Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 154588 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Moudy Rachim Kusuma
"

Skripsi ini membahas mengenai restitusi sebagai salah satu hak korban tindak pidana. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah peraturan-peraturan mengenai hak atas restitusi bagi korban tindak pidana di Indonesia; penerapan pemberian restitusi bagi korban tindak pidana khususnya terhadap kasus tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana penganiayaan, dan perkara yang melibatkan anak ditinjau dari putusan pengadilan; dan peran dan tantangan LPSK dalam pemenuhan hak atas restitusi bagi korban tindak pidana. Penelitian ini menggunakan metode normatif yang pengumpulan data berdasarkan studi kepustakaan dan didukung dengan wawancara sebagai pelengkap atas data yang telah diperoleh. Hasil penelitian menunjukkan adanya ketidakharmonisan dalam menguraikan pengertian restitusi di antara peraturan perundang-undangan yang ada sehingga menimbulkan persepsi yang berbeda di antara para penegak hukum dan kurangnya ketentuan subsider dalam UU No. 31 Tahun 2014, sebagai ketentuan yang mengubah UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, beserta peraturan pelaksananya sehingga menjadi kurang efektif apabila pelaku ternyata tidak dapat membayar restitusi. Penguatan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban RI juga sangat diperlukan karena temuan dalam penelitian memperlihatkan bahwa dalam tiga tahun terakhir terjadi penurunan performa dari LPSK dengan tidak membantu fasilitasi restitusi bagi korban tindak pidana umum seperti yang telah dilakukan sebelumnya.


This research discusses about restitution as one of the rights of the victim of crime. The aims of this research are first, to show the critical analysis of the regulation of victims rights to receive restitution in Indonesia; second, to analyze the implementation of giving restitution to victim of crime precisely on human trafficking, battery, and relating to child abuse cases by reviewing criminal court decisions; and last but not least, to describe the role and obstacle of which LPSK has in fulfilling victims right to seek restitution. This research used normative methodology based on literature study and interview to support the existing data. The research founds that there is a slight disharmony in describing the definition of restitution between the laws, which affects the law enforcement officers especially judges to have different perceptions of the terminology; the lack of subsidiary provision in Law No. 31 of 2014 and its implementing regulations that causes ineffective protections of the victims if the perpetrator apparently unable to pay the restitution. On the other hand, in the last three years there has been a slight decline in performance of LPSK without facilitating victim(s) of crime to accomplish the restitution order.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siagian, Matheus Nathanael
"

Munculnya berbagai perdebatan mengenai Daya Paksa (Overmacht) di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari keterbatasan rumusan undang-undang yang begitu singkat. Ketentuan mengenai Daya Paksa (Overmacht) pada Pasal 48 KUHP menyebutkan: barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana. Undang-undang tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai persyaratan maupun unsur-unsur dari Daya Paksa (Overmacht). Dengan metode penelitian yuridis normatif, penelitian ini hendak membahas 3 (tiga) pertanyaan penelitian: Pertama, mengenai hal-hal yang harus dipertimbangkan hakim dalam menentukan keadaan Daya Paksa (Overmacht). Kedua, mengenai perbandingan konsep Daya Paksa (Overmacht) di negara-negara civil law system (Indonesia & Belanda) dan negara-negara common law system (Britania Raya & Australia). Ketiga, mengenai bagaimana hakim mempertimbangkan Daya Paksa (Overmacht) pada putusan pengadilan pidana di Indonesia. Penelitian ini memperlihatkan bahwa pemahaman terhadap Daya Paksa (Overmacht) di Indonesia masih sangat beragam. Oleh karena itu, hakim dalam mengadili perkara Daya Paksa (Overmacht) seyogyanya mempertimbangkan dan menguji persyaratan/asas-asas penguji atau elemen-elemen Daya Paksa (Overmacht), yaitu: asas proporsionalitas, asas subsidiaritas, dan asas culpa in causa. Selain itu, peran aktif hakim untuk menggunakan sumber hukum lain di samping undang-undang, seperti yurisprudensi dan doktrin juga sangat diperlukan dalam menghasilkan putusan Daya Paksa (Overmacht) yang tepat dan adil.


The emergence of various debates concerning the defense of duress (Overmacht) in Indonesia cannot be separated from the fact that there are not many provisions regarding it. Article 48 of the Indonesian Criminal Code states: anyone who commits an act under duress is not punishable. The law does not provide further elucidation regarding the requirements or elements of duress (Overmacht). By conducting normative research, this study aims to answer three research questions. First, on the matters that the judge must consider in determining the state of duress (Overmacht). Second, on the comparison between concepts of duress (Overmacht) in civil law jurisdictions (Indonesia & Netherlands) and common law jurisdictions (United Kingdom & Australia). Third, on how judges in Indonesia adjudicate the defense of duress (Overmacht) in criminal court decisions. This thesis observes that there are still divergent understanding of duress (Overmacht) in Indonesia. Consequently, judges in deciding cases of duress (Overmacht) need to consider and examine the elements of duress (Overmacht), which are: the principle of proportionality, the principle of subsidiarity, and the principle of culpa in causa. Furthermore, the use of other legal sources, such as landmark cases and doctrines, is essential in order to produce a judgment on duress (Overmacht) which is just and proper.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Ramzy
"Secara konvensional hukum dibagi menjadi menjadi hukum publik dan hukum privat maka hukum pidana menjadi hukum publik. di Indonesia tidak dipisahkan hukum publik dan hukum privat. Berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah menimbulkan perubahan fundamental, baik secara konsepsional maupun secara implemental terhadap tata cara penyelesaian perkara pidana di Indonesia. Terdapat suatu metode penyelesaian perkara pidana dalam hukum pidana Islam, yaitu metode perdamaian (shulh). Di dalam perdamaian (shulh) baik korban atau walinya ataupun washinya (pemegang wasiat) diperbolehkan untuk mengadakan perdamaian dalam hal penggantian hukuman dengan imbalan pengganti sama dengan diat atau lebih besar dari diat. Restorative justice atau sering diterjemahkan sebagai keadilan restoratif, merupakan suatu model pendekatan yang dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Pendekatan ini menitikberatkan pada adanya partisipasi langsung pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana. Proses penyelesaian perkara pidana melalui perdamaian sangat sesuai dengan ciri khas bangsa Indonesia yaitu semangat musyawarah untuk setiap permasalahan pidana dengan tujuan bahwa hukum pidana adalah ultimum remedium (obat terkahir) bukan sebagai premium remedium (obat utama).

Conventionally law is divided into the public law and private law in which the public law governing the relationship between citizens and the state such as criminal law, while private law governs the relationship between citizens with citizens such as contract law. Enactment of Law No. 8 of 1981 regarding Indonesian Crime Law Procedure has led to fundamental changes, both conceptually and in implemental to the settlement procedures for criminal cases in Indonesia. In the tradition of Islamic criminal law there is a method of settlement, namely method of concilliation (shulh). In the shulh both the victim or the will holder will be allowed to make conciliation in terms of punishment in return for a replacement is equal or greater than the blood money (diyat). Restorative justice is an approach model in a criminal case settlement efforts. This approach focuses on the direct participation of perpetrators, victims and society in the process of resolving criminal cases. Criminal cases settlement process through conciliation method is in accordance with the characteristic of the Indonesian nation, "spirit of deliberation" for every crime case settlement with the aim that criminal law is not as a premium remedium but ultimum remedium"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T31921
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Yuanita Indriani
"Skripsi ini membahas mengenai kekerasan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang dipersempit ruang lingkupnya pada aparat kepolisian sebagai pejabat penyidik dalam proses interogasi. Kekerasan yang dilakukan oleh pejabat publik untuk tujuan-tujuan tertentu dikualifikasikan sebagai penyiksaan dalam Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT) yang telah diratifikasi ke dalam UU Nomor 5 Tahun 1998. Berdasarkan penelitian yang bersifat deskriptif-evaluatif ini, ditemukan putusanputusan yang memidana pelaku penyiksaan dengan pasal tentang penganiayaan dalam KUHP. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa penerapan pasal tentang penganiayaan masih belum tepat digunakan dalam memidana pelaku penyiksaan yang memiliki kualifikasi kejahatan yang lebih berat daripada tindak pidana penganiayaan.

The focus of this study is regarding violence committed by law enforcement officers (which in this particular study is narrowed down to the scope of police officers as investigators) in the interrogation process. Violence committed by a public official for certain purposes is qualified as torture as it is mentioned in the Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT) that has been ratified with Law No. 5 of 1998. Based on this descriptive-evaluative study, it is found that there are court decisions that convict perpetrators of torture with articles regarding persecution from the Indonesian Criminal Code (KUHP). The result of this study shows that the application of articles regarding persecution is still not yet appropriate to be used in convicting perpetrators of torture, since it is qualified as a more serious crime than the crime of persecution.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S57141
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angelica Febee Sri Widyanti Wahono
"Seiring dengan perkembangan hukum di Indonesia, pembagian dasar gugatan dalam bentuk gugatan wanprestasi dan gugatan PMH tidak cukup memadai untuk menyelesaikan berbagai permasalahan hukum di masyarakat. Dalam hal tidak terdapat hubungan kontraktual antara para pihak dan tidak terdapat pula unsur kesalahan dari salah satu pihak, maka gugatan atas dasar wanprestasi maupun PMH tidak dapat diajukan. Dalam upaya menanggulangi permasalahan tersebut, dikenal doktrin unjust enrichment. Menurut doktrin tersebut, dalam hal seseorang diperkaya secara tanpa dasar sehingga merugikan pihak lain, maka pihak yang diperkaya berkewajiban untuk mengembalikan apa yang ia terima. Namun dokrtin ini tidak begitu dikenal dalam lalu lintas hukum Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut, penulis membandingkan doktrin unjust enrichment yang berlaku di Indonesia dengan doktrin unjust enrichment di Jerman yang jauh lebih lengkap untuk dapat mengisi kekosongan hukum tersebut. Penelitian ini menggunakan metodologi yuridis-normatif dengan pendekatan perbandingan hukum. Doktrin ini sebetulnya dapat ditemukan dalam Pasal 1354-1364 Burgerlijk Wetboek, sumber hukum perdata di Indonesia. Namun seiring dengan diterjemahkannya Burgerlijk Wetboek ke Bahasa Indonesia, maksud dari para perumus tersebut dilupakan. Dalam hal pasal-pasal tersebut dikenal sebagai unjust enrichment pun, pengaturan di dalamnya masih tergolong sempit dan tidak komprehensif. Hukum Jerman mengatur mengenai unjust enrichment secara menyeluruh dalam §§ 812-822 Bürgerliches Gesetzbuch. Rumusan §§ 812-822 mengakomodasi dan membuka peluang restitusi bagi berbagai jenis kasus. Terlebih lagi, pembagian dasar gugatan pada jenis hak menghasilkan hukum unjust enrichment yang dinamis dan saling mempengaruhi hukum perjanjian dan PMH. 

With the development of law in Indonesia, the division of lawsuits based on breach of contract and tort claims are not sufficient in resolving the various legal problems in our society. In the event that there is no contractual relationship between the parties as well as no element of error from either party, the lawsuit based on breach of contract or tort cannot be filed. In an effort to overcome these problems, enters the doctrine of unjust enrichment. According to said doctrine, in the event that a person is enriched without basis to the detriment of another party, the enriched party is obliged to return what he received. However, this doctrine is not well-known in the practice of Indonesian law. In accordance to that, the author compares the law of unjust enrichment that applies in Indonesia with the law of unjust enrichment in Germany which is much more complete in an effort to fill said legal vacuum. This study uses a juridical-normative methodology with a comparative approach to law. In actuality, this doctrine can be found in Articles 1354-1364 of the Burgerlijk Wetboek, the source of civil law in Indonesia. But the intention to frame said articles as unjust enrichment seemed to have been lost in translation. Even if the articles came to be known as provisions of unjust enrichment, they are far too narrow and incomprehensive. German law regulates unjust enrichment effectively in §§ 812-822 Bürgerliches Gesetzbuch. §§ 812-822 accommodates restitution for varying types of cases. Moreover, the division of lawsuits based on the type of rights results in a dynamic law that could influence both the law of agreement and the law of tort, and vice versa. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Debora Vetra Mesia
"Skripsi ini membahas mengenai penyelesaian perkara pidana di luar persidangan yang berlaku baik di Indonesia, Belanda, maupun Singapura. Penyelesaian perkara pidana di luar persidangan atau dikenal dengan istilah Afdoening Buiten Proces merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan perkara di luar persidangan dengan cara membayar denda maksimum secara sukarela sebagaimana diatur dalam Pasal 82 KUHP Lama. Ketentuan ini juga terdapat dalam KUHP Baru, tepatnya dalam Pasal 132 ayat (1) huruf d-e. Sementara itu, di Belanda ketentuan ini diatur dalam Pasal 74 Wetboek van Strafrecht, sedangkan di Singapura dikenal mekanisme Deferred Prosecution Agreement yang memiliki konsep berbeda dengan yang diatur oleh Indonesia dan Belanda. Terdapat dua pembahasan utama dalam skripsi ini. Pertama, skripsi ini akan membahas mengenai bagaimana ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan dalam ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, Belanda, dan Singapura. Kedua, skripsi ini akan membahas mengenai bagaimana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Lama dalam mengakomodir kebutuhan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian normatif-yuridis yang menganalisis lebih lanjut tentang ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara. Adapun hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan yang berlaku di Indonesia, Belanda, dan Singapura masing-masing memiliki persamaan dan perbedaan. Selanjutnya, diketahui bahwa ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan yang diatur dalam Pasal 82 KUHP Lama selama ini tidak mengakomodir kebutuhan yang diperlukan oleh sistem peradilan pidana. Terakhir, ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan pada dasarnya memiliki tujuan yang baik dan dapat membantu meringankan beban sistem peradilan pidana, tetapi masih terdapat beberapa hambatan.

This thesis discusses the settlement of criminal cases outside the court which is valid in Indonesia, Netherlands, and Singapore. Settlement of criminal cases outside the court or known as Afdoening Buiten Process is one way to settle cases outside the court by paying the maximum fine voluntarily as stipulated in Article 82 of the Old Criminal Code. This provision is also contained in the New Criminal Code, specifically in Article 132 paragraph (1) letter d-e. Meanwhile, in the Netherlands this provision is regulated in Article 74 Wetboek van Strafrecht, while in Singapore the Deferred Prosecution Agreement mechanism is known, which has a different concept from that regulated by Indonesia and Netherlands. There are two main discussions in this thesis. First, this thesis will discuss how the provisions for settling criminal cases outside the court in the legal provisions in force in Indonesia, the Netherlands and Singapore. Second, this thesis will discuss how the Old Criminal Code accommodates the need for settlement of criminal cases outside of court. This research was conducted using a normative-juridical research method that further analyzes the legal provisions in force in a country. The results of this study state that the provisions for settling criminal cases outside the court in force in Indonesia, Netherlands and Singapore have similarities and differences, respectively. Furthermore, it is known that the provisions for settling criminal cases outside the court as regulated in Article 82 of the Old Criminal Code have so far not accommodated the needs required by the criminal justice system. Finally, provisions for the settlement of criminal cases outside the court basically have a good purpose and can help ease the burden on the criminal justice system, but there are still some obstacles."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ulfa Anggia Pratami
"ABSTRAK
Tesis ini membahas analisis penerapan kebijakan restitusi bagi anak yang menjadi korban tindak pidana yang mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana. Sebelumnya pelaksanaan restitusi sangat sulit dilakukan karena tidak ada mekanisme/prosedur yang jelas. Permasalahan dalam PP ini adalah syarat administratif yang cukup membebani korban dan keluarganya, tidak adanya ketegasan siapa yang berhak menghitung restitusi, tidak ada tolak ukur menentukan besaran jumlah restitusi dan tidak ada upaya paksa jika pelaku menolak membayar restitusi. Penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan mekanisme wawancara, dimana penulis menganalisa Peraturan Perundang-Undangan yang dikaitkan sejauh mana peraturan tersebut diterapkan dan berlaku di masyarakat. Hasil penelitian mengungkap Peraturan Perundang-Undangan tidak memiliki pedoman yang sama terkait mekanisme restitusi. KUHAP menggunakan mekanisme penggabungan perkara yang hanya terbatas pada kerugian materiil, PP No.3/2002 tidak memuat mekanisme permohonan restitusi yang diajukan korban, dalam UU LPSK ditemukan adanya ketentuan yang membatasi hak restitusi korban yang berpengaruh pada pelaksanaan PP No.44/2008, UU No.21/2007 memuat upaya paksa jika pelaku menolak membayar restitusi dan PP No.43/2017 memuat mekanisme permohonan dan pemberian restitusi, serta restitusi dapat diajukan mulai tahap penyidikan. Dari segi peraturannya, PP No.43/2017 kurang memberikan jaminan terkait restitusi bagi anak yang menjadi korban. Faktor yang menjadi kendala dalam penerapan restitusi bagi anak sebagai korban diantaranya adalah faktor perundang-undangan, faktor kapasitas dan koordinasi antar aparat penegak hukum, faktor ketidakaktifan korban, selama tidak ada permohonan maka restitusi tidak dapat diproses. Kemudian faktor ketidakaktifan lembaga yang mewakili dan melakukan pendampingan bagi korban.

ABSTRACT
The thesis discusses the analysis of the implementation of restitution policy for children who become victims of criminal acts that refers to Government Regulation Number 43 of 2017 about Implementation of Restitution for Child Victims of Crime. Previously the implementation of restitution is very difficult because there is no clear mechanism procedure. The problem in this regulation is the existence of administrative conditions that sufficiently burden the victim and his family, no firmness of who is entitled to calculate restitution, there is no benchmark determine the amount of restitution and no forced effort if the offender refused to pay restitution. This study is normative juridical, in which the authors analyze the legislation which is related to the extent to which the rules are applied and exist in the community. The results of this study reveal the Laws and Regulations do not have the same guidance related to the mechanism of restitution. The Criminal Procedure Code KUHAP uses mechanisms for the merger of cases that are limited to material losses, PP No.3 2002 does not contain the mechanism of the application for restitution submitted by victims. In the LPSK Law, there are provisions that restrict the right of victim restitution which affect the implementation of PP No.44 2008, UU No.21 2007 contains a forced effort if the perpetrator refuses to pay restitution and PP No.43 2017 contains the mechanism of application and restitution, and restitution can be submitted from the investigation stage. In terms of regulations, PP No.43 2017 provide less restitution related guarantees for children who become victims. Factors that become obstacles in the application of restitution for children as victims include the factors of legislation, factor capacity and coordination between law enforcement officers, the factor of inactivity of victims, as long as there is no request then restitution can not be processed. Then the factor of inactivity of the institution that represents and cares for the victim."
2018
T51441
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anugerah Rizki Akbari
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas tiga permasalahan. Pertama, bagaimana penerapan hukum pidana terhadap kasus-kasus kekerasan yang dilakukan olahragawan dalam sebuah pertandingan pada cabang olahraga sepak bola? Kedua, perbuatan¬perbuatan apa saja yang dikategorikan sebagai pelanggaran disiplin menurut peraturan organisasi sepak bola namun di sisi lain merupakan suatu tindak pidana menurut hukum nasional? Ketiga, bagaimana jika parameter legitimate sport dalam kasus R v. Barnes (2004) EWCA Crim 3246 diterapkan pada hukum pidana Indonesia? Dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan yang dipadu dengan penelitian lapangan, penulisan skripsi ini bertujuan untuk memberikan suatu standar yang dapat digunakan untuk menilai apakah suatu tindakan kekerasan di lapangan sepak bola merupakan tindak pidana penganiayaan atau merupakan bagian dari permainan sepak bola. Parameter legitimate sport dalam kasus R v. Barnes dapat dijadikan standar untuk menjawab permasalahan tersebut. Skripsi ini berkesimpulan hukum pidana dapat diberlakukan terhadap kasus-kasus kekerasan yang dilakukan olahragawan dalam sebuah pertandingan pada cabang olahraga sepak bola dan ia harus selalu dijadikan jalan terakhir untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut. Selain itu, terdapat fakta dimana beberapa perbuatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran disiplin menurut peraturan organisasi olahraga juga diatur oleh hukum nasional sebagai suatu tindak pidana. Terakhir, parameter legitimate sport dalam kasus R v. Barnes (2004) EWCA Crim 3246 dapat diterapkan pada hukum pidana Indonesia untuk menentukan ada/ tidaknya persetujuan olahragawan untuk menerima tindakan kekerasan pada suatu pertandingan sepak bola sehingga dapat ditentukan apakah tindakan kekerasan tersebut merupakan bagian dari permainan atau telah memasuki ranah hukum pidana untuk dapat dinyatakan sebagai tindak pidana penganiayaan.

ABSTRACT
This thesis mainly discuss about three problems. First, how the enforcement of criminal law related to the cases of violent action by athlete in football games works' Second, what kind of action that can be included as a breach of discipline according to the rules of football organization, and as a crime according to the national law. Third, how if the parameter of legitimate sport in the case of R v. Barnes (2004) EWCA Crim 3246 is applied in Indonesian criminal law. By combining the literature research method with the field research method, this thesis aims to provide a standard that can be used to assess whether an act of violence on the field is a maltreatment or a part of the football game. The parameter of legitimate sport in the case of R v. Barnes can be used as a standard to address these problems. This thesis concludes that criminal law can be applied to the cases of violence by athlete in a football games and it should always be used as the last choice to resolve such cases. Moreover, there are some facts show that some actions referred as a violation of discipline according to sports organizations regulation are also being regulated under national law as a crime. Last, the parameter of legitimate sport in the case of R v. Barnes (2004) EWCA Crim 3246 can be applied in the Indonesian criminal law to determine the presence/absence of athlete?s consent to receive the violence at a football game. So, it can be determined whether the violence was a part of the game or has become the appertain of the realm of criminal law to be categorized as a maltreatment. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S405
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hernu Aulia Farhan
"Skripsi ini membahas mengenai urgensi kriminalisasi pemaksaan perkawinan dalam hukum pidana Indonesia. Termasuk didalamnya adalah membahas mengenai urgensi perlindungan korban kekerasan seksual khususnya pemaksaan perkawinan yang lebih optimal mengingat telah disahkannya UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Sebetulnya terkait tindak pidana kekerasan seksual dapat ditemukan pengaturannya secara sektoral dan tersebar dalam beberapa undang-undang, seperti UU PKDRT, UU Perlindungan Anak dan UU Hak Azasi Manusia. Akan tetapi secara khusus, pembahasan dalam penelitian ini, yaitu pemaksaan perkawinan yang dimaksud adalah perkawinan yang dilaksanakan secara terpaksa melalui tekanan-tekanan tertentu yang menyebabkan tidak dapat dicapainya persetujuan yang sesungguhnya oleh salah satu atau kedua pasangan sebagaimana yang telah diatur dalam UU TPKS. Bahwa perlindungan yang optimal merupakan suatu keharusan melihat fakta seringkali perempuan terjebak dalam pusaran ketidakadilan dalam hal penanganan kasus-kasus kekerasan seksual dalam koridor sistem peradilan pidana, baik dalam fase pra-penuntutan sampai dengan hasil vonis yang dijatuhkan yang tidak berpihak kepada korban. Bahwa dalam penilitian ini terungkap bahwa banyak sekali dampak-dampak destruktif yang dapat dihasilkan dari tindakan pemaksaan perkawinan. Dampak-dampak yang dimaksud dapat berupa dampak psikososial, kesehatan dan ekonomi pada korban. Sebagai instrumen pembantu penelitian ini akan dibandingkan juga regulasi berkaitan dengan pemaksaan perkawinan di Negara Inggis dan Jerman. Salah satu contoh yang dapat ditiru dalam perkembangan penanganan pemaksaan perkawinan di Indonesia adalah didirikannya lembaga pemerintah yang dapat menjadi garda terdepan perlindungan masyarakat terhadap kasus pemaksaan perkawinan seperti forced marriage unit (FMU) di Inggris dan sistem registrar di Jerman.

This thesis discusses the urgency of criminalizing the imposition of marriage in Indonesian criminal law. This study includes discussing the urgency of protecting victims of sexual violence, especially the victims of forced marriage considering the passage of Law No. 12 year 2022 of the Sexual Violence criminal Offence act (TPKS). Actually, related to the crime of sexual violence can be found on sectoral regulation and spread in several laws, such as the Domestic Violence Law, the Child Protection Law and the Human Rights Law. However, in particular, the discussion in this study, namely the coercion of marriage in question is a marriage that is carried out forcibly through certain pressures that cause the inability to reach true consent by one or both spouses as stipulated in the latest TPKS Law. Optimal victim protection is a must regarding the fact that women are often caught in a maelstrom of injustice in terms of handling cases of sexual violence in the corridors of the criminal justice system, both in the pre-prosecution phase and the results of sentences handed down that are not in favor of the victim. This study revealed that there are many destructive effects that can result from the act of coercion of marriage. These effects can be psychosocial, health and economic impacts on victims. As an auxiliary instrument, this research will also be compared with regulations related to the coercion of marriage in the UK and Germany. One example that can be imitated in the development of handling forced marriage in Indonesia is the establishment of government agencies that can be the frontline of public protection against cases of forced marriage such as forced marriage units (FMU) in the UK and the registrar system in Germany.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simbolon, Marthin James
"Mengirim uang, membicarakan hal-hal pribadi, berkomunikasi secara langsung maupun virtual seperti melalui telepon atau video call, dan unsur-unsur emosional lainnya merupakan hal-hal umum yang terjadi dalam sebuah hubungan. Namun, dimungkinkan ada keadaan di mana unsur emosional ini digunakan sebagai sarana manipulasi untuk mendapatkan keuntungan atau dikenal sebagai Love Scam. Bila hal tersebut terjadi sulit memastikan apakah pemberian korban sepenuhnya bersifat sukarela atau merupakan hasil upaya manipulasi yang dipergunakan pelaku. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pemenuhan unsur tindakan love scam terhadap aturan perbuatan manipulasi, perbuatan curang, dan/atau penipuan di Indonesia menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Bentuk dari penelitian ini adalah yuridis normatif, dimana sumber data diperoleh dari data sekunder yang dilengkapi dengan pandangan Aparat Penegak Hukum dalam menangani dan menyelesaikan setiap kasus berkenaan dengan love scam, yang kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diperoleh hasil yaitu love scam tidak diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, tetapi upaya penegakan hukum terhadap tindakan love scam ini tetap dapat dilakukan dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 378 KUHP dan Pasal 35 UU ITE.

Sending money, talking about personal things, communicating in person or virtual such as via telephone or video calls, and other emotional elements are common things that happen in a relationship. However, there may be circumstances in which this emotional element is used as a means of manipulation for profit otherwise known as the Love Scam. When this happens, it is difficult to ascertain whether the victim's gift is completely voluntary or is the result of manipulation by the perpetrator. Based on this, this study aims to find out how to fulfill the elements of love scam action against the rules of manipulation, fraud, and/or fraud in Indonesia according to the Criminal Code and the Information and Electronic Transaction Law. The form of this research is normative juridical, where the data source is obtained from secondary data which is equipped with the views of Law Enforcement Officials in handling and resolving each case regarding a love scam, which is then analyzed descriptively qualitatively. Based on the research, the results obtained are that love scams are not specifically regulated in Indonesian laws and regulations. However, law enforcement efforts against love scams can still be carried out based on the provisions of Article 378 of the Criminal Code and Article 35 of the ITE Law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>