Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 158755 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Raehan Anis Fadila
"Diskursus mengenai jumlah pendiri koperasi kembali bergulir setelah diinisiasikannya Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dibahas mengenai jumlah minimum pendiri koperasi yang hanya mensyaraktan didirikan oleh 3 orang saja. Hal ini tentunya menimbulkan berbagai perdebatan di kalangan pegiat koperasi. Pada tahun 2020, terbitlah UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja di mana terdapat pengaturan mengenai jumlah pendiri koperasi primer yang turun menjadi 9 orang saja. Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis-normatif. Rumusan masalah dari skripsi ini ialah sejarah perkembangan pengaturan mengenai jumlah pendiri dan keanggotaan koperasi di Indonesia sejak jaman kolonial dan perbandingan mengenai pengaturan jumlah pendiri dan keanggotaan koperasi antara Indonesia, Britania Raya, dan Singapura. Simpulan pertama dari skripsi ini ialah bahwa pada pengaturan perkoperasian di Indonesia pada jaman kolonial belum diatur mengenai jumlah pendiri. Perihal keanggotaan, untuk pengaturan yang berlaku bagi pribumi telah sesuai dengan asas dan prinsip koperasi, sementara itu untuk pengaturan yang berlaku bagi non pribumi terdapat pengaturan yang belum sesuai dengan asas dan prinsip koperasi. Untuk pengaturan setelah jaman kolonial telah diatur mengenai jumlah pendiri di mana pada awalnya diatur 25 orang lalu turun menjadi 20 orang, dan terakhir menjadi 9 orang saja. Perihal keanggotaan, UU No. 14 tahun 1965 tidak sesuai dengan asas dan prinsip koperasi, selain dari pada UU tersebut telah sesuai dengan asas dan prinsip koperasi. Simpulan kedua dari penelitian ini ialah pengaturan mengenai jumlah pendiri di Britania Raya berdasarkan Cooperative Act 2014 yakni 3 orang saja. Mengenai kualifikasi keanggotaannya yakni usia kurang dari 18 tahun dapat menjadi anggota kecuali diatur lain oleh aturan internal koperasi. Sementara itu, di Singapura berdasarkan CSA 2009 jumlah pendirinya yakni 5 orang dan kualifikasi keanggotaannya yakni minimum usianya 16 tahun. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan kepada pemerintah untuk membentuk UU Perkoperasian yang baru agar sesuai dengan perkembangan jaman.

The discourse on the number of cooperative founders started again after the initiation of the Job Creation Bill. In the discussion of the Job Creation Bill, it was discussed the minimum number of cooperative founders which only required 3 people to be founded. This of course has led to various debates among cooperative activists. In 2020, Law no. 11 of 2020 concerning Job Creation, where there is a regulation regarding the number of founders of primary cooperatives which decreases to only 9 people. The research method in writing this thesis is juridicalnormative. The formulation of the problem of this thesis is the history of the development of arrangements regarding the number of cooperative founders and memberships in Indonesia since the colonial era and the comparison of the arrangement of the number of founders and membership of cooperatives between Indonesia, Great Britain and Singapore. The first conclusion of this thesis is that in the regulation of cooperatives in Indonesia during the colonial era, the number of founders had not been regulated. Regarding membership, the arrangements that apply to natives are in accordance with the principles and principles of cooperatives, meanwhile for the arrangements that apply to non-natives there are arrangements that are not in accordance with the principles and principles of cooperatives. In the post-colonial era, the number of founders was arranged, which initially set 25 people, then decreased to 20 people, and finally only 9 people. Regarding membership, Law no. 14 of 1965 is not in accordance with the principles and principles of cooperatives, apart from the law, it is in accordance with the principles and principles of cooperatives. The second conclusion from this research is the regulation regarding the number of founders in the United Kingdom based on the Cooperative Act 2014, which is only 3 people. Regarding membership qualifications, namely those under 18 years of age can become members unless otherwise regulated by the cooperative's internal rules. Meanwhile, in Singapore based on CSA 2009 the number of founders is 5 people and the minimum qualification for membership is 16 years. This research is expected to provide information and input to the government to form a new Cooperative Law to suit the times."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anbiya Annisa
" ABSTRAK
Data yang dikeluarkan oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah dari tahun 2010 sampai tahun 2015 menunjukan bahwa jumlah koperasi tidak aktif di Indonesia tidak sedikit. Salah satu faktor dari tingginya jumlah koperasi tidak aktif di Indonesia adalah masalah keanggotaan, yaitu berkaitan dengan komitmen anggota-anggota koperasi yang tidak berlangsung lama hingga akhirnya meninggalkan koperasi menjadi koperasi tidak aktif. Di sisi lain, peraturan mengenai syarat pembentukan Koperasi yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian menentukan sekurang-kurangnya dua puluh 20 orang untuk mendirikan koperasi. Dibandingkan dengan badan usaha lain jumlah sebagai syarat pendirian koperasi adalah jumlah yang terbanyak. Hal tersebut nyatanya turut meningkatkan resiko masuknya calon anggota koperasi yang tidak memiliki tujuan yang sama dengan anggota-anggota koperasi, yaitu untuk mensejahterakan hidupnya. Maka dari itu, skripsi ini disusun dengan metode yuridis normatif untuk menekankan bahwa dibutuhkan pengaturan yang lebih jelas tentang anggota seperti apa yang seharusnya masuk kedalam sebuah koperasi. Dalam undang-undang yang mengatur tentang koperasi, perlu dijelaskan lebih lanjut terkait prinsip dan asas yang khusus membahas keanggotaan koperasi. Selain itu, perlu dilakukan upaya-upaya untuk menekan jumlah koperasi tidak aktif di Indonesia, seperti diadakannya Pra-Koperasi dan Pengendalian Intern Koperasi.
ABSTRACT Quantitative data from 2010 to 2015, which has been released by The Ministry of Cooperative and Small Medium Enterprises shows that the number of inactive cooperatives in Indonesia needs some solutions. One of the problems is cooperative member, whose commitment only last for a short period of time, and finished with them leaving the cooperation inactive. On the other hand, Act No. 25 Year 1992 stated that the minimum quantity to establish cooperative is twenty members. Compared to other business entity, this quantity is pretty much higher and put cooperative in a risk of having a lot of members who don rsquo t share the same goals, which is prosperity. Therefore, this thesis was made from juridical normative method. This thesis wants to emphasize that Indonesia critically needs a new regulations to make a clearer definitions and requirements about cooperative members. The regulations should have a separate article in relation to the principle of cooperative membership. Furthermore, Pre Cooperatives and Internal Control are needed to minimize the number of inactive cooperatives in Indonesia. "
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S66194
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ega Windratno
"Banyak koperasi di Indonesia gagal karena permasalahan keanggotaan dan permodalan. Undang-undang ditengarai menjadi salah satu penyebab kegagalan tersebut, sehingga RUU Koperasi dirasakan perlu dibuat. Skripsi ini akan membahas mengenai pergeseran keanggotaan dan permodalan antara gagasan-gagasan dan ketentuan undang-undang yang pernah berlaku sejak kemerdekaan yaitu UU Nomor 79 tahun 1958, UU Nomor 14 tahun 1965, UU Nomor 12 tahun 1967, UU Nomor 25 tahun 1992, dan juga RUU Koperasi.

Abstract
Many cooperatives in Indonesia failed due the membership problems and the capital deficiency. Act of cooperatives is suspected as one of the cause of the failure, therefore the new act must be made. The purposes of the thesis is to grasp paradigm shifting between cooperatives idea and the act of cooperatives ever apply in Indonesia since the Independence, i.e. Act No. 79 Year 1958, Act No. 14 Year 1965, Act No. 12 Year 1967, Act No. 25 Year 1992, and also the draft of Cooperatives bill."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S531
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Diaz Try Azzahra
"Jaminan sosial kesehatan di Indonesia hadir dengan berlakunya UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Undang-Undang tersebut mengamanatkan BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara sistem jaminan kesehatan nasional. BPJS Kesehatan bertugas memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau, namun sebagai sistem yang masih berkembang tentu menemukan berbagai permasalahan, seperti kekurangan anggaran dan cakupan yang belum menyeluruh. Dua fokus permasalahan yang diteliti adalah menganalisis pengaturan dan implementasi pengaturan kepesertaan jaminan sosial kesehatan di Indonesia dan perbandingannya dengan sistem jaminan sosial kesehatan di negara lain, yakni Singapura dan Prancis. Bentuk penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian deskriptif. Metode ini digunakan untuk menganalisis ketiga sistem jaminan sosial kesehatan berdasarkan peraturan-peraturan yang terkait. Penelitian ini menyimpulkan bahwa ketiga negara sama-sama menerapkan suatu norma internasional yang disebut Universal Health Coverage, yakni sebuah norma yang mengedepankan akses yang menyeluruh ke pelayanan kesehatan serta perlindungan finansial dalam pemberian layanannya. Di Indonesia, sistem jaminan sosial kesehatan disebut dengan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), di Singapura disebut dengan Sistem 3M (MediShield Life, MediSave, and MediFund) dan di Prancis, sistem Caisse Nationale d'Assurance Maladie. Terdapat persamaan dan perbedaan dari ketiga negara dalam menemukan cara terbaik untuk memperluas atau mempertahankan cakupan dalam tiga dimensi utama UHC, yakni cakupan kepesertaan, fasilitas dan manfaat kesehatan, dan sumber biaya pelayanan kesehatan. Skripsi ini menyarankan beberapa hal kepada program BPJS Kesehatan, seperti mengadopsi pemberlakuan kepesertaan yang otomatis kepada penduduk agar cakupan dapat menyeluruh. Program BPJS Kesehatan juga disarankan untuk memberikan Fasilitas Layanan Perawatan Darurat dengan menyediakan layanan ambulans yang dapat diakses oleh penduduk melalui nomor darurat nasional. Selain itu, pembebanan pada pajak agar meningkatkan pendapatan negara untuk membiayai sektor kesehatan juga disarankan.

The enactment of Law No. 40 of 2004 concerning the National Social Security System marked the introduction of social health insurance in Indonesia. This law established BPJS Kesehatan as the organizer of the national health insurance system. BPJS Kesehatan is tasked with providing quality and affordable healthcare services. However, as a developing system, it inevitably encounters various challenges, such as budget constraints and incomplete coverage. This research focuses on two main issues: analyzing the regulations and implementation of social health insurance membership in Indonesia and comparing it with social health insurance systems in other countries, namely Singapore and France. The research employs a descriptive research design. This method is used to analyze the three social health insurance systems based on relevant regulations. The research concludes that all three countries adhere to an international norm called Universal Health Coverage (UHC), which prioritizes comprehensive access to healthcare services and financial protection in service delivery. In Indonesia, the social health insurance system is known as Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), in Singapore it is called the 3M (MediShield Life, MediSave, and MediFund), and in France, it is the Caisse Nationale d'Assurance Maladie system. There are similarities and differences among the three countries in finding the best way to expand or maintain coverage in the three main dimensions of UHC: membership coverage, health facilities and benefits, and healthcare funding sources. This thesis offers several recommendations to the BPJS Kesehatan program, such as adopting automatic enrollment for all residents to achieve universal coverage. The BPJS Kesehatan program is also advised to provide Emergency Care Services by providing ambulance services that can be accessed by residents through a national emergency number. Additionally, imposing taxes to increase state revenue to fund the health sector is also recommended."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Virginia Sekar Rizky
"Skripsi ini berisi membahas mengenai perbandingan peraturan pendirian bank di negara Indonesia, Belanda, Singapura dan Inggris dengan maksud untuk melihat adanya perbedaan dan persamaan dari peraturan di negara berkembang dan negara maju, yang dilakukan dengan metode penelitian yuridis normatif. Skripsi ini terdiri dari dua rumusan masalah, yang pertama adalah bagaimana perbandingan peraturan mengenai persyaratan dan yang kedua adalah perbandingan peraturan mengenai prosedur. Skripsi ini akan membahas dua hal, hal pertama yang dibahas di dalam skripsi ini adalah persamaan dan perbedaan mengenai persyaratan pendirian bank umum di dalam peraturan di setiap negara. Yang kedua adalah persamaan dan perbedaan mengenai prosedur pendirian bank umum di dalam peraturan di setiap negara. Terdapat beberapa perbedaan antara keempat negara ini, pertama adanya perbedaan dalam persyaratan modal dalam bank umum dan adanya perbedaan prosedur antara negara Indonesia, Belanda, dan Singapura dengan negara Inggris. Skripsi ini menyarankan Indonesia untuk beradaptasi dengan Basel III global capital standards dan agar Otoritas Jasa Keuangan bisa memberikan informasi kepada publik mengenai tahap konsultasi yang dapat dilakukan sebelum mendirikan bank umum.

This thesis talks about comparison of bank establishment for Indonesia, the Netherlands, Singapore, and United Kingdom which are done to find a differences and similarities in the developing and developed countries, which is done with normative juridical research method. This thesis consists of two research questions, the first is the requirements comparison and the second is procedures comparison. This thesis will have discussed about two main things, the first is the comparison concerning commercial bank establishment requirements in the provisions in each country. The second would be the comparison concerning commercial bank establishment procedures in the provisions in each country. There are several differences between these 4 countries, the first is the difference in the initial capital needed in establishing a commercial bank and also difference in procedure between Indonesia, the Netherlands, Singapore with the United Kingdom. This thesis suggests Indonesia to adapt with the Basel III global capital standards and also it is suggested so Otoritas Jasa Keuangan to give information to public concerning the consultation phase that can be done before establishing a commercial bank.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aliya Ilysia Irfana Ampri
"Sebagai suatu negara yang kaya akan warisan budaya, Indonesia kerap mengembangkan ekonomi kreatif guna mendorong perkembangan usaha mikro, kecil, dan menengah yang secara bersamaan dapat memberikan kontribusi terharap perekonomian. Pada tahun 2019, subsektor ekonomi kreatif tersendiri telah menyumbang Rp1.153,4 Triliun atau 7.3% terhadap total PDB nasional. Melihat potensi para pelaku ekonomi kreatif, pemerintah memperkenalkan skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual yang salah satunya adalah jaminan fidusia atas KI melalui Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2022 yang merupakan peraturan turunan dari Undang-Undang No. 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif. Meskipun jaminan fidusia atas kekayaan intelektual telah sebelumnya diatur melalui Undang-Undang No. 13 Tahun 2016 tentang Paten dan Undang-Undang No. 28 Tahun 2016 tentang Hak Cipta, hingga saat ini, belum terdapat penerapan atas konsep tersebut di Indonesia. Sedangkan, beberapa negara yang terkenal akan infrastruktur kekayaan intelektual yang dimilikinya sudah banyak menerapkan jaminan fidusia atas kekayaan intelektual, seperti Inggris dan Singapura. Maka dari itu, penelitian ini membandingkan pengaturan serta penerapan jaminan fidusia atas kekayaan intelektual di Indonesia, Inggris, dan Singapura guna memberikan rekomendasi agar jaminan fidusia atas KI dapat diterapkan secara masif dan menguntungkan para pelaku ekonomi kreatif di Indonesia. Skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan tipologi deskriptif analitis sebagai metode penelitian. Pada Skripsi ini, terdapat penemuan yang dapat dimanfaatkan guna mengoptimalkan penerapan dari jaminan fidusia berbasis kekayaan intelektualm yakni diperlukannya langkah bagi Otoritas Jasa Keuangan untuk menggerakan perbankan dalam penerapan dari skema ini, memastikan bahwa para penilai memiliki kapabilitas untuk menghitung valuasi atas KI, dan diperlukannya pengaturan lebih lanjut mengenai mekanisme eksekusi jaminan fidusia atas KI.

As a country rich in cultural heritage, Indonesia realizes the potential of its creative economy in developing micro, small, and medium and contributing to the nation’s economy. In 2019, the creative economy sub-sector alone contributed IDR 1,153.4 trillion or 7.3% of the total national GDP. Seeing the potential of creative economy actors, the Indonesian government introduced “intellectual property-based financing schemes”, which consists of fiduciary guarantees for intellectual property as regulated through Government Regulation no. 24 of 2022, a derivative regulation from Law no. 24 of 2019 concerning the Creative Economy. Although fiduciary guarantees for intellectual property have previously been regulated through Law no. 13 of 2016 concerning Patents and Law no. 28 of 2016 concerning Copyright, until now, there has been no implementation of this concept in Indonesia. Meanwhile, several countries that are known for their intellectual property infrastructure have implemented fiduciary guarantees for intellectual property, such as the United Kingdom and Singapore. Therefore, this study compares the regulation and implementation of fiduciary guarantees for intellectual property in Indonesia, the United Kingdom, and Singapore to provide recommendations for Indonesia so that fiduciary guarantees for intellectual property can be implemented massively and benefit creative economy actors. This thesis uses a normative juridical approach with an analytical descriptive typology as a research method. In this thesis, there are findings that can be used to optimize the application of intellectual property-based fiduciary guarantees, namely the need for steps for the Financial Services Authority to mobilize banks in the implementation of this scheme, ensuring that appraisers have the capability to calculate valuations on intellectual property, and the need for more regulation further regarding the mechanism of execution of fiduciary guarantees on intellectual property assets."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aliya Ilysia Irfana Ampri
"Sebagai suatu negara yang kaya akan warisan budaya, Indonesia kerap mengembangkan ekonomi kreatif guna mendorong perkembangan usaha mikro, kecil, dan menengah yang secara bersamaan dapat memberikan kontribusi terharap perekonomian. Pada tahun 2019, subsektor ekonomi kreatif tersendiri telah menyumbang Rp1.153,4 Triliun atau 7.3% terhadap total PDB nasional. Melihat potensi para pelaku ekonomi kreatif, pemerintah memperkenalkan skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual yang salah satunya adalah jaminan fidusia atas kekayaan intelektual melalui Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2022 yang merupakan peraturan turunan dari Undang-Undang No. 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif. Meskipun jaminan fidusia atas kekayaan intelektual telah sebelumnya diatur melalui Undang-Undang No. 13 Tahun 2016 tentang Paten dan Undang-Undang No. 28 Tahun 2016 tentang Hak Cipta, hingga saat ini, belum terdapat penerapan atas konsep tersebut di Indonesia. Sedangkan, beberapa negara yang terkenal akan infrastruktur kekayaan intelektual yang dimilikinya sudah banyak menerapkan jaminan fidusia atas kekayaan intelektual, seperti Inggris dan Singapura. Maka dari itu, penelitian ini membandingkan pengaturan serta penerapan jaminan fidusia atas kekayaan intelektual di Indonesia, Inggris, dan Singapura guna memberikan rekomendasi agar jaminan fidusia atas KI dapat diterapkan secara masif dan menguntungkan para pelaku ekonomi kreatif di Indonesia. Skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan tipologi deskriptif analitis sebagai metode penelitian. Pada Skripsi ini, terdapat penemuan yang dapat dimanfaatkan guna mengoptimalkan penerapan dari jaminan fidusia berbasis kekayaan intelektual yakni diperlukannya langkah bagi Otoritas Jasa Keuangan untuk menggerakkan perbankan dalam penerapan dari skema ini, memastikan bahwa para penilai memiliki kapabilitas untuk menghitung valuasi atas kekayaan intelektual, dan diperlukannya pengaturan lebih lanjut mengenai mekanisme eksekusi jaminan fidusia atas kekayaan intelektual.

As a country rich in cultural heritage, Indonesia realizes the potential of its creative economy in developing micro, small, and medium enterprises as well as the nation’s economy. In 2019, the creative economy sub-sector alone contributed IDR 1,153.4 trillion or 7.3% of the total national GDP. Seeing the potential of creative economy actors, the Indonesian government introduced “intellectual property-based financing schemes”, which consists of fiduciary guarantees for intellectual property as regulated through Government Regulation no. 24 of 2022, a derivative regulation from Law No. 24 of 2019 concerning the Creative Economy. Although fiduciary guarantees for intellectual property have previously been regulated through Law no. 13 of 2016 concerning Patents and Law No. 28 of 2016 concerning Copyright, until now, there has been no implementation of this concept in Indonesia. Meanwhile, several countries that are known for their intellectual property infrastructure have implemented fiduciary guarantees for intellectual property, such as the United Kingdom and Singapore. Therefore, this study compares the regulation and implementation of fiduciary guarantees for intellectual property in Indonesia, the United Kingdom, and Singapore to provide recommendations for Indonesia so that fiduciary guarantees for intellectual property can be implemented massively and benefit creative economy actors. This thesis uses a normative juridical approach with an analytical descriptive typology as a research method. In this thesis, there are findings that can be used to optimize the application of intellectual property-based fiduciary guarantees, namely the need for steps for the Financial Services Authority to mobilize banks in the implementation of this scheme, ensuring that appraisers have the capability to calculate valuations on intellectual property, and the need for more regulation further regarding the mechanism of execution of fiduciary guarantees on intellectual property assets."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting, Chrissie Margareta
"Salah satu kebutuhan primer manusia adalah kebutuhan pangan. Tidak hanya orang dewasa, anak-anak juga membutuhkan pangan. Mengonsumsi pangan yang sehat sangat berpengaruh bagi pertumbuhan dan kesehatan anak-anak. Seiring perkembangan zaman, muncul pangan yang berjenis pangan olahan. Berbagai cara dilakukan oleh pelaku usaha pangan olahan agar produknya dikonsumsi oleh masyarakat, salah satunya adalah dengan promosi melalui iklan. Sayangnya, tidak semua pangan olahan yang beredar dan diiklankan merupakan pangan olahan yang sehat untuk anak-anak. Melalui penelitian yuridis-normatif, tulisan ini membahas tentang peraturan iklan pangan olahan di Negara Indonesia dan beberapa negara lain seperti Negara Britania Raya, Negara Irlandia, dan Negara Kanada (Quebec). Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa ketentuan dalam regulasi di Negara Britania Raya, Negara Irlandia dan Negara Kanada (Quebec) yang belum diatur dalam peraturan iklan pangan olahan di Negara Indonesia. Sehingga, dalam beberapa hal peraturan di Indonesia mengenai iklan pangan olahan yang tidak sehat terhadap anak-anak belum terlalu memadai dibandingkan peraturan di Negara Britania Raya, Negara Irlandia dan Negara Kanada (Quebec).

One of the primary needs of human beings is food. Not only adults but also children need food, especially healthy food. Eating healthy food is essential for children's growth and health. Along with the times, various food products are being developed, such as processed food. Numerous methods have been done by processed food sellers, so the products are consumed and favored by the community. One way to promote their product is by advertising. Unfortunately, not all processed food is healthy for children. Through this juridical-normative research, this paper discusses the regulations of processed food advertisement in several countries, such as the United Kingdom (UK), Ireland, and Canada (Quebec). Based on this research, it can be concluded that there are several provisions of the regulation in the United Kingdom, Ireland, and Canada (Quebec), that has not been regulated in Indonesia. So, in some cases, regulations in Indonesia regarding consumer protection against unhealthy food advertisement for children are not yet sufficient compared to the regulations in The United Kingdom, Ireland, and Canada (Quebec)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Wirjono Prodjodikoro, 1903-
Jakarta: Dian Rakyat, 1978
346.07 WIR h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
R. Wirjono Prodjodikoro, 1903-
Jakarta: Dian Rakyat, 1985
346.066 WIR h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>