Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 118671 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sheyla Novotna
"Hubungan Tionghoa dan pribumi telah lama mengalami keretakan. Meskipun demikian, masih ada kaum Tionghoa yang berpihak pada pribumi. Keberpihakan ini tidak jarang membuat mereka justru mengkritik perilaku etnisnya sendiri. Kritik-kritik tersebut dapat dilihat dalam berbagai novel Melayu-Tionghoa, salah satunya Cerita Oey Se karya Thio Tjin Boen. Berkaitan dengan hal itu, penulis ingin memaparkan kritik dan fungsi kritik masyarakat Tionghoa terhadap etnisnya sendiri yang terdapat di dalam novel Cerita Oey Se karya Thio Tjin Boen. Selain itu, akan dipaparkan pula latar belakang keretakan hubungan pribumi dan Tionghoa. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk memaparkan kritik serta fungsi kritik terhadap kaum Tionghoa dalam Cerita Oey Se dan latar belakang keretakan hubungan pribumi dan Tionghoa. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan sosiologi sastra. Melalui penelitian ini dapat disimpulkan bahwa keretakan hubungan pribumi dan Tionghoa dilatarbelakangi oleh beberapa faktor seperti, posisi kaum Tionghoa sebagai kaum minoritas perantara dan terjadinya Perang Jawa. Selain itu, dapat dilihat pula bahwa kritik dalam novel Cerita Oey Se disampaikan melalui komentar pencerita dan berfungsi sebagai alat komunikasi untuk menunjukkan perilaku-perilaku menyimpang yang ada di masyarakat pada masa itu.

Tionghoa and pribumi relationship has long been fractured. Even so, there were still Tionghoa who sided with pribumi. This alignment often makes them criticize their own ethnic behavior. These criticisms can be seen in various Malay-Chinese novels, one of them is Cerita Oey Se by Thio Tjin Boen. Regarding to that matter, the author wishes to explain the criticism and criticism function of the Tionghoa community towards their own ethnic contained in the Cerita Oey Se novel by Thio Tjin Boen. The background of the fractures of pribumi and Tionghoa relationship will also be explained. Thus, this study aims to describe the criticism and function of criticism towards Tionghoa in the Cerita Oey Se and the background of the fracture of pribumi and Tionghoa relationship. This research uses a descriptive research method with the literature sociology approach. Through this research, it can be concluded that the fracture of pribumi and Tionghoa relationship was caused by several factors such as the position of the Tionghoa as a middleman minority and the occurrence of the Java War. It can also be seen that the criticism in the Cerita Oey Se novel is conveyed through the narrator's comments and serves as a communication tool to show deviant behavior in society at that time."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
M. Amin Rais
305.895.98 E414
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Cenny, Yang
"Summary:
Folklore and nationalism of Chinese"
Jakarta: Media Komputindo, 2013
398.2 CEN f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Musfiratun
"Tesis ini membahas tentang konsep diri pelaku konversi agama etnis Tionghoa yang merupakan anggota Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Jakarta. Identitas orang Tionghoa Indonesia mengalami pasang surut dari era kolonial hingga Orde Baru, karena asal etnis mereka, orang Tionghoa tidak dianggap sebagai penduduk asli Indonesia meskipun keberadaan mereka di negara ini sudah lama. Persepsi ini membuat orang Tionghoa mendapatkan status sebagai orang asing yang seringkali menerima diskriminasi. Hal paling dilematik yang terjadi adalah identitas diri dari mualaf Tionghoa yang berada di persimpangan di antara identitas Tionghoa dan identitas Pribumi.
Penelitian ini menggunakan teori Looking Glass Self yang dikemukakan oleh Charles H. Cooley untuk membahas mengenai identitas dan konsep diri dari pelaku konversi agama. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif, fenomena konversi agama dianalisis melalui prespektif fenomenologi subjek sehingga diharapkan mampu merekonstruksi kehidupan yang dialami oleh setiap subjek penelitian. Keempat subjek penelitian dipilih dengan cara sampling purposive dengan kriteria 1) Merupakan pelaku konversi agama Islam yang berasal dari etnis Tionghoa, 2) Merupakan anggota aktif dari organisasi PITI Jakarta yang tercatat dan mengikuti berbagai kegiatan dari PITI.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setiap subjek penelitian memiliki motifmotif personal yang melatarbelakangi proses konversi agama. Tahapan terakhir dari proses konversi agama adalah adanya perubahan konsep diri dan pembentukkan identitas baru dari keempat subjek penelitian. Perubahan konsep diri pada pelaku konversi agama etnis Tionghoa berlangsung secara bertahap seiring interaksinya dengan lingkungan. Berbagai peristiwa yang mengiringi subjek dalam proses konversi agama turut andil dalam pembentukan konsep diri.

This thesis studies about self concepts of Tionghoa religion converts in Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Jakarta. The identity of Tionghoa people experienced up and down from colonial times until the new order, because of their ethnic status, Tionghoa people never considered as Indonesia citizen although they have lived in this country for a long time. The perception makes Tionghoa people experienced discrimination. The most complicated that happen are the identitiy of Tionghoa converts is at the intersection between Tionghoa and Indonesia.
This research used looking glass self theory presented by Charles H Cooley to explain about identity and self concepts of religion converts. this thesis used qualitative approach, the phenomena analysed through phenomenology prespective which mean the subjects could reconstruct their life as what they have done. The number of subjects are four choosen by purposive sampling with criteria considered 1) Tionghoa converts to Islam 2) is an active member of PITI Jakarta.
The result of this research showed that mostly of the subjects have several personal motives that can be predisposed them to conversion. The last and important part of the conversion process typically canging self concept and forming new identity of the four subject. The canging self concepts of Tionghoa converts took place gradually, over its interaction with the environment. The various events that centered the subjects in the conversion process, interfering to formed the self concepts."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
T42674
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Musfiratun
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang konsep diri pelaku konversi agama etnis Tionghoa yang merupakan anggota Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Jakarta.
Identitas orang Tionghoa Indonesia mengalami pasang surut dari era kolonial
hingga Orde Baru, karena asal etnis mereka, orang Tionghoa tidak dianggap
sebagai penduduk asli Indonesia meskipun keberadaan mereka di negara ini sudah lama. Persepsi ini membuat orang Tionghoa mendapatkan status sebagai orang asing yang seringkali menerima diskriminasi. Hal paling dilematik yang terjadi adalah identitas diri dari mualaf Tionghoa yang berada di persimpangan di antara identitas Tionghoa dan identitas Pribumi.
Penelitian ini menggunakan teori Looking Glass Self yang dikemukakan oleh
Charles H. Cooley untuk membahas mengenai identitas dan konsep diri dari
pelaku konversi agama. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah
pendekatan kualitatif, fenomena konversi agama dianalisis melalui prespektif fenomenologi subjek sehingga diharapkan mampu merekonstruksi kehidupan yang dialami oleh setiap subjek penelitian. Keempat subjek penelitian dipilih dengan cara sampling purposive dengan kriteria 1) Merupakan pelaku konversi agama Islam yang berasal dari etnis Tionghoa, 2) Merupakan anggota aktif dari organisasi PITI Jakarta yang tercatat dan mengikuti berbagai kegiatan dari PITI.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setiap subjek penelitian memiliki motifmotif personal yang melatarbelakangi proses konversi agama. Tahapan terakhir dari proses konversi agama adalah adanya perubahan konsep diri dan pembentukkan identitas baru dari keempat subjek penelitian. Perubahan konsep diri pada pelaku konversi agama etnis Tionghoa berlangsung secara bertahap seiring interaksinya dengan lingkungan. Berbagai peristiwa yang mengiringi subjek dalam proses konversi agama turut andil dalam pembentukan konsep diri

ABSTRAK
This thesis studies about self concepts of Tionghoa religion converts in Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Jakarta. The identity of Tionghoa people experienced up and down from colonial times until the new order, because of their ethnic status, Tionghoa people never considered as Indonesia citizen although they have lived in this country for a long time. The perception makes Tionghoa people experienced discrimination. The most complicated that happen are the identitiy of Tionghoa converts is at the intersection between Tionghoa and Indonesia.
This research used looking glass self theory presented by Charles H Cooley to explain about identity and self concepts of religion converts. this thesis used qualitative approach, the phenomena analysed through phenomenology prespective which mean the subjects could reconstruct their life as what they have done. The number of subjects are four choosen by purposive sampling with criteria considered 1) Tionghoa converts to Islam 2) is an active member of PITI Jakarta.
The result of this research showed that mostly of the subjects have several
personal motives that can be predisposed them to conversion. The last and
important part of the conversion process typically canging self concept and
forming new identity of the four subject. The canging self concepts of Tionghoa converts took place gradually, over its interaction with the environment. The various events that centered the subjects in the conversion process, interfering to formed the self concepts"
2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulistiati
Jakarta: Pusat Bahasa Kementrian Pendidikan Nasional, 2010
808.831 SUL p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Hesti Armiwulan S.
"Negara Republik Indonesia sejak awal kemerdekaan sesungguhnya telah memiliki komitmen untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Hal ini dapat dipahami dari UUD Tahun 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasar pada paham kedaulatan rakyat, negara yang berdasar pada hukum serta sistem Konstitusi. Artinya berdasarkan ketiga pilar tersebut maka adanya jaminan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia adalah salah satu prinsip dari Demokrasi, Negara Hukum dan Sistem Konstitusi yang harus diwujudkan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Konsekuensinya Negara mempunyai kewajiban untuk menjamin kebebasan, kesetaraan dan prinsip non diskriminasi bagi semua orang yang harus tercermin dalam penyelenggaraan pemerintahan. Mengenai hal ini telah ditentukan dalam Pasal 28 I Ayat (4) dan Ayat (5) UUD Negara RI Tahun 1945. Namun sepanjang perjalanan kehidupan ketatanegaraan Indonesia ternyata masih ada praktik-praktik penyelenggaraan negara yang tidak mencerminkan adanya jaminan terhadap kebebasan, kesetaraan dan prinsip non diskriminasi yang merupakan esensi dari perlindungan hak asasi manusia. Salah satu contoh adalah praktik diskriminasi rasial yang tetap menjadi current issue di semua rezim pemerintahan di Indonesia, bahkan di era Reformasi yang menyatakan sebagai pemerintahan yang lebih demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia justru praktik diskriminasi rasial yang berujung pada konflik horisontal terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Persoalan diskriminasi rasial sangat potensial terjadi di Indonesia, mengingat jumlah penduduknya yang sangat banyak dengan berbagai suku bangsa, ras dan etnis (multi etnis) serta tingkat pendidikan yang relatif masih rendah. Sementara harus diakui bahwa sampai saat ini upaya yang dilakukan belum dapat menghentikan praktik-praktik diskriminasi rasial. Semboyan Bhineka Tunggal Ika dan berbagai peraturan perundang-undangan tidak cukup menjawab persoalan mengenai diskriminasi ras dan etnis. Studi tentang etnis Tionghoa yang dilakukan secara komprehensif diharapkan mampu untuk memetakan problematika diskriminasi ras dan etnis di Indonesia sekaligus membangun kesadaran bagaimanakah wujud perlindungan hukum yang tepat untuk menghentikan praktik diskriminasi rasial di Indonesia. Etnis Tionghoa adalah salah satu etnis yang secara terus menerus menyuarakan perlawanan terhadap praktik diskriminasi rasial yang dialami oleh etnis Tionghoa, namun di sisi yang lain dominasi ekonomi oleh etnis Tionghoa juga disebut sebagai sebab praktik diskriminasi rasial yang dilakukan oleh etnis Tionghoa terhadap etnis yang lain. Model pendekatan hukum hak asasi manusia dapat digunakan sebagai pisau analisis untuk menghentikan praktik diskriminasi rasial di Indonesia. Hukum hak asasi manusia menjamin kebebasan setiap orang namun disisi yang lain juga diperlukan adanya pembatasan kebebasan dengan tujuan untuk menghormati kebebasan tersebut. Hukum hak asasi manusia memuat larangan diskriminasi atas dasar apapun termasuk larangan diskriminasi rasial, namun untuk mewujudkan prinsip kesetaraan diperlukan juga langkah-langkah khusus (tindakan affirmatif) yang ditujukan untuk kelompok masyarakat tertentu. Tindakan affirmatif adalah pembedaan yang tidak boleh dinilai sebagai perbuatan diskriminatif. Selain itu untuk sampai pada penyelesaian akar masalah diskriminasi rasial maka memaknai keadilan yang diwujudkan dalam sistem hukum yang intergratif dan tersedianya mekanisme penegakan yang komprehensif adalah sebuah keharusan dalam paham konstitusionalisme.

Since the beginning the Republic of Indonesia in fact, already had commitment to respect and uphold human rights. This could be understood from Constitution of Republic Indonesia 1945 which stated that Indonesia is a country based on the understanding of sovereignty, which is based on Rule of Law and Constitution system. That is based on three pillars guarantees the recognition and protection of human rights is one of the principles of Democracy, Rule of Law and Constitution System should be realized in Constitutional law system. This brought a consequence for the State, which has obligation to guarantee freedom, equality and the principle of non-discrimination for all people that should be reflected in governance. This matter has been specified in Paragraph I of Article 28 (4) and (5) the Constitution of Republic Indonesia 1945. However, throughout as long as the experiences of Indonesia, the lack of state enforcement practices that do not reflect a guarantee of liberty, equality and non-discrimination principles which is the essence of the protection of human rights. One example is the practice of racial discrimination that remains as current issue in all regimes of governance in Indonesia, even in reformation era that states as a more democratic government and respect for human rights is precisely the practice of racial discrimination that leads to horizontal conflicts occur in various areas Indonesia. The issue of potential racial discrimination occurred in Indonesia, considered the vast amount of people from different ethnic, racial and ethnic groups (multi-ethnic) and educational level is still relatively low. While it must be admitted that so far, the efforts have not been able to end the practice of racial discrimination. The motto Unity in Diversity and the various laws and regulations do not adequately addressed the question of racial and ethnic discrimination. The study of ethnic Chinese that has been done, hopefully will be able to comprehensively map the problem of racial and ethnic discrimination in Indonesia as well as build awareness on how to form the legal protection to end the practice of racial discrimination in Indonesia. Ethnic Chinese is one of the ethnic that continually active engaged in opposition to practice of racial discrimination faced by ethnic Chinese, but on the other hand by the Chinese economic dominance also mentioned as the reason for the practice of racial discrimination committed by the Chinese against other ethnic groups. Model approach to human rights law can be used as an analytical knife to stop the practice of racial discrimination in Indonesia. Human rights law guarantees freedom of every person, but on the other also required the restriction of freedom in order to respect these freedoms. Human rights law includes the prohibition of discrimination on any ground, including the prohibition of racial discrimination, but to embody the principle of equality is also required special measures (affirmative action) aimed at specific communities. Affirmative action is a distinction that should not be considered as discriminatory acts. In addition to the completion of the root of the problem of racial discrimination, therefore to make sense of justice embodied in the legal system integrative and the availability of a comprehensive enforcement mechanism is a necessity in understanding of constitutionalism.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eri Buntoro
"Pan-Islamisme yang dikembangkan Ottoman menimbulkan reaksi dari negara-negara Eropa yang mengkhawatirkan pengaruh paham tersebut terhadap tanah jajahan mereka yang banyak dihuni oleh kaum muslim. Reaksi serupa juga datang dari Belanda yang memilki koloni dengan populasi mayoritas muslim. Bahkan, Belanda melalui penasihat kolonialnya, Christiaan Snouck Hurgronje menganggap pan-Islamisme sebagai ancaman terhadap Hindia-Belanda. Keahliannya dalam ilmu keislaman membuat Snouck yakin bawa pan-Islamisme sebagai ideologi modern mendapat pijakan kuat dari hukum dan sejarah Islam itu sendiri yang dinilainya sarat ajaran kekerasan. Oleh karenanya, Snouck mencemaskan daya tarik keagamaan yang terdapat dalam ideologi tersebut yang berpotensi membangkitkan semangat anti-Belanda bila berhasil memperoleh pengikut dari kaum muslim Indonesia. Snouck mengamati adanya tiga elemen yang dapat mempercepat penerimaan umat Islam Indonesia terhadap pan-Islamisme, yaitu konsulat-jenderal Ottoman di Batavia, minoritas Arab Hadrami, dan pars Timur-Tengah. Meskipun ketiga elemen ini tidak terstruktur dalam suatu organisasi namun Snouck melihatnya berjalin berkelindan dalam usaha-usaha menyudutkan Belanda sebagai musuh nomor satu umat Islam. Akibatnya, menurut Snouck, usaha-usaha tersebut kerap kali menyeret Belanda dalam kesulitan-kesulitan seperti ketegangan hubungan dplomatik dengan Ottoman, penolakan warga Hadrami terhadap sistem kolonial, dan pencitraan buruk dunia Islam terhadap Belanda. Dalam menghadapi ancaman pan-Islamisme di atas, Snouck merekomendasikan Belanda untuk menutup konsulat jenderal Ottoman di Batavia, menghentikan arus imigrasi orang Hadrami ke Hindia-Belanda, tindakan diplomatik yang tegas terhadap Ottoman agar tidak mencampuri urusan domestik Hindia-Belanda dan melarang sirkulasi terbitan yang berhaluan pan-Islam ke Hindia-Belanda."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2007
S12358
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Megah Ria
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
S5225
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Chandra Linsa Hikmawati
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas mengenai pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa dalam Tragedi Mei 1998 di Jakarta. Beberapa studi yang membahas kekerasan terhadap masyarakat Tionghoa dalam Tragedi Mei 1998 di Jakarta sedikit yang menaruh perhatian pada kekerasan terhadap perempuan Tionghoa (misalnya Purdey 2013; Siegel 1998; dan TadiƩ 2009). Beberapa penulis yang mencoba memberikan perhatian seperti Heryanto (2000) dan Wichelen (2000) masih melihat masalah itu dari satu aspek bahasan seperti kekerasan negara dan gender. Dengan menggunakan metode kualitatif yaitu dengan pemeriksaan dokumen yang relevan dan studi literatur, penelitian ini berargumen bahwa pemerkosaan terhadap perempuan Tionghoa merupakan peristiwa yang kompleks dan perlu dilihat dengan penjelasan yang lebih dalam. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan peristiwa tersebut dengan konsep opresi atau kekerasan berlapis dengan menggunakan konsep kekerasan struktural, interseksionalitas, ideologi gender negara, dan pemerkosaan massal. Opresi berlapis terhadap masyarakat Tionghoa melihat bahwa posisi mereka yang kuat secara ekonomi namun lemah secara sosial-politik telah membangun akar sentimen masyarakat pribumi terhadap masyarakat Tionghoa. Situasi tersebut semakin rumit dengan adanya ideologi gender negara serta budaya patriarki masyarakat dalam memandang perempuan (konstruksi sosial keperempuanan sebagai simbol kehormatan dan objektifikasi dari tubuh perempuan)."
Jakarta: Departemen Ilmu Politik FISIP UI, 2017
320 JURPOL 2:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>