Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 102441 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hani Susilo
"Latar Belakang dan tujuan: penyakit ginjal stadium akhir (End Stage Renal Disease/ESRD) prevalensinya meningkat secara signifikan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Pada penyakit ginjal kronik dan ESRD mudah sekali terjadi asidosis metabolik, guna mencegahnya diberikan suplemen NaHCO3 oral atau hemodialisis. Sebagian klinisi tetap memberikan suplementasi NaHCO3 oral pada pasien ESRD yang sudah menjalani hemodialisis rutin, namun sebagian lagi tidak. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi apakah masih diperlukan suplementasi NaHCO3 oral pada pasien yang sudah menjalani hemodialisis rutin dua kali seminggu.
Metode: Penelitian observasional analitik dengan desain potong lintang dilakukan di Unit Hemodialisis Rumah Sakit Pusat Pertamina Jakarta pada Desember 2019 hingga Februari 2020. Sampel secara konsekutif dipilih dari pasien dengan hemodialisis rutin 2 kali per minggu minimal 3 bulan dan tidak dalam kondisi hemodinamik yang tidak stabil; 30 orang yang mendapat suplementasi NaHCO3 oral dan 30 orang yang tidak. Sampel darah vena pre dialisis diambil untuk pemeriksaan analisis gas darah guna mengukur kadar HCO3.
Hasil: Rerata lama HD per kali tindakan pada kelompok tanpa suplementasi (4 jam 14 menit), dan kelompok dengan suplementasi NaHCO3 (4 jam 26 menit) tidak berbeda signifikan ( p =0.051 , CI= -0,4006 - 0,0006). Proporsi pasien ESRD dengan hemodialisis rutin tanpa suplementasi NaHCO3 oral yang mencapai kadar HCO3 pre dialisis dalam rentang normal adalah 26,7%, sedangkan yang mendapat suplementasi NaHCO3 Toral proporsinya secara signifikan lebih tinggi yaitu 53,3% (p=0,035, PR= 1,57; IK=1,013-2,438).

Background and aim: the prevalence of end-stage renal disease (ESRD) has increased significantly worldwide, including in Indonesia. In chronic kidney disease and ESRD metabolic acidosis is very easy to occur, to prevent it given oral NaHCO3 supplements or hemodialysis. Some clinicians continue to provide oral NaHCO3 supplementation to ESRD patients who are already undergoing routine hemodialysis, but some do not. This study aims to evaluate whether oral NaHCO3 supplementation is still necessary in patients who have undergone routine hemodialysis twice a week.
Methods: An analytic observational study with cross-sectional design was carried out in the Hemodialysis Unit of Pertamina Central Hospital Jakarta from December 2019 to February 2020. Samples were consecutively selected from patients with routine hemodialysis twice per week for at least 3 months and were not in a hemodynamically unstable condition; 30 people who received oral NaHCO3 supplementation and 30 people who did not. Pre-dialysis venous blood samples were taken for blood gas analysis to measure HCO3 levels.
Results: The mean length of HD per action in the group without supplementation (4 hours 14 minutes), and the group with NaHCO3 supplementation (4 hours 26 minutes) was not significantly different (p = 0.051, CI = -0.4006 - 0.0006). The proportion of ESRD patients with routine hemodialysis without oral NaHCO3 supplementation who achieved pre-dialysis HCO3 levels in the normal range was 26.7%, while those who received oral NaHCO3 supplementation were significantly higher at 53.3% (p = 0.035, PR = 1, 57; IK = 1,013-2,438).
Conclusion: In ESRD patients with routine HD 2 times per week (8 hours / week, HCO3 supplementation is still needed to maintain predialysis HCO3 levels within the normal range.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pujisriyani
"ABSTRAK
Latar Belakang: Terapi intravena (IV) sangat penting bagi pasien yang tidak mampu atau dibatasi penggunaan saluran cernanya untuk dapat memasukkan cairan, nutrisi dan obat-obatan. Meskipun terapi IV rutin dilakukan, risiko tindakan tetap ada, misalnya terjadi hematoma, infeksi, plebitis, dan ekstravasasi. Tujuan studi ini adalah mengetahui efek dari cairan saline terhadap kasus ektravasasi natrium bikarbonat.
Metoda: Studi ini mencari hubungan korelasi antara pengunaan cairan saline terhadap kasus ekstravasasi natrium bikarbonat pada tikus. Dengan memakai 2 kelompok, kelompok kontrol dan kelompok perlakuan, masing-masing kelompok berjumlah 7 tikus.
Hasil : Hubungan antara cairan saline dan kematian kulit adalah bermakna (sig. 0.021). Semakin banyak cairan saline yang digunakan akan mengurangi luas kematian kulit pada kasus ekstravasasi. Kesimpulan: Dengan memakai cairan saline sebagai cairan yang dapat mendilusi efek basa pada ekstravasasi natrium bikarbonat dapat menjadi pilihan tatalaksana kasus ekstravasasi. Studi ini masih dalam tahap hewan coba sehingga diperlukan studi lanjutan untuk menganalisis peran cairan saline pada ekstravasasi yang terjadi di pasien.

ABSTRACT
Background: Intravascular (IV) therapy is essential for the administration of nutrition and medications to patients because they are unable to maintain fluid and electrolyte balance. Although routine and common, peripheral IV therapy carries risks including hematoma formation, infection, phlebitis, infiltration, and extravasation. The aim of this studi is providing information of the effect of normal saline as dilution agents using the flush-out technique in extravasation cases.
Methods: In order to analyze the correlation between the usage of normal saline to sodium bicarbonate extravasation in rats, this study was using the two groups, the control group and the treatment group, each group has 7 rats. Results: The correlation between normal saline and necrotic skin was significant (sig. 0021). The more saline that is used will reduce the area of the necrotic skin of extravasation.
Conclusion: By using saline as the fluid that can dilute alkaline effect on the extravasation of sodium bicarbonate, this might be an option for managing cases of extravasation. This study is still in the stage of experimental animals that needed further study to analyze the role of normal saline in the extravasation occurred in patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Rana Farrasanti
"Omeprazol adalah obat golongan proton pump inhibitor (PPI) yang efektif dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal (PGRE). Sediaan yang tersedia secara komersial adalah kapsul yang berisi pelet salut enterik karena omeprazol cepat terdegradasi dalam suasana asam. Omeprazol merupakan lini pertama bagi pasien bayi dan anak, namun sediaan larutan belum tersedia menjadi kendala jika diberikan pada pasien anak maupun pasien dengan pemberian secara nasogastric tube (NGT). Penggunaan natrium bikarbonat sebagai pelarut sekaligus penetral asam lambung merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengatasi keterbatasan penggunaan omeprazol. Stabilitas omeprazol dalam natrium bikarbonat perlu dievaluasi pada berbagai kondisi penyimpanan. Tugas akhir ini menganalisis beberapa artikel terkait stabilitas kapsul omeprazol pada sediaan cair, serta memberikan rekomendasi mengenai masa simpan, kondisi penyimpanan serta formula yang stabil. Artikel terkait diambil melalui Google Scholar, ScienceDirect, SAGE Journals, dan website BPOM untuk rentang tahun 1991 hingga 2020. Pencarian terfokus pada stabilitas kapsul omeprazol, suspensi siap pakai omeprazol, dan omeprazol dalam larutan natrium bikarbonat. Hasil dari analisis didapatkan bahwa formulasi dengan larutan natrium bikarbonat terbukti dapat mempertahankan pH cairan diatas 7,8. Eksipien lain seperti agen pensuspensi dan pengawet diperlukan untuk meningkatkan viskositas dan kestabilan fisik sediaan. Pemanis dapat ditambahkan secukupnya untuk meningkatkan kepatuhan pasien terutama anak-anak. Suhu optimal untuk menjaga kestabilan sediaan ini yaitu pada suhu dingin (2oC-8oC) yang stabil hingga 150 hari. Jika disimpan pada suhu ruang (15oC-30oC) suspensi stabil selama ±14 hari. Wadah paling baik menggunakan botol kaca cokelat untuk melindungi sediaan dari cahaya matahari.

Omeprazole is a proton pump inhibitor drug in the treatment of gastroesophageal disease (GERD). The commercial drugs are capsule containing enteric-coated pellets because it’s rapidly degraded in an acid condition. Omeprazole become the first-line drug for infant and pediatric patients, but because the solution form isn’t available yet, it become problems for pediatric patients and also patients with a nasogastric tube (NGT). Using sodium bicarbonate, as a solvent also neutralizing agent, is one of the method to overcome the limitations of omeprazole. The stability of omeprazole in sodium bicarbonate need to be evaluated in various storage conditions. This final report will analyze journals related to the stability of omeprazole in oral solution, also provide recommendations regarding shelf life, storage conditions and good formula. Related articles were identified through Google Scholar, ScienceDirect, SAGE Journals, and the BPOM website for the period 1991 to 2020. The search terms used included omeprazole capsule stability, extemporaneous omeprazole suspension, and omeprazole in sodium bicarbonate solution. The results are formulations with sodium bicarbonate solution are proven to be able to maintain pH above 7,8. Other excipients such as suspending agents and preservatives are needed to increase the viscosity and physical stability of omeprazole suspensions. Sweeteners can be added sufficiently to improve patient compliance, especially pediatric patients. The optimal temperature to maintain the stability of omeprazole suspension is at cold temperature (2-8oC) which stable for 150 days. If the suspension stored at room temperature (15oC-30oC) stable for ±14 days. It’s recommended to use a amber glass to protect the suspension from light."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Florencia Evelyn
"Pembelajaran anatomi masih memerlukan kadaver untuk mempelajari tubuh manusia secara utuh. Ketika kadaver sudah tidak digunakan dan akan dikebumikan, hal ini akan menimbulkan masalah. Proses dekomposisi kadaver yang telah diawetkan dengan formalin akan mengalami keterlambatan dan menimbulkan pencemaran lingkungan. Toksisitas formalin dapat berkurang dengan proses penetralan formalin dengan suatu garam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya perbedaan tingkat dekomposisi pada otak mencit yang diawetkan dengan formalin yang diberi penetral natrium bikarbonat dan yang tidak diberi penetral. Penelitian ini menggunakan 18 ekor mencit (Mus musculus) yang dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok kontrol (tidak diberi pengawet), kelompok yang diawetkan dengan formalin 4%, dan kelompok yang diawetkan dengan formalin 4% lalu diberi penetral natrium bikarbonat. Mencit dikebumikan selama 6 minggu. Penilaian tahapan dekomposisi dilakukan dengan adanya penurunan massa dan data tahapan dekomposisi dinilai secara semikuantitatif. Berdasarkan hasil penelitian, tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada penurunan massa dan tahapan dekomposisi antara kelompok formalin yang diberi penetral natrium bikarbonat dan tidak diberi penetral. Peneliti menduga hal ini terjadi karena suhu dan kandungan bikarbonat pada penetral yang diduga dapat meningkatkan pH tanah dan mempengaruhi proses dekomposisi yang terjadi. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pada jaringan otak yang diawetkan dengan formalin 4% tidak direkomendasikan penambahan penetral natrium bikarbonat.

Anatomy studies still require cadavers to study the human body. When the cadaver is no longer used and is about to be buried, this can make problems. The decomposition process of cadaver that preserved with formalin will be delayed and causes environmental pollution. The toxicity of formalin can be reduced by neutralizing the formalin. This study aims to determine the difference in the level of decomposition in the brains of mice that were preserved with formalin then neutralized with sodium bicarbonate and those that were not given sodium bicarbonate. This study used 18 mice (Mus musculus) which were divided into three groups. There were control group (not given preservative), group preserved with 4% formalin, and group preserved with 4% formalin then neutralized with sodium bicarbonate. All groups of mice were buried for 6 weeks. The decomposition stage will be assessed with the decrease in mass and semiquantitatively on its decomposition stage. Based on the results of this study, there was no significant difference between the formalin group and the group that was neutralized. Researchers suspect this happens because the temperature and bicarbonate in the neutralizer which is thought to increase soil pH and affect the decomposition process. Therefore, it can be concluded that brain tissue preserved with 4% formalin is not recommended for neutralization with sodium bicarbonate."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gladies Mercya Grameinie
"ABSTRAK
Perubahan status metabolisme pada sel kanker diduga berhubungan dengan penyesuaian dirinya terhadap perubahan lingkungan mikro sel. Lingkungan mikro sel kanker yang bersifat asidosis diakibatkan adanya peningkatan produksi laktat.Produksi laktat meningkat karena sel kanker mengalami metabolisme glikolisis dalam keadaan normoksia, ini yang dikenal dengan fenomena Warburg.Akumulasi laktat diduga mempengaruhi transporter monokarboksilat 1 dan 4 dalam sel kanker. Dalam penelitian ini membahas ekspresi laktat dehidrogenase A dan B yang berperan dalam perubahan laktat dan dilihat hubungannya dengan kadar laktat intraseluler dan transporter monokarboksilat yang mengatur keseimbangan laktat sel.Desain penelitian adalah eksperimental in vitro menggunakan sel punca kanker payudaraCD24-/CD44+ yang di beri natrium bikarbonat selama 0.5 jam, 24 jam dan 48 jam. Sel di kultur dalam DMEM F-12 ditambahkan Hepes. Kemudian di harvest sesuai waktu inkubasi dan di ekstraksi sel. Hasil ekstraksi sel di bagi dua untuk di lakukan uji laktat dengan kit lactate colorimetric assay dan untuk isolasi RNA menggunakan tripure isolation reagen serta di analisis menggunakan qRT-PCR.Hasil penelitian menunjukkan pemberian natrium bikarbonat pada sel punca kanker payudara CD24-/CD44+ dapat meningkatkan pHe.Ekspresi LDH-A, MCT4 dan MCT1 tinggi di awal inkubasi sebagai respon adaptif sel. sedangkan Ekspresi LDH-Bmulai tinggi setelah 24 jam dan 48 jam. Peningkatan laktat intraseluler terjadi dalam inkubasi 24 jam pada sel yang diberikan natrium bikarbonat. Dalam menjaga keseimbangan laktat antara dalam dan luar sel ekspresi LDH-A dan MCT-4 mulai diturunkan ekspresinya oleh karena akumulasi laktat di dalam sel. Namun setelah 48 jam Laktat intraseluler mulai menurun oleh karena penurunan MCT1 yang mulai ditekan. Sehingga laktat yang berada dalam sel berasal dari ekstraselular.Di lihat dari pola ekspresi gen LDH-A, LDH-B, MCT1 dan MCT4 dapat disimpulkan adanya perubahan metabolisme akibat pemberian natrium bikarbonat dari glikolisis anaerob menjadi aerob.

ABSTRACT
Changes in the status of metabolism in cancer cells is thought to relate to his adjustment to changes in the microenvironment of the cells. Microenvironment of cancer cells that are acidosis due to an increase in lactate production. Lactate production increases because the cancer cells metabolized glycolysis in a state normoksia, is known as the phenomenon of Warburg. Lactate accumulation is expected to affect transporter monocarboxylic 1 and 4 in cancer cells. In this study discusses the expression of lactate dehydrogenase A and B, which plays a role in the change of lactic and views its relationship with lactate levels of intracellular and transporter monocarboxylic that regulates the balance of lactic cells. The study design is experimental in vitro using breast cancer stem cells CD24-/CD44+ were given sodium bicarbonate for 0.5 hours, 24 hours and 48 hours. Cells cultured in DMEM F-12 was added Hepes. Then at harvest appropriate incubation time and cell extraction. The results in the cell extraction for two to do tests on lactate with lactate kit and colorimetric assay for RNA isolation using tripure isolation reagents and analyzed using qRT-PCR. The results showed administration of sodium bicarbonate in breast cancer stem cell CD24-/CD44+ can enhance the PHE. Expression of LDH-A, MCT4 and MCT1 high at the start of incubation as an adaptive response of cells.while the Expression of LDH-B started higher after 24 hours and 48 hours. Increased lactate intracellular occur within 24 h incubation the cells were given sodium bicarbonate. In maintaining the balance of lactate between the inside and outside of the cell expression of LDH-A and MCT-4 began to be revealed expression because of the accumulation of lactate in the cell. But after 48 hours Lactate intracellular began to decline because of a decrease in MCT1 began suppressed. So that the lactate that are in cells derived from the extracellular. In view of gene expression patterns of LDH-A, LDH-B, MCT1 and MCT4 concluded their metabolism changes as a result of administration of sodium bicarbonate from anaerobic into aerobic glycolysis"
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rio Zakaria
"Latar Belakang: Insiden dan case fatality rate pasien terinfeksi dengue di Indonesia masih tinggi. Penyebab kematian utama pada infeksi dengue adalah renjatan yang disebabkan oleh kebocoran plasma. Kejadian hiponatremia dan hipokalemia sering ditemukan pada pasien yang mengalami infeksi dengue, namun keduanya tidak termasuk penanda kebocoran plasma dalam kriteria DBD oleh WHO. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui rerata penurunan kadar natrium dan kalium serum pada pasien terinfeksi dengue dengan atau tanpa kebocoran plasma, dan mengonfirmasi penelitian sebelumnya apakah kadar natrium dan kalium bisa dipakai sebagai penanda kebocoran plasma.
Metode: Studi kohort prospektif dilaksanakan pada pasien terinfeksi dengue ≥ 16 tahun dengan demam mendadak ≤ 3 hari yang dirawat di ruang rawat inap Penyakit Dalam RS Cipto Mangunkusumo dan RS Persahabatan Jakarta pada pada Agustus 2013-Juni 2014. Dilakukan pemeriksaan natrium serum, kalium serum, albumin, dan ultrasonografi untuk melihat adanya penebalan kandung empedu, asites dan efusi pleura pada pasien terinfeksi dengue pada hari pertama masuk perawatan dan hari kelima demam. Untuk mendapatkan rerata penurunan natrium dan kalium serum antara pasien terinfeksi dengue yang mengalami kebocoran plasma dan yang tidak, digunakan uji komparatif t-test tidak berpasangan.
Hasil: Terdapat 35 orang subjek penelitian pasien terinfeksi dengue yang diambil secara konsekutif. Rerata kadar natrium serum pada pasien Demam Dengue (DD) pada saat masuk 134,66 ± 4,00 mEq/L dan pada hari kelima demam 130,95 ± 4,80 mEq/L. Sementara pada pasien Demam Berdarah Dengue (DBD) didapatkan kadar natrium pada saat masuk 132,469 ± 3,45 mEq/L dan pada saat hari kelima 129,35 ± 2,67 mEq/L. Perbedaan rerata penurunan kadar natrium antara pasien DBD dengan DD sebesar 0,43 mEq/L, IK 95% [-2,56; 3,42], p = 0,386. Rerata kadar kalium serum pada pasien DD pada saat masuk 3,48 ± 0,44 mEq/L dan pada hari kelima demam 3,39 ± 0,38 mEq/L. Sementara pada pasien DBD didapatkan rerata kadar kalium pada saat masuk 3,32 ± 0,25 mEq/L dan pada hari kelima demam 3,11 ± 0,30 mEq/L. Perbedaan rerata penurunan kadar kalium pasien DBD dengan DD sebesar 0,12 mEq/L, IK 95% [-0,34; 0,10], p = 0,145.
Simpulan: Tidak didapatkan perbedaan rerata penurunan kadar natrium dan kalium serum pada pasien terinfeksi dengue dengan kebocoran plasma dibandingkan dengan tanpa kebocoran plasma.

Background: Incidence and case fatality rate of dengue-infected patients in Indonesia is still high. The main causes of death in dengue infection is shock caused by plasma leakage. The incidence of hyponatremia and hypokalemia often found in patients with dengue infection, but they do not include markers of plasma leakage in DHF criteria by WHO. This study aims to determine the average decrease of serum sodium and potassium levels in patients infected with dengue with or without plasma leakage, and confirm previous studies whether the levels of sodium and potassium can be used as a marker of plasma leakage.
Method: A prospective cohort study conducted in patients infected with dengue ≥ 16 years old with sudden fever ≤ 3 days treated in Cipto Mangunkusumo Hospital and Persahabatan Hospital in Jakarta between August 2013 to June 2014. Checking serum sodium, potassium, albumin, and ultrasound to see the thickening of the gall bladder, ascites and pleural effusion in patients infected with dengue on the first day of treatment and the fifth day of fever. We used comparative unpaired t-test to obtain an average decrease in serum levels of sodium and potassium between dengue infected patients who undergo plasma leakage and are not.
Results: There were 35 research subjects infected with dengue taken consecutively. The average of serum sodium levels in patients with Dengue Fever (DF) at the time of entry was 134,66 ± 4,00 mEq/L and on the fifth day of fever was 130,95 ± 4,80 mEq/L. While in patients with Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) obtained sodium levels at the time of entry was 132,469 ± 3,45 mEq/L and on the fifth day of fever was 129,35 ± 2,67 mEq/L. The difference of the average of decreased level of sodium between DHF and DF patients was 0,43 mEq/L, CI 95% [-2,56; 3,42], p = 0,386. The average of serum potassium levels in patients with DF at the time of entry was 3,48 ± 0,44 mEq/L and on the fifth day of fever was 3,39 ± 0,38 mEq/L. While in patients with DHF, obtained potassium levels at the time of entry was 3,32 ± 0,25 mEq/L and on the fifth day of fever was 3,11 ± 0,30 mEq/L. The difference of the average of decreased level of potassium between DHF and DF patients was 0,12 mEq/L, CI 95% [-0,34; 0,10], p = 0,145.
Conclusion: There were no differences in average of decreased level of serum sodium and potassium in dengue-infected patients with plasma leakage compared to without plasma leakage.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fujiawati
"Karbon dioksida merupakan penyumbang terbesar dalam peningkatan efek rumah kaca, yaitu sebesar 70% dibanding metana 24% dan dinitrogen monoksida 6% . Oleh karena itu dilakukan konversi CO2 menjadi bahan kimia yang lebih bermanfaat, dengan menggunakan produk perantaranya, bikarbonat. Dalam penelitian ini dilakukan modifikasi fotokatoda bismuth titanat (Bi4Ti3O12) dengan AgNP untuk membantu fotoelektroreduksi bikarbonat. Bismuth titanat berhasil disintesis dengan metode hidrotermal selama 24 jam pada temperatur 200 oC, sedangkan nanopartikel Ag berhasil disintesis dengan menggunakan prekursor natrium sitrat dan asam tanat. Secara keseluruhan nilai energi celah pita BTO menurun setelah dilakukan modifikasi dengan nanopartikel perak. Dari hasil pengujian fotoelektrokimia, fotokatoda FTO/BTO, FTO/BTO/AgNP I, FTO/AgNP II, dan FTO/BTO/AgNP III menunjukkan respon arus terhadap cahaya. FTO/BTO/AgNP III memiliki nilai potensial onset yang paling baik yaitu sebesar -0,26 V vs RHE dibandingkan dengan FTO/BTO, FTO/BTO/AgNP I, dan FTO/BTO/AgNP II yang memiliki nilai potensial onset masing-masing sebesar -0,39 V; -0,38 V; dan -0,35 V vs RHE. Selain memiliki nilai potensial onset yang baik, FTO/BTO/AgNP III juga memiliki stabilitas foto arus tertinggi dalam mempertahankan foto arusnya, yaitu sebesar 81,19% dan memiliki densitas arus tertinggi pada -0,80993 V vs RHE, yaitu -9,94 mA/cm2 dibandingkan dengan FTO/BTO, FTO/BTO/AgNP I, dan FTO/BTO/AgNP II.

Carbon dioxide is the biggest contributor to increase the greenhouse effect, which is 70% compared to methane 24% and nitrous oxide 6% . Therefore, CO2 should be converted into more useful chemicals using their intermediet product, bicarbonate. In this experiment, bismuth titanate (Bi4Ti3O12) which is modified by AgNP was carried out to support the photoelectroreduction of bicarbonate. Bismuth titanate was successfully synthesized by hydrothermal method for 24 hours at a temperature of 200 oC, while Ag nanoparticles were successfully synthesized using sodium citrate and tannic acid as precursors. Overall, the band gap energy value of BTO decreased after modification with silver nanoparticles. From the results of photoelectrochemical testing, the photocathodes FTO/BTO, FTO/BTO/AgNP I, FTO/AgNP II, and FTO/BTO/AgNP III showed the current response to light. FTO/BTO/AgNP III had the best onset potential value of -0.26 V vs RHE compared to FTO/BTO, FTO/BTO/AgNP I, and FTO/BTO/AgNP II which had their respective onset potential values -0.39 V; -0.38 V; and -0.35 V vs RHE. Beside having a good onset potential, FTO/BTO/AgNP III also had the highest phtocurrent stability in maintaining its photocurrent, which is 81.19% and had the highest current density at -0.80993 V vs RHE, which is -9.94 mA/cm2 compared with FTO/BTO, FTO/BTO/AgNP I, and FTO/BTO/AgNP II."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mayda Shaila Putri
"Gas karbon dioksida (CO2) merupakan penyumbang utama gas rumah kaca di atmosfer yang berpotensi besar sebagai penyebab pemanasan global. Adanya Sel Fotoelektrokimia (PEC, Photoelectrochemical cells) yang digunakan untuk reaksi reduksi dapat diterapkan dalam konversi CO2 menjadi senyawa yang bernilai. Penelitian ini telah berhasil mensintesis nanopartikel AuAg dan nanopartikel CuBi2O4 (CBO), serta nanokomposit CuBi2O4/AuAg. Semua material telah dikarakterisasi dengan XRD, spektroskopi UV-Vis, dan UV-Vis DRS. Fotokatoda FTO/CuBi2O4 untuk sel fotoelektrokimia, berhasil dibentuk menggunakan metode doctor blade dan preparasi FTO/CuBi2O4/AuAg dilakukan dengan cara mencelupkan FTO/CuBi2O4 ke dalam larutan nanopartikel AuAg dengan variasi waktu pencelupan selama 10 detik, 30 detik, dan 50 detik. Fotokatoda FTO/CuBi2O4/AuAg pada perendaman 50 detik memberikan nilai potensial onset paling positif sebesar -0,038 V dan stabilitas arus foto sebesar 73,33%. Hasil uji seluruh produk Fotokatoda, dengan sistem fotoelektrokimia menggunakan Linear Sweep Voltammetry (LSV), didapatkan bahwa Fotokatoda FTO/ CuBi2O4/AuAg 50s memberikan kinerja arus katodik terbaik dalam reaksi reduksi untuk konversi ion bikarbonat dalam sistem PEC. Namun, pada pengujian Chronoamperometry, FTO/ CuBi2O4/AuAg 30s menghasilkan stabilitas foto arus terbaik mencapai 82.56%.

Carbon dioxide (CO2) gas is the main contributor to greenhouse gases in the atmosphere, which is most likely the cause of global warming. The existence of Photoelectrochemical Cells (PEC) is used for reduction reactions and it can be applied in the conversion of CO2 into valuable compounds. This research has succeeded in synthesizing AuAg nanoparticles, CuBi2O4 (CBO) nanoparticles, and CuBi2O4/AuAg nanocomposites. All materials were characterized by XRD, UV-Vis spectroscopy, and UV-Vis DRS. The FTO/CuBi2O4 photocathode for photoelectrochemical cells was successfully formed using the doctor blade method and the FTO/CuBi2O4/AuAg preparation was carried out by dipping FTO/CuBi2O4 into a solution of AuAg nanoparticles with variations in immersion time of 10 seconds, 30 seconds, and 50 seconds. Photocathode FTO/CuBi2O4/AuAg immersion for 50 seconds gave the most positive onset potential value of -0.038 V and the photo current stability was 73.33%. The test results of all photocathode products, with a photoelectrochemical system using Linear Sweep Voltammetry (LSV), it was found that the FTO/CuBi2O4/AuAg 50s photocathode gave the best cathodic current performance in the reduction reaction for the conversion of bicarbonate ions in the PEC system. However, in Chronoamperometry, FTO/CuBi2O4/AuAg 30s produced the best photo current stability of 82.56%."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Syahda Nariswari
"Penghantaran rifampisin secara intrapulmonal untuk pengobatan tuberkulosis diharapkan menghasilkan efek terapi yang lebih baik dibanding rute oral. Namun rifampisin memiliki kelarutan rendah dalam medium cairan paru. Pada penelitian sebelumnya, penambahan siklodekstrin terbukti dapat meningkatkan kelarutan dan disolusi rifampisin dari sediaan sebuk inhalasi. Namun, ukuran partikel serbuk inhalasi rifampisin-siklodekstrin tersebut belum memenuhi persyaratan untuk terdiposisi di paru. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan sediaan serbuk inhalasi rifampisin-siklodekstrin yang memiliki sifat aerodinamis yang baik dengan adanya penambahan l-leusin dan atau amonium bikarbonat, dengan mempertahankan kelarutan dan pelepasan obat yang baik dalam medium cairan prau-paru. Serbuk Inhalasi rifampisin-siklodekstrin 1:1 diformulasikan dengan leusin 30%, amonium bikarbonat 1,5% atau kombinasi keduanya dibuat dengan metode semprot kering. Serbuk yang diperoleh kemudian dikarakterisasi rendemen, kandungan lembab, sifat kristal, gugus fungsional, ukuran partikel geometris dan aerodinamis, serta kelarutan dan profil disolusinya dalam medium simulasi paru. Penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan kelarutan dan disolusi dengan adanya penambahan siklodekstrin didukung dengan hasil XRD dan FTIR yang menunjukkan adanya inklusi dan perubahan sifat kristal. Serbuk inhalasi rifampisin-siklodekstrin 1:1 yang dibuat secara semprot kering dengan penambahan leusin 30% dan AB 1,5% (F4) berhasil menghasilkan serbuk inhalasi dengan sifat aerodinamis yang lebih baik dibanding serbuk rifampisin-siklodekstrin, dengan rata-rata diameter aerodinamis 8,6 µm, FPF 30,28%, dan persentase serbuk teranalisis 36,86%. Formula F4 menunjukkan kelarutan 2,40 ± 0,56 mg/mL dalam aquademineralisata dan terdisolusi 56,26 ± 1,63 %, lebih tinggi 1,07 dan 1,68 kali dari rifampisin-siklodekstrin. Berdasarkan hasil tersebut penambahan leusin dan amonium bikarbonat dapat meningkatkan kelarutan, pelepasan obat, rendemen, dan sifat aerodinamis.

Intrapulmonary delivery of rifampicin for the treatment of tuberculosis is expected to produce a better therapeutic effect than the oral route. However, Rifampicin has low solubility in pulmonary fluid medium. In previous studies, the addition of cyclodextrin was proven to increase the solubility and dissolution of rifampicin from inhalation powder preparations. However, the particle size of the rifampicin-cyclodextrin inhaled powder did not meet the requirements for being deposited in the lungs. This study aims to produce a rifampicin-cyclodextrin inhaled powder that has good aerodynamic properties with the addition of l-leucine and/or ammonium bicarbonate, while maintaining good solubility and drug release in the lung fluid medium. Rifampicin-cyclodextrin Inhaled Powder 1:1 is formulated with 30% leucine, 1.5% ammonium bicarbonate or a combination of both prepared by the spray dry method. The powder obtained was then characterized by yield, moisture content, crystalline properties, functional groups, geometric and aerodynamic particle size, as well as solubility and dissolution profile in lung simulation medium. This study showed an increase in solubility and dissolution with the addition of cyclodextrin supported by XRD and FTIR results which showed inclusions and changes in crystal properties. Inhaled rifampicin-cyclodextrin powder 1:1 which was made by spray drying with the addition of 30% leucine and 1.5% AB (F4) succeeded in producing an inhalation powder with better aerodynamic properties than rifampicin-cyclodextrin powder, with an average aerodynamic diameter of 8.65µm, FPF 30.28%, and percentage of analysed powder 36.86%. Formula F4 showed a solubility of 2.40 ± 0.56 mg/mL in aquademineralisata and a dissolution of 56.26 ± 1.63%, 1.07 and 1.68 times higher than rifampicin-cyclodextrin, respectively. Based on these results, the addition of leucine and ammonium bicarbonate can increase the solubility, drug release, yield, and aerodynamic properties.

"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kustiyuwati
"ABSTRAK
Halitosis atau bau mulut adalah masalah kesehatan gigi dan mulut yang banyak dikeluhkan dan dapat menjadi persoalan kesehatan yang serius. Penyebab halitosis terutama dan terbanyak adalah bakteri yang hidup dalam rongga mulut terutama bakteri anaerob gram negatif yang menghasilkan sulfur. Keseluruhan senyawa sulfur yang dihasilkan disebut Volatile Sulfur Compounds (VSC) dan inilah yang menyebabkan bau pada mulut. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui perbandingan efektifitas oral hygiene menggunakan chlorhexidine dan normal saline terhadap skor halitosis. Metode dalam peneltian ini adalah quasi eksperimen dengan subjek penelitian pasien dengan penyakit kritis sebanyak 28 orang yang dibagi dalam dua kelompok, 14 responden dilakukan oral hygiene dengan menyikat gigi dan lidah dengan chlorhexidine glukonate 0,1% dan 14 responden dilakukan oral hygiene dengan menyikat gigi dan lidah dengan normal saline. Pengukuran skor halitosis dilakukan sebelum dan 15 menit sesudah oral hygiene. Gas VSC diukur menggunakan alat Tanita BreathChecker . Hasil menunjukkan terjadi penurunan skor halitosis sebelum dan sesudah oral hygiene dengan memperlihatkan perbedaan yang signifikan (p<0,05). Jumlah responden dengan nilai 0 pada skor halitosis sebanyak 10 responden (72%) pada kelompok pertama dan pada kelompok kedua sebanyak 4 responden (29%). Kesimpulan penggunaan chlorhexidine glukonate 0,1% lebih efektif terhadap penurunan skor halitosis dibandingkan menggunakan normal saline.

ABSTRACT
Halitosis or bad breath is a dental health problem that mainly complaint and can be a serious health problem. The cause of halitosis mainly and mostly bacterias which live in the oral cavity, especially anaerob negatif gram bacteria that produce sulfur. The whole sulfur component that was produced called Volatile Sulfur Compounds (VSC) and this is the cause of bad breath. The purpose of this study was to know the comparison of effectiveness oral hygiene using chlorhexidine and normal saline on halitosis score. This study used Quasy experiment with subjects consisted of 28 patients with critically ill, divided into two groups, 14 subjects conducted oral hygiene to brush their teeth and tongue with chlorhexidine glukonate 0,1% and 14 subjects conducted oral hygiene to brush their teeth and tongue with normal saline. The measurement of Volatile Sulfur Compounds level used Tanita BreathChecker, conducted before and 15 minutes after oral hygiene. The result showed significant differences in reducing VSC components in both groups (p<0,05). Number of subjects with score halitosis 0 by 10 subjects (72%) in first group and 4 subjects (29%) in second group. In conclusion, chlorhexidine glukonate 0,1% is more effective decreased score halitosis than normal saline on patients with critically ill."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
T33141
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>