Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 177596 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Primasari Deaningtyas
"Latar Belakang: Selain usia, prevalensi sindrom metabolik (SM) dipengaruhi oleh perbedaan tempat tinggal. Perubahan pola asupan makan yang dipengaruhi laju urbanisasi dipercaya memicu terjadinya inflamasi usus. Lipocalin-2 (LCN-2) merupakan petanda baru yang banyak diteliti dalam inflamasi usus serta penyakit kardiovaskular. Penelitian ini bertujuan membandingkan resistensi insulin (HOMA-IR), sindrom metabolik, dan LCN-2 pada dewasa muda di urban dan rural serta mencari korelasi antara HOMA-IR dan LCN-2.
Metode: Penelitian dengan desain potong lintang ini dilakukan tahun 2018-2019 pada 475 mahasiswa berusia 18-20 tahun. Data yang dikumpulkan meliputi antropometri, glukosa darah puasa, insulin puasa, profil lipid dan kadar LCN2 serum. Setelah menjalani wawancara dan pemeriksaan fisik, sampel darah disimpan pada suhu khusus (-800C). Pemeriksaan sampel dilakukan pada satu waktu (2020) untuk mengurangi bias hasil akibat perbedaan waktu dan penanganan sampel. LCN2 diperiksa dengan menggunakan Human Lipocalin-2/NGAL DuoSet ELISA dari R&D systems.
Hasil Penelitian: Prevalensi SM di daerah urban dan rural berturut-turut adalah 2,8% dan 0,85%. Sementara itu prevalensi obesitas sentral total, di urban dan di rural masing-masing sebesar 15,4%; 23,1%; dan 7.3%. Kelompok urban memiliki HOMA-IR lebih tinggi (0,99 vs 0,78; p<0,001) dibandingkan kelompok rural. Nilai LCN2 lebih rendah di daerah urban bila dibandingkan dengan daerah rural (161,80 ng/mL vs 246,6 ng/ml, p<0,001). Tidak terdapat korelasi antara HOMA-IR dengan LCN2 (r:-0,75, p:0,110).
Kesimpulan: Prevalensi SM pada dewasa muda lebih tinggi pada daerah urban bila dibandingkan dengan daerah rural. Prevalensi obesitas sentral lebih tinggi di urban dibandingkan dengan rural. Rerata HOMA-IR di daerah urban lebih tinggi dibandingkan rural. Rerata LCN2 lebih tinggi di rural dibandingkan urban. Tidak terdapat perbedaan nilai LCN2 pada kelompok SM dan kelompok tanpa SM. Tidak terdapat hubungan antara HOMA IR dan LCN2.

Background/Objective: The prevalence of metabolic syndrome not only influenced by age but also residency area. The alteration of dietary pattern due to urbanization presumed to initiate gut inflammation. Lipocalin-2 (LCN-2) is a novel marker for gut inflammation and also cardiovascular disease. This study aim to compare insulin resistance (HOMA-IR), metabolic syndrome, and LCN-2 level in late adolescent in urban and rural area. Methods Cross sectional study was done during 2018 and 2019, which included 475 colleague students (18-20 years old) in urban and rural. We measured anthropometric parameter, fasting blood glucose, fasting insulin, lipid profile and LCN2 level. After respondent interview and physical examination, blood sample kept in specific freezer (-800C). The analysis of respondent’s blood sample executed in similar time (2020) to prevent result bias due to the different time of sampling management.
Methods: Cross sectional study was done during 2018 and 2019, which included 475 colleague students (18-20 years old) in urban and rural. We measured anthropometric parameter, fasting blood glucose, fasting insulin, lipid profile and LCN2 level. After respondent interview and physical examination, blood sample kept in specific freezer (-800C). The analysis of respondent’s blood sample executed in similar time (2020) to prevent result bias due to the different time of sampling management.
Results: The prevalence of metabolic syndrome in urban dan rural were 2.9% and 0.8%. Meanwhile the prevalence of central obesity in total, urban and rural were 15,4%; 23,1%; and 7.3%. Urban group has higher HOMA-IR value than rural group (0.99 vs 0.78; p<0.001). LCN2 value was lower in urban compared with rural area (161.80 ng/mL vs 246.6 ng/mL, p<0.001). There was no correlation between HOMA-IR and LCN2 (r: -0.075. p: 0.110).
Conclusions: The prevalence of MS in late adolescent higher in urban compare with rural area. Central obesity prevalence was higher in urban area. HOMA-IR were differed significantly in urban compared with rural in total population and male population. LCN2 value was differed significantly between urban and rural. However, LCN2 was not significantly differed between MS and without MS Group. Furthermore LCN2 and HOMA-IR shows no correlation
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Livy Bonita Pratisthita
"Latar Belakang. Prevalensi sindrom metabolik (SM) semakin meningkat di daerah rural
Indonesia. Kunci patogenesis SM adalah resistensi insulin yang dapat didiagnosis dengan
Homeostasis Model Assessment of Insulin Resistance (HOMA-IR) dan Indeks
Triglyceride/Glucose (TyG). Hingga saat ini, belum ada nilai titik potong optimal untuk
indeks tersebut di Indonesia.
Metode. Sebanyak 1300 subjek orang dewasa berusia 18-60 tahun dari studi Sugarspin di
Nangapanda, Flores, Indonesia dibagi menjadi dua grup berdasarkan jenis kelamin.
Penentuan nilai titik potong HOMA-IR dan Indeks TyG pada setiap grup dilakukan dengan
kalkulasi persentil 75 (p75) dan 90 (p90) pada populasi sehat dan dengan metode receiver
operating characteristics (ROC) pada populasi SM dan non-SM. Korelasi antara HOMAIR
dan Indeks TyG dinilai dengan korelasi Spearman pada subjek laki-laki dan perempuan.
Hasil. Berdasarkan kedua metode, titik potong HOMA-IR dan Indeks TyG berbeda-beda
antara laki-laki dan perempuan. Nilai titik potong HOMA-IR berdasarkan persentil pada
laki-laki sehat adalah 0,9 (p75) dan 1,242 (p90); sedangkan pada perempuan adalah 1,208
(p75) dan 1,656 (p90). Berdasarkan ROC, titik potong HOMA-IR antara populasi SM dan
non-SM pada laki-laki adalah 1,185 dan pada perempuan adalah 1,505. Nilai titik potong
Indeks TyG pada laki-laki sehat adalah 8,590 (p75) dan 8,702 (p90); sedangkan pada
perempuan adalah 8,448 (p75) dan 8,617 (p90). Berdasarkan ROC, titik potong Indeks TyG
adalah 8,905 untuk laki-laki dan 8,695 untuk perempuan. Koefisien korelasi HOMA-IR
dan Indeks TyG ialah 0,39 pada laki-laki dan 0,36 pada perempuan.
Kesimpulan. Nilai titik potong HOMA-IR untuk resistensi insulin pada laki-laki adalah
0,9 (p75), 1,242 (p90), dan 1,185 (ROC); pada perempuan adalah 1,208 (p75), 1,656 (p90),
dan 1,505 (ROC). Nilai titik potong Indeks TyG pada laki-laki adalah 8,59 (p75), 8,702
(p90), dan 8,905 (ROC); pada perempuan adalah 8,448 (p75), 8,617 (p90), dan 8,695
(ROC). Didapatkan hasil korelasi yang lemah antara HOMA-IR dan Indeks TyG.

Background. Metabolic Syndrome (MS) prevalence is increasing in Indonesia's rural area.
The key pathogenetic mechanism of MS is insulin resistance which can be diagnosed by
Homeostasis Model Assessment of Insulin Resistance (HOMA-IR) and
Triglyceride/Glucose (TyG) Index. There are no predefined cut-offs for these indexes in
Indonesia.
Methods. As many as 1300 adults aged 18-60 years from Sugarspin study in Nangapanda,
Flores, Indonesia were divided into different groups based on sex. We determined the cutoff
points of HOMA-IR and TyG Index in each group by calculation of the 75th (p75) and
90th percentiles (p90) in healthy subjects and by receiver operating characteristics (ROC)
analysis of MS and non-MS subjects. Correlation between HOMA-IR and TyG Index was
performed in both sexes by Spearman's correlation.
Results. Using both methods, HOMA-IR and TyG Index cut-offs were different between
males and females. The HOMA-IR cut-offs for healthy males were 0.9 (p75) and 1.242
(p90); for healthy females were 1.208 (p75) and 1.656 (p90). By ROC, the HOMA-IR cutoff
for males was 1.185 and for females was 1.505. The TyG Index cut-offs for healthy
males were 8.590 (p75) and 8.702 (p90); for healthy females were 8.448 (p75) and 8.617
(p90). The TyG Index ROC cut-offs were 8.905 for males and 8.695 for females. The
correlation coefficients between HOMA-IR and TyG Index were 0.39 for males and 0.36
for females.
Conclusion. The HOMA-IR cut-offs for males were 0.9 (p75), 1.242 (p90), and 1.185
(ROC); for females were 1.208 (p75), 1.656 (p90), and 1.505 (ROC). The TyG Index cutoffs
for males were 8.590 (p75), 8.702 (p90), and 8.905 (ROC); for females were 8.448
(p75), 8.617 (p90), and 8.695 (ROC). The correlation between HOMA-IR and TyG Index
was weak.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Galuh Areta Trustha
"Sindrom metabolik atau sindrom X merupakan kondisi yang berpotensi meningkatkan risiko seseorang mengalami penyakit tidak menular. Berdasarkan data Riskesdas 2013, prevalensi sindrom metabolik di Indonesia mencapai 39% dan lebih banyak terjadi pada wanita. Gaya hidup berpotensi mempengaruhi terjadinya sindrom metabolik. Namun, penelitian terdahulu tentang hubungan gaya hidup yang meliputi aktivitas fisik, pola makan dan merokok terhadap sindrom metabolik menunjukkan hasil yang beragam. Selain itu, belum ada penelitian tentang sindrom metabolik spesifik pada populasi wanita di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan gaya hidup dengan kejadian sindrom metabolik pada wanita usia ≥15 tahun di Indonesia. Desain studi yang digunakan adalah cross-sectional dengan sumber data dari Riskesdas 2018. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi sindrom metabolik pada wanita usia ≥15 tahun di Indonesia sebesar 37,6%. Umur berhubungan signifikan dengan kejadian sindrom metabolik pada wanita (PR=1,711; 95% CI=1,640-1,785; nilai P=0,001). Dalam penelitian ini, aktivitas fisik, merokok, konsumsi makanan manis, minuman manis, makanan berlemak, soft drink, buah, dan sayur tidak terbukti berhubungan secara statistik dengan sindrom metabolik. Karena tingginya prevalensi sindrom metabolik pada wanita di Indonesia, perlu untuk meningkatkan program skrining, seperti pengukuran lingkar perut, tekanan darah, dan gula darah secara rutin. Selain itu, perlu untuk menerapkan gaya hidup sehat bagi wanita untuk mencegah terjadinya sindrom metabolik.

Metabolic syndrome or syndrome X is a condition that can increase a person's risk of developing non-communicable diseases. Based on Riskesdas 2013 data, the prevalence of metabolic syndrome in Indonesia reaches 39% and is more prevalent in women. Lifestyle has the potential to influence the incidence of metabolic syndrome. However, previous research on the relationship between lifestyle including physical activity, diet and smoking on metabolic syndrome has shown mixed results. In addition, there has been no research on specific metabolic syndrome in women in Indonesia. This study aims to determine the relationship between lifestyle and the incidence of metabolic syndrome in women aged ≥15 years in Indonesia. The study design used was cross-sectional with data sources from Riskesdas 2018. The results showed that the prevalence of metabolic syndrome in women aged ≥15 years in Indonesia was 37.6%. Age is significantly associated with the incidence of metabolic syndrome in women (PR=1.711; 95% CI=1.640-1.785; P=0.001). In this study, physical activity, smoking, consumption of sweet foods, sweet drinks, fatty foods, soft drinks, fruit and vegetables were not statistically proven to be associated with metabolic syndrome. Due to the high prevalence of metabolic syndrome among women in Indonesia, it is necessary to improve screening programs, such as routine measurements of abdominal circumference, blood pressure and blood sugar. In addition, it is necessary to adopt a healthy lifestyle for women to prevent metabolic syndrome."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tyarani Larasati Eka Putri
"Sindrom metabolik merupakan kumpulan abnormalitas metabolik dengan karakteristik obesitas abdominal, dislipidemia aterogenik, peningkatan tekanan darah, dan resistensi insulin disertai intoleransi glukosa. Metode induksi diet tinggi lemak dan streptozotosin dosis rendah berpotensi membentuk model hewan sindrom metabolik namun pengaruh terhadap parameter antropometri masih perlu diamati. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh kombinasi diet tinggi lemak dan streptozotosin serta variasi dosis streptozotosin terhadap parameter antropometri. Sebanyak 32 tikus Wistar dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu kelompok normal, diet tinggi lemak-streptozotosin 25 mg/kg, diet tinggi lemak-streptozotosin 35 mg/kg, dan diet tinggi lemak-streptozotosin 45 mg/kg. Pemberian induksi diet tinggi lemak dilakukan selama 49 hari dengan induksi streptozotosin dilakukan pada hari ke-28 secara intraperitoneal.
Hasil menunjukkan pemberian diet tinggi lemak selama 27 hari dapat meningkatkan berat badan, lingkar perut, BMI, Lee index. Pasca pemberian streptozotosin, terjadi penurunan BMI, Lee index dan lingkar perut namun berat badan tetap meningkat hingga akhir penelitian. Kelompok yang diberi dosis 25 mg/kg memiliki peningkatan berat badan yang lebih tinggi serta penurunan lingkar perut, BMI, dan Lee index yang lebih besar dibanding kelompok dosis 35 mg/kg. Streptozotosin dosis 45 mg/kg menyebabkan kematian hewan uji sebesar 87,5%. Dapat disimpulkan bahwa pemberian diet tinggi lemak selama 28 hari dapat meningkatkan parameter antropometri sedangkan pemberian streptozotosin diikuti pemberian diet tinggi lemak menurunkan parameter antropometri kecuali berat badan. Evaluasi lebih lanjut diperlukan untuk pengembangan model hewan sindrom metabolik.

Metabolic syndrome is a cluster of metabolic abnormalities with abdominal obesity, atherogenic dyslipidemia, increase blood pressure, and insulin resistance with glucose intolerance. A combination of high-fat diet and low-dose streptozotocin has the potential to become animal model of metabolic syndrome; however, the effect on anthropometric parameter need to be further evaluated. The aim of this study was to identify the effect of high-fat diet and low-dose streptozotocin and dosage variation of streptozotocin to anthropometric parameter. A total of 32 Wistar rats were divided into four groups: normal, high-fat diet and streptozotocin 25 mg/kg, high-fat diet and streptozotocin 35 mg/kg, and high-fat diet and streptozotocin 45 mg/kg. High-fat diet was given for 49 days with injection of streptozotocin on day 28.
The results of this study exhibited high-fat feeding for 27 days could increased body weight, abdominal circumference, BMI, Lee index. After streptozotocin injection, there was reduction in weight gain, abdominal circumference, BMI, and Lee index but body weight still increased until the end of this study. Animal group given 25 mg/kg streptozotocin gained weight and reduced abdominal circumference, BMI, and Lee index more than group given 35 mg/kg streptozotocin. Streptozotocin dosage 45 mg/kg caused death on 87.5% animals population. This study conclude high-fat diet feeding for 28 days could increased anthropometric parameter. However, streptozotocin injection followed by high-fat diet feeding could decreased anthropometric parameter except body weight. Further examination needed to develop metabolic syndrome animal model.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Binahayati
"ABSTRAK
Sindrom metabolik MetS adalah kumpulan faktor yang kompleks dan saling berhubungan, yang meningkatkan risiko penyakit jantung dan diabetes mellitus tipe 2. Resistensi insulin dan obesitas sentral dianggap sebagai penyebab utama dari sindrom metabolik, sehingga penurunan resistensi insulin menjadi tujuan klinis yang penting saat ini. Beberapa studi menyimpulkan bahwa akupunktur dapat meningkatkan sensitivitas insulin, karena itu efektif untuk mengatasi gangguan metabolik Uji klinis acak tersamar tunggal dengan pembanding dilakukan pada 50 penderita sindrom metabolik yang dibagi secara acak ke dalam dua kelompok, kelompok elektroakupunktur dan medikamentosa n = 25 serta kelompok elektroakupunktur sham dan medikamentosa n=25 . Elektroakupunktur dilakukan 2 kali seminggu sebanyak 10 kali tindakan di titik CV12 Zhongwan, CV4 Guanyuan, ST25 Tianshu, ST36 Zusanli, ST40 Fenglong, SP6 Sanyinjiao, dan MA-IC3 Endokrin. Dilakukan pemeriksaan gula darah puasa dan insulin puasa untuk mengukur HOMA-IR sebagai luaran primer. Hasilnya terdapat perbedaan bermakna secara statistik perubahan HOMA-IR antara kelompok elektroakupunktur dan medikamentosa dengan kelompok elektroakupunktur sham dan medikamentosa -1,66 2,187 dan -0,29 2,388, p = 0,044 . Terapi kombinasi elektroakupunktur dan medikamentosa efektif untuk menurunkan resistensi insulin pada penderita sindrom metabolik.

ABSTRACT
The metabolic syndrome is a complex disorder defined by a cluster of interconnected factors that increase the risk of cardiovascular diseases and diabetes mellitus type 2. Insulin resistance and central obesity are considered significant factors as the underlying cause of the metabolic syndrome, since reduction of insulin resistance is an important clinical goal today. Several studies have concluded that acupuncture can improve insulin sensitivity, as it is effective against metabolic disturbances. A single blind randomized controlled trial involved 50 patients randomly allocated into two groups electroacupuncture with medication group n 25 or sham electroacupunture with medication group n 25 . Electroacupuncture therapy was given twice a week for ten times at CV12 Zhongwan, CV4 Guanyuan, ST25 Tianshu, ST36 Zusanli, ST40 Fenglong, SP6 Sanyinjiao, and MA IC3 Endocrine. Fasting blood glucose and fasting insulin serum were assessed to measure HOMA IR as the primary outcome. There was a statistically significant difference in changing of HOMA IR between electroacupuncture with medication group and sham electroacupunture with medication group 1,66 2,187 and 0,29 2,388, p 0.044 . Electroacupuncture with medical treatment effectively decreased insulin resistance of metabolic syndrome patients."
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Pravita Sari
"Latar Belakang. Salah satu penyebab kematian pada sindrom koroner akut adalah terjadinya komplikasi yang dikenal dengan major adverse cardiac event MACE . Terdapat beberapa prediktor terjadinya MACE pada pasien SKA, diantaranya adalah faktor psikologis yaitu depresi dan ansietas. Saat ini, depresi dan ansietas belum mendapat banyak perhatian padahal memiliki peran penting dalam pengobatan SKA dan prognosisnya.
Tujuan. Mengetahui hubungan antara depresi dan ansietas dengan major adverse cardiac event dalam 7 hari pada pasien SKA.
Metode. Studi dengan desain kohort prospektif untuk meneliti hubungan antara depresi dan ansietas dengan MACE dalam 7 hari pasien SKA, dengan menggunakan kuisioner HADS pada pasien SKA yang menjalani perawatan di ICCU, Rawat Inap Gedung A RSCM pada bulan Januari ndash; Mei 2018. Analisis bivariat dilakukan untuk menghitung risk ratio RR terjadinya MACE dalam 7 hari pada kelompok depresi dan ansietas dengan menggunakan SPSS.
Hasil. Didapatkan jumlah subjek yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 114 orang. depresi didapatkan pada 7 subjek, ansietas didapatkan pada 28,95 subjek, dan MACE didapatkan pada 9,6 subjek. Pada kelompok depesi, MACE 7 hari terjadi pada 12,5 subjek. Pada kelompok Ansietas, MACE 7 hari terjadi pada 21,2 subjek. Pada analisis bivariat didapatkan ansietas meningkatkan risiko terjadinya MACE dalam 7 hari pada pasien SKA, dengan risiko relatif RR sebesar 4,2 IK 1,34 ndash; 13,7.
Kesimpulan. Proporsi depresi pada pasien SKA di RSCM sebesar 7 dan proporsi ansietas pada pasien SKA di RSCM sebesar 28,95 . Ansietas pada pasien SKA merupakan prediktor independen terjadinya MACE dalam 7 hari dan meningkatkan risiko terjadinya MACE 7 hari.

Background. One of the causes of death in acute coronary syndrome is the occurrence of a complication known as major adverse cardiac event MACE. There are several predictors of the occurrence of MACE in patients with ACS, including psychological factors such as depression and anxiety. Currently, depression and anxiety have not received much attention when it has an important role in the treatment of ACS and its prognosis.
Objective. To determine the association between depression and anxiety with major adverse cardiac event within 7 days in patients with acute coronary syndrome.
Method. Study with prospective cohort design to examine the association between depression and anxiety with MACE within 7 days of ACS patients, using HADS questionnaires on ACS patients undergoing treatment at ICCU, Hospitalization RSCM in January May 2018. Bivariate analysis was performed to calculate the risk ratio RR of MACE occurrence within 7 days in the depression and anxiety group using SPSS.
Results. Obtained number of subjects who meet the inclusion criteria of 114 people. depression was obtained in 7 of subjects, Anxiety was obtained in 28,95 of subjects, and MACE was obtained in 9.6 of subjects. In the depression group, MACE 7 days occurred in 12.5 of subjects. In the Anxiety group, MACE 7 days occurred in 21,2 of subjects. In bivariate analysis, anxiety increased the risk of MACE within 7 days in patients with ACS, with relative risk RR of 4,2 IK 1,34 ndash 13,7.
Conclusion. The proportion of depression in patients with SKA in RSCM was 7 and the proportion of anxiety in ACS patients in RSCM was 28,95. Anxiety in patients with ACS is an independent predictor of MACE within 7 days and increases the risk of a 7 day MACE.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novita Mawar Hadini
"Pendahuluan: Jumlah pasien Sindrom Koroner Akut SKA semakin meningkat dari tahun ketahun. Ticagrelor merupakan penghambat P2Y12 dengan onset cepat dan efekhambatan platelet lebih besar dibandingkan klopidogrel, namun memiliki masalahmeningkatnya efek samping perdarahan mayor, efek samping lain, dan biaya yanglebih mahal. Penelitian ini bertujuan melakukan evaluasi efektifitas, keamanan,dan cost effectiveness analysis ticagrelor dibandingkan klopidogrel add on aspirinpada pasien SKA sejak tahun 2014-2016 di RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Metode:Penelitian ini menggunakan design kohort retrospektif. Rekam medis dari pasienSKA yang pertama kali didiagnosa dan diterapi dengan klopidogrel dan pasienSKA yang pertama kali didiagnosa dan diterapi dengan ticagrelor dimasukkankedalam kriteria inklusi. Outcome efektivitas adalah insiden major adversecardiovascular events MACE yang dapat dicegah dalam 3, 6, 9, dan 12 bulan.Outcome safety adalah insiden efek samping yang timbul dalam 3 bulan.Outcomebiaya dinilai dengan cost effectiveness analysis CEA . Data untuk CEA disajikandalam bentuk incremental cost effectiveness ratio ICER . Untuk menilaiketidakpastian data uncertainty digunakan analisa sensitivitas satu arah.
Hasil:Rekam medis dari 123 pasien klopidogrel-aspirin dan 57 pasien ticagrelor-aspirinberhasil dievaluasi. Trend pemakaian ticagrelor semakin meningkat sejak tahun2014 sampai dengan 2016, sedangkan klopidogrel semakin menurun. Outcomeefektivitas adalah MACE yang dapat dicegah dalam 3 bulan. Dalam 3 bulanMACE terjadi pada 15.8 pasien di kelompok ticagrelor dan 31.7 pasien dikelompok klopidogrel RR; 0,498, 95 CI; 0,259 ndash;0,957, P = 0,039 . Tidak adaperbedaan signifikan pada bulan ke 6,9, dan 12. Ticagrelor memiliki efek sampingperdarahan mayor melena lebih tinggi dibanding klopidogrel 5,3 vs 1,62 , P= 0,681 , terutama pada pasien geriatri. ICER = Rp 279.438,87., denganpengertian diperlukan tambahan biaya Rp 279.438,87., untuk setiap insidenMACE yang dapat dihindari dalam 3 bulan jika digunakan ticagrelor sebagaiDAPT. ICER tersebut dianggap cost effective karena berada dibawah 1 GDP Gross Domestic Product Indonesia tahun 2016, yaitu 3603 Rp 49.000.800.
Kesimpulan: Ticagrelor-aspirin lebih efektif dan lebih cost-effective dalam mencegah MACEdalam 3 bulan dibandingkan klopidogrel-aspirin pada pasien SKA. Masihdiperlukan penelitian prospektif lanjutan dengan jumlah besar terutama padapasien geriatri dengan SKA.

Introduction The enormous number of acute coronary syndrome ACS cases make it importantto evaluate the economic burden of this illness. Ticagrelor is a P2Y12 inhibitorwith pronounced platelet inhibition effect and more rapid onset compared toclopidogrel, with disadvantages of higher price and major bleeding adverseeffects. This study aimed to evaluate effectiveness, safety, and cost effectivenessanalysis of dual antiplatelet aspirin ticagrelor compared with aspirin clopidogrelat ACS patients in Cipto Mangunkusumo Hospital during 2014 2016
Methods This is a retrospective cohort study from data records of ACS patient treated inCipto Mangunkusumo Hospital between 2014 2016 period. ACS patientsdiagnosed and treated for the first time with aspirin clopidogrel and patientsdiagnosed and treated for the first time with aspirin ticagrelor were included.Effectiveness outcome were the occurence of major adverse cardiovascular events MACE successfully avoided within 3, 6, 9, and 12 months of antiplatelettreatment. Safety outcome were the insidence of adverse drug reactions within 3months. Cost outcome were determined with cost effectiveness analysis CEA .Data for CEA calculation were presented as Incremental Cost Effectiveness Ratio ICER . One way sensitivity analysis were performed to evaluate data uncertainty.
Results A total of 123 data records of ACS patients treated with aspirin clopidogrel and57 with aspirin ticagrelor were evaluated. Trend for antiplatelet prescriptionshowed that ticagrelor prescription increased since 2014 until 2016, whileclopidogrel decreased. Within the first three months, the MACE rate was 15.8 inticagrelor group and 31.7 in clopidogrel group RR 0,498, 95 CI 0,259 ndash 0,957, P 0,039 . There were no significant differences of MACE betweengroups after 6, 9, and 12 months treatment. Ticagrelor had unsignificant majorbleeding melena higher than clopidogrel 5,3 vs 1,62 , P 0,681, especiallyin geriatric patients. ICER value was IDR 279.438,87, indicating additional costneeded for every MACE incidence successfully avoided within 3 month if aspirinticagrelorwas used. ICER under 1 Indonesian GDP Gross Domestic Product in2016 3603, equal to IDR 49.000.800 is considered cost effective.
Conclusions Ticagrelor aspirin is a clinically superior and cost effective option for MACEprevention among ACS patients especially during the first three monthsantiplatelet treatment. Further prospective rearch with higher number especially ingeriatric patients with ACS is still needed."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58952
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anastasia Asylia Dinakrisma
"Latar Belakang: Kematian kardiak dan reinfark merupakan MACE yang sering terjadi pada pasien SKA. Gelombang fragmented QRS fQRS merupakan penanda iskemia atau jejas miokardium dini pada pasien sindrom koroner akut SKA. Peran fQRS terhadap MACE 30 hari perlu diteliti lebih lanjut pada pasien SKA.
Tujuan: Mengetahui peran fQRS sebagai prediktor MACE berupa reinfark dan kematian kardiak pada pasien SKA di ICCU selama 30 hari.
Metode: Studi dengan desain kohort retrospektif untuk meneliti peran gelombang fragmented QRS sebagai prediktor MACE selama 30 hari pasien SKA, dengan menggunakan data rekam medis pasien SKA yang menjalani perawatan di ICCU RSCM pada bulan Juli 2015 - Oktober 2017. Analisis bivariat dan multivariat dengan logistik regresi dilakukan untuk menghitung crude risk ratio RR dan adjusted RR terjadinya MACE dalam 30 hari antara kelompok fQRS terhadap kelompok non-fQRS dengan menggunakan SPSS.
Hasil: Dalam 2 tahun, didapatkan jumlah subyek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebanyak 353 orang. Fragmented QRS didapatkan pada 60,9 subyek, dengan lokasi terbanyak di inferior 48,8 dan rerata onset 34 jam. Proporsi kejadian MACE 30 hari lebih tinggi pada grup fQRS vs non fQRS 15,8 vs 5,8. Pada analisis bivariat didapatkan fQRS meningkatkan probabilitas terjadinya MACE selama 30 hari pada pasien SKA, dengan risiko relatif RR sebesar 2,72 IK 95 1,3 -5,71. Sedangkan pada analisis multivariat, didapatkan adjusted RR 2,79 IK 95 1,29 - 4,43, setelah memperhitungkan 6 faktor perancu, yakni skor GRACE risiko sedang-berat, eGFR kurang dari 60 ml/menit, LVEF kurang dari 40, riwayat diabetes melitus, usia lebih dari 45 tahun dan hipertensi. Laju eGFR merupakan faktor perancu yang memberikan perubahan paling besar, yakni 12,4.
Kesimpulan: Proporsi fQRS pada SKA selama perawatan di ICCU RSCM sebesar 60,9. Fragmented QRS yang muncul pada fase akut pada pasien SKA yang dirawat di ICCU merupakan prediktor independen terjadinya MACE dalam 30 hari dan meningkatkan probabiltas terjadinya MACE 30 hari berupa kematian kardiak dan reinfark pada pasien SKA.

Background: Cardiac death and reinfarction are most common major adverse cardiac events in acute coronay syndrome. Fragmented QRS fQRS in 12 leads ECG is associated with myocardial injury and ischaemia in coronary artery disease. The role of fQRS as predictor of 30 days MACE cardiac death and reinfarction needs to be evaluated in acute coronary syndrome patients in Indonesia.
Objectives: To identify proportion and role of fQRS as a predictor 30 days MACE in acute coronary syndrome patients.
Methods: A cohort retrospective study was conducted by using secondary data acute coronary syndrome patients in Intensive Cardiac Care Unit Cipto Mangunkusumo Hospital from July 2015 ndash October 2017. Analysis was done by using SPSS statistic for univariate, bivariate and multivariate logistic regression to obtain crude risk ratio and adjusted risk ratio of probability 30 days MACE patient with fQRS.
Result: Three hundred and fifty three subjects during 2 years were included in this study. Fragmented QRS was found in 60,9 subjects, more frequent in inferior leads 48,8, with mean onset 34 hours. Major adverse cardiac events were higher in fQRS vs non fQRS group 15,8 vs 5,8. Bivariate analysis showed higher probability of 30 days MACE in ACS patient RR 2,72, 95 CI 1,3 5,71. Multivariate analysis were done by using logistic regression with GRACE score moderate and high risk, low eGFR 60 ml min, low LVEF 40, diabetes melitus, age more than 45 years and hypertension as confounding factors, revealed adjusted RR was 2,79 95 CI 1,29 ndash 4,43. Low eGFR was a potential confounder in this study.
Conclusion: The fQRS proportion in ACS patients during ICCU admission was 60,9. Acute and persistent fQRS developed in ACS during hospitalization was an independent predictor of 30 days MACE cardiac death and reinfarction.Keywords fQRS, acute coronary syndrome, Major adverse cardiac event.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Diding Heri Prasetyo
"Latar Belakang: Sindrom koroner akut (SKA) adalah gangguan yang mengancam jiwa yang tetap menjadi sumber morbiditas dan mortalitas yang tinggi meskipun ada kemajuan dalam pengobatan. Hubungan antara asam urat serum dengan penyakit jantung iskemik masih kontroversial dan belum ditetapkan sebagai faktor risiko kardiovaskular. Interaksi kooperatif antara keduanya tidak sepenuhnya dipahami. Beberapa bukti epidemiologis hubungan kausal tersebut masih kontroversial. Sering sekali penelitian dengan kasus yang sama dan menggunakan metode yang sama tetapi hasilnya berbeda.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk melakukan meta analisis untuk mensintesis hasil-hasil penelitian yang berbeda tersebut agar diperoleh data baru yang bersifat kuantitatif dan lebih akurat.
Metode: Protokol penelitian didaftarkan di PROSPERO (CRD42020210948) dan telaah sistematis mengikuti pedoman preferred reporting items for systematic reviews and meta-analyses (PRISMA), dengan menelusuri studi yang dipublikasikan dalam rentan waktu dari Januari 2010 hingga Mei 2020. Cochrane Library, Ebsco, Medline/PubMed, ProQuest dan Sience Direct adalah sumber dari studi yang dipublikasikan. Meta analisis dilakukan untuk mensintesis korelasi antara kadar asam urat serum dan keparahan stenosis arteri koroner. Heterogenitas dinilai menggunakan I2, dan meta analisis menggunakan perangkat lunak Comprehensive Meta Analysis Version 3 (CMA3).
Hasil: Lima studi (n = 601 pasien) diidentifikasi didapatkan korelasi antara kadar asam urat serum dan skor Gensini (r = 0,548; p <0,001) pada pasien SKA. Bias heterogenitas ditemukan dalam analisis.
Simpulan: Keparahan stenosis arteri koroner pada pasien dengan SKA berkorelasi positif dengan kadar asam urat serum.

Background: Acute coronary syndrome (ACS) is a life-threatening disease which remains a source of high morbidity and mortality despite advances in treatment. The relationship between serum uric acid (SUA) level and ischemic heart disease abides controversial and still has not been established as a cardiovascular risk factor. The cooperative interaction between those two factors is not fully understood. Prior epidemiological evidences of the causal relationship is still argumentative. There were various studies using the same methods yet the outcome were different.
Objective: This study aims to conduct a meta-analysis to synthesize the results of recent studies in order to obtain data quantitatively and also accurately.
Methods: The study protocol was registered in PROSPERO (CRD42020210948) and systematic study follows the guidelines for preferred reporting items for systematic reviews and meta-analysis (PRISMA), tracing studies published in January 2010 to May 2020. Sources of database using Cochrane Library, Ebsco, Medline/PubMed, ProQuest and Science Direct. Meta-analysis was conducted to synthesize the associations between SUA level and severity of coronary artery stenosis. Heterogeneity was assessed using I2, and the meta-analysis was performed using Comprehensive Meta Analysis Version 3 (CMA3) software.
Results: Five studies (n = 601 patients) identified a correlation between serum uric acid levels and Gensini scores (r = 0.548; p <0.001) in ACS patients. Heterogeneity bias was found in the analysis.
Conclusions: The severity of coronary artery stenosis in patients with ACS is positively correlated with serum uric acid levels"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Permata Sari
"Latar belakang: Belum banyak studi yang menyatakan pengaruh latihan penguatan terhadap peningkatan kapasitas aerobik pada pasien dengan Sindroma Koroner Akut (SKA) risiko ringan dan sedang pasca intervensi koroner perkutan serta apa pengaruhnya terhadap tekanan darah dan laju jantung.
Tujuan: Mengetahui manfaat kombinasi latihan aerobik dan latihan penguatan pada pasien SKA risiko ringan dan sedang pasca intervensi koroner perkutan.
Metode : Penelitian ini menggunakan desain studi eksperimental dengan membandingkan kapasitas aerobik dan hemodinamik pasien SKA pasca intervensi koroner perkutan yang diberikan latihan aerobik saja dan kombinasi latihan aerobik dan penguatan selama 8 minggu.
Hasil: Dari April 2012 - Januari 2013 terdapat 20 subjek yang mengikuti penelitian ini sampai dengan selesai. Terdapat peningkatan kapasitas aerobik setelah perlakuan pada kelompok yang mendapat latihan aerobik saja maupun kelompok yang mendapatkan latihan aerobik ditambah dengan penguatan dengan selisih yang lebih besar pada kelompok latihan aerobik dan penguatan (0,75 + 1,09 vs 2,35 + 0,99) namun perbedaan yang bermakna hanya terdapat pada kelompok yang mendapatkan latihan aerobik dan penguatan (p<001). Terdapat perbedaan kapasitas aerobik yang bermakna antara kedua kelompok sesudah perlakuan (7,3 (5,27 - 9,33) vs 9,75 (4,43 - 11,43), p<001). Untuk variabel hemodinamik (tekanan darah sistolik dan diastolik istirahat, laju jantung istirahat, laju jantung tercapai, dan laju jantung pemulihan) tidak ada perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok (p>0,05). Analisa multivariat menunjukkan faktor yang mempengaruhi peningkatan kapasitas aerobik adalah umur, dengan batasan umur ≤ 55 tahun.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan kapasitas aerobik yang bermakna pada kelompok yang mendapatkan latihan aerobik dan penguatan setelah perlakuan.;Background: Aerobic exercise has been use for years in patients with Acute coronary syndrome after a percutaneus coronary intervention but only a few study explain how strengthening exercise combined with aerobic exercise could influence aerobic capacity and hemodynamic parameters in patients with coronary heart disease who had underwent percutaneus coronary intervention (PCI).

Aim od study: to know influence of combined aerobic and strengthening exercise in patients underwent PCI to aerobic capacity and hemodynamics.
Method: This research use experimental study design to compare aerobic capacity in patients post PCI given only aerobic exercise and combine aerobic and strengthening exercises for 8 weeks.
Results: From April 2012 - January 2013 there were 20 subjects volunteered to follow the study. There is an increasing aerobic capacity in aerobics only training group and combined exercise group with the larger difference in aerobic and strengthening exercise group (0.75 + 1.09 vs. 2.35 + 0.99). but the difference only significant in combined exercise group (p <001). There is a significant difference in aerobic capacity between the two groups after treatment (7.3 (5.27 to 9.33) vs. 9.75 (4.43 to 11.43), with p <001). There is no difference in hemodynamic variables in both groups. Multivariate analysis showed that factors influencing the increase aerobic capacity is age, with ≤ 55 years of age limitations.
Conclusion: There is a significant difference in aerobic capacity in the cluster get aerobic and strengthening exercises after treatment.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>