Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 116059 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ratu Mahdiyah Nabilah
"Latar belakang: Hidroksiapatit merupakan salah satu bahan alloplast yang banyak digunakan di bidang kedokteran gigi. Komposisi hidroksiapatit sama dengan komposisi anorganik tulang dan gigi manusia sehingga bersifat biokompatibel dan bioaktif. Selain itu, hidroksiapatit juga bersifat osteokonduktif. Salah satu metode pembuatan hidroksiapatit yaitu metode disolusi-presipitasi dalam kondisi hidrotermal. Pembuatan blok hidroksiapatit dengan metode disolusi-presipitasi pada suhu 100°C selama 48 jam masih menghasilkan fasa lain selain hidroksiapatit, yaitu dicalcium phosphate anhydrous (DCPA). Fasa DCPA dan/atau fasa DCPD (dicalcium phosphate dehydrate) dapat terbentuk dalam pH asam. Sedangkan, hidroksiapatit dapat terbentuk pada pH basa. Oleh karena itu, pH dapat dijadikan indikator secara tidak langsung mengenai hasil fasa yang terbentuk. Gipsum dipilih sebagai prekursor karena mengandung ion kalsium (Ca2+). Sedangkan, larutan Na3PO4 digunakan karena mengandung ion fosfat (PO43-), bersifat tidak toksik, dan memiliki pH basa.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan suhu terhadap perubahan pH larutan Na3PO4 dalam pembuatan blok hidroksiapatit dari blok gipsum.
Metode Penelitian: Penelitian ini menggunakan blok gipsum dan larutan Na3PO4 sebagai prekursor untuk membuat blok hidroksiapatit. Spesimen yang digunakan berupa 30 mL larutan 1 mol/L Na3PO4 sebanyak dua beaker glass larutan. Sebelum dilakukan perendaman, pH larutan diukur terlebih dahulu untuk mengetahui pH awal larutan 1 mol/L Na3PO4. Lima belas blok gipsum direndam dalam 30 mL larutan 1 mol/L Na3PO4 dengan suhu yang berbeda yaitu 100°C, 140°C, dan 180°C pada kondisi hidrotermal selama 48 jam. Setelah perendaman, blok dan larutan 1 mol/L Na3PO4 dipisahkan. Kemudian, pH larutan 1 mol/L Na3PO4 diukur kembali menggunakan pH meter Eutech Instruments pH 700 untuk mendapatkan pH larutan 1 mol/L Na3PO4 setelah digunakan untuk perendaman selama 48 jam.
Hasil: Nilai pH larutan 1 mol/L Na3PO4 sebelum digunakan untuk perendaman yaitu 13,04. Sedangkan, nilai pH larutan 1 mol/L Na3PO4 setelah digunakan untuk perendaman pada suhu 100°C, 140°C, dan 180°C berturut-turut yaitu 12,72; 12,67; dan 12,30.
Kesimpulan: Peningkatan suhu yang digunakan menyebabkan penurunan pH larutan 1 mol/L Na3PO4. Namun, pH akhir larutan masih cukup basa untuk hidroksiapatit terbentuk. Namun, penelitian lebih lanjut masih perlu dilakukan mengenai pengukuran pH larutan Na3PO4 dengan sampel yang lebih banyak.

Background: Hydroxyapatite is one of the alloplastic materials that is widely used in dentistry. The composition of hydroxyapatite is similar with the inorganic composition of human bone so that it is biocompatible and bioactive. Besides, hydroxyapatite is also osteoconductive. One of the fabrication methods of hydroxyapatite is the dissolution-precipitation method under hydrothermal conditions. The fabrication of hydroxyapatite block with the dissolution-precipitation method at 100°C for 48 hours still produced other phase except hydroxyapatite, specifically dicalcium phosphate anhydrous (DCPA). DCPA and/or dicalcium phosphate dehydrate (DCPD) phase can be obtained if the pH is acidic. Meanwhile, hydroxyapatite can be fabricated on the alkaline pH condition. Therefore, the pH value can be the indirect indicator to predict the phase product. Gypsum was chosen as a precursor because it has calcium ions (Ca2+). Na3PO4 solution was used because it contained phosphate ions (PO43+), non-toxic, and has an alkaline pH value.
Objective: This study aimed to determine the effect of temperature differences on changes of the pH value of Na3PO4 solution in the fabrication of hydroxyapatite block from gypsum block.
Methods: This study used gypsum block and Na3PO4 solution as precursors to fabricate hydroxyapatite block. The specimens of this study were two beaker glasses of 30 mL of 1 mol/L Na3PO4 solution. Before the immersion, the pH value of the solution was measured first to determine the initial pH value of 1 mol/L Na3PO4 solution. Fifteen specimens of gypsum blocks were immersed in 30 mL of 1 mol/L Na3PO4 solution with different temperatures specifically 100°C, 140°C, and 180°C under the hydrothermal condition for 48 hours. After the immersion, the blocks and the 1 mol/L Na3PO4 solution were separated. Then, the pH value of 1 mol/L Na3PO4 solution was measured using Eutech Instruments pH 700 pH meter to obtain the pH of 1 mol/L Na3PO4 solution after being used for immersion for 48 hours.
Results: The pH value of 1 mol/L Na3PO4 solution before being used for the immersion was 13,04. Meanwhile, the pH value of 1 mol/L Na3PO4 solution after being used for the immersion at 100°C, 140°C, and 180°C respectively were 12.72, 12.67, and 12.30.
Conclusions: The increase in the temperature caused the derivation of the pH value of 1 mol/L Na3PO4 solution. Nevertheless, the final pH value was still alkaline enough for hydroxyapatite to be formed. However, further research still needs to be done to measure the pH value of the Na3PO4 solution with more samples.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Growth response of five clonal cultues of alexandrium obtained from tropical and temperate waters were examined experiments were carried out in eighteen variable temperature-salinity conditions (temperatures of 15 oC,-20oC and 25oC;salinities between 5 to 30 psu) under constant illumination of 150 kurang lebih10.0 umol m2s1 at 15:9 light:dark photo-cycle...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
An Nashir
"Nilai konduktifitas panas yang selama ini diperkirakan hanya terbatas pada jenis material, adanya paduan, temperatur kerja, sedangkan untuk proses pembuatan perlakuan yang dikerjakan terhadapnya belum diperhatikan.
Dalam rugas akhir ini penulis melakukan penelitian pengaruh perbedaan struktur mikro paduan alumuniun (Al- 2,6 Zn) yang berkomposisi sama terapi dengan perlakuan panas yang berbeda terhadap nilai konduktifitas panas. Pada penelitian perlakuan panas yang dipakai adalah pemanasan sampai suhu 400 ℃ yang kemudian didinginkan pada media yang berbeda yaitu minyak, udara dan air. Dengan kondisi yang berbeda itu kemudian dilakukan pengujian konduktifitas panas.
Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa dengan struktur mikro yang berbeda akan didapat konduktifitas panas yang berbeda pula, ini ditujukan dengan sampel
nomor O2 dengan nilai konduktifitas panas yang tertinggi sedangkan untuk sampel
nomar O1 mempunyai nilai konduktifiras panas terendah. Hal ini dapat ditunjukkan dengan adanya fasa Alfa yang lebih merata dan rapat, dimana paduan yang mengendap cenderung Iebih kecil dibanding pada sampel nomor O1. Sedangkan untuk sampel yang didinginkan dengan air dan udara mempunyai nilai konduktifitas panas diantara kedua sampel diatas yaitu nomor O2 dan nomor O1. HaI ini juga dapat dibuktikan dengan distribusi fasa alfa yang berada diantara nomor O2 dan nomor O1. Pengaruh temperatur terhadap konduktifitas panas Al, dengan meningkatnya temperatur sampai 80 °C cenderung akan meningkat sedangkan dari 80 °C sampai 200 °C cenderung menurun. Perhitungan nilai konduktifitas panas berdasarkan rumus Kemptf. Taylor dan Smith mengalami perbedaan dengan hasil percobaan yang dilakukan."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1996
S41195
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Kinerja beton aspal sangat tergantung terhadap kualitas agregat, kekauan aspal dan kekakuan campuran beraspal. Tulisan ini khusus membahas tentang pengaruh tenperatur dan waktu pembebanan terhadap nilai mekanistik beton aspal lapis permukaan (ACEC)...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Pemodelan proses yang baik membutuhkan model sifat-sifat termodinamika yang
akurat dan elisien dalam perhilungan untuk rentang tekanan, temperature dan komposisi
yang lebar.
Metode yang efektif dalam menentukan sifat-sifat termodinamika adalah dengan
menggunakan persamaan keadaan yang mengambil bentuk umum persamaan van der
Waals.
Persamaan keadaan yang paling baik untuk dikembangkan adalah persamaan
kubik tiga parameter dengan parameter a sebagai fungsi temperature. Perbaikan
perhitungan volume cair jenuh dapat dilakukan dengan menerapkan translasi volume
pada persamaan keadaan yang diinginkan.
Aplikasi volume translasi dapat meningkatkan akurasi perhirungan volume cair
jenuh. Pada aplikasinya translasi volume mempunyai akurasi yang tinggi pada
persamaan Peng-Robinson, dimana faktor koreksinya merupakan fungsi temperatur."
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2002
S49311
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khanza Aulia Prijonggo
"Latar Belakang: Gipsum tipe III banyak digunakan pada bidang kedokteran gigi dalam pembuatan model studi dan model kerja yang hanya digunakan sekali dan menjadi limbah. Gipsum memiliki sifat reversibel sehingga dapat dilakukan daur ulang gipsum melalui proses dehidrasi untuk mengubah limbah menjadi menjadi gipsum daur ulang berupa pengganti bubuk pabrikan. Hingga saat ini, belum terdapat penelitian mengenai pengaruh variasi suhu dehidrasi terhadap waktu pengerasan pada gipsum tipe III daur ulang. Tujuan: Menganalisis pengaruh variasi suhu dehidrasi terhadap waktu pengerasan pada gipsum tipe III daur ulang. Metode: Dua belas spesimen gipsum tipe III dengan dimensi 5x5x5 cm3 dibagi menjadi enam kelompok uji gipsum daur ulang spesimen berdasarkan variasi suhu dehidrasi dengan rentang 110-160˚C menggunakan laju pemanasan 10˚C selama 60 menit dengan masing-masing kelompok empat spesimen. Perhitungan durasi waktu pengerasan dilakukan dengan menggunakan uji Vicat sesuai ISO 6873:1983 dan ADA No. 25. Analisis data yang digunakan menggunakan uji One way ANOVA dengan uji post hoc Bonferroni. Hasil: Uji waktu pengerasan pada gipsum Pro Solid Super Yellow tipe III, terdapat perbedaan waktu pengerasan antar kelompok. Kelompok dengan suhu dehidrasi 110˚C dan 120˚C tidak terjadi pengerasan sehingga tidak dapat dilakukan uji data. Pada kelompok suhu dehidrasi 130˚C, 140˚C, 150˚C, dan 160˚C didapatkan nilai signifikansi sebesar 0,001 (p<0,05). Kesimpulan: Semakin tinggi suhu dehidrasi maka durasi waktu pengerasan menjadi lebih lama. Namun, pada kelompok dengan suhu dehidrasi 110˚C dan 120˚C tidak terjadi pengerasan selama waktu pengerasan.

Background: Type III gypsum are widely used in the field of dentistry in the manufacture of study models and working models that are only used once and become waste. Gypsum has reversible reaction properties so that gypsum recycling can be carried out through a dehydration process to convert waste into recycled gypsum in the form of a substitute for manufactured powder. Until now, there has been no research on the effect of dehydration temperature variations on the setting time of recycled type III gypsum. Objective: Analyzing the effect of dehydration temperature variation on setting time of recycled type III gypsum. Research Methods: Twelve type III gypsum specimens with dimensions of 5x5x5 cm3 were divided into six groups of recycled gypsum test specimens based on variations in dehydration temperature with a range of 110-160˚C used a heating rate of 10˚C for 60 minutes with each group of four specimens. The calculation of the setting time test was carried out using a Vicat needle according to ISO 6873: 1983 and ADA No. 25. Data analysis used the One way ANOVA test with Bonferroni post-hoc test. Results: Setting time test on Pro Solid Super Yellow type III gypsum, there is a difference in setting time between groups. The 110˚C and 120˚C dehydration temperature groups had no change so that the data test cannot be carried out. In the 130˚C, 140˚C, 150˚C, and 160˚C dehydration temperature groups, the significance value was 0.001 (p<0.05). Conclusion: The higher the dehydration temperature, the longer the setting time reaction. However, in the groups with dehydration temperatures of 110˚C and 120˚C, no change during the setting time. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarigan, Akor
"Rancang bangun pengendali temperatur pada chamber simulasi Inkubator bayi yang diajukan pada tugas akhir ini adalah sistim pengendali menggunakan komponen Rele sebagai penggerak akhir untuk heater dan komponen elektronik untuk mengontrol bekerjanya rele tersebut,dan Sensor temperatur digunakan NTC (Negative Temperature Coeficient).
Stabilitas temperatur pada chamber simulasi dapat diperoleh sesuai dengan besaran setpoint
Dengan menggunakan blower sebagai sirkulasi panas akan diperoleh respon time cepat pada temperatur yang dinginkan.
Harga konduktivitas panas dengan menggunakan blower lebih baik dibandingkan tanpa blower, dimana :
Dengan blower = 10 menit ; H = 30.6 (w/cmzoC)
Tanpa blower = 16 menit ; H = 19.15(w/cm*’C)
Sebagai chamber simulasi dibuat dari pelat dan acrylic berukuran P = 29 Cm,L = 11 Cm, T = 16 Cm dan element pemanas berupa lampu pijar 220 Volt 100 watt serta sebuah blower 12Vdc/4w."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1996
S38870
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ken Satrio Utomo
"Baterai merupakan alat penyimpan energi dalam bentuk muatan listrik. Baterai kini menjadi perhatian karena memiliki peran yang sangat penting bagi perkembangan teknologi energi terbarukan. Pada skripsi ini, penulis melakukan penelitian pada baterai, terutama baterai lead acid dengan cara mengatur ambient temperature dari 25°C, 30°C, 35°C, 40°C, 45°C, 50°C yang dihubungkan ke beban resistif murni berupa lampu pijar 120 watt dan 240 watt. Jenis baterai yang digunakan memiliki rating 12 V, 45 Ah dengan merk Global. Tegangan baterai akan dirubah terlebih dahulu dengan menggunakan inverter agar dapat mensuplai lampu pijar. Besarnya tegangan dan arus akan dicatat dengan menggunakan alat ukur berupa voltmeter dan amperemeter yang akan dicatat pada setiap menitnya. Selanjutnya, data yang diperoleh akan direpresentasikan dalam bentuk grafik untuk melihat perubahan yang terjadi akibat perubahan ambient temperature.
Dari hasil penelitian, ambient temperature mempengaruhi penurunan level tegangan, waktu baterai dalam mensuplai beban, dan energi yang disuplai baterai selama pembebanan berlangsung. Semakin tinggi ambient temperature, maka laju penurunan tegangannya akan semakin cepat. Pada beban 120 watt, baterai dapat mensuplai beban selama 193 menit dan energi yang dapat dikirim oleh baterai mencapai 476,3 Wh. Sedangkan pada beban 240 watt, baterai hanya mampu mensuplai beban selama 76 menit dan energi yang dapat dikirim oleh baterai mencapai 353,77 Wh.

Battery is energy storage device in the form of electric charge. Nowadays, battery has an important role for the development of renewable energy technologies. In this thesis, writer conducted research on battery, especially to lead acid battery by regulating the ambient temperature of 25°C, 30°C, 35°C, 40°C, 45°C, 50°C which is connected to purely resistive load such as incandescent bulbs of 120 watt and 240 watt. The type of battery that used has rating 12 V, 45 Ah by Global. Battery will be converted into AC voltage by using inverter in order to supply the load. The magnitude of voltage and current will be recorded by using a measuring instrument such as voltmeter and amperemeter every minute. Furthermore, the data obtained will be represented in the form of graph to see the changes that occur due to change of ambient temperature.
From the research, the ambient temperature affect the drop voltage level, battery time to supply the load, and the energy supplied during the load. The higher temperature, the rate decrease in the voltage will be faster. At 120 watt, the battery can supply the load for 193 minutes and the energy that can be delivered reaches 476,3 Wh. While the load of 240 watt, the battery is only able to supply the load for 76 minutes and the energy that can be delivered reaches 353,77 Wh.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2014
S58898
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tasya Wijayanti
"Pemetaan suhu perlu dilakukan pada saat gudang atau alat pendingin pertama kali digunakan. Selain itu, pemetaan suhu diperlukan secara berkala sesuai dengan kebijakn yang berlaku untuk pemastian efektivitas penyimpanan berada pada suhu yang dipersyaratkan sesuai dengan produk yang diperuntukkan. Oleh karena itu, diperlukan pemetaan suhu dengan prosedur yang sesuai untuk memastikan suhu pada mesin terutama chiller. Prosedur yang digunakan dalam metode ini mengikuti Protokol Pemetaan Suhu di PT Enseval Putra Megatrading. Dari hasil analisis didapatkan bahwa terdapat titik panas dengan total 365 kali pencatatan suhu ≥ 7°C dan tidak melewati suhu 8°C. Sementara itu, untuk titik terdingin tercatat 244 kali pencatatan suhu ≤ 3°C dan tidak kurang dari suhu 2°C.

Temperature mapping needs to be done when the warehouse or
refrigeration equipment is first used. In addition, temperature mapping is required periodically in accordance with applicable policies to ensure storage effectiveness is at the required temperature according to the intended product. Therefore, it is necessary to map the temperature with the appropriate procedures to ensure the
temperature of the engine, especially the chiller. The procedure used in this method follows the Temperature Mapping Protocol at PT Enseval Putra Megatrading. From the results of the analysis it was found that there were hotspots with a total of 365 recordings of temperatures ≥ 7°C and not exceeding 8°C. Meanwhile, for the coldest point, 244 times the temperature was recorded ≤
3°C and not less than 2°C.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Haslinda Mohamed Kamar
"Desiccant wheels are used as an air dehumidifier in air-conditioning and industrial applications. Desiccant wheel performance determines the size and cost of the whole system. A good desiccant wheel is one that saves energy usage. This article presents an experimental investigation on the effects of varying the regeneration air temperature, viz., 50, 60 and 70oC, on desiccant wheel performance. Three performance criteria were considered, namely condition of process outlet air, dehumidifier efficiencies and dehumidification rate. Two kinds of efficiency of the desiccant wheel dehumidifier were examined, namely thermal and dehumidification efficiency. Results of the experiments show that increasing the regeneration air temperature increases the dry bulb temperature of the process outlet air. However the moisture content of the process outlet air is reduced. The dehumidification efficiency of the desiccant wheel decreases with increasing regeneration air temperature, i.e., 46.7, 45.8 and 45.3 % for 50, 60 and 70oC, respectively. In contrast, the dehumidification rate increases with an increase in the regeneration air temperature, namely 32.6, 37.1 and 40.2 g/h for 50, 60 and 70oC, respectively."
Depok: Faculty of Engineering, Universitas Indonesia, 2016
UI-IJTECH 7:2 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>