada masa pemerintahan Presiden Megawati pada 27 Desember 2002. KPK merupakan anak kandung reformasi. Keberadaan lembaga independen pemberantasan korupsi ini sudah sangat lama dibutuhkan oleh Indonesia. Usaha pemerintah Indonesia dalam memberantas korupsi sudah dilakukan sejak Indonesia, yaitu sejak pemerintahan Presidens Soekarno, Soeharto, B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati. Pembentukan lembaga khusus untuk menangani korupsi juga sudah dilakukan pemerintahan sebelum-sebelumnya. Namun, dalam pelaksanaanya para koruptor lebih kebal dibandingkan lembaga-lembaga antikorupsi yang pernah dibuat. Sepanjang Orde Lama, Orde Baru, hingga lima tahun Reformasi hanya sedikit koruptor yang berhasil dipenjarakan, sebagian besarnya dibebaskan atau kabur ke luar negeri. Oleh karena itu, pengesahan UU No. 30 Tahun 2002 oleh Presiden Megawati sebagai wujud keseriusan pemerintah dalam memerangi korupsi. UU ini mengamanatkan dibentuknya KPK. KPK ini bersifat independen sehingga dalam melaksanakan tugasnya diharapkan tidak ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan lain.
ABSTRACT
This paper discusses the beginning of the establishment of the Corruption Eradication Commission (KPK) which was formed during the reign of President Megawati on 27 December 2002. The Commission is a child of the Reformation. The existence of an independent anti-corruption agency has a very long needed by Indonesia. Indonesian government's efforts in combating corruption has been done since Indonesia, namely since Presidents government of Sukarno, Suharto, B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid and Megawati. The establishment of a special agency to deal with corruption has also been done before-the previous government. However, in the implementation of the corruptors more immune than anti-corruption institutions ever created. Throughout the Old Order, New Order, to five years of reform only a few criminals who successfully imprisoned, most of which were released or fled abroad. Therefore, ratification of the UU No. 30/2002 by President Megawati as a manifestation of the government's seriousness in combating corruption. This law mandates the establishment of the KPK. KPK is independent in performing their duties so that is not expected to be ridden by other interests."
2014
S59932
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>