Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 162473 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Selviria
"Satu di antara tujuan sistem peradilan pidana ialah mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan serta menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi, sehingga masyarakat dapat merasa puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana. Berbicara mengenai keadilan, maka akan ada kaitannya pula dengan hak asasi manusia. Dalam perkembangannya, hak asasi manusia memiliki sejarah panjang sebagai perjuangan terhadap kekuasaan yang absolut dan tiran. Perkembangan tersebut juga mempengaruhi beberapa aspek kehidupan, salah satunya ialah penegakan hukum. Dalam Penegakan hukum lalu dikenal asas peradilan terbuka untuk umum. Peradilan terbuka untuk umum merupakan implementasi dari peradilan yang adil atau due process of law. Asas peradilan terbuka untuk umum ini menimbulkan perbenturan terkait tujuan peradilan dan hak asasi manusia baik hak tersangka atau terdakwa maupun hak masyarakat dalam mendapatkan informasi. selain itu, proses persidangan yang yang disiarkan dikhawatirkan menggiring opini publik terhadap suatu kasus yang dapat mempengaruhi independensi pengadilan, sehingga diperlukan pemahaman mengenai hakikat dari asas peradilan terbuka untuk umum; relevansi larangan mempublikasikan hal-hal terkait persidangan denganperkembangan teknologi; serta memahami bagaimanana memaknai batas keterbukaan pada asas peradilan terbuka untuk umum di Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif. Di sisi lain, pesatnya perkembangan teknologi informasi semakin mendorong adanya suatu keterbukaan khususnya dalam penegakan hukum. Siaran langsung sidang peradilan pidana tidak boleh menciderai prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak. Salah satu elemen penting dari prinsip ini berdasarkan hak asasi manusia adalah asas praduga tak bersalah. Adanya peradilan terbuka pada dasarnya sebagai sarana mendidik masyarakat tentang sistem pengadilan dengan memungkinkan mereka untuk melihat fungsi pengadilan, serta membuka kesempatan social control yang bertujuan agar masyarakat bisa mengetahui secara langsung proses hukum sehingga dapat memberikan kontrol demi terwujudnya keadilan.

Kata kunci : Keadilan, Hak Asasi Manusia, Peradilan Terbuka untuk Umum, Perkembangan Teknologi Informasi.


One of criminal justice system purpose is prevent people of being crimes victims and resolve crime's cases, in order to satisfied the community that the justice has been enfourced and the guilty being convicted. If we talk about justice, then there will also be a connection with human rights. In its development, human rights have a long history as a struggle againts absolute abd tyrannical power. The development of human rights also influences several aspect of life, which one is law enforcement. in law enforcement, there is principle that court is open to the public. The open court is an implementation of fair trial or due process of law. Open court principles raises clashes related to justice purpose and human rights that both the right to obtain information. in addition, the broadcasting process is feared to lead public opinion on a case that can affect the independence of court. Regarding the nature of open court principle, the relevance of publish prohibition related to the trial with technological developments and the understanding about interpret limit of openness in open court principle in Indonesia. This study uses a descriptive qualitative approach. On the other hand, the rapid development information technology is increasingly encouraging openness, especially in law enforcement. A live broadcast of criminal trial cant violate the fair principles and impartial trial. One of the important element by this principle that based on human rights is the presumption of innocent principle. The exsistence of open court principles is basically for public education about court system by enabling them to see the function of court, as well as to make opportunities for social control that aims in order people can directly know about legal process that can provide control for justice realization.

Keyword : Justice, Human Rights, Open Court, Development of Technology Information

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Qorry Nisabella
"Indonesia merupakan negara civil law. Peraturan tertulis menjadi sumber hokum yang terutama dalam negara civil law. Dahulu sistem peradilan pidana di Indonesia bersumber pada HIR yang menganut prinsip inquisitor. Sejak tahun 1982, sistem peradilan pidana Indonesia bersumber pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana/KUHAP yang menganut prinsip akusator. Prinsip akusator menjamin pelaksanaan hak asasi manusia yang terlibat dalam suatu proses pidana. Namun pasal-pasal dalam KUHAP sendiri justru masih menganut prinsip inquisitor. Hal ini dapat dilihat dengan adanya ketentuan mengenai suatu dokumen yang disebut sebagai berita acara penyidikan/BAP. BAP saksi dalam KUHAP, selain menjadi pedoman bagi hakim dalam memeriksa perkara, dapat pula menjadi sebuah alat bukti bagi hakim. Tentu saja hal ini telah melanggar prinsip akusator. Bahkan dalam praktik sistem peradilan pidana di Indonesia, hakim kerap melakukan apa yang tidak ditentukan oleh KUHAP, dengan lebih mengutamakan keterangan dalam BAP saksi ketimbang dengan keterangan yang diberikan oleh seorang saksi di depan persidangan, sebagai alat bukti keterangan saksi yang sah.

Indonesia is a civil law country. In the civil law country, written rules become main sources of law. Indonesian Criminal Justice System was based on HIR which embraces an inquisitor principle. Since 1982, the Indonesian Criminal Justice System had been rooted in Law No. 8 of 1981 on the Law of Criminal Procedure / Criminal Procedure Code which adopts an akusator principle. Akusator principle ensures the implementation of human rights who involved in a criminal process. But the articles in the Criminal Procedure Code itself still adopts an inquisitor principle. It can be seen with the existence of a document named as the investigation report / BAP. This witness investigation minute, besides being a guide for judges in examining cases, it can also be an evidence for the judge?s consideration. Of course this condition has violated the principle of akusator. In fact, judges often do what is not determined by the Criminal Procedure Code, to prioritize the witness testimony written in BAP more than the testimony given by a witness before trial, as evidence of legitimate witness testimony."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S232
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Basir
"Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengandung beberapa asas didalamnya, Salah satunya adalah asas diferensiasi fungsional. Asas ini berarti penegasan pembagian tugas dan kewenangan antara jajaran aparat penegak hukum secara instansional. KUHAP meletakan suatu asas 'penjernihan' (clarification) dan ?modifikasi? (modification) fungsi dan wewenang antara aparat penegak hukum. Asas diferensiasi fungsional mulanya bertujuan untuk dipergunakan sebagai sarana koordinasi horizontal dan saling checking antara penegak hukum, terutama antara polisi selaku penyidik dengan jaksa selaku penuntut umum. Berdasarkan pasal 1 butir 1 dan 4 jo pasal 1 butir 6 huruf a jo pasal 13 KUHAP, maka jelas terlihat penjernihan dan pembagian secara tegas antara fungsi dan wewenang polisi sebagai penyidik dan jaksa sebagai penuntut umum serta pelaksana putusan pengadilan. Walaupun asas diferensiasi fungsional ditekankan antara polisi dengan jaksa, namun berpengaruh terhadap semua sub sistem dalam sistem peradilan pidana. Bagi Polri hal itu berakibat menumpuknya penanganan laporan dan pengaduan yang harus ditindaklanjuti yang pada akhirnya menyebabkan kurang maksimalnya pelaksanaan tugas-tugas penyidikan, seperti lambatnya pengiriman Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan dan bolak baliknya berkas perkara. Bagi jaksa asas diferensiasi fungsional telah menjadikan spektrum dan cara pandang jaksa dalam memberantas kejahatan menjadi sempit. Hal ini karena jaksa tidak terlibat secara langsung dalam proses penyidikan. Sedangkan pada proses persidangan di pengadilan, hanya tidak lebih dari mengkonfirmasi dan memverifikasi kebenaran isi Berita Acara pemeriksaan yang sebenarnya tidak mengikat. Sedangkan bagi tersangka dan pelapor / pengadu asas diferensiasi fungsional, telah merugikan hak-haknya karena perkaranya tidak dapat diproses berdasarkan peradilan yang cepat, sederhana dan biaya murah. Pada akhirnya asas diferensiasi fungsional menjadi salah satu penyebab over capacity pada lembaga pemasyarakatan. Lembaga ini tidak dapat melakukan pembinaan terhadap narapidana sebagaimana mestinya, bahkan dapat menjadi school of crime yang melahirkan residivis baru. Berdasarkan hal itu asas diferensiasi fungsional dirasa tidak dapat menciptakan keterpaduan antara penyidik dengan penuntut umum. Oleh karena itu perubahan KUHAP merupakan sesuatu yang urgent dan harus segera dilaksanakan.

Act No. 8 of 1981 on Procedure of Criminal Law (Criminal Procedure Code) contains some of the principles therein. The one of them is functional differentiation principle. The functional differentiation principle means the affirmation of the division of duties and authority between the law enforcement officers in institutional. The criminal procedure code put a principle of "purification" (clarification) and ?modification? functions and powers among law enforcement officers. The functional differentiation principle originally intended to be used as a means of horizontal coordination and mutual checking between law enforcement agencies, especially between polices as investigator and prosecutors as public prosecutor. Based on criminal procedure code article 1, point 1 and 4 jo article 1 point 6 letter a jo article 13, it is clearly seen purification and distribution between the functions and powers of the police as investigators and prosecutors as a public prosecutor and executor of verdict. Although the principle of functional differentiation stressed in between the investigators and the public prosecutor, but it influent all the sub systems in criminal justice system. For the police, it resulted in deposition of handling reports and complaints that should be followed up, in the end it can be implementation tasks which is not fulfilled maximal, such as the slow delivery of the notice of investigation letter and back and forth the docket. For prosecutors, principle of functional differentiation has made spectrum and perspective in combating crimes prosecutor becomes narrower. This is because prosecutors are not directly involved in investigation process. The trial process in court is nothing more than confirmation and verifying the correctness of the content of the examination dossier which is not binding. At the same time, for the suspect and the complainant, the functional differentiation principle has been detrimental to their rights because the case can't be processed with fast, simple and low cost trial. In the end the principle of functional differentiation be one cause of over capacity in the penitentiary. This institution can not conduct training of prisoners, even can be a school crime that spawned a new recidivist. Based on this principle of functional differentiation deemed not to create integration between law enforcement agencies, especially the investigators with the prosecutors. Therefore, conversion of the criminal procedure code is urgent and should be implemented immediately."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35268
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mia Banulita
"Pasca pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi melalui UU No. 30 Tahun 2002 memberikan dampak terjadinya perbedaan penerapan hukum acara pidana dalam penanganan perkara korupsi. Terobosan hukum acara pidana pada Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 memberikan ”kekuatan” kepada komisi ini sehingga berhasil menjadikannya sebagai komisi yang disegani. Namun, kewenangan istimewa ini tidak dinikmati oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Keadaan yang berbeda ini dikhawatirkan berpengaruh terhadap harmonisasi dalam sub sistem peradilan pidana yang bekerja dalam hal pemberantasan korupsi sehingga akan menghambat pada pencapaian tujuan yang ingin dicapai. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah perbedaan tersebut membawa pengaruh terhadap harmonisasi dalam sistem peradilan pidana. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif. Sebagai hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan dalam penerapan hukum acara pidana dalam penangangan perkara korupsi namun perbedaan tersebut belum mengakibatkan terjadinya disharmonisasi dalam sistem peradilan pidana, hal ini disebabkan walaupun mempunyai tujuan yang sama dalam hal pemberantasan korupsi, kewenangan yang dijalankan oleh masing-masing instansi tersebut terpisah dan berdiri sendiri. Namun keadaan yang berbeda ini harus segera diakhiri dengan cara memberikan kewenangan yang sama kepada Kepolisian dan Kejaksaan sebagaimana yang diberikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.

The formation of the Corruption Eradication Commission by virtue of Law No.30 of 2002 has brought about impact in the form of differences in the application of criminal procedure law in the handling of corruption cases. The breakthrough of criminal procedure law in Law No.30 of 2002 has given “strength” to the commission in such a way so as to result in its becoming a respected commission. This special authority is not, however, shared by the Police and the Public Prosecutor’s Office. There is concern that these different conditions will influence the harmonization of the criminal judicature sub system which focuses on the eradication of corruption in such a way so as to hamper the achievement of objectives which are aimed to be reached. The objective of this research is to ascertain whether such differences will influence the harmonization of the criminal judicature system. This research is made by using the juridical normative method. Based on the research results, it may be concluded that although there are indeed differences in the application of criminal procedure law in the handling of corruption cases, such differences have not resulted in the non-harmonization of the criminal judicature system due to the fact that although they are all aimed at eradicating corruption, the authorities exercised by each of the institutions are separate and interdependent. Still, this State of differences must immediately end by extending authorities to the Police and the Public Prosecutor’s Office which are the same as those extended to the Corruption Eradication Commission."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26073
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Johanes Blasius Vernando
"Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah memberikan jaminan atas penghargaan hak tersangka dalam hukum acara pidana di Indonesia, khususnya terkait dalam kedudukan seseorang dimata hukum. Jaminan hak dalam upaya paksa (dwang middelen) yang dilakukan oleh Penyidik, Penuntut Umum maupun Hakim (Pengadilan). Keberadaan Lembaga Pra Peradilan dianggap kurang efektif dan efisien guna menyalurkan hak-hak tersangka atau terdakwa. Oleh karena itu, timbul ide untuk memperbaharui KUHAP untuk mengganti lembaga pra peradilan dengan Lembaga Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Konsepsi Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam RKUHAP adalah mengenai jaminan perlindungan hak asasi manusia bagi tersangka dalam proses peradilan pidana, khususnya perkara yang sedang diselidiki oleh KPK. Upaya paksa merupakan kewenangan penyidik yang merupakan diskresi dari penyidik (internal lembaga penegak hukum), sehingga pengawasan terhadap pelaksanaan upaya paksa dianggap perlu dilakukan oleh lembaga peradilan. Diharapkan dimasa yang akan datang KPK dan Hakim Pemeriksa Pendahuluan mampu melaksanakan pembaharuan hukum acara pidana, sehingga dapat terwujud kerjasama yang sinergis dalam pelaksanaan dan penerapan Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Konsepsi Hakim Pemeriksa Pendahuluan dirancang untuk mewujudkan tujuan hukum acara pidana yaitu meuwujudkan due process of law dan mencari kebenaran materiel. Sehingga dapat menghindari upaya paksa yang sewenang-wenang. Walaupun demikian Konsepsi Hakim Pemeriksa Pendahuluan mendapatkan perdebatan diantara penegak hukum, ahli hukum dan praktisi hukum, khususnya terkait dengan kewenangan KPK dalam melakukan upaya paksa.

Law No. 8 of 1981 on the Criminal Code Procedure has guaranteed the respect of the rights of suspects in criminal procedural law in Indonesia, particularly in the position of a person in the eyes of the law. Rights guarantees in an effort to forcibly (dwang middelen) conducted by the investigators, the public prosecutor and the judge (court). The existence of Pra Peradilan is considered less effectively and efficiently to dispense rights of suspect or accused. Therefore, the effort to renew Criminal Code Procedure to replacement Pra Peradilan Institutions within Hakim Pemeriksa Pendahuluan Institutions. Conception of the Hakim Pemeriksa Pendahuluan in Draft of Criminal Code Procedure is about of human rights guarantees for suspects at criminal justice process, especially cases investigated by the KPK. The forced effort is an authority which is discretionary (internal law enforcement), thus the supervision of the implementations of forced efforts is considered needed by judiciary. For that reason, the effort to renew Criminal Code Procedure. In future it is expected the KPK and the Hakim Pemeriksa Pendahuluan will be able to achieve the purpose of the criminal procedure law to enable the creation of synergistic collaboration in criminal justice system in Indonesia. The conception of the Hakim Pemeriksa Pendahuluan is designed to achieve the purpose of realizing the criminal procedure law is to realize due process of law and seek the truth of the material, So that it can avoid the forced efforts arbitrary. However Conception of Hakim Pemeriksa Pendahuluan obtain debate among law enforcement, lawyers and legal practitioners, particularly related to the authority of the KPK in its efforts to force.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42621
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aldino Ahmad Ossama
"Penggunaan hasil pemeriksaan poligraf yang dijadikan alat bukti dalam praktik peradilan pidana Indonesia seharusnya dapat diiringi dengan keberadaan regulasi yang memadai serta mekanisme pengawasan yang jelas terhadap pelaksanaan pemeriksaan poligraf agar dapat sejalan dengan asas due process of law. Hal tersebut tentunya berkaitan pada keabsahan suatu alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan di pengadilan, mengingat keabsahan suatu alat bukti dapat ditentukan dengan melihat ke belakang terkait kesesuaian tata cara perolehan alat bukti tersebut dengan ketentuan hukum yang berlaku. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan bentuk penelitian yuridis normatif. Skripsi ini akan membahas mengenai pemeriksaan poligraf dalam praktik peradilan pidana Indonesia mulai dari regulasi yang berlaku saat ini dan perbandingannya dengan yang berlaku dalam negara Common Law System yaitu Negara Bagian New Mexico di Amerika Serikat, serta peran dan keabsahan alat bukti yang bersumber dari hasil pemeriksaan poligraf dalam praktik peradilan pidana di Indonesia, yang kemudian akan dianalisis keterkaitannya dengan asas due process of law. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pemeriksaan poligraf dan penggunaannya di Indonesia saat ini belum diatur secara lengkap, serta tidak terdapat mekanisme pemeriksaan keabsahan dari perolehan alat bukti yang bersumber dari hasil pemeriksaan poligraf, dan penggunaan instrumen pemeriksaan poligraf telah bertentangan dengan asas due process of law. Oleh karena itu, perlu adanya pembahasan lebih lanjut untuk mengkaji penggunaan instrumen pemeriksaan poligraf sebagai alat bukti.

The usage of polygraph examination results that are used as evidence in Indonesian criminal justice practices should be accompanied by the existence of adequate regulations and obvious supervisory mechanisms for the enforcement of polygraph examination, so it could be in line with the due process of law principle. This is certainly related to the validity of the evidence presented in a trial at the court, considering the validity of evidence can be determined by observing the conformity of the procedure for obtaining the evidence with the provisions of applicable law. This research is conducted using qualitative research methods with normative juridical forms of research. This thesis will discuss the polygraph examination in Indonesian criminal justice practices starting from the current applicable regulation and its comparison with those applicable in the Common Law System, namely in the State of New Mexico in the United States of America, as well as the role and validity of the evidence that derived from the result of a polygraph examination in Indonesian criminal justice practices, which will be analyzed about the correlation with the due process of law principle. The conclusion of this thesis are the polygraph examination and its current application in Indonesia are not fully regulated, furthermore there is no supervisory mechanism for checking the validity of the acquisition of evidence derived from the results of the polygraph examination, thus it is not proven to fulfill the due process of law principle. Therefore, there needs to be a further discussion to examine the use of the polygraph examination instruments as evidence."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Debora Vetra Mesia
"Skripsi ini membahas mengenai penyelesaian perkara pidana di luar persidangan yang berlaku baik di Indonesia, Belanda, maupun Singapura. Penyelesaian perkara pidana di luar persidangan atau dikenal dengan istilah Afdoening Buiten Proces merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan perkara di luar persidangan dengan cara membayar denda maksimum secara sukarela sebagaimana diatur dalam Pasal 82 KUHP Lama. Ketentuan ini juga terdapat dalam KUHP Baru, tepatnya dalam Pasal 132 ayat (1) huruf d-e. Sementara itu, di Belanda ketentuan ini diatur dalam Pasal 74 Wetboek van Strafrecht, sedangkan di Singapura dikenal mekanisme Deferred Prosecution Agreement yang memiliki konsep berbeda dengan yang diatur oleh Indonesia dan Belanda. Terdapat dua pembahasan utama dalam skripsi ini. Pertama, skripsi ini akan membahas mengenai bagaimana ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan dalam ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, Belanda, dan Singapura. Kedua, skripsi ini akan membahas mengenai bagaimana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Lama dalam mengakomodir kebutuhan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian normatif-yuridis yang menganalisis lebih lanjut tentang ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara. Adapun hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan yang berlaku di Indonesia, Belanda, dan Singapura masing-masing memiliki persamaan dan perbedaan. Selanjutnya, diketahui bahwa ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan yang diatur dalam Pasal 82 KUHP Lama selama ini tidak mengakomodir kebutuhan yang diperlukan oleh sistem peradilan pidana. Terakhir, ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan pada dasarnya memiliki tujuan yang baik dan dapat membantu meringankan beban sistem peradilan pidana, tetapi masih terdapat beberapa hambatan.

This thesis discusses the settlement of criminal cases outside the court which is valid in Indonesia, Netherlands, and Singapore. Settlement of criminal cases outside the court or known as Afdoening Buiten Process is one way to settle cases outside the court by paying the maximum fine voluntarily as stipulated in Article 82 of the Old Criminal Code. This provision is also contained in the New Criminal Code, specifically in Article 132 paragraph (1) letter d-e. Meanwhile, in the Netherlands this provision is regulated in Article 74 Wetboek van Strafrecht, while in Singapore the Deferred Prosecution Agreement mechanism is known, which has a different concept from that regulated by Indonesia and Netherlands. There are two main discussions in this thesis. First, this thesis will discuss how the provisions for settling criminal cases outside the court in the legal provisions in force in Indonesia, the Netherlands and Singapore. Second, this thesis will discuss how the Old Criminal Code accommodates the need for settlement of criminal cases outside of court. This research was conducted using a normative-juridical research method that further analyzes the legal provisions in force in a country. The results of this study state that the provisions for settling criminal cases outside the court in force in Indonesia, Netherlands and Singapore have similarities and differences, respectively. Furthermore, it is known that the provisions for settling criminal cases outside the court as regulated in Article 82 of the Old Criminal Code have so far not accommodated the needs required by the criminal justice system. Finally, provisions for the settlement of criminal cases outside the court basically have a good purpose and can help ease the burden on the criminal justice system, but there are still some obstacles."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Habi Afpandi
"Asas Legalitas adalah asas yang sangat fundamental dalam hukum pidana Indonesia. Asas legalitas lahir sebagai jaminan atas hak-hak individu untuk diperlakukan secara patut dihadapan hukum dan asas legalitas juga lahir untuk memberikan batasan kepada penguasa dalam menggunakan kekuasaannya agar tidak sewenang-wenang. Namun melalui sudut pandang lain asas legalitas dianggap begitu absolut dalam membatasi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat. Hal ini menjadi dilema tersendiri mengingat Indonesia sebagai Negara yang beradat dan berbudaya. Salah satu contohnya adalah penerapan Syari’at Islam sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat di wilayah Provinsi Aceh.. Melalui penelitian yang menggunakan metodologi yuridis normatif, diperoleh beberapa temuan. Pertama, penerapan syari’at Islam didasarkan pada Qanun yang secara hirarki peraturan perundang-undangannya dipersamakan dengan peraturan daerah yang berada dibawah Undang-Undang. Selanjutnya yang kedua, penerapan hukum yang hidup dalam masyarakat di Aceh memberikan dampak terhadap berlakunya Sistem Peradilan Pidana. Qanun Nomor 6 tahun 2014 tentang Jinayat pada akhirnya dapat melahirkan beberapa tindak pidana baru yang tidak diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Ketiga, penerapan hukum yang hidup dalam masyarakat ini tidak mengikuti Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai hukum materil, melainkan menggunakan Qanun Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat yang pada akhirnya melahirkan sub-sistem baru yaitu Polisi Wilayatul Hisbat sebagai PPNS dan Mahkamah Syariat yang memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran terhadap hukum yang hidup ini.
Kata Kunci: Asas Legalitas, Hukum yang Hidup Dalam Masyarakat, Sistem Peradilan Pidana

The Principle of legality is a fundamental principle in the application of Indonesian criminal law. The legality principle was born as a guarantee of the rights of individuals to be treated properly before the law and the legality principle was also born to provide the limits to the authoties when they use their power. But in other point of view the legality principle is considered so absolute in limiting the application of the living law. This has become a dilemma considering that Indonesia is a cultured state. The one of the exemple of the limitation is the application of Islamic Sharia as a living law in Aceh Province. The type of this research used was a normative juridical. Than in other side, the application of Islamic sharia is based on Qanun which in the hierarcyof the laws and regulation is equated with regional regulation that is under the law. So that becomes an irregularity when applying Islamic sharia as a living law based on regulations that is under the law. The application of the living law has a new impact on the implementation of criminal justice system. Qanun Number 6 of 2014 concerning Jinayat finally can give birth to seceral criminal offense that are not regulated in criminal code then even more in the application of living law does not follow the criminal procedure code as material law but instead uses Qanun Number 7 of 2013 concerning Jinayat procedure law which gave birth a now sub-system of criminal justice system namely Wilayatul Hisbat Police as a investigator or PPNS and Mahkamah Syariah that examined and tried cases of violations of this living law.
Keywords: Legality Principle, Living Law, Criminal Justice System.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Apreza Darul Putra
"Tesis ini berisikan pembahasan mengenai pengaturan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik dalam kerangka pembaruan hukum acara pidana Indonesia. Permasalahan dalam tesis ini terkait dengan bagimanakah pengaturan pelaksanaan penggeledahan dan penyitaan terhadap bukti elektronik dalam hukum acara pidana di Indonesia pada saat ini untuk kemudian dikaitkan dengan bagaimana praktek sesungguhnya para penegak hukum di Indonesia serta pengaturan apa sajakah yang diperlukan untuk mengaturnya, terkait dengan pembaruan hukum acara pidana di Indonesia.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis sosiologis, karena menggambarkan selengkapnya tentang pengaturan proses dan tata cara penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik di Indonesia dan dikaitkan dengan pengaturan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik yang terdapat di Amerika Serikat dan Inggris. Wawancara dilakukan terhadap narasumber yang melaksanakan tindakan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik tersebut seperti penyidik dan ahli digital forensik, dan juga terhadap akademisi yang bidang keilmuannya sesuai dengan permasalahan penelitian ini.
Hasil penelitian ini mendapatkan fakta bahwa KUHAP yang menjadi induk hukum acara pidana di Indonesia tidak memiliki pengaturan terkait dengan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik karena bukti elektronik bukan merupakan salah satu alat bukti yang sah menurut KUHAP. Namun demikian bukti elektronik mulai diakui sebagai salah satu alat bukti yang sah di Indonesia, yang pengaturannya tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan hanya beberapa diantaranya yang telah mengatur tentang hukum acara pelaksanaan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik.
Dikarenakan pengaturan dan pengetahuan yang minim para penegak hukum Indonesia perihal penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik, maka tidak semua penegak hukum telah memiliki pedoman, panduan atau Standard Operating Procedures (SOP) dalam melaksanakan tindakan penggeledahan dan penyitaan tersebut. Seharusnya memang ketentuan penggeledahan dan penyitaan bukti elektronik tersebut diatur dalam satu peraturan yang lengkap dan memperhatikan segala keunikan karakteristik dari bukti elektronik dan hal-hal lainnya, terutama yang terkait dengan perlindungan terhadap privacy, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, integritas data, atau keutuhan data.

This thesis contains a discussion concerning regulation on search and seizure of electronic evidence within the framework of Indonesia?s criminal procedure law reform. The questions in this thesis relates to how Indonesia?s criminal procedure law at the moment regulates the search and seizure of electronic evidence and then to be linked to how the actual practice of law enforcement in Indonesia, and what are the required provision to rule it, with respect to Indonesia's criminal procedure law reform.
This research is a sociological juridical research, because it completely describes the regulation concerning processes and procedures for search and seizure of electronic evidence in Indonesia and then linked to the regulation of search and seizure of electronic evidence located in the United States and England. Interviews conducted on informants who carry out the action of search and seizure of electronic evidence such as investigators and digital forensics expert, and also to academics which his or her scientific fields is related to this research problem.
The results of this research is the fact that the KUHAP or Criminal Procedure Code as the source of criminal procedure law in Indonesia does not have a provision related to the search and seizure of electronic evidence because electronic evidence is not a valid evidence under the Criminal Procedure Code. However, the electronic evidence is recognized as one of the legitimate evidence in Indonesia, which is spread in a variety of legislation and only a few of them which has a provision on the procedural law that regulates search and seizure of electronic evidence.
Due to the minimal regulation and knowledge of Indonesian law enforcement officials regarding the search and seizure of electronic evidence, then not all law enforcement agencies have guidelines or Standard Operating Procedures (SOP) in implementing the act of search and seizure. The provision on search and seizure of electronic evidence should be set out in one comprehensive rules and pay attention to all the unique characteristics of electronic evidence and other matters, especially those related to the protection of privacy, confidentiality, smooth running of public services and the integrity of the data.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T32518
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aufa Auladi
"ABSTRAK
Sebagai negara yang berdasarkan hukum demokrasi, partisipasi masyarakat di Indonesia merupakan bagian penting dalam menjalankan fungsi kenegaraan. Untuk Selain itu, Indonesia telah menjamin hak untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran secara lisan dan tertulis dalam konstitusi. Sayangnya, orang yang masih berbicara menentang atau mengkritik tentang masalah publik sering diintimidasi dan dibungkam melalui jalur hukum, terutama di masalah lingkungan. Hal ini dilakukan dengan mengajukan gugatan atau pelaporan kriminal terhadap orang-orang yang berpartisipasi dalam partisipasi publik.
Membungkam melalui jalur hukum disebut sebagai Strategis Gugatan Terhadap Peran Serta Masyarakat (SLAPP). SLAPP bisa menghalangi orang dalam menjalankan kebebasan berbicara dan hak mereka untuk
partisipasi publik. Untuk melindungi partisipasi publik ini, Indonesia telah menegakkan ketentuan Gugatan Anti Strategis Terhadap Partisipasi Masyarakat (anti-SLAPP) di bawah hukum lingkungan. Namun, tidak jelas apakah istilah anti-SLAPP dapat menolak gugatan atau penuntutan dan memberikan perlindungan hukum dari bahaya SLAPP. Tujuan dari tesis ini adalah untuk meninjau undang-undang yang berkaitan dengan anti-SLAPP dan penerapan ketentuan anti-SLAPP
SLAPP di Indonesia. Tesis ini menggunakan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan komparatif terhadap peraturan anti-SLAPP di beberapa negara.
ABSTRACT
As a country based on democratic law, public participation in Indonesia is an important part in carrying out state functions. In addition, Indonesia has guaranteed the right to associate and assemble, express thoughts orally and in writing in the constitution. Unfortunately, people who still speak out against or criticize about public issues are often intimidated and silenced through legal channels, especially on environmental issues. This is done by filing criminal lawsuits or reporting against people who participate in public participation.
Silencing through legal channels is known as the Strategic Lawsuit Against Community Participation (SLAPP). SLAPP can prevent people from exercising their freedom of speech and their right to
public participation. To protect this public participation, Indonesia has enforced the Anti-Strategic Lawsuit Against Public Participation (anti-SLAPP) provisions under environmental law. However, it is not clear whether the term anti-SLAPP can deny a lawsuit or prosecution and provide legal protection from the harm of SLAPP. The purpose of this thesis is to review the laws relating to anti-SLAPP and the application of anti-SLAPP provisions SLAPP in Indonesia. This thesis uses normative juridical research with a comparative approach to anti-SLAPP regulations in several countries.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>