Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 208039 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Peppy Fourina
"Latar belakang: Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk muslim yang besar.
Hijab dipakai oleh banyak wanita di Indonesia, sedangkan hijab berpotensi mengurangi
serapan sinar matahari di kulit yang memengaruhi sintesis vitamin D. Beberapa
penelitian telah mengaitkan defisiensi kadar 25-hydroxyvitamin D serum dengan
kerontokan rambut, tetapi tidak pernah dilakukan pada kelompok perempuan berhijab.
Tujuan: Mengetahui hubungan kadar 25-hydroxyvitamin D serum dengan kerontokan
rambut pada perempuan dewasa usia subur berhijab (H) dan tidak berhijab (TH).
Metode: Penelitian potong lintang ini dilakukan sepanjang bulan November 2019
hingga Maret 2020. Data terkait pemakaian hijab, kerontokan rambut, skor pajanan
sinar matahari, jumlah rambut rontok harian, hair pull test, dan kadar 25-
hydroxyvitamin D serum dievaluasi pada masing-masing 30 subjek berhijab dan tidak
berhijab yang tidak menderita penyakit sistemik maupun kejiwaan.
Hasil: Median kadar 25-hydroxyvitamin D serum pada kelompok H adalah 8,70 (6,13-
34,10) ng/mL dan mean kadarnya pada kelompok TH adalah 16,70 6,30 ng/mL.
Median jumlah rambut rontok harian pada kelompok H adalah 28,62 (3,00-118,50) helai
dan pada kelompok TH adalah 18,25 (3,50-134,50) helai. Berdasarkan uji korelasi
Spearman, didapatkan koefisien korelasi r = -0,190 pada kelompok H (p = 0,315), dan r
= 0,193 pada kelompok TH (p = 0,308).
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan kadar 25-hydroxyvitamin D serum dengan
kerontokan rambut baik pada perempuan dewasa usia subur berhijab maupun tidak
berhijab.

Background: Indonesia has a large muslim population. As hijab is considered
compulsory for most, wearing it may potentially reduce skin absorption of sunlight
which plays important role in vitamin D synthesis. Several studies had described
significant correlation between serum 25-hyroxyvitamin D level and hair loss, but never
specifically conducted in hijab wearing women.
Objective: To assess the correlation between serum 25-hydroxyvitamin D level and
hair loss in adult childbearing-age women who wear (H) and do not wear hijab (NH).
Methods: This cross-sectional study was conducted from November 2019 to March
2020. Data concerning hijab use, hair loss, sun exposure score, daily hair loss, hair pull
test, and serum 25-hydroxyvitamin D level were evaluated in 30 subjects of each group.
Results: The median level of serum 25-hydroxyvitamin D in the H group was 8,70
(6,13-34,10) ng/mL while the mean serum level in the NH group was 16,70 6,30
ng/mL. The median number of daily hair loss in the wearing hijab group was 28,62
(3,00-118,50) and in the not-wearing hijab group was 18,25 (3,50-134,50). Based on
Spearman’s correlation test, r = -0,190 in the H group (p = 0,315) and r = 0,193 in the
NH group (p = 0,308).
Conclusion: There was no significant correlation between serum 25-hydroxyvitamin D
level and hair loss in both groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Futty Dewi Nuzulia Famini
"Daun waru merupakan tanaman yang memiliki aktivitas pertumbuhan rambut. Pada penelitian ini, sediaan mikroemulsi yang dibuat mengandung 7,5% ekstrak daun waru dengan klorofil dan tanpa klorofil. Penghilangan klorofil pada daun waru diharapkan dapat meningkatkan estetika sediaan, akan tetapi dalam penelitian ini sediaan mikroemulsi ekstrak daun waru dengan klorofil maupun tanpa klorofil memiliki warna sediaan yang sama. Uji stabilitas fisik kedua formula dilakukan dengan metode cycling test, uji sentrifugasi, dan penyimpanan pada tiga suhu yang berbeda: suhu rendah (4±2oC), suhu kamar (28±2oC), dan suhu tinggi (40±2oC). Uji aktivitas pertumbuhan rambut dilakukan pada kelinci jantan putih dengan pengukuran panjang rambut pada hari ke-7, 14, dan 21, dan penimbangan bobot rambut pada hari ke-21. Uji keamanan dilakukan pada lengan dalam bagian atas sukarelawan. Uji stabilitas fisik menghasilkan kedua formula stabil. Sediaan mikroemulsi ekstrak daun waru dengan klorofil konsentrasi 7,5% memiliki aktivitas pertumbuhan rambut paling besar. Semua formula mikroemulsi tidak menimbulkan efek iritasi.

Hibiscus tiliaceus, Linn. leaves are a plant having affect on hair growth. In this research, the microemulsion preparations are made containing 7.5% extracts Hibiscus tiliaceus, L. leaves with chlorophyll and without chlorophyll. The removal of chlorophyll in the Hibiscus tiliaceus, L. leaves is expected to improve the aesthetics of the preparation, but in this research the microemulsion contains extracts Hibiscus tiliaceus, L. leaves with and without chlorophyll has the same color preparations. Physical stability test are performed using methods cycling test, centrifugation test, and keeping in three different temperatures: low temperature (4 ± 2°C), room temperature (28 ± 2°C) and high temperature (40 ± 2°C). The hair growth activity is executed on some white male rabbits were by hair length measurements on day 7, 14, and 21, and total weights of hair on day 21. Irritation test is done on the upper hands volunteers. Physical stability test has resulted both of formulas was stable. The microemulsion contains extracts Hibiscus tiliaceus, L. leaves with chlorophyll in concentration of 7.5% has the greatest hair growth activity. All of the microemulsion formulas do not cause irritation.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2014
S55024
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Inggrid Tania
"Ketombe adalah kelainan kulit kepala kronik, ditandai dengan skuamasi dan terkadang rasa gatal. Ketombe dialami oleh hampir 50% populasi pasca-pubertas, mengenai semua etnis dan semua jenis kelamin dan sebagian besar berupa ketombe derajat ringan-sedang. Hingga saat ini, ketombe merupakan masalah kesehatan dan estetika yang menonjol pada masyarakat karena dapat menganggu kualitas hidup. Etiopatogenesis ketombe meliputi faktor endogen dan eksogen, di antaranya faktor mikroorganisme (terutama Malassezia sp), hiperproliferasi epidermis dan kondisi seborea. Pengobatan konvensional terhadap ketombe belum memuaskan, sehingga perlu dicari alternatif lain, misalnya shampoo berbahan aktif minyak biji mimba (MBM) yang secara in vitro berefek anti-Malassezia, anti-inflamasi, antiproliferatif, antihistamin dan imunoregulator. Namun karena MBM bersifat hidrofobik, perlu dihasilkan shampoo MBM dalam bentuk shampoo mikroemulsi yang stabil dan efektif.
Pada penelitian ini, dilakukan formulasi, uji stabilitas fisik dan uji manfaat shampoo mikroemulsi MBM pada ketombe derajat ringan-sedang. Rancangan uji manfaatnya adalah uji klinis acak terkendali buta ganda, memakai metode modifikasi half-head technique dengan DSS (Dandruff Severity Score). Setelah melalui masa persiapan selama 1 minggu, subjek menjalani masa perlakuan selama 2 minggu dengan menerima perlakuan shampoo MBM pada satu sisi kepala dan shampoo plasebo pada sisi kepala lain secara acak. Pada akhir masa persiapan dan perlakuan, diukur DSS dan berat skuama pada tiap sisi kepala. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan uji t berpasangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa formula shampoo mikroemulsi MBM stabil secara fisik selama 12 minggu penyimpanan dan efektif dalam menurunkan derajat keparahan ketombe secara bermakna dibandingkan plasebo (p<0,001).

Dandruff is a chronic scalp condition characterized by scaling and sometimes itching. Nearly 50% post-pubertal population in all ethnic and gender are dandruff sufferers, majority with mild-moderate dandruff. Nowadays, dandruff is health and aesthetic problem in society because dandruff can degrade quality of life. Ethiopathogenesis of dandruff is influenced by endogen and exogen factors, such as microorganism (especially Malassezia sp), epidermal hyperproliferation and seborrhoeic condition. Conventional treatment of dandruff is not yet satisfactory. Thus the search of alternative treatment will still be needed, including shampoo that has neem seed oil (NSO) as an active ingredient, which has in vitro anti-Malassezia, anti-inflammatory, antiproliferative, antihistamine and immunoregulatory effects. However, due to hydrophobicity nature of NSO, we need to produce a stable and effective NSO microemulsion shampoo.
This research conducted formulation, physical stability test and clinical efficacy test of NSO microemulsion shampoo on mild-moderate dandruff. The design of efficacy test was a double blind randomized controlled clinical trial by modifying halfhead technique and DSS (Dandruff Severity Score) methods. After run-in period for one week, a subject went through a two-week intervention period by receiving NSO shampoo on one side of the head and placebo shampoo on the other side. At the end of run-in and intervention periods, DSS and weight of squames were measured on each side of the head. Paired t test was used for statistical analysis. The results showed that NSO microemulsion shampoo formula was stable in a twelve-week storage and significantly effective in lowering dandruff severity comparing to placebo (p<0,001).
"
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T31264
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Arleen Rainamira A.
"Latar Belakang: Rambut memiliki berbagai fungsi, salah satunya sebagai perkiraan usia individu. Kanitis, atau uban, merupakan tanda penuaan yang muncul pada rambut yang umumnya terjadi pada dekade ke-4 kehidupan. Kanitis prematur (KP) merupakan istilah munculnya kanitis sebanyak 5 helai rambut sebelum usia 25 tahun pada ras Asia. Etiologi penyakit KP belum sepenuhnya dipahami dan dianggap sebagai kelainan multifaktorial. Defisiensi mikronutrien tertentu, meliputi besi dan seng, diperkirakan berperan dalam munculnya KP. Oleh karena itu, diperkirakan kadar besi dan seng dalam serum dan rambut dapat mencerminkan risiko terjadinya KP pada seseorang.
Tujuan: Menganalisis perbedaan rerata kadar besi dan seng rambut dan serum KP dibandingkan populasi sehat dan menganalisis korelasi antara kadar besi dan seng rambut dan serum pasien KP dengan derajat keparahan KP.
Metode: Penelitian ini merupakan studi observasional analitik dengan desain kasus kontrol dan dilakukan matching jenis kelamin dan usia. Populasi target penelitian adalah pasien KP dan individu sehat yang diambil dengan metode consecutive sampling berdasarkan kriteria penerimaan dan penolakan. Analisis statistik yang sesuai dilakukan untuk membuktikan hipotesis penelitian. Nilai p<0,05 dianggap signifikan secara statistik.
Hasil: Diantara 32 sampel kelompok KP, 7 orang mengalami KP ringan, 14 orang mengalami KP sedang, dan 11 orang mengalami KP berat. Diperoleh perbedaan kadar seng rambut yang bermakna secara statistik antara kelompok KP dengan kelompok sehat (184,03 vs. 231,83; p=0,01). Perbedaan parameter lainnya ditemukan tidak bermakna secara statistik. Tidak ditemukan adanya korelasi yang bermakna secara statistik antara kadar besi dan seng serum maupun rambut terhadap kejadian atau derajat keparahan KP. Data tambahan, ditemukan korelasi positif lemah antara indeks massa tubuh (IMT) dengan derajat keparahan KP (rρ= 0,392; p=0,026). Riwayat KP keluarga merupakan faktor risiko KP (aOR 14,829; 95% IK 3,073–71,566, p=0,001). Setiap penurunan 1 unit (µg/g) kadar seng rambut, kemungkinan mengalami KP meningkat (aOR 1,007; 95% IK 1,001–1,013, p=0,022).
Kesimpulan: Kadar seng rambut pada kelompok KP lebih rendah dan berbeda bermakna secara statistik dibandingkan dengan kelompok kontrol sehat, namun tidak ditemukan perbedaan rerata yang bermakna pada parameter lainnya. Tidak ditemukan korelasi antara kadar besi dan seng rambut dengan serum, maupun dengan derajat keparahan KP.

Background: Hair has various functions, one of which is an estimate of an individual's age. Canities, or gray hair, is a sign of aging that appears on the hair and generally begins to occur in the 4th decade of life. Premature canities (PC) is a term for the appearance of gray hair as much as 5 strands of hair before the age of 25 years in Asian ethnicity. The etiology of PC is not fully understood and is considered a multifactorial disorder. Certain micronutrient deficiencies, including iron and zinc, are thought to play a role in the development of PC. Therefore, it is predicted that iron and zinc levels in serum and hair can reflect a person's risk of developing PC.
Aim: To analyze the difference in mean serum and hair levels of iron and zinc between subjects with PC and healthy controls and to assess their correlation with the severity of PC.
Method: This study is an analytic observational study with a case-control design and matched according to age and gender. The target population of the study was patients with PC and healthy individuals who were recruited by consecutive sampling based on inclusion and exclusion criteria. Appropriate statistical analysis was performed to prove the research hypothesis. A p-value of <0.05 is considered statistically significant.
Results: Among the 32 subjects of the PC group, 7 subjects had mild PC, 14 subjects had moderate PC, and 11 subjects had severe PC. There was a statistically significant difference in hair zinc levels between the PC group and the healthy controls (184.03 vs. 231.83; p=0.01). Differences in other parameters were found to be not statistically significant. There was no statistically significant correlation between serum and hair iron and zinc levels on either the incidence or the severity of PC. A weak positive correlation between body mass index (BMI) and the severity of PC (rρ= 0.392; p= 0.026) was obtained. Family history of PC is a risk factor for PC with an aOR 14,829; 95% CI 3.073–71,566, p=0.001. In addition, for every 1 µg/g decrease in hair zinc levels, the probability of experiencing PC increased (aOR 1.007; 95% CI 1.001–1.013, p=0.022).
Conclusion: Hair zinc levels in the PC group were lower and statistically significant compared to the healthy controls but no significant difference was found in other parameters. There was no correlation between hair iron and zinc levels with serum, nor with the severity of PC.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ulfah Nur Lathiifah
"Latar belakang: Dermatitis seboroik adalah penyakit inflamasi kronik pada kulit yang bermanifestasi sebagai bercak kemerahan yang gatal dan bersisik di daerah kaya akan kelenjar sebasea. Sebum yang berada di kulit kepala merupakan nutrisi bagi Malassezia sp dan menjadi salah satu faktor risiko dari dermatitis seboroik. Keramas dapat membersihkan sebum dan kotoran dari kulit kepala. Setiap individu memiliki preferensi tersendiri mengenai frekuensi keramas.
Tujuan: Studi ini dilakukan untuk melihat korelasi skor keparahan dermatitis seboroik dengan frekuensi keramas.
Metode: Sejumlah 87 pasien dermatitis seboroik dengan metode consecutive sampling. Pasien dilakukan pemeriksaan untuk mengukur keparahan dermatitis seboroik yang diderita menggunakan diberikan kuesioner Seborrheic Dermatitis Area and Severity Index SDASI. Studi ini merupakan penelitian dengan metode potong lintang.
Hasil: Median frekuensi keramas pada pasien DS adalah 3 kali seminggu 1,00-7,00 dan nilai median Skor Keparahan DS sebesar 2,25 0,25-21,00. Uji korelasi Spearman dilakukan dan didapatkan hasil tidak bermakna korelasi antara frekuensi keramas dengan skor keparahan DS P= 0,155, r= -0,154.
Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi antara frekuensi keramas dengan Skor Keparahan DS.

Background: Seborrheic dermatitis SD is chronic inflammation disease in scalp which manifested as itchy scale erythema found on area rich of sebaceous gland. Sebum produced by sebaceous gland is nutrition for Malassezia sp and one of main risk factor of sebhorreic dermatitis. Hair washing may clean sebum and dirt on scalp. Each individual has their own preference on how often one should wash their hair.
Aim: This study was conducted to see the correlation of severity of seborrheic dermatitis with frequency of shampoo.
Methods: A total of 87 sebhorrheic dermatitis patients had been selected using exclusion criteria and recruited by consecutive sampling. Those SD patients were examined to measure the degree of seborrheic dermatitis severity using Seborrheic Dermatitis Area and Severity Index SDASI questionnaire. This study was cross sectional study.
Results: Median hair washing frequency on SD patients were three times a week 1.00 7.00 and Seborrheic Dermatitis Severity Score median value at 2.25 0.25 21.00. Spearman correlation test was conducted and from the test result there were no significant correlation between hair washing frequency and SD severity score by statistic P= 0.155, r 0.154.
Conclusion: There was no correlation between frequency of hair washing with DS Severity Score.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
London: Hermes House, 2003
646.724 HAI
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Victor R. Preedy, editor
"This handbook provides an academic approach to hair in health and disease. Divided into five sections the Handbook of Hair in Health and Disease provides an insight into hair growth and loss, molecular and cellular biology of hair, dietary toxicity and pathological history, diseases and treatments of hair, as well as shampoos and conditioners. Unique features of each chapter in this volume include relevant and useful 'Key facts' which highlight interesting or important findings of the specific subjects and 'Summary points' that will give a clear overview of the subjects treated in each chapter."
Netherlands: [, Wageningen Academic], 2012
e20417983
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhli Aulia Mughni
"Latar belakang: Untuk menghasilkan rambut dan kulit kepala yang sehat, produk perawatan harus digunakan dengan frekuensi tepat. Perempuan berhijab semakin umum dijumpai di Indonesia. Saat ini belum ada kesepakatan mengenai frekuensi keramas yang paling tepat pada perempuan berhijab. Oleh karena itu dibutuhkan penelitian yang membandingkan pengaruh frekuensi keramas berbeda terhadap nilai transepidermal water loss (TEWL) dan hidrasi kulit kepala perempuan berhijab.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara frekuensi keramas dengan nilai TEWL dan hidrasi kulit kepala perempuan yang menggunakan hijab.
Metode: Sebanyak 60 perempuan sehat usia reproduksi berhijab menjadi subjek penelitian dan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu 30 subjek pada kelompok A (keramas sering, setiap 1-2 hari sekali) dan 30 subjek pada kelompok B (keramas jarang, setiap 3-5 hari sekali). Dilakukan pengukuran nilai TEWL dan hidrasi kulit kepala pada baseline, hari ke-14, dan hari ke-28. Uji kemaknaan perbedaan nilai TEWL dan hidrasi kulit kepala antara kedua kelompok dilakukan menggunakan analisis Mann-Whitney.
Hasil: Median nilai TEWL kulit kepala hari ke-14 kelompok A adalah 20,07 g/m2/h dan kelompok B adalah 17,05 g/m2/h (p<0,05). Median nilai TEWL kulit kepala hari ke-28 kelompok A adalah 20,87 g/m2/h dan kelompok B adalah 17,67 g/m2/h (p<0,01). Median nilai hidrasi kulit kepala hari ke-14 kelompok A adalah 8,18 AU dan kelompok B adalah 12,52 AU (p>0,05). Median nilai hidrasi kulit kepala hari ke-28 kelompok A adalah 11,48 AU dan kelompok B adalah 12,77 AU (p>0,05).
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara frekuensi keramas dengan nilai TEWL kulit kepala perempuan berhijab. Frekuensi keramas yang sering dapat meningkatkan nilai TEWL kulit kepala perempuan berhijab secara bermakna, tetapi tidak terdapat hubungan antara frekuensi keramas dengan nilai hidrasi kulit kepala perempuan berhijab

Background: To obtain healthy hair and scalp, care product should be used in the right frequency. Women wearing hijab are becoming more common in Indonesia. There is no unified consensus regarding the correct frequency of hair washing in women wearing hijab. Therefore, research is needed to compare the influence of different hair wash frequencies on the scalp skin transepidermal water loss (TEWL) and hydration in women wearing hijab.
Objective: To assess the correlation between hair wash frequency with scalp skin TEWL and hydration in women wearing hijab.
Methods: Sixty healthy women in reproductive age are recruited and allocated into two groups, 30 subjects in group A (frequent hair wash, every 1-2 days) and 30 subjects in group B (infrequent hair wash, every 3-5 days). Measurements of scalp skin TEWL and hydration was performed on baseline, day-14, and day-28. Significance test of the difference in scalp skin TEWL and hydration scores between groups was done using Mann-Whitney analysis.
Results: The day-14 median value of scalp skin TEWL was 20,07 g/m2/h in group A and 17,05 g/m2/h in group B (p<0,05). The day-28 median value of scalp skin TEWL was 20,87 g/m2/h in group A and 17,67 g/m2/h in group B (p<0,01). The day-14 median value of scalp skin hydration was 8,18 AU in group A and 12,52 AU in group B (p>0,05). The day-28 median value of scalp skin hydration was 11,48 AU in group A and 12,77 AU in group B (p>0,05).
Conclusion: There is a correlation between hair wash frequency and scalp skin TEWL score in women wearing hijab. Frequent hair wash may significantly increase scalp skin TEWL score in women wearing hijab. However, there is no correlation between hair wash frequency and scalp skin hydration in women wearing hijab
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Teks ini berisi uraian tentang Kawruh Nyukur. Dalam Kawruh Nyukur ini disebutkan mengenai tata cara memotong rambut yang baik, model-model potongan rambut seperti pulkah, bros, sekedeng, prasman, menadon, serta jendralan, dan cara-cara memelihara peralatan cukur yang baik supaya awet dan tetap tajam.
Teks menerangkan pula tentang Bocah Bajang (Lare Gembel), menurut penyalin naskah, ceritera ini didapat dari daerah Wanasaba, Bagelen. Cerita diawali dari bayi lahir yang rambutnya berwarna merah, rambut bayi itu tidak boleh dipotong sampai umur kira-kira 7-8tahun, maka anak itu disebut anak bajang. Orang tua membuat anak bajang dengan harapan, agar anak tersebut akan selamat sampai dewasa. Sesudah umur 7 tahun baru diadakan pemotongan rambut (=cukur) dengan syarat harus diadakan selamatan.
Pada h.1 terdapat keterangan yang menyebutkan bahwa, nyukur diartikan dengan sebutan coiffeur dan barbier, pada prinsipnya kedua sebutan itu sama, namun hanya dibedakan pada perlengkapan dan tempatnya. Pada coiffeur dengan perlengkapan cukur yang serba lengkap dan tempat yang bagus, sedangkan barbier, dengan perlengkapan dan tempat yang sederhana.
Naskah ini disalin oleh Sastrapandawa, seorang tukang cukur yang membuka usaha Barbier SP di Jalan Bausasran 47, Yogyakarta. Penyalinan dilakukan pada April 1939, di Yogyakarta."
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
LL.100-W 53
Naskah  Universitas Indonesia Library
cover
Arinia Kholis Putri
"Latar belakang: Keratosis seboroik (KS) merupakan salah satu tumor jinak epidermis yang paling sering ditemukan. Pada penelitian baru mengenai KS, vitamin D berperan melalui banyak mekanisme nongenomik, termasuk ekspresi protein dan mutasi gen FGFR3. Defisiensi vitamin D mengakibatkan gangguan proliferasi dan diferensiasi, sehingga mempengaruhi jumlah dan ukuran lesi KS. Di sisi lain pajanan matahari juga merupakan faktor yang mempengaruhi baik kadar serum 25-hydroxyvitamin D (25(OH)D) maupun terhadap munculnya lesi KS. Pengukuran pajanan sinar matahari dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan menggunakan sun index. Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai hubungan antara kadar serum 25(OH)D dan sun index dengan jumlah dan ukuran lesi KS.
Tujuan: Mengetahui hubungan kadar serum 25-Hydroxyvitamin D dan sun index (indeks pajanan matahari) dengan jumlah dan ukuran lesi keratosis seboroik pada wajah di Poliklinik Kulit dan Kelamin, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Metode: Penelitian potong lintang ini melibatkan 50 pasien KS yang direkrut secara consecutive sampling pada bulan Desember 2018 hingga Mei 2019. Pasien yang memenuhi kriteria akan dilakukan anamnesis dan pengisian kuesioner sun index, pemeriksaan fisis, penilaian jumlah dan ukuran terbesar lesi KS di wajah dengan FotoFinder® dan dermoskopi, serta pemeriksaan laboratorium kadar serum 25(OH)D. Dilakukan analisis data untuk mengetahui korelasi kadar serum 25(OH)D dan sun index dengan jumlah dan ukuran terbesar lesi KS pada wajah dengan uji Pearson jika sebaran data normal atau uji Spearman jika sebaran data tidak normal.
Hasil: Median kadar serum 25(OH)D SP sebesar 10,3 (3,9-24,2) ng/mL. Median nilai sun index adalah 1,3 (0,3-16,2). 94% SP mengalami defisiensi kadar serum 25(OH)D dan 6% mengalami insufisiensi kadar serum 25(OH)D. Terdapat korelasi bermakna dengan kekuatan sedang antara kadar serum 25(OH)D dengan sun index (p=0,009, r=0,367). Median jumlah lesi KS pada wajah sebesar 28 (8-87) lesi dan meningkat sesuai dengan peningkatan kelompok usia. Median ukuran terbesar lesi KS sebesar 3,5(1-9,5) mm dan meningkat sesuai dengan peningkatan kelompok usia. Tidak terdapat korelasi antara kadar serum 25(OH)D dengan jumlah dan ukuran terbesar lesi KS pada wajah (p=0,178, r=0,194 dan p=0,164, r=0,2). Terdapat korelasi bermakna antara sun index dengan jumlah dan ukuran terbesar lesi KS pada wajah (p<0,001, r=0,517 dan p<0,001, r=0,451)
Kesimpulan: Kadar serum 25(OH)D ditemukan di bawah nilai normal (defisiensi dan insufisiensi) pada seluruh SP. Hasil penelitian membuktikan bahwa semakin tinggi kadar serum 25(OH)D, tidak menyebabkan semakin sedikit jumlah dan semakin kecil ukuran lesi KS di wajah. Namun semakin tinggi nilai sun index, maka akan menyebabkan semakin banyak jumlah dan semakin besar ukuran lesi KS di wajah

Background: Seborrheic keratoses (SK) is one of the most common benign epidermal tumors. Recent study on SK, vitamin D is involved through many nongenomic interactions, including changes in protein and mutations in the FGFR3 gene. Decreased on vitamin D causes disorder of proliferation and differentiation, thus affecting the number and size of SK lesions. On the other hand, sun exposure is also a factor that affects the levels of 25-hydroxyvitamin D (25(OH)D) as well as the SK lesions. Measurement of sunlight exposure can be done in various ways, one of them is by using the sun index. Until now there has been no research on the relationship between 25(OH)D serum and sun index with the number and size of SK lesions.
Objective: To assess the relationship of 25-hydroxyvitamin D levels and sun index (sun exposure index) with number and size of seborrheic keratoses lesions on the face in Dermatovenereology Clinic , Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital.
Methods: This cross-sectional study involved 50 SK patients that recruited by consecutive sampling in December 2018 to May 2019. Patients who met the criteria will be analyzed and filled in with the sun index questionnaire, physical examination, assessment of the number and size of SK lesions on the face with FotoFinder® and dermoscopy, and laboratory tests for 25(OH)D serum levels. Data analysis was performed to determine the correlation of serum 25 (OH) D and sun index levels with the number and size of SK lesions on the face with Pearson test if the data distribution is normal or Spearman test if the data distribution is not normal.
Result: The median 25(OH)D serum level is 10.3 (3.9-24.2) ng/mL. The median sun index value is 1.3 (0.3-16.2). 94% of SP had deficiencies and 6% experienced insufficiency of serum 25(OH)D levels. There was a significant correlation with moderate strength between 25(OH)D serum levels and sun index (p = 0.009, r = 0.367). The median number of SK lesions on the face was 28 (8-87) lesions and increased according to the increase in age groups. The median largest size of SK lesions was 3.5 (1-9.5) mm and increased according to the increase in age groups. There is no correlation between 25(OH)D serum levels and the largest number and size of SK lesions on the face (p = 0.178, r = 0.194 and p = 0.164, r = 0.2). There is a significant correlation between the sun index and the largest number and size of SK lesions on the face (p <0.001, r = 0.517 and p <0.001, r = 0.451)
Conclusion: 25(OH)D serum levels were found below normal (deficiency and insufficiency) in all subject. The results showed that the higher 25(OH)D serum levels did not cause the smaller the number and the smaller the size of KS lesions on the face. But higher sun index value correlate on the number and size of SK lesions on the face.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58691
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>