Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 175898 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Choirunisa Lisdiyani
"Skripsi ini membahas tanggung jawab hukum apotek dan toko obat dalam penyerahan obat dengan menganalisis perbandingan Putusan No. 104/Pid.B/2015/PN.pgp dan Putusan No. 153/Pid.Sus/2014/PN.Kbr. Apotek dan toko obat merupakan sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukannya praktik kefarmasian oleh tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan yang dimaksud adalah Apoteker pada apotek dan Tenaga Teknis Kefarmasian pada toko obat. Baik Apoteker ataupun Tenaga Teknis Kefarmasian yang menjalankan pelayanan penyerahan obat kadang kala tidak menjalankan kewenangannya sebagaimana aturan yang ada. Dengan menggunakan metode penulisan berbentuk Yuridis Normatif dan tipe penelitian deskriptif, skripsi ini menjabarkan analisis mengenai tanggung jawab hukum apotek dan toko obat dalam penyerahan obat berdasarkan Putusan Pengadilan No. 104/Pid.B/2015/PN.pgp dan Putusan No. 153/Pid.Sus/2014/PN.Kbr. Kesimpulannya, terhadap apotek dan toko obat yang melakukan pelanggaran penyerahan obat dapat dikenakan sanksi administratif dan sanksi pidana. Representasi dari apotek adalah Apoteker, sedangkan representasi dari toko obat adalah Tenaga Teknis Kefarmasian. Peneliti menyarankan agar Kementerian Kesehatan melalui Dinas Kesehatan dan Balai Pengawasan Obat dan Makanan (B-POM) lebih aktif dalam hal pengawasan apotek dan toko obat, terutama dalam hal penyerahan obat kepada pasien dan penerbitan izin usaha pada toko obat.

This essay discusses the legal responsibilities of pharmacy and drug store in drugs delivery by analyzing the comparison of Judgment No. 104/Pid.B/2015/PN.pgp and Judgment No. 153/Pid.Sus/2014/PN.Kbr. Pharmacy and drug store are pharmaceutical service facilities where pharmacy practices are carried out by health workers. Health workers in question are Pharmacists at the pharmacy and Pharmaceutical Technical Staff at the drug store. Both Pharmacists and Pharmaceutical Technical Staff who carry out drug delivery services sometimes do not carry out their authority according to existing rules. By using Normative Juridical writing methods and descriptive research types, this essay lays out an analysis of the legal responsibilities of pharmacy and drug store in drug delivery based on Juedgment Number 104/Pid.B/2015/PN.pgp and Judgment No. 153/Pid.Sus/2014/ PN.Kbr. In conclusion, pharmacy and drug store violating the drug delivery may be subject to administrative sanctions and criminal sanctions. Representatives from pharmacy are Pharmacists, while representations from drug store are Pharmaceutical Technical Staff. Researchers suggests that the Ministry of Health through the Department of Health and the Food and Drug Monitoring Agency (B-POM) be more active in terms of supervision of pharmacy and drug store, especially in terms of drug delivery to patients and issuance of business licenses at drug store."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Choirunisa Lisdiyani
"Skripsi ini membahas tanggung jawab hukum apotek dan toko obat dalam penyerahan obat dengan menganalisis perbandingan Putusan No. 104/Pid.B/2015/ PN.pgp dan Putusan No. 153/Pid.Sus/2014/PN.Kbr. Apotek dan toko obat merupakan sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukannya praktik kefarmasian oleh tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan yang dimaksud adalah Apoteker pada apotek dan Tenaga Teknis Kefarmasian pada toko obat. Baik Apoteker ataupun Tenaga Teknis Kefarmasian yang menjalankan pelayanan penyerahan obat kadang kala tidak menjalankan kewenangannya sebagaimana aturan yang ada. Dengan menggunakan metode penulisan berbentuk Yuridis Normatif dan tipe penelitian deskriptif, skripsi ini menjabarkan analisis mengenai tanggung jawab hukum apotek dan toko obat dalam penyerahan obat berdasarkan Putusan Pengadilan No. 104/Pid.B/2015/PN.pgp dan Putusan No. 153/Pid.Sus/2014/PN.Kbr. Kesimpulannya, terhadap apotek dan toko obat yang melakukan pelanggaran penyerahan obat dapat dikenakan sanksi administratif dan sanksi pidana. Representasi dari apotek adalah Apoteker, sedangkan representasi dari toko obat adalah Tenaga Teknis Kefarmasian. Peneliti menyarankan agar Kementerian Kesehatan melalui Dinas Kesehatan dan Balai Pengawasan Obat dan Makanan (B-POM) lebih aktif dalam hal pengawasan apotek dan toko obat, terutama dalam hal penyerahan obat kepada pasien dan penerbitan izin usaha pada toko obat.
This essay discusses the legal responsibilities of pharmacy and drug store in drugs delivery by analyzing the comparison of Judgment No. 104/Pid.B/2015/PN.pgp and Judgment No. 153/Pid.Sus/2014/PN.Kbr. Pharmacy and drug store are pharmaceutical service facilities where pharmacy practices are carried out by health workers. Health workers in question are Pharmacists at the pharmacy and Pharmaceutical Technical Staff at the drug store. Both Pharmacists and Pharmaceutical Technical Staff who carry out drug delivery services sometimes do not carry out their authority according to existing rules. By using Normative Juridical writing methods and descriptive research types, this essay lays out an analysis of the legal responsibilities of pharmacy and drug store in drug delivery based on Juedgment Number 104/Pid.B/2015/PN.pgp and Judgment No. 153/Pid.Sus/2014/ PN.Kbr. In conclusion, pharmacy and drug store violating the drug delivery may be subject to administrative sanctions and criminal sanctions. Representatives from pharmacy are Pharmacists, while representations from drug store are Pharmaceutical Technical Staff. Researchers suggests that the Ministry of Health through the Department of Health and the Food and Drug Monitoring Agency (B-POM) be more active in terms of supervision of pharmacy and drug store, especially in terms of drug delivery to patients and issuance of business licenses at drug store."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rismalita Ayuginanjar
"ABSTRACT
Bidan merupakan salah satu tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan terutama kepada ibu dan anak. Para bidan yang menjalankan praktik kebidanan secara mandiri kadang kala tidak menjalankan kewenangannya sebagaimana aturan yang ada. Salah satu contohnya adalah dalam penyerahan obat. Dalam hal penyerahan obat, termasuk obat Dextromethorphan yang dibahas dalam penulisan ini. Dengan menggunakan metode penulisan berbentuk Yuridis-Normatif dan tipe penelitian deskriptif, skripsi ini menjabarkan analisis mengenai tanggung jawab hukum bidan dalam penyerahan obat berdasarkan Putusan Pengadilan Nomor: 03/Pid.Sus/2012/PN.Pml. Dapat disimpulkan bahwa bidan tidak diperbolehkan menyerahkan obat karena bidan bukan tenaga kefarmasian yang berwenang untuk menyerahkan obat terutama obat Dextromethorphan. Peneliti menyarankan agar Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan lebih aktif untuk melakukan pengawasan terhadap bidan yang menjalankan praktik secara mandiri.

ABSTRACT
Midwives are health workers who provide health services especially to mothers and children. Those midwives who carry out independent midwife practices often exercise their competency not based on existing rules. One example is during medicine dispensation, including Dextromethorphan which will be discussed in this paper. By using a juridical-normative method of writing, this paper explains an analysis of midwives legal responsibilities in medicine dispensation based on Court Ruling Number: 03/Pid.Sus/2012/PN.Pml. It can be concluded that midwives are not permitted to dispense medicine because midwives are not pharmacists who is authorized to dispense medicine, especially Dextromethorphan. It is suggested that the Ministry of Health and Public Health Department the be more active in conducting supervision of midwives who carry out independent practices."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fani Mutiara
"Perjanjian Pengikatan Jual Beli PPJB merupakan perjanjian pendahuluan yang berfungsi untuk mempersiapkan atau memperkuat perjanjian pokok yaitu perjanjian jual beli. PPJB memuat janji-janji dari calon penjual dan calon pembeli bahwa keduanya mengikatkan diri untuk melakukan jual beli. Dalam praktiknya PPJB terdapat banyak permasalahan baik yang di buat dibawah tangan maupun yang dibuat dihadapan Notaris. Sehingga, peneliti mengangkat permasalahan terkait dengan hal tersebut, diantaranya adalah pengaturan tentang pemindahan hak atas tanah melalui PPJB, perkembangan hukumnya di Indonesia, kewenangan dan tanggung jawab notaris berkaitan dengan penyerahan sertifikat hak milik sebagai objek PPJB. Bentuk penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah bentuk penelitian yuridis-normatif, metode analisis data yang digunakan adalah metode kualitatif dan alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen atau bahan pustaka.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, belum ada pengaturan khusus yang mengatur tentang pemindahan hak atas tanah melalui PPJB. Dalam setiap perjanjian yang bermaksud untuk memindahkan hak atas tanah berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria UUPA, yaitu harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT. Kemudian, jika PPJB batal demi hukum maka, notaris berkewajiban untuk menyerahkan sertifikat hak milik kepada pemegang hak yang sah.
Hasil penelitian ini menyarankan perlunya penyuluhan hukum kepada klien berupa akses informasi mengenai ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peralihan hak atas tanah serta memastikan bahwa apa yang tertuang dalam perjanjian telah dimengerti, sesuai dengan kehendak para pihak, dan menyetujui isi dari akta yang akan ditandatangani oleh para pihak. Kata Kunci:Notaris, Perjanjian Pengikatan Jual Beli, kewenangan dan tanggungjawab notaris.

Sale and Purchase Binding Agreement also known as Perjanjian Pengikatan Jual Beli or ldquo PPJB rdquo is the underlying agreement in order to arrange or support the main agreement which is the sale and purchase agreement. PPJB contains representation and warranty from the prospective seller and the prospective buyer. In practice, PPJB has many problems either drawn up in private or before the notary. Therefore, the researcher decides to analyze the above problems, among others the regulations of transfer of land rights through PPJB, the development of such regulations in Indonesia, the authorization and responsibility of notary in conjunction with the transfer of ownership certificate as PPJB rsquo s object. The form of research used by the researcher is normative legal research, the data analysis method used by researcher is qualitative method and data collection tools used in this research is document or literature study.
Based on the results, there is no specific laws which regulates the transfer of land rights through PPJB. In any agreements which aims to transfer the land rights, it shall apply the provisions under Law No. 5 of 1960 regarding Basic Regulations on Agrarian Principles Undang Undang Pokok Agraria or ldquo UUPA rdquo of which it shall be proven by deed drawn up before a land deed official Pejabat Pembuat Akta Tanah or ldquo PPAT rdquo . Further, if the PPJB is null and void, the notary shall deliver the certificate of ownership to the legally rights holder.
The results of this research is advising to conduct legal counseling to client regarding access to information with regard to the related transfer of land rights laws and shall assure that any clause in the agreement has been comprehended, in accordance with the intention of parties, and agree with the content of deed which will be signed by the parties.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T50738
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andry Wijaya
"Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya harus bersikap jujur, teliti, dan amanah. Jika tidak maka akan melanggar terhadap ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris. Hal ini seperti mengenai bersikap sesuai undang-undang yang dimana seharusnya mendaftarkan Akta Wasiat tersebut dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yuridis normatif yang bersifat analisis deskriptif, Jenis data yang digunakan ialah data sekunder dengan menggunakan menggunakan metode pengumpulan data studi dokumen, didukung wawancara dan diolah secara kualitatif. Dari hasil penelitian ini, bahwa Notaris harus bertanggung jawab terhadap akta wasiat yang dibuatnya, artinya Notaris wajib mengirim Akta Wasiat tersebut dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya. Sedangkan bagi Notaris yang bersangkutan dapat dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis, Pemberhentian sementara, Pemberhentian dengan hormat; dan Pemberhentian tidak hormat sesuai pasal 16 ayat (11) UUJNP dan penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga sesuai pasal 16 ayat (12) UUJNP. Pada UUJNP, tidak ada pasal yang menyebabkan Akta wasiat menjadi akta dibawah tangan. Selain itu Akta wasiat bukanlah perjanjian jadi pasal 1446 KUHPerdata tentang Batal Demi Hukum tidak dapat diberlakukan. Maka Akta Wasiat seharusnya tidak batal demi hukum maupun menjadi akta dibawah tangan. Tanggung jawab Notaris jika lupa mendaftarkan akta wasiat seharusnya notaris dapat menyusulkan pendaftaran akta wasiat tersebut maupun terlambat dikarenakan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia telah memberikan kebijakan bahwa Notaris dapat memberikan surat dan ditujukan kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia serta menyertakan Surat resmi mengenai alasan jelas atau alasan terang mengenai keterlambatan pendaftaran tersebut, Salinan akta wasiat yang terlambat didaftarkan dan Fotokopi reportorium yang didalamnya wasiat tersebut dicatatkan guna memastikan bahwa tanggal dan hari pembuatan akta tersebut benar.

Notary in running duties and positions must be honest, thorough, and trust. Otherwise it would violate the provisions of Article 16 paragraph (1) of the Notary Position Law. This is like being in accordance with the law which should register the Deed within 5 (five) days in the first week of every subsequent month. The method used in this research is normative juridical which is descriptive analysis. The type of data used is secondary data using data collection method of document study, supported by interview and processed qualitatively. From the result of this research, that Notary must be responsible to the deed of the testament he made, it means that the Notary must submit testament within 5 (five) days in the first week of each subsequent month. As to the notary concerned concerned may be subject to administrative sanctions in the form of a written warning, suspension, dismissal with respect; and dismissal of disrespect according to Article 16 paragraph (11) UUJNP and reimbursement of fees, compensation, and interest pursuant to Article 16 paragraph (12) UUJNP. In the UUJNP, there is no article that causes the Deed of testament to become a deed under the hand. In addition, the deed of testament is not an agreement so Article 1446 of the Civil Code of Cancel for the Law can not be applied. The Deed must therefore not be null and void by law. Responsibility of a Notary if forgot to register a deed of a will should notary be able to obtain the registration of the deed or late due to the Ministry of Law and Human Rights has given the policy that the Notary can deliver a letter and addressed to the Ministry of Justice and Human Rights and include an official letter about the obvious reason or bright reasons for the delay in registration, a copy of the deed of late will be registered and a photocopy of the reportorium in which the will is registered to ensure that the date and day of the deed are true."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T49312
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jessica Giovani Edlyn Lokollo
"Kesehatan merupakan hal yang penting dalam kehidupan setiap individu. Pelayanan kesehatan pun diberikan oleh rumah sakit melalui tenaga kesehatannya. Dokter sebagai tenaga medis yang memberikan pelayanan kesembuhan (healing) dan perawat yang memiliki peran untuk memberikan pelayanan keperawatan (caring) pun dapat lalai dalam melaksanakan kewajibannya. Kesalahan terhadap tindakan yang dilakukan oleh dokter maupun perawat di rumah sakit salah satunya adalah dalam hal pemberian obat. Lantas terkait dengan kesalahan tersebut, menarik untuk dibahas mengenai tanggung jawab hukum antara dokter, perawat dan rumah sakit. Meskipun masing-masing tanggung jawab telah diatur dalam undang-undang, akan tetapi rumah sakit tetap memiliki tanggung jawab hukum terhadap tindakan yang dilakukan oleh tenaga kesehatannya. Penelitian ini akan dilakukan dengan menganalisis sebuah Putusan yang membahas tindakan lalai oleh dokter dan perawat dalam memberikan pelayanan kesehatan pada sebuah rumah sakit. Penelitian ini dilakukan secara yuridis dan normatif, serta bersifat deskriptif. Berdasarkan kasus tersebut, maka tanggung jawab hukum dokter, perawat dan rumah sakit dapat dilihat berdasarkan tiga rumusan masalah. Pertama, membahas bagaimana tanggung jawab hukum dokter dalam pemberian obat. Kedua, akan dibahas tentang bagaimana tanggung jawab perawat dalam pemberian obat. Yang ketiga akan membahas bagaimana tanggung jawab rumah sakit terhadap tindakan dokter dan perawat dalam pemberian obat. Hingga kini, masih terdapat banyak dokter dan perawat yang tidak menjalankan tugasnya sesuai dengan standar profesinya. Dalam melaksanakan tugasnya, dokter dan perawat harus mengutamakan kesehatan dan keselamatan pasien agar terwujud fungsi dari pelayanan kesehatan.

Health is important in the lives of every individual. Health services were provided by the hospital through their health care providers. Doctors as medical personnel who provide healing services, and nurses who have a role to provide nursing services can be negligent in carrying out their obligations. Doctors and nurses can do negligence in their actions, one of which is in the administration of drugs. Based on these errors, it is interesting to discuss the legal responsibilities between doctors, nurses and hospitals. Although each responsibility has been regulated in law, the hospital still has legal responsibility for the actions taken by its health personnel. This research will be conducted by analyzing Verdict that addresses negligent actions by doctors and nurses in providing health services in hospitals. This research is analytical descriptive with normative juridical approach. Based on these cases, the legal responsibilities of doctors, nurses and hospitals can be seen based on three problem statements. First, will discuss about how the doctor`s legal responsibilities in administering drugs. Second, will discuss on how nurses are responsible for administering drugs. The third will discuss about hospital responsibilities for actions taken by doctors and nurses in administering drugs. Until now, many doctors and nurses did not carry out their duties according to the standards of their profession. In carrying out their duties, doctors and nurses must prioritize patient health and safety to realize the function of health services.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afghania Dwiesta
"Putusan Pengadilan Negeri Den Haag pada tahun 2011 memutuskan untuk menerima klaim gugatan yang diajukan oleh keluarga para korban pembantaian Rawagedeh yang dilakukan oleh tentara Belanda pada tahun 1947 silam. Pengajuan klaim ganti kerugian dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke muka Pengadilan Negeri Den Haag. Hal ini dilakukan sebagai upaya hukum terakhir yang dapat dilakukan oleh penggugat mengingat tidak adanya penyelesaian perkara yang seharusnya dilakukan oleh negara Belanda secara publik. Meskipun Pengadilan Negeri Den Haag mengabulkan klaim gugatan atas pemulihan para keluarga korban, akan tetapi dalam amar putusannya tidak menjelaskan bentuk pelanggaran atas kewajiban internasional yang dilakukan oleh Belanda atas pembantaian Rawagedeh. Oleh karena itu, penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk menganalisis bentuk tanggung jawab negara Belanda kepada para keluarga korban Rawagedeh menurut hukum internasional.

The Hague District Court in 2011 decided to accept the claims filed by the relatives of the Rawagedeh massacre victims back in 1947 conducted by the Dutch troops. The plaintiffs filed a lawsuit for reparations through civil procedure to the District Court of The Hague. This action is seen as the last resort taken by the plaintiff given the absence of any judicial process the Dutch authority should have conducted publicly. Although the Hague District Court has granted these lawsuit, but the verdict did not explain what kind of violation of international obligations taken by the Dutch troop in Rawagedeh massacre. Thus, this thesis is aimed to analyze the Dutch responsibility to give remedies to the families of the victims in Rawagedeh under international law."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S55048
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Abednego Imanuel Soaloon
"Skripsi ini membahas mengenai pertanggungjawaban hukum dokter dan pemilik klinik kecantikan ditinjau berdasarkan hukum kesehatan. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang menekankan pada penggunaan data sekunder. Penyelenggaraan Klinik Kulit dan Kecantikan merupakan bagian dari kegiatan pelayanan publik di bidang kesehatan yang berada dalam ranah hukum Kesehatan yang sangat terkait dengan aspek etika dan disiplin medis. Pemberlakuan hukum kesehatan ini sangatlah penting untuk memberikan kerangka pertangggungjawaban hukum dokter dan pemilik klinik kecantikan dalam rangka untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum, baik terhadap pemberi maupun penerima jasa pelayanan kesehatan. Mengacu pada analisis putusan pengadilan, telah menunjukkan atas lemahnya implementasi atau penegakan hukum kesehatan. Kelemahan tersebut diindikasikan oleh adanya disparitas antara ancaman hukuman yang diatur dalam hukum kesehatan dengan vonis yang dijatuhkan oleh majelis hakim terhadap pelaku dan penyelesaian pertanggungjawaban hukum pelaku yang masih sangat parsial. Penegakan hukum kesehatan seharusnya dilakukan secara komprehensif dan tegas terhadap seluruh pihak yang terlibat, terutama dokter dan pemilik klinik kecantikan.

This thesis discusses on the legal responsibilities of doctor and the owner of aesthetic clinic based on health law. This study applies a normative legal study that emphasizes the use of secondary data. The operational of the Aesthetic Clinic is part of public service activities in the Health Sector which is very related to ethical aspects and medical disciplines. The implementation of this health law is very important to provide a framework of legal responsibility of doctor and the aesthetic clinic owner in order to give protection and legal certainty, both for the health service providers and recipients. Based on the analysis of the court decision, it has been shown the weakness of the implementation or the enforcement of the health law. The weakness is indicated by the disparity between the threat of punishment regulated in the health law with the verdict imposed by the judges to the perpetrator and the settlement of the legal responsibilities of the perpetrator which is very partial. The Health Law enforcement should be done comprehensively and firmly to all parties involved, especially to the doctor and the owner of the aesthetic clinic."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jemarut, Wihelmus
"Ada dua pertanyaan dasar yang diuraikan dalam tulisan ini. Pertama, bagaimana pelaksanaan kewenangan Direksi dalam batasan doktrin "duty of care" dan "business judgement rule" Kedua, bagaimana penerapan "duty of care" dan "business judgment rule" dalam perkara No. 428/PDT.G/2013/PN.JKT.PST? Metode penelitian yang dipakai adalah penelitian normatif dengan menggunakan tiga pendekatan, yakni doktrinal, perundang-undangan dan kasus. Kesimpulan dari tulisan ini, yakni, pertama, doktrin duty of care merupakan dasar berlakunya doktrin "business judgment rule". Direksi mendapat perlindungan hukum berdasarkan teori "business judgment rule" apabila "duty of care" terpenuhi. Kedua, doktrin "duty of care" dan "business judgment rule" terpenuhi dalam putusan perkara No. 428/PDT.G/2013/PN.JKT.PST. Penulis menyarankan agar undang-undang perseroan terbatas perlu membuat ketentuan secara tegas tentang standar kehatihatian dan standar adanya itikad baik dalam mengurus perseroan.

There are two main questions that explained in this research. First, how is the implementation of the authority of the Board of Directors in the frame of the doctrine ?duty of care? and "business judgment rule" Second, how is the implementation of doctrine ?duty of care? and "business judgment rule" in case No. 428/PDT.G/G/2013/PN.JKT.PST. The research method used in this writing is normative research method with three approaches: doctrinal, legislation, case. There are two conclusions that the researcher found from the research in this writing: First, the "duty of care" doctrine is the basic concept to implement the doctrine "business judgment rule". The board of director can get the legal protection based on the theory "business judgment rule" if the doctrine duty of care is fulfilled. Second, doctrine duty of care and business judgment rule is fulfilled in case No. 428/PDT.G/2013/PN.JKT.PST. The researcher suggests that the legislation of Limited Liability Company (Ltd.) need to make the clear and assertive provision about the standard of circumspection and the standard of good intention from the Board of Director in managing the company.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T46967
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Audrey Eka Paramitha
"Skripsi ini membahas tentang tanggung jawab hukum Apoteker dan Apotek dalam penjualan obat tanpa izin edar dengan menganalisis kasus Putusan Nomor 63/Pid.Sus/2019/PN.Bgl. Obat merupakan salah satu sediaan farmasi dan merupakan lingkup pekerjaan dari Tenaga Kefarmasian yaitu Apoteker dan Asisten Apoteker. Perkembangan zaman menyebabkan minat dan kebutuhan masyarakat terhadap produk obat perawatan kulit semakin meningkat. Hal tersebut mengakibatkan terbukanya pasar produk obat-obatan ilegal seperti kasus dalam penelitian ini yaitu penjualan produk obat tanpa izin edar oleh Apotek Paten Farma. Dengan menggunakan metode penulisan berbentuk Yuridis-Normatif dan tipe penelitian Deskriptif-Analitis, skripsi ini akan mengangkat permasalahan terkait bentuk tanggung jawab hukum Apoteker dan Apotek terhadap penjualan produk obat tanpa izin edar yang mana hal ini dapat membahayakan pengguna karena produk belum teruji keamanannya. Penelitian akan dilakukan dengan menganalisis kasus dalam Putusan Nomor 63/Pid.Sus/2019/PN.Bgl berdasarkan bahan dan teori hukum tentang apoteker, apotek, dan obat yang akan dipaparkan oleh penulis. Dalam penelitian ini penulis menemukan bahwa Jaksa Penuntut Umum hanya mendakwa Apoteker Penanggungjawab dari Apotek Paten Farma sedangkan terdapat beberapa pihak lain yang terlibat dalam peracikan produk seperti Asisten Apoteker, Mantan Apoteker Penanggungjawab, dan Apotek Paten Farma itu sendiri. Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan dapat disimpulkan bahwa bentuk tanggung jawab hukum yang dapat dijatuhkan kepada Apoteker dan Apotek yang melakukan penjualan produk obat tanpa izin edar dapat berupa sanksi pidana, sanksi administratif, dan ganti rugi apabila pemakaian produk menimbulkan efek negatif bagi pengguna. Penulis menyarankan agar BPOM dan Dinas Kesehatan memperketat pengawasan terhadap sediaan farmasi khususnya produk obat di setiap apotek. 

This thesis discusses the legal responsibilities of pharmacists and pharmacies in selling drugs without a distribution permit by analyzing the case of Decision Number 63/Pid.Sus/2019/PN.Bgl. Medicine is one of the pharmaceutical preparations and is the scope of work of the Pharmacy Staff, namely Pharmacists and Pharmacist Assistants. The development of the times has caused people's interest and need for skin care medicinal products to increase. This resulted in the opening of markets for illegal medicine products, as was the case in this study, namely the sale of medicine products without a distribution permit by the Paten Farma Pharmacy. By using the writing method in the form of Juridical-Normative and Descriptive-Analytical research type, this thesis will raise issues related to the form of legal responsibility of pharmacists and pharmacies for the sale of medicine products without distribution permits which can endanger users because the product has not been tested for its safety. The research will be carried out by analyzing cases in Decision Number 63/Pid.Sus/2019/PN.Bgl based on materials and legal theories regarding pharmacists, pharmacies and drugs that will be presented by the author. In this study, the authors found that the Public Prosecutor only indicted the Responsible Pharmacist from the Paten Farma Pharmacy, while there were several other parties involved in compounding the product, such as the Assistant Pharmacist, the Former Responsible Pharmacist, and the Paten Farma Pharmacy itself. Based on the research conducted by the authors, it can be concluded that the form of legal responsibility that can be imposed on pharmacists and pharmacies who sell medicine products without a distribution permit can be in the form of criminal sanctions, administrative sanctions, and compensation if the use of the product has a negative effect on the user. The author suggests that BPOM and the Health Service tighten supervision of pharmaceutical preparations, especially medicine products in every pharmacy."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>