Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 65693 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Iwan Hermawan
"Keberpihakan kepada petani yang dianggap sebagai kelompok rentan seringkali digunakan sebagai pertimbangan populis dalam menjustifikasi lahirnya kebijakan protektif dari pengaruh eksternal. Contoh yang paling sesuai dapat dilihat pada kasus liberalisasi perdagangan beras di kawasan Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) di mana hingga saat ini masih menyisakan konsensus samar-samar tentang dampaknya terhadap capaian ketahanan pangan hingga pengaruhnya terhadap eksistensi petani beras yang sejatinya memiliki peran unik. Peran tersebut mencakup sebagai produsen maupun konsumen sehingga menjadikan langkah pemerintah semakin dilematis dan kompleks dalam rangka menjamin pangan bagi masyarakatnya. Oleh sebab itu, tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak liberalisasi perdagangan ASEAN terhadap ketahanan pangan di Indonesia, khususnya pada kasus beras. Untuk menjawab tujuan tersebut digunakan gabungan pendekatan, yaitu Model Global Trade Analysis Project (GTAP) untuk menangkap perilaku perdagangan beras di kawasan ASEAN dan Model Quadratic Almost Ideal Demand System (QUAIDS) untuk menyentuh dinamika perubahan konsumsi dan kesejahteraan pada kelompok rumah tangga petani beras. Di samping kedua model tersebut, beberapa pendekatan dikombinasikan untuk mendukung simulasi kebijakan yang dirancang, misalnya penggunaan Model Gravitasi dan simulasi Monte Carlo. Data yang digunakan berjenis data sekunder yang berasal dari basis data GTAP, Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas), World Bank, Food and Agriculture Organization (FAO), World Integrated Trade Solution (WITS), dan sebagainya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan ASEAN berdampak positif terhadap ketahanan pangan (beras) di Indonesia dibandingkan ketika restriksi perdagangan diterapkan. Kemajuan yang positif ini akan terekskalasi apabila diikuti dengan efisiensi biaya produksi padi/beras. Transmisi kondisi positif tersebut secara konsisten tidak hanya terjadi pada level nasional namun juga bermuara pada level rumah tangga petani padi/beras. Bahkan kelompok rumah tangga petani net produsen dan net konsumen beras menghadapi situasi better off, baik berupa peningkatan konsumsi beras, perbaikan pola konsumsi pangan, maupun welfare gaining ketika liberalisasi perdagangan ASEAN diberlakukan. Di sisi lain, agenda liberalisasi perdagangan ASEAN tidak hanya menyasar pada keterbukaan berkompetisi tetapi juga tawaran berkolaborasi melalui stok beras regional. Simulasi terkait stok beras tersebut ternyata mampu mendukung pencapaian ketahanan pangan nasional dan sekaligus mendorong peningkatan kesejahteraan rumah tangga petani padi/beras. Penelitian ini akhirnya mematahkan keyakinan umum yang memandang remeh peran liberalisasi perdagangan beras terhadap upaya penyediaan pangan masyarakat dan kehidupan petani.

There is an irony that occurs when trade liberalization is rejected in favor of pursuing national food security to protect farmers. This irony is farmers are worse off under national food security than they are under trade liberalization. Various concerns that have arisen were addressed with popular policies, especially the protection and raising of food prices. So why does commitment to trade liberalization seem to be a prestigious ambition only on paper. This study investigates this phenomenon as it occurs in the case of the impact of the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) trade liberalization on Indonesian food (rice) security and rice farmers. We use a combined approach to solve it comprehensively. Our approach brings together the Global Trade Analysis Project (GTAP) Model, Quadratic Almost Ideal Demand System (QUAIDS) Model, Gravity Model, and Monte Carlo. These approaches rely on secondary data sourced from the GTAP database, National Socio-Economic Survey, World Bank, Food and Agriculture Organization (FAO), World Integrated Trade Solution (WITS), and others.
The findings of our research show that the ASEAN trade liberalization would have a positive impact on Indonesian food (rice) security if compared with trade restricted policies. These positive effects would be enhanced if the open market were to be followed by actions to increase efficiency and reduce the cost of rice. Furthermore, to see the consistency of these impacts, we scrutinize at rice farming households as net rice producers or net rice consumers. They are the nucleus of food security and saw improvements in rice consumption, food consumption pattern, and welfare gains when trade liberalization took place. Besides the vigorous competition that would result from trade liberalization, collaboration through regional rice stocks could help us to achieve national food security and farmer welfare. This research objectively defies common belief that underestimates the role of rice trade liberalization for feeding the nation and farmers life."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rozinul Aqli
"Mengapa pemerintah Indonesia di bawah Presiden Megawati menandatangani ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) pada tahun 2002? Penelitian ini berusaha untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan melihat relasi kuasa yang terjadi antara bisnis dan negara dalam proses formulasi ACFTA. Untuk melakukan hal tersebut, penelitian ini menggunakan kerangka teoretis yang dikembangkan oleh Storm C. Thacker yang memperhitungkan kerentanan, kepentingan dan institusi, serta inisiatif negara sebagaimana leverage, strategi, dan komposisi internal bisnis. Penelitian ini menemukan bahwa meskipun di satu sisi ACFTA menguntungkan bisnis besar yang mengekspor komoditas mereka ke China, kebijakan ini membahayakan industri kecil dan menengah yang bersaing secara langsung dengan komoditas yang diimpor dari China. Distribusi pendapatan yang tidak merata ini menyebabkan bisnis terbelah menjadi dua kelompok: mereka yang mendukung dan mereka yang menolak ACFTA. Sementara itu, di sisi negara, pembelahan secara praktis tidak terjadi, karena dua kepentingan yang ada di dalam negara, kelompok teknokrat dan kepentingan bisnis, mempunyai agenda yang sama di dalam ACFTA. Adalah simpulan utama dari penelitian ini bahwa koalisi antara bisnis besar dan negara lah yang secara efektif telah menentukan sikap resmi Indonesia terhadap ACFTA.

Why did Indonesian government under Megawati’s presidency sign the ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) in 2002? This research attempts to anwer that question by looking at the underlying power relations between the state and businesses during ACFTA formulation process. In doing so, this research employs a theoretical framework developed by Storm C. Thacker which takes into account vulnerabilities, institutions and interests, and initiatives of the state as well as businesses’ leverages, strategies, and their internal makeup. The research finds that while ACFTA benefited Indonesian big businesses which exported their commodities to China, it harmed small and medium businesses who competed directly with commodities imported from China. This uneven income distribution consequently splited businesses into two divisions; those who supported and those who opposed ACFTA. Meanwhile, on the state’s side, the division was virtually nonexistent as the two main interests within the state, the technocrats and the business interest, had a converging agenda in ACFTA. It is the main conclusion of this research that this powerful state-big businesses coalition that had effectively determined Indonesia’s formal stance toward ACFTA."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S53499
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rachmat Anggoro
"ABSTRAK
Saat ini strategi self-reliance untuk mencapai ketahanan pangan telah secara luas diterapkan sejak perdagangan internasional menjadi lebih liberal. Tujuan dari peneletian ini adalah untuk menganalisis pengaruh liberalisasi perdagangan terhadap ketahanan pangan di Indonesia menggunakan data panel propinsi 2005-2013. Hasil empiris menunjukkan bahwa keterbukaan perdagangan memiliki dampak positif pada asupan kalori dan protein. Hasil ini mendukung argumen bahwa perdagangan dapat meningkatkan pendapatan yang pada akhirnya meningkatkan akses masyarakat terhadap pangan. Sebaliknya, keterbukaan perdagangan pada sektor pertanian tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap ketahanan pangan. Hal ini mungkin disebabkan pangsa sektor pertanian dalam perdagangan internasional relatif kecil. Selain itu, karena beras sangat penting dalam pola konsumsi di Indonesia, harga beras signifikan mempengaruhi asupan kalori. Sebaliknya, meskipun kedelai juga merupakan komoditas penting untuk konsumsi, harga dan produksi tidak mempengaruhi asupan protein. Selain itu, penelitian ini juga menegaskan bahwa PDRB per kapita berpengaruh positif terhadap ketahanan pangan. Oleh karena itu, kebijakan yang menghasilkan pendapatan sangat penting untuk mengurangi kerawanan pangan.

ABSTRACT
Nowadays the self reliance strategy to achieve food security has broadly implemented since the international trade become more liberal This policy not only implemented by countries that have lack of food in order to ensure their food availability but also in countries that traditionally an agriculture producer However policy has to accompany by adequate export performance so they can purchase imported food The purpose of this paper is to analyse the effect of trade liberalization on food security in Indonesia using provincial panel data from 2005 2013 This study focus on two commodities that is important as source of nutrition for Indonesian people which is rice and soybean The empirical results shows that trade openness in general is have positive impact on calorie and protein intake This result support the argument that trade can induce income that in turns increases people access to food On contrary agriculture openness do not has significant effect on food security This might due to the share of agriculture sector in international trade is relative small Furthermore since rice is crucial in Indonesia dietary pattern the price of rice is significant affect calorie intake In contrast even though soybean also an important commodity for consumption its price and production does not affect the protein intake In addition this study also confirms that GRDP per capita has positive effect on food security Therefore an income generating policy is essential to reduce food insecurity "
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
T42774
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alvini Pranoto
"Percepatan Integrasi ASEAN melalui 11 sektor prioritas, merupakan salah satu strategi dari ASEAN, guna meningkatkan dan memperluas skema kerjasama ASEAN. Percepatan integrasi tersebut mulai di canangkan pada bulan Oktober 2003 pada KTT ASEAN ke 9 di Bali. Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan untuk membentuk ASEAN Economic Community (AEC) atau Bali Concord II. Selanjutnya pada rencana aksi ekonomi Bali memaparkan pentingnya percepatan integrasi atau liberalisasi pada sebelas sektor prioritas. Sebelas sektor tersebut meliputi sektor produk berbasis Kayu; Otomotif; Produksi Karet; tekstil dan pakaian jadi; produk pertanian dan perikanan; elektronik; e-bisnis dan perawatan kesehatan; perhubungan udara dan pariwisata. Indonesia kemudian ditunjuk sebagai koordinator untuk sektor otomotif dan sektor produk berbasis Kayu (Wood based product). Selanjutnya ASEAN Framework Agreement for the integration of Priority Sectors (Vientiane Action Program - VAP) resmi ditandatangani bulan November 2004 dan akan mulai diberlakukan (entry into force) mulai tanggal 31 Agustus 2005 mendatang (lihat kerangka persetujuan bagian 6 artikel 26 nomor 1). Akselerasi atau percepatan integrasi ini mempunyai arti penting yaitu; Guna meningkatkan perdagangan intra-ASEAN serta menciptakan aktifitas ekonomi, meningkatkan efisiensi dan keunggulan kompetisi, menarik investasi dan menciptakan lapangan kerja baru. Skema-skema yang digunakan sebagai inisiatif untuk mencapai percepatan integrasi kawasan ASEAN termasuk AFTA (ASEAN Free Trade), AICO (ASEAN industriai Cooperation), AlA (ASEAN Investment Area) dan AFAS (ASEAN Framework Agreement on Services). Negara ASEAN 4 (Indonesia bersama Malaysia, Thailand dan Filipina) merupakan negara utama yang menghasilkan produksi otomotif di kawasan. Produk ini (otomotif dan komponen otomotif) menjadi bagian dari global sharing product kawasan. Beberapa MNC (Multi National Company) seperti Toyota dan Honda merupakan pemimpin market di kawasan ASEAN. Beberapa negara ASEAN kemudian menjadi basis dari produksi mereka. Karena industri otomotif mempunyai rantai nilai yang iebar, maka beberapa negara industri menjadikan produk otomotif sebagai mesin ekonomi. Namun di Indonesia industri otomotif masih belum termasuk industri yang kompetitif. Tesis ini fokus pada studi kasus otomotif yang terkait dengan dampak percepatan integrasi perdagangan ASEAN terhadap perekonomian Indonesia. Tujuan tesis ini adalah untuk mempeiajari manfaat dari percepatan integrasi ASEAN dikaitkan clengan perekomian Indonesia, dengan menggunakan pendekatan ekonomi dan non ekonomi. Metode penelitian pada tesis menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dan mencoba menjawab pertanyaan Apa dan Mengapa percepatan integrasi perdagangan ASEAN bermanfaat bagi perekonomian Indonesia. Di Indonesia perkembangan produksi otomolif yang berorientasi ekspor dan investasi asing telah memberikan dampak yang positif bagi peningkatan GDP. Skema AFTA dan CEPT telah memberikan dampak yang menguntungkan baik bagi produksen otomotif maupun host country, namun hal itu mempersyaratkan iklim usaha yang kondusif. Maka peran pemerintah dalam menciptakan kebijakan yang mendukung pengembangan investasi dan industri otomotif di Indonesia sangat penting. Melalui analisa persepsi kolektif dengan menggunakan metode analisa proses hirarki (AHP), lima orang responden ahli menyarankan lima prioritas utama yang perlu diperhatikan guna mencapai goal yaitu memperoieh manfaat dari akselerasi integrasi perdagangan ASEAN. Saran tersebut termasuk perhatian pada potensi sumber daya manusia yang melimpah sebagai suatu kekuatan, namun Iemah dalam kompetensi; perhatian dalam peluang untuk membangun daya saing produk yang kompetitif; perhatian terhadap hambatan berupa iklim bisnis yang tidak kondusif dan ketatnya kompetisi pasar terhadap produk berkualitas namun berharga murah. Selain analisa AHP, anaIisa Faktor STEP (SosiaI, Teknologi, Ekonomi, Politik) juga digunakan dalam tesis ini. Basis Teori yang digunakan adalah Regionalisasi, Rantai Nilai dan Porter Diamond dari Michael Porter, Teori Pohon Industri, Teori Perdagangan Internasional dan Teori perdagangan dan Pembangunan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T22638
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizka Aulia
"

Penelitian ini mengkaji pengaruh liberalisasi perdagangan terhadap penurunan kemiskinan pada tingkat kabupaten/kota di Indonesia dalam kurun waktu 2000-2016 dengan menggunakan metode fixed effects. Regional tariff exposure digunakan untuk mengukur liberalisasi perdagangan pada tingkat kabupaten/kota yang dihitung dengan menggabungkan informasi mengenai struktur ekonomi pada masing-masing kabupaten/kota dengan tarif produk per sektor. Penelitian ini membedakan antara tarif output dan tarif input. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa tarif output dan tarif input bervariasi menurut wilayah selama periode penelitian. Penelitian ini mencakup serangkaian metode fixed effects: fixed effects kabupaten/kota dan juga time-fixed effects yang mengontrol tren waktu agregat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak tarif output dan tarif input terhadap tingkat kemiskinan kabupaten/kota (P0) berbeda. Tarif output berkorelasi negatif dengan kemiskinan, sedangkan tarif input berkorelasi positif dengan kemiskinan. Hal ini menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan di sektor input dapat mengurangi kemiskinan di Indonesia. Penelitian ini juga menemukan bahwa PDRB per kapita, angka melek huruf, dan panjang jalan berasosiasi negatif dengan kemiskinan. Selain itu, dampak penurunan tarif input terhadap pengurangan kemiskinan akan lebih besar jika kabupaten/kota memiliki PDRB per kapita dan tingkat melek huruf yang lebih tinggi.


The study examines the effect of trade liberalization on poverty reduction across districts in Indonesia during the period from 2000 to 2016 using the fixed effect approach. Tariff exposure is used to measure trade liberalization, which is computed at district level by combining information on sector composition of the economy in each district and tariff lines by sectors. This study also distinguishes between tariff exposure for output products and intermediate inputs. This produces a measure indicating how changes in exposure to tariff reductions in outputs and inputs vary by region over the period. Due to the available multi-district and 17-year dataset, the study includes a set of fixed effects: the district-fixed effects, and also the time-fixed effects, which controls for aggregate time trend. The results indicate that the impact of output and input tariff on regional poverty headcount index (P0) is different. Output tariff has negative correlation with poverty while input tariff has positive correlation with poverty. This suggests that trade liberalization in input sectors could reduce poverty in Indonesia. It is also found that GRDP per capita, literacy rates, and road length are negatively associated with poverty. Also, the effect of reducing input tariffs on poverty reduction will be larger if the districts have higher GRDP per capita and higher literacy rates.

"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widyastutik
"ABSTRAK
Disertasi ini memiliki tujuan (1) mengestimasi hambatan regulasi perdagangan sektor jasa transportasi laut dan udara di ASEAN dan ASEAN?s dialogue partners, dan (2) menganalisis dampak eliminasi hambatan regulasi perdagangan sektor jasa transportasi laut dan udara di ASEAN dan ASEAN?s Dialogue Partners terhadap ekonomi makro dan sektoral.
Data panel dari impor jasa transportasi dan GDP negara ASEAN 5 dan ASEAN?s Dialogue Partners berdasarkan GTAP tahun 2005 (versi 6), tahun 2008 (versi 7) dan tahun 2012 (versi 8) digunakan sebagai analisis dalam gravity model. Data comlang_etno, comlang_off dan continent bersumber dari CEPII. GTAP versi 8 dengan asumsi IC-IRTS (model Francois, 1998) digunakan untuk menangkap manfaat yang lebih besar karena adanya eliminasi hambatan regulasi perdagangan sektor jasa transportasi ASEAN dan ASEAN?s Dialogue Partners.
Hasil penelitian menunjukkan rata-rata ekuivalen tarif impor sektor jasa transportasi laut dan udara negara anggota ASEAN 5 dan ASEAN?s Dialogue Partners masih relative tinggi yaitu 0 sampai dengan 20.49 persen. Penelitian ini juga menunjukkan walaupun Singapura adalah Negara yang secara tradisional terbuka terhadap perdagangan, namun memiliki hambatan ekuivalen tarif impor yang tinggi untuk jasa transportasi laut dari Philipina dan Indonesia. Rata-rata ekuivalen tarif impor dalam jasa transportasi udara adalah 0 sampai dengan 11.2 persen lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata ekuivalen tarif impor dalam jasa transportasi laut. Hal ini menunjukkan hambatan regulasi sektor jasa transportasi laut di negara ASEAN 5 dan ASEAN?s Dialogue Partner lebih tinggi dibandingkan jasa transportasi udara.
Sejalan dengan teori efek pro-kompetitif dari kebijakan perdagangan, eliminasi hambatan regulasi pada sektor jasa transportasi laut dan udara pada penelitian ini menunjukkan gain from trade yang lebih besar diperoleh dalam model CGE dengan asumsi IC-IRTS dibandingkan dengan PC-CRTS kecuali Thailand, Philipina, New Zealand dan India. Dengan asumsi IC-IRTS, eliminasi hambatan regulasi sektor jasa transportasi laut dan udara menyebabkan China memperoleh peningkatan kesejahteraan dan PDB yang paling tinggi disusul Jepang dan Australia. Nilai perubahan neraca perdagangan China mengalami surplus yang sangat tinggi. Dengan asumsi IC-IRTS, negara ASEAN 5 yang tingkat kesejahteraannya menduduki posisi tertinggi karena eliminasi hambatan regulasi perdagangan jasa transportasi laut berturut-turut Indonesia, Malaysia dan Singapura. Sedangkan untuk jasa transportasi udara berturut turut Indonesia, Malaysia dan Philipina. Untuk kasus eliminasi hambatan regulasi di sektor jasa transportasi laut, Negara ASEAN yang mengalami surplus neraca perdagangan adalah Malaysia, Singapura, dan Thailand. Indonesia, Thailand serta negara lainnya mengalami defisit. Dampak eliminasi hambatan regulasi perdagangan sektor jasa transportasi laut Indonesia hanya memberikan insentif peningkatan output dan ekspor pada sektor jasa transportasi laut (sea transport); tekstil dan produk tekstil (textile and wearing apparel); perdagangan (trade); dan utility construction. Sedangkan untuk kasus jasa transportasi udara memberikan insentif peningkatan output pada sektor transportasi udara (air transport); tekstil dan produk tekstil (textile and wearing apparel), perdagangan (trade), utility construction; sektor transportasi lainnya (othertransp).
Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa (1) ekuivalen tarif impor di sektor jasa transportasi laut dan udara relative lebih tinggi, (2) dengan asumsi IC-IRTS, dampak eliminasi hambatan regulasi di perdagangan sektor jasa transportasi ASEAN dan ASEAN?s Dialogue Partners hanya menyebabkan manfaat yang lebih besar pada sektor dan negara tertentu. Hal tersebut mengimplikasikan perlunya fasilitasi perdagangan di antara negara ASEAN dan ASEAN?s Dialogue Partners. Fasilitasi perdagangan antar Negara anggota ASEAN dan ASEAN?s Dialogue Partners diperlukan untuk mengatasi eksternalitas regulasi (perbedaan regulasi) yang akan mengurangi gain from trade seperti adanya oligopoli internasional di perdagangan jasa transportasi. Salah satu bentuk fasilitasi perdagangan adalah mengoptimalkan fungsi EDI dan ASEAN National Single Windows.

ABSTRACT
The purposes of this dissertation are (1) to estimate the regulatory barriers to trade in the sea and air transport services sector in ASEAN 5 and ASEAN's dialogue partners, and (2) to analyze the impact of the elimination of regulatory barriers to trade in the sea and air transport services sector in ASEAN 5 and ASEAN's Dialogue Partners on macro and sectoral economic.
Panel data of transport services imports and the GDP of the ASEAN 5 and ASEAN's Dialogue Partners countries based on GTAP 2005 (6th version), 2008 (7th version) and 2012 (8th version) is used as an analysis in the gravity models. Comlang_etno, comlang_off and continent data are sourced from CEPII. GTAP 8th version assuming the IC-IRTS (Francois model, 1998) is used to capture greater benefits for elimination of regulatory barriers to trade in transport services sector in ASEAN and ASEAN's Dialogue Partners.
The results show that the average of import tariff equivalents of the sea and air transport services sector in the member countries of ASEAN 5 and ASEAN Dialogue Partners is still relatively high at 0 until 20.49 percent. The research also indicates that while Singapore is a country that is traditionally open to trade, but it has higher import tariff equivalent barriers for sea transport services than the Philippines and Indonesia. The average of import tariff equivalent in air transport services is 0 up to 11.2 percent lower than the average of import tariff equivalent in sea transport services. This condition shows that regulatory barriers in sea transport services sector in five ASEAN countries and ASEAN's Dialogue Partners is higher than air transport services.
In line with pro-competitive effect theory in trade policy, in this study the elimination of regulatory barriers in the sea and air transport services sector shows that the greater gain from trade is obtained in CGE model assuming IC-IRTS compared to PC-CRTs except Thailand, the Philippines, New Zealand and India. Assuming IC-IRTS, the elimination of regulatory barriers in the sea and air transport services sector causes China obtains highest increasing in welfare and GDP followed by Japan and Australia. Value of changes in China's trade balance has the highest surplus. Assuming IC-IRTS, ASEAN 5 countries that have higher level of welfare because of the elimination of regulatory barriers to trade in sea transport services in consecutive is Indonesia, Malaysia and Singapore. Whereas for ASEAN 5 countries that have higher level of welfare because of the elimination of regulatory barriers to trade in air transport services consecutive is Indonesia, Malaysia and Philippines. For the case of elimination of regulatory barriers in the sea transport services sector, ASEAN countries that have trade balance surplus are Malaysia, Singapore, and Thailand. Indonesia, Thailand and other countries have trade balance deficit. The impact of the elimination of regulatory barriers in trade of sea transport services sector of Indonesia only provides incentives for increased output and exports in the sea transport services sector; textile and wearing apparel; trade); and utility construction. Whereas the impact of the elimination of regulatory barriers in trade of air transport services sector of Indonesia only provides incentives for increased output in air transport sector; textile and wearing apparel, trade, utility construction; othertransp.
The conclusions of this study indicate that (1) import tariffs equivalent in the sea and air transport services sector is relatively higher, (2) assuming the IC-IRTS, the impact of the regulatory barriers elimination in the transport services sector trade in ASEAN and ASEAN's Dialogue Partners only leads to greater benefits in certain sectors and countries. This condition implies that the need for trade facilitation between ASEAN countries and ASEAN's Dialogue Partners. Trade facilitation between ASEAN member countries and ASEAN's Dialogue Partners is needed to overcome regulatory differences which will reduce the gain from trade such as the existence of international oligopoly in transport services trade. One form of trade facilitation is optimization of EDI functions and ASEAN National Single Windows
"
2016
D2188
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Adinda Putri Safira
"ABSTRAK
Hingga tahun 2019, lebih dari dua pertiga perdagangan dunia terjadi melalui Global Value Chain (GVC). Proses produksi yang tersebar di berbagai negara menyebabkan semakin pentingnya peran sistem transportasi nasional dalam memfasilitasi perpindahan barang input maupun output. Namun, performa sistem transportasi negara anggota ASEAN yang diukur menggunakan indeks kualitas infrastruktur transportasi WEF masih menunjukkan tingkat yang cukup bervariasi. Sebagai akibatnya, terjadi kesenjangan performa perdagangan internasional dan FDI antar negara anggota yang berujung pada rapuhnya kerja sama ekonomi ASEAN. Berdasarkan regresi GLS menggunakan data panel tahun 2009-2018, penelitian ini menemukan bahwa secara umum perbaikan sistem transportasi nasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap performa ekspor, impor, serta FDI ASEAN. Selanjutnya, penelitian ini menemukan adanya pergeseran orientasi pada sistem transportasi negara anggota ASEAN dalam memfasilitasi aktivitas impor dan FDI ASEAN, yakni dari intra-regional menuju inter-regional. Temuan ini mengimplikasikan pentingnya aktivitas perdagangan dan FDI inter-regional dalam proses konvergensi ekonomi ASEAN.

ABSTRACT
Up to 2019, more than two-thirds of world trade occurs through Global Value Chains (GVCs). The production processes that are fragmented across countries induce an increasing importance of national transportation system in facilitating the movement of input and output goods. However, the performance of ASEAN Member States (AMS) transportation system that measured by the WEF Transportation Infrastructure Quality Index still shows varying performance. As a result, there is a gap in the international trade and FDI performance between AMS which leads to the vulnerability of ASEAN economic cooperation. Based on the GLS regression using 2009-2018 panel data, this study found that in general, the improvement of national transportation system has a positive and significant impact on ASEAN export, import, and FDI performance. Furthermore, this study found the shifting of AMS transportation system orientation in facilitating ASEAN import and FDI activities, which is from intra-regional to inter- regional. This finding implies the importance of inter-regional trade and FDI activities in ASEAN economic convergence process.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Naomi Padan Junita
"Tujuan ini penelitian ini adalah untuk menentukan dampak dari globalisasi ekonomi terhadap jarak-negara ketidaksetaraan di 5 Negara Asia Tenggara. Dengan menggunakan data panel dan 3-tahun rata Data tertimbang, 145 sampel yang diamati dan kemunduran oleh Effect Model Fixed, kertas penelitian menemukan bahwa peningkatan ekonomi globalisasi dalam hal liberalisasi perdagangan menghasilkan ketimpangan pendapatan yang lebih tinggi dalam ASEAN5 masing-masing negara di 1981-2009 tergantung pada negara tahap perkembangan dan faktor produksi endowment, sementara peningkatan globalisasi perdagangan secara umum tidak mempengaruhi ketimpangan pendapatan. Di sisi lain tangan, peningkatan globalisasi ekonomi dalam hal liberalisasi keuangan mempengaruhi ketidaksetaraan pendapatan hanya melalui faktor saluran wakaf, efek dari dampak bervariasi, tergantung pada indeks yang digunakan dalam perhitungan. perdagangan dan Indeks liberalisasi keuangan termasuk penggunaan kedua de facto (% Perdagangan/GDP) (% Aset + Kewajiban/GDP) dan de jure tindakan.

This research's objective is to determine the impact of economic globalization towards within-country inequality in 5 South East Asian Countries. By using panel data and 3-years average weighted data, 145 samples are observed and regressed by Fixed Effect Model, the research paper finds that increased economic globalization in terms of trade liberalization produces higher income inequalities within ASEAN5 individual states in 1981-2009 depending on the country's stage of development and factors of productions endowment, while increased trade globalization in general does not affect income inequality. On the other hand, increased economic globalization in terms of financial liberalization affects income inequalities only through factor of endowments channel, effects of the impacts vary, depending on the index used during calculation. The trade and financial liberalization index includes the usage of both de facto (% Trade/GDP) (% Assets + Liabilities/GDP) and de jure measures (Sachs and Warner Index) (Chinn and Ito Inde)."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2016
S62500
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Samuel Roberto
"ABSTRAK
Liberalisasi perdagangan telah menyebabkan penurunan tarif secara umum. Penurunan tarif tersebut dapat membawa keuntungan, yaitu pemakaian bahan baku impor menjadi relatif lebih murah. Namun juga di satu sisi, penurunan tarif mengakibatkan produsen manufakur Indonesia menghadapi peningkatan persaingan produk impor. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pengaruh dari liberalisasi perdagangan terhadap produktivitas sektor manufaktur. Produktivitas diukur dengan Total Faktor Produksi (TFP), dan sektor yang dijadikan objek studi adalah 10 sub-sektor manufaktur yang memiliki kontribusi terbesar terhadap GDP. Tarif barang secara signifikan berkorelasi positif dan tarif bahan baku berkorelasi negatif dalam mempengaruhi produktivitas sektor manufaktur. Penurunan tarif secara umum berdampak meningkatkan produktivitas, dengan pengaruh penurunan tarif input terhadap produktivitas lebih besar daripada pengaruh tarif output.

ABSTRACT
Trade liberalization has led to tariff reductions in general. The tariff reduction may be beneficial to producer through the relatively cheaper access of imported raw materials. On the other hand, the disadvantage effect of tariff reduction is it induces higher import competition for domestic producers. The purpose of this study is to analyze the effect of trade liberalization on the productivity of the manufacturing sector. Total Factor Productivity (TFP) is used as the proxy for productivity measures. The object of this study is the 10 manufacturing sub-sectors that has the largest contribution to GDP in the manufacturing sector. The study result that tariff reduction positively correlated meanwhile input tariff is negatively correlated in affecting productivity of the manufacturing sector. Tariff reductions in general will improve productivity, where the influence of input tariff reduction on productivity is greater than the effect of output tariff rates.
"
2016
S65118
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>