Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 239178 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mochammad Fachri Barmansyach
"Pembuktian dan pemberantasan kartel merupakan salah satu tantangan terbesar yang dihadapi hukum persaingan usaha di Indonesia akibat sulitnya upaya untuk membuktikan keberadaan mengingat sifat dasar kartel yang seringkali dilakukan secara diam-diam. Oleh karena itu, timbul model pembuktian menggunakan circumstantial evidence yang dilakukan menggunakan analisis ekonomi dan komunikasi. Meskipun demikian, selama dua dekade terakhir, hanya sepersekian dari kasus kartel yang terjadi dapat dibuktikan. Penelitian ini akan memfokuskan pembahasan terkait kemungkinan penerapan sistem whistleblower protection sebagai pendukung circumstantial evidence sebagai alat bukti dalam pemberantasan kasus kartel di Indonesia. Penelitian ini akan melakukan perbandingan dengan penerapan sistem whistleblower protection yang telah berlaku di Indonesia serta leniency program yang berlaku di Amerika Serikat. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis-normatif, yang menggunakan data sekunder yang berasal dari studi pustaka dalam menganalisis pokok permasalahan. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa meskipun memiliki konsep yang serupa, penerapan whistleblower protection system tidak serta merta dapat diaplikasikan ke dalam hukum persaingan usaha dikarenakan keberlakuan whistleblower protection di Indonesia pun belum berlangsung secara maksimal. Penelitian ini memberikan saran kepada Pemerintah untuk mendalami urgensi sistem pengampunan dalam pemberantasan kartel, dengan menyempurnakan aplikasi whistleblower protection system yang berlaku di Indonesia.

Abolishing cartels is one of the most pressing issues regarding competition law in Indonesia simply due to the fact that there is a difficulty in detecting cartels as it is done quietly between competitors. Due to the pressing issues that occur, a new form of evidence develops which applies economic and communication analysis called circumstantial evidence. In spite of that, during the last two decades, only a few number of cartels have been proven and dealt with by corresponding law enforcers. This research focuses on a possibility of applying the whistleblower protection system in Indonesia as a means to support circumstantial evidence in abolishing cartels. This research will compare the application of Indonesia’s whistleblower protection system with the USA’s leniency program for cartels. The method used in this research is a juridical-normative approach, using secondary data from literature reviews to analyse the subject at hand. The result of this study indicates that even though the whistleblower protection system and the leniency program share similarities and base themselves on a comparable concept, applying one to the other would result poorly, as the whistleblower protection system in Indonesia still has its issues beforehand. This study provides suggestions to the government of Indonesia to increase its awareness on the urgency of an amnesty system on cartel abolishment by perfecting the whistleblower protection system that is applied in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shafira Zada Surya Ananda
"Skripsi ini membahas perlindungan hukum bagi whistleblower tindak pidana korupsi dalam perundang-undangan di Indonesia dan praktik perlindungan hukum bagi whistleblower tindak pidana korupsi atas risiko kriminalisasi balik dalam beberapa perkara di Indonesia dengan studi kasus yakni Nurhayati dan Roni Wijaya. Penulisan skripsi ini dengan metode yuridis normative dengan bentuk deskriptif analitis. Dilatarbelakangi dengan permasalahan korupsi yang terus menjadi permasalahan di masyarakat. Dalam melakukan pengungkapan atas tindak pidana korupsi terdapat beberapa cara untuk mengungkapkannya, salah satunya dengan sebagai Whistleblower. Pasal 33 UNCAC mengatur bahwa negara memiliki kewajiban untuk mempertimbangkan perlindungan bagi whistleblower kedalam sistem hukum nasional negaranya. Indonesia mengatur perlindungan saksi dan korban dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tetapi tidak memberikan perlindungan hukum yang kuat bagi Whistleblower. Terbitnya SEMA 4/11 yang diharapkan dapat mengatur Whistleblower, ternyata tidak memiliki nilai tambah mengenai perlindungan bagi Whistleblower. Perlindungan bagi Whistleblower disamakan dengan perlindungan bagi pelapor umumnya. Penggunaan istilah Whistleblower pun masih berbeda dalam setiap kasusnya yang mendorong kepada bentuk perlindungan kepada Whistleblower yang belum jelas. Padahal Whistleblower menghadapi banyak risiko yang dikenakan terhadap dirinya. Risiko yang terbesar adalah adanya kriminalisasi balik berupa dilaporkannya kembali atas tindak pidana lainnya terhadap dirinya. Ketiadaan perlindungan hukum yang khusus terhadap whistleblower dari risiko terhadap kriminalisasi balik akan mengurangi potensi publik untuk menjadi whistleblower. Perlindungan paling minim dari risiko kriminalisasi balik yang dapat terjadi bagi whistleblower yang tertera di Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 serta pada poin 8b SEMA Nomor 4 Tahun 2011 dalam praktiknya tidak dilaksanakan sesuai dengan rumusan. Padahal peran Whistleblower merupakan peran penting untuk mengawali pengungkapan atas kasus korupsi yang membawa pada kerugian negara. Diperlukannya perlindungan yang lebih bagi seorang whistleblower dengan diatur lebih lanjut dalam penguatan ketentuan mengenai perlindungan khusus bagi whistleblower terutama terhadap risiko kriminalisasi balik dalam bentuk ketentuan perundang-undangan.

This thesis will examine legal protection towards whistleblowers on corruption in Indonesia domestic law and the application of legal protection towards whistleblowers in corruption in the risks of reverse-criminalization in several cases in Indonesia with a case study of Nurhayati and Roni Wijaya. The method used in this thesis is a normative juridical approach with a specification in the form of descriptive analysis. Corruption, which has become an endless issue, happens to be one of the backgrounds of this thesis. There are numerous kinds of effective endeavours in order to disclose the corruption and one of those is to become a whistleblower. Article 33 of UNCAC regulates that each state party shall contemplate the protection of whistleblowers in their domestic law. In Indonesia, witness and victim protection is regulated in Act No. 13 of 2006 yet it is not powerful enough to give a legal protection towards the whistleblower. The publication of Supreme Court Circular of The Republic of Indonesia number 4 of 2011 which expected to be able to regulate whistleblowers, failed to give more value in protecting the whistleblower. It turns out that the protection of the whistleblower is being generalized with the protection of the regular informant. The use of the word “whistleblower” is still not consistent in each case. Thus, the protection of whistleblowers remains unclear. Moreover, the risks faced by the whistleblower are countless. The massive risk that could occur is reverse-criminalization such as being reported for another criminal offense towards the whistleblower. The absence of special legal protection towards whistleblowers and moreover about the protection from the risks of reverse-criminalization, with no hesitation will reduce the public potency to become the whistleblower. The slight protection from the risks of reverse-criminalization that could occur to the whistleblower is regulated in Article 10 Section (1) Act No.13 of 2006 and written in 8b point of Supreme Court Circular of The Republic of Indonesia number 4 of 2011. But it has not applied yet as it’s expected to be. Whereas, the role of whistleblower is essential to begin the disclosure of the corruption which is causing disservice to the country. An advance protection towards whistleblower is needed to be regulated any further in the regulation reinforcement in the form of statutory provisions as a special protection towards whistleblower especially in the risk of reverse criminalization."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Audy Bayu Putra Setiono
"Indirect Evidence digunakan oleh KPPU sebagai bukti utama untuk membuktikan adanya perjanjian tertulis di antara para pelaku usaha minyak goreng sawit yang dicurigai melakukan kartel. Namun di satu sisi, penggunaan indirect evidence masih menjadi perdebatan di Indonesia, karena selain mengandung ambigu, penggunaannya belum diatur secara tegas dalam sistem hukum Indonesia. Penelitian ini akan menguraikan indirect evidence yang digunakan oleh KPPU untuk membuktikan dugaan-dugaan kartel minyak goreng. Penelitian ini merupakan penelitan hukum normatif yang menggunakan analisa kualitatif. Peraturan mengenai indirect evidence harus diatur lebih jelas dan terperinci di dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 sehingga putusan KPPU dapat diperkuat di tingkat banding maupun kasasi. Di samping itu Hakim/Hakim Agung di tingkat Pengadilan Negeri dan Kasasi hendaknya tidak bersikap rigid dan legalistik dengan hanya menggunakan sistem pembuktian yang sifatnya konvensional. Hakim/Hakim Agung seharusnya tidak hanya mengacu pada Undang-Undang saja melainkan juga dengan menggunakan penafsiran-penafsiran hukum yang bertujuan untuk keadilan.

Indirect evidence is used by KPPU as the primary evidence to prove the existence of a written agreement between the businessmen suspected of palm oil cartel. However, on the one hand, the use of indirect evidence is still being debated in Indonesia, because in addition to containing ambiguity, its use has not been set explicitly in the Indonesian legal system. This thesis will describe the indirect evidence used by KPPU to prove the allegations of palm oil cartel. This study is a normative legal research using qualitative analysis. Regulations on indirect evidence should be arranged more clearly and in more detail in the Act No. 5 of 1999 to strengthened the verdict of KPPU when appealing in district court as well as in supreme court. In addition, Judge / Supreme Court Judge at the District and Supreme Court should not be rigid and too focus on the regulation using only conventional system of evidentiary. Judge / Supreme Court Judge should not only refer to the Act alone but also refers to the use of interpretations of law aimed at justice.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T44989
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Syuhada
"Kartel adalah salah satu bentuk Perjanjian yang dilarang dalam UU Nomor 5 Tahun 1999, karena merupakan bentuk praktik anti persaingan yang dapat merugikan sesama pelaku usaha, konsumen, maupun stablitas perekonomian di Indonesia. Hal-hal tersebut mendorong penulis untuk mengusulkan pemberlakuan leniency program sebagai salah satu cara pembuktian Direct Evidence untuk mengungkap praktik kartel dengan mudah dan cepat. Penelitian ini akan membahas pengaturan leniency program di 2 (dua) negara yaitu Uni Eropa dan Jepang sebagai rujukan dalam penerapannya dengan tetap berdasarkan hukum persaingan usaha di Indonesia serta membahas potensi pemberlakuan leniency program di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang menggunakan analisa kualitatif. Pemberlakuan leniency program dalam leniency policy di kedua negara (Uni Eropa dan Jepang) walaupun memiliki konsep yang berbeda-beda tetapi tetap memiliki maksud efektifitas dan efisiensi sebagai tujuan dasar dalam penerapannya. Di Indonesia leniency program sempat diatur dalam Perkom No. 4 Tahun 2010 namun ketentuan mengenai leniency tersebut dicabut karena tidak ada landasan hukumnya walaupun potensi penerapannya sudah terlihat dengan adanya RUU anti monopoli dan persaingan usaha yang diatur dalam pasal 64 akan tetapi pembahasan tersebut belum sempat dilanjutkan sejak tahun 2017. Untuk itu perlu dilakukan amademen terhadap UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai landasan hukum berlakunya leniency program sebagai salah satu solusi instrumen pembuktian praktik kartel di Indonesia, serta membuat leniency policy dalam bentuk guidelines atau Per-KPPU dalam hal pelaksanaan teknis pengimplementasian leniency program.

Cartel is one form of agreement prohibited in Law Number 5 Year 1999, because it is a form of anti-competitive practice that can harm fellow business actors, consumers, and economic stability in Indonesia. These matters encourage the author to propose the implementation of the leniency program as a way of proving Direct Evidence to reveal cartel practices easily and quickly. This research will discuss the regulation of leniency program in 2 (two) countries, namely the European Union and Japan as a reference in its application while still based on business competition law in Indonesia and discuss the potential for the implementation of leniency program in Indonesia. This research is a normative legal research that uses qualitative analysis. The implementation of leniency program in leniency policy in both countries (European Union and Japan) although has different concepts but still has the intention of effectiveness and efficiency as the basic goal in its application. In Indonesia, the leniency program was regulated in Perkom No. 4 of 2010, but the provisions regarding leniency were revoked because there was no legal basis, although the potential for its application has been seen with the anti-monopoly and business competition bill regulated in article 64, but the discussion has not been continued since 2017. For this reason, it is necessary to amend Law No. 5 of 1999 on the Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition as the legal basis for the enactment of the leniency program as one of the instrument solutions to prove cartel practices in Indonesia, as well as to make a leniency policy in the form of guidelines or Per-KPPU in terms of technical implementation of the leniency program."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadapdap, Binoto
"Penelitian ini bertujuan untuk menjajaki kemungkinan mengenai penggunaan alat bukti tidak langsung (indirect evidence) dalam penanganan perkara persaingan usaha, khususnya perkara kartel di tengah kesulitan yang dialami oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mendapatkan alat bukti langsung. Aparat persaingan usaha di pelbagai belahan dunia mempunyai permasalahan yang relatif sama untuk mendapatkan alat bukti langsung pada saat menangani perkara kartel. Kesulitan mendapatkan alat bukti langsung menjadi persoalan yang global sifatnya dalam penanganan perkara kartel. Praktik kartel karena bersifat menghambat persaingan serta mengakibatkan kerugian terhadap sesama pelaku usaha dan konsumen, tidak dapat dibiarkan bergerak dengan leluasa dengan alasan ada keterbatasan alat bukti menurut undang-undang. Keterbatasan alat bukti yang terdapat dalam undang-undang tidak pada tempatnya untuk dijadikan alasan untuk tidak dapat memberantas kartel, alat bukti yang diatur dalam undang-undang perlu ditafsirkan lebih luas agar mampu mengatasi praktek kartel. Dalam penelitian ini teori yang dipergunakan sebagai dasar bagi KPPU untuk mempergunakan alat bukti tidak langsung (petunjuk atau persangkaan) adalah teori penemuan hukum. Menurut teori penemuan hukum hakim harus berusaha untuk menemukan hukum untuk menangani perkara tertentu walaupun undang-undang tidak mengatur atau undangundangnya tidak jelas. Hakim atau otoritas persaingan usaha perlu mencari dasar hukum penggunaan alat bukti tidak langsung sekalipun undang-undangnya tidak ada. Menolak menangani perkara dengan alasan undang-undang tidak mengaturnya dapat dikategorikan sebagai tindakan yang bertentangan dengan hukum. Peraturan perundang-undangan di Amerika Serikat, Jepang dan Uni Eropa tidak mengatur mengenai alat bukti tidak langsung. Upaya Komisi Persaingan Usaha untuk mempergunakan alat bukti tidak langsung dalam penanganan perkara kartel, walaupun tidak diatur dalam undang-undang, upaya Komisi Persaingan Usaha dalam berbagai perkara kartel dapat dibenarkan oleh hakim. Pengadilan mempunyai kesamaan bahasa dengan Komisi Persaingan Usaha mengenai upaya mempergunakan alat bukti tidak langsung dalam penanganan perkara kartel yang tidak diatur dalam undang-undang. Perang terhadap kartel yang menimbulkan kerugian terhadap persaingan usaha yang sehat perlu ditangani dengan cara memperbolehkan penggunaan alat bukti tidak langsung, yaitu berupa alat bukti komunikasi dan alat bukti ekonomi. Di Indonesia, penanganan perkara kartel yang mempergunakan alat bukti tidak langsung ada yang ditolak oleh pengadilan, baik itu oleh Pengadilan Negeri maupun oleh Mahkamah Agung dan ada pula yang dibenarkan oleh pengadilan. Mahkamah Agung. Dari penelitian diperoleh data bahwa Pengadilan Negeri belum ada yang menerima penggunaan alat bukti tidak langsung, dengan alasan bahwa alat bukti tidak langsung tidak dikenal dalam hukum pembuktian di Indonesia. Pengakuan terhadap penggunaan alat bukti tidak langsung sebagai bukti yang sah dalam penanganan perkara kartel, baru dibenarkan oleh Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Agung yang membenarkan alat bukti tidak langsung sebagai alat bukti yang sah dalam penanganan perkara kartel, menjadi dasar hukum bagi diperbolehkannya alat bukti tidak langsung sebagai dasar untuk menangani perkara kartel dan perkara persaingan usaha lainnya. Mahkamah Agung sudah membenarkan pengunaan alat bukti tidak langsung dalam hukum pembuktian di Indonesia.

This study aims to explore the possibility of the use of indirect evidence in processing business competition cases, in particular in cartel cases within the difficulties experienced by the Business Competition Supervisory Commission (KPPU) to obtain direct evidence. Business competition authorities in various parts of the world have the same issues to obtain direct evidence when dealing with cartel cases. Difficulty in obtaining direct evidence became global issues in cartel case process. The practice of cartel, because it is hampering competition and result in losses to the other entrepreneurs and consumers, shall not be allowed to move freely because of the limitations of evidence pursuant to the legislation. The limitations of evidence contained in the legislation is not appropriate reason to not eradicate cartels, evidence set out in the legislation need to be interpreted more widely to be able to tackle cartels. In this study the theory used as a basis for the KPPU to use indirect evidence (hint or allegation) is the discovery of the theory of law. According to the theory of legal discovery, judges should strive to find a law to deal with a particular case even though the law does not regulate or it is unclear. Judge or competition authorities need to find a legal base of using indirect evidence even though the does not exist. Refusing to handle the case by reason of the law does not exist can be categorized as an action that is contrary to the law. Legislation in the United States, Japan and the European Union do not regulate the indirect evidence. Competition Commission's efforts to use indirect evidence in cartel case, although not regulated by law, can be justified by the judge. The court has the same vision with the Competition Commission regarding attempts to use indirect evidence in cartel case process which are not regulated by law. War against the cartels that cause harm to healthy competition need to be handled by allowing the use of indirect evidence, which is evidence in the form of communication and economic evidence. In Indonesia, the cartel case process that use indirect evidence is rejected by the court, either by the District Court or by the Supreme Court and only some are justified by the Supreme Court. From the study data showed that none of District Court accepted the use of indirect evidence, the reason is that indirect evidence was not known to the laws of evidence in Indonesia. Recognition of the use of indirect evidence as valid evidence in cartel case process, just recently justified by Supreme Court. Supreme Court decision justifying indirect evidence as valid evidence in cartel case process, become the legal basis for the permissibility of indirect evidence for dealing with cases of cartel and other business competition matters. The Supreme Court has confirmed the use of indirect evidence in evidentiary law in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mahanani Suryaningtyas Widowati
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai pelaksanaan Program Leniensi sebagai upaya untuk mendukung proses hukum penindakan praktik kartel di Indonesia. Sebagaimana kita ketahui bahwa terjadinya praktik kartel sulit untuk dibuktikan, sehingga dengan adanya Program Leniensi diharapkan sebagai alternative untuk mencegah terjadinya praktik kartel. Program Leniensi ini juga sudah diterapkan di beberapa negara, misalnya di negara Amerika Serikat, negara Uni Eropa, dan di negara Jepang. Penerapan Program Leniensi di dalam Hukum Persaingan Usaha di Indonesia diharapkan pelaku usaha dapat mempergunakannya program tersebut dengan baik dan mencegah terjadinya praktik kartel. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian Yuridis Normatif, dengan tipe dan sifat penelitian Deskriptif Analitis. Jenis data yang dipergunakan adalah Data Sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang diperoleh melalui Studi Dokumen atau studi Kepustakaan. Data yang berhasil dikumpulkan kemudian dianalisis secara Kualitatif dan ditarik kesimpulan melalui Metode Deduktif yang diperkuat dengan argument-argumen yang di dapat melalui studi kasus tentang pelaksanaan Program Leniensi di beberapa negara. Hasil penelitian ini adalah penerapan Program Leniensi dalam Hukum Persaingan Usaha merupakan suatu upaya yang paling tepat pada saat ini sebagaimana telah diterapkan di negara-negara Uni Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat untuk memberantas praktik kartel dengan cara memberikan insentif kepada pelaku usaha yang bersedia melaporkan keberadaan jaringan kartel yang ia termasuk di dalamnya kepada otoritas persaingan usaha. Insentif tersebut dapat berupa amnesti hukuman atau keringanan hukum. Program Leniensi bertujuan untuk memudahkan otoritas persaingan usaha dalam mengungkap adanya suatu jaringan kartel yang keberadaannya relatif sulit untuk dilacak dan memudahkan otoritas mendapatkan bukti-bukti langsung yang dapat menjerat para pelaku usaha yang terlibat jaringan kartel dengan adanya pengakuan dari salah seorang dari mereka sebagai bukti tidak langsung. Kebijakan ini bagus untuk ditiru, karena penerapan sanksi pidana terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Hukum Persaingan Usaha yang masuk unsur tindak pidana, bukan saja sekedar pidana denda atau pidana kurungan pengganti denda, melainkan juga aturan pidana penjara badan, amnesti penuh terhadap pelapor/pemohon Program Leniensi yang paling pertama, amnesti plus dan sanksi plus, serta adanya Marker System. Selain itu, perlu adanya ketentuan untuk merahasiakan identitas dari pelapor/pemohon Program Leniensi agar reputasinya sebagai pelaku usaha di depan pelaku usaha lainnya tetap baik dimata rekan bisnisnya.Kata Kunci: Program Leniensi, Kartel, Hukum Persaingan Usaha.

ABSTRACT
The bachelor thesis explains and elaborates how leniency program as an investigation tool supporting the law process of cartel practices in Indonesia. We already know that cartels are hard to detect, so that the leniency program is hopefully able to be an alternative solution to deter cartels. Therefore many countries including the USA, Japan, and European Union have applied the leniency program. Indonesia in the future is likely to apply this program with hope that it can deter and detect cartels. In this bachelor thesis, the method used by the author is a normative juridical research method, with a descriptive research characteristic. The data used are from secondary, primary, and tertiary ready and library resources. All the data is collected and then analyzed qualitically and concluded with deductive method which is strengthened by arguments from case study of leniency program in several countries. The result of the research is how leniency program should be applicable in Indonesia based on how it is already applied in the USA, Japan, and EU. The leniency program should be adopted while also considering to also adopt criminal saction in form of imprisonment to individuals, full imunity, amnesty and penalty plus, and a marker system program. Furthermore, the data and identity of the leniency applicants are also important to keep them confidential. Keywords Leniecy Program, Cartel, Competition Law"
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pohan, Farisreyhan Zachary
"Pada sistem peradilan pidana di Indonesia bahkan di dunia dikenal dengan prinsip In Dubio Pro Reo yang berarti apabila ditemukan keraguan, maka dipilih yang menguntungkan terdakwa. Sistem pembuktian negative di Indonesia mensyaratkan Hakim apabila hendak menjatuhkan pidana kepada Terdakwa, harus memperoleh keyakinan dari setidaknya 2 (dua) alat bukti yang sah. Keyakinan Hakim sangat bergantung pada kuat atau tidaknya alat bukti yang diajukan di persidangan. Hal tersebut tertuang pada Putusan Nomor 34/Pid.Sus/2019/PN. Bpp. dimana tidak ditemukan bukti yang meyakinkan oleh Hakim. Keyakinan terhadap alat bukti tersebut Penulis teliti pertimbangannya dan dikaitkan dengan asas In Dubio Pro Reo. Peneliti kemudian meneliti bagaimana asas In Dubio Pro Reo itu diterapkan pada sistem peradilan pidana di Amerika Serikat dan Prancis karena kedua negara tersebut memiliki sistem pembuktiannya sendiri lalu dibandingkan dengan yang ada di Indonesia. Penulis meneliti dengan studi kasus Putusan Nomor 34/Pid.Sus/2019/PN. Bpp., hukum pembuktian Amerika Serikat, Indonesia dan Prancis. Penulis berkesimpulan bahwa setiap negara menganut prinsip In Dubio Pro Reo karena adanya prinsip presumption of innocence namun dengan cara yang berbeda karena sistem pembuktian yang berbeda-beda. Keraguan Hakim sangat dipengaruhi dengan kekuatan dari suatu bukti dalam memutus seorang telah melakukan tindak pidana.

Criminal procedure law in Indonesia and even in another jurisdiction, it is known a principle called In Dubio Pro Reo, which means that if there is any doubt, favorableto the accused. The negative evidence system in Indonesia requires a judge if he wants to impose a sentence on a defendant, he must obtain a conviction from at least 2 (two) valid pieces of evidence. The judge's conviction is very dependent on the strength of the evidence presented at trial. This is stated in Decision Number: 34/Pid.Sus/2019/PN. Bpp.where no convincing evidence was found by the Judge. Judge’s conviction towards evidence will be examined an how the In Dubio Pro Reo applied in the United States and France criminal justice system because both countries have their own evidence law and then compare them wth those in Indonesia. The author examines the case study of Decision Number: 34/Pid.Sus/2019/PN. Bpp., the law of evidence in the United States, Indonesia and France. The author concludes that each country adheres to the In Dubio Pro Reo principle because of the principle of presumption of innocence but in a different way due to different evidentiary systems. The judge's doubts are strongly influenced by the strength of the evidence in deciding a person has committed a crime."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erwin Indraputra
"Upaya aparat penegak hukum dalam mengungkap suatu kejahatan tentunya akan berbicara mengenai pembuktian yang dimiliki oleh penyidik atau penuntut umum. Permasalahan seputar kekurangan atau minimnya saksi selalu menjadi permasalahan yang klasik apabila berhadapan dengan kasus-kasus yang melibatkan organisasi kejahatan yang terorganisir. Peranan “orang dalam” dalam organisasi tersebut dinilai mempunyai potensi yang cukup signifikan untuk membuka lebih jauh tabir kejahatan yang terjadi. Konsep whistleblower dan justice collaborator diyakini merupakan salah satu terobosan dalam pengungkapan suatu kejahatan yang bersifat sistematis dan terorganisir. Whistleblower dan justice collaborator pada dasarnya merupakan konsep protection of witness dalam UNCAC yang melibatkan seorang pelapor atau saksi yang juga terlibat dalam suatu tindak pidana. Permasalahan menjadi kompleks bilamana mereka tidak bersedia untuk memberikan informasi atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana yang bersangkutan, mengingat potensi ancaman dan intimidasi yang rentan diterima oleh mereka. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kedudukan whistleblower dan justice collaborator dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, mengetahui fungsi pemberian perlindungan terhadap whistleblower dan justice collaborator dalam upaya mengungkap kejahatan, dan mengetahui bentuk perlindungan yang dilaksanakan oleh LPSK. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa konsep whistleblower dan justice collaborator tidak diadopsi secara utuh oleh Undang- Undang Perlindungan Saksi dan Korban, namun tetap mengakui kedudukan whistleblower sebagai pelapor dan justice collaborator sebagai saksi pelaku yang bekerjasama yang harus dilindungi. Fungsi pemberian perlindungan ini adalah sebagai strategi agar mereka bersedia mengungkap lebih jauh suatu kejahatan. Sedangkan bentuk perlindungan yang diberikan adalah perlindungan fisik, psikis, perlindungan hukum dan penanganan secara khusus. Pemberian perlindungan ini diharapkan sebagai upaya dalam pemenuhan hak-hak whistleblower dan justice collaborator yang berpartisipasi dalam proses penegakan hukum.

The efforts of law enforcement authorities in revealing offences will certainly address about evidentiary held by investigators and prosecutors. Issues around lacks of witnesses have always been classic issues when dealing cases of organized crime. The role of “insider” is considered has significant potential for revealing further about the offences. Concept of whistleblower and justice collaborator is considered as one of the breakthroughs in revealing organized offences. Whistleblower and justice collaborator are basically a protection of witness concept in UNCAC that involves a reporting person or witnesses involved in crimes. The problem becomes complex when they are not willing to give testimonies or information related to the offences, considering potential and intimidation threats that are vulnerable accepted by them. The objectives of this research are to find out the standing of whistleblower and justice collaborator in Witness Protection Act of 2006, to find out the function of providing protection for whistleblower and justice collaborator to reveal offences, and to find out forms of protection carried by LPSK. The method used in this research is normative legal. The results of this research is that concept of whistleblower and justice collaborator are not fully adopted by Witness Protection Act of 2006, but still acknowledged the standing of whistleblower as a reporting person and justice collaborator as cooperative offenders who should be protected. The function of providing protection is as a strategy that they are willing to reveal further a crime. While the forms of the protection provided are protection of physical, psychological, legal protection and special measures. This protection is expected as an effort to fulfill whistleblower and justice collaborator rights who participated in law enforcement process.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35596
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pohan, Farisreyhan Zachary
"Pada sistem peradilan pidana di Indonesia bahkan di dunia dikenal dengan prinsip In Dubio Pro Reo yang berarti apabila ditemukan keraguan, maka dipilih yang menguntungkan terdakwa. Sistem pembuktian negative di Indonesia mensyaratkan Hakim apabila hendak menjatuhkan pidana kepada Terdakwa, harus memperoleh keyakinan dari setidaknya 2 (dua) alat bukti yang sah. Keyakinan Hakim sangat bergantung pada kuat atau tidaknya alat bukti yang diajukan di persidangan. Hal tersebut tertuang pada Putusan Nomor 34/Pid.Sus/2019/PN. Bpp. dimana tidak ditemukan bukti yang meyakinkan oleh Hakim. Keyakinan terhadap alat bukti tersebut Penulis teliti pertimbangannya dan dikaitkan dengan asas In Dubio Pro Reo. Peneliti kemudian meneliti bagaimana asas In Dubio Pro Reo itu diterapkan pada sistem peradilan pidana di Amerika Serikat dan Prancis karena kedua negara tersebut memiliki sistem pembuktiannya sendiri lalu dibandingkan dengan yang ada di Indonesia. Penulis meneliti dengan studi kasus Putusan Nomor 34/Pid.Sus/2019/PN. Bpp., hukum pembuktian Amerika Serikat, Indonesia dan Prancis. Penulis berkesimpulan bahwa setiap negara menganut prinsip In Dubio Pro Reo karena adanya prinsip presumption of innocence namun dengan cara yang berbeda karena sistem pembuktian yang berbeda-beda. Keraguan Hakim sangat dipengaruhi dengan kekuatan dari suatu bukti dalam memutus seorang telah melakukan tindak pidana.

Criminal procedure law in Indonesia and even in another jurisdiction, it is known a principle called In Dubio Pro Reo, which means that if there is any doubt, favorableto the accused. The negative evidence system in Indonesia requires a judge if he wants to impose a sentence on a defendant, he must obtain a conviction from at least 2 (two) valid pieces of evidence. The judge's conviction is very dependent on the strength of the evidence presented at trial. This is stated in Decision Number: 34/Pid.Sus/2019/PN. Bpp.where no convincing evidence was found by the Judge. Judge’s conviction towards evidence will be examined an how the In Dubio Pro Reo applied in the United States and France criminal justice system because both countries have their own evidence law and then compare them wth those in Indonesia. The author examines the case study of Decision Number: 34/Pid.Sus/2019/PN. Bpp., the law of evidence in the United States, Indonesia and France. The author concludes that each country adheres to the In Dubio Pro Reo principle because of the principle of presumption of innocence but in a different way due to different evidentiary systems. The judge's doubts are strongly influenced by the strength of the evidence in deciding a person has committed a crime."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frangki Boas
"Skripsi ini akan membahas mengenai perlindungan
terhadap whistleblower dalam rangka perlindungan saksi dan
korban di Indonesia. Dalam perjuangan pemberantasan
korupsi, whistleblower dapat dilihat sebagai sebuah bagian
penting, dimana Whistleblower melaporkan adanya
penyimpangan-penyimpangan dalam organisasi tempat dirinya
bekerja untuk berbagai alasan, dimana yang paling utama
adalah motivasi dan keyakinan etika. Informasi yang
diberikan oleh whistleblower mengenai adanya praktik tindak
pidana korupsi akan ditelusuri kebenarannya oleh aparat
yang berwenang untuk diproses sesuai hukum yang berlaku.
Atas perannya mengungkap adanya praktik tindak pidana
korupsi tersebut whistleblower perlu diberikan perlindungan
secara khusus, karena dalam praktiknya whistleblower
mengalami ancaman dan tekanan atas informasi yang telah
mereka berikan. Dengan adanya ancaman dan tekanan tersebut
banyak orang yang tidak mau melaporkan adanya praktik
tindak pidana korupsi yang mereka ketahui karena takut
mengalami hal yang sama dengan orang yang telah lebih
dahulu mengungkap adanya praktik tindak pidana korupsi.
Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan untuk
melindungi saksi dan korban yang diimplementasikan melalui
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan
Saksi dan Korban, akan tetapi undang-undang tersebut belum
dapat menjangkau whistleblower secara maksimal. Hal ini
disebabkan karena pada dasarnya whistleblower memiliki
karakteristik yang berbeda dengan saksi ataupun korban.
Selain itu bentuk ?bentuk perlindungan yang diberikan oleh
undang-undang tersebut masih belum memadai bagi
whistleblower. Perlindungan yang diberikan kepada
whistleblower harus lebih maksimal dari perlindungan
terhadap saksi dan korban, oleh sebab itu perlu dibuat
suatu praturan perundang-undangan yang dapat memberikan
perlindungan secara khusus bagi whistleblower. Dengan
demikian keberanian setiap orang untuk melaporkan adanya
praktik tindak pidana korupsi di tempat mereka bekerja akan
semakin meningkat, tanpa perlu merasa takut terhadap
ancaman dan tekanan yang akan menimpa mereka di kemudian
hari."
Depok: [Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ], 2008
S22360
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>