Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 84540 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Indra Maharddhika Pambudy
"Latar Belakang: Uveitis anterior akut terkait HLA B27 adalah inflamasi kronik rekuren traktus uvea terutama pada bilik mata depan. Mekanisme yang mendasarinya melibatkan autoimunitas dan autoinflamasi. Antigen sering kali diduga sebagai pencetus uveitis akan tetapi mekanisme yang mendasarinya masih belum jelas. Seorang pasien dengan uveitis akut pasca injeksi Botulinum Toxin memberikan kita kesempatan untuk mempelajari peran stimulus antigen dalam mencetuskan uveitis.
Tujuan: Secara sistematik mengkaji respon imunologi dari individu dengan HLA-B27 yang
distimulasi berbagai antigen untuk menegakkan peran jaras respon imun innate dan adaptif
dalam mencetuskan uveitis, dan menegakkan peranan BoNT/A dalam jaras tersebut.
Metode: Ini merupakan systematic review, yang mengkaji bukti-bukti keterlibatan antigen,
termasuk BoNT/A dalam mencetuskan spektrum penyakit HLA B27. Kami mencari bukti dari
empat database yaitu Pubmed, Ebscohost, Sciencedirect, dan Google Scholar. Kami juga
mengkaji respon imunologi terhadap BoNT/A , sekuens asam amoinonya dan homologi dengan
protein manusia.
Hasil: Sembilan penelitian diikutkan dalam systematic review ini. Lima penelitian
menitikberatkan peran jaras autoinflamasi yang melibatkan pembentukan homodimer B27 dan
interaksinya dengan TH-17. Empat penelitian menitik beratkan jaras autoimunitas yang
melibatkan molecular mimicry dan aktivasi dari sel-T CD8+ autoreaktif. Seluruh bukti
mengarahkan peran sentral dari sel dendritic sebagai antigen presenting cells. Lima penelitian menjabarkan respon imun terhadap BoNT/A. BoNT/A mampu mengaktivasi sistem imun
adaptif dan innate. Menggunakan program BLAST dari NCBI, kami menemukan homology BoNT/A dengan cytokeratin 8
Kesimpulan: Dua jaras terlibat dalam mencetuskan uveitis terkait HLA B27. Jaras pertama melalui kemampuan antigen sebagai antigen uveitogenik. Mekanisme kedua melalui formasi homodimer. BoNT/A dapat menginduksi uveitis pada individu dengan HLA B27 melalui
pembentukan homodimer dan aktivasi CD8+ self-reaktif karena homologi BoNT/A dengan sitokeratin 8 yang diekspresikan di jaringan uvea manusia.

Background: HLA B27 related acute anterior uveitis is a chronic recurrent inflammation of uvea mainly in anterior chamber. The underlying mechanism seems to involves autoimmunity and autoinflammatory. Antigen has been proposed as a trigger, but its precise role is unclear. A patient presenting to us with uveitis after Botox injection provides us opportunity the role of antigenic stimuli in triggering uveitis.
Aim: Systematically review the immunology response, from HLA-B27 individual that is
stimulated with various antigen to explain the innate and adaptive immune response triggering
uveitis, and possibility of botulinum neurotoxin A (BoNT/A) involvement in this pathway.
Methods: We systematically searched evidence for the involvement of antigen, including
BoNT/A in triggering HLA-B27 associated disease. We searched four data base including
Pubmed, Ebscohost, Sciencedirect, and Google Scholar. We also review the immunologic
response to BoNT/A, its amino acid sequence, and homology with human protein
Results: Nine studies reviewed which include the role of antigen in triggering uveitis. Four
studies favour autoinflammatory pathway which involves B27 homodimer formation and its
interaction with TH-17. Four studies favour autoimmunity pathway which involves molecular
mimicry and activation of self reactive CD8+ T-Cells. All of which centralize the role of
dendritic cells as antigen presenting cells. Five studies describe immune response to BoNT/A. BoNT/A capable of activating innate and immune system. Using BLAST program from NCBI,
we found BoNT/A homology with cytokeratine 8.
Conclusion: Two possible pathway on how antigen might trigger HLA B27 AAU. The first is
through uveitogenic capacity of the antigen. The second mechanism is through homodimer
formation. BoNT/A might induce uveitis in HLA B27 individual through induction of
homodimer and activation of self-reactive CD8+ T-Cells due to shared homology with
cytokeratine 8 that is extensively expressed in human uvea
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tamara Amelia Arafah
"ABSTRAK

Penelitian senyawa baru sebagai penghambat DPP-IV untuk agen antidiabetes banyak dilakukan, seperti senyawa turunan asam sinamat. Namun afinitas ikatan senyawa tersebut belum optimal. Pemodifikasian struktur dengan metode in silico berbasis fragmen diperlukan untuk memperbaiki hal tersebut. Tujuan penelitian ini, untuk mendapatkan senyawa baru sebagai penghambat DPP-IV dengan pemodifikasian menggunakan fragmen dan senyawa alternatif yang berpotensi sebagai penghambat DPP-IV berdasarkan kemiripan dengan senyawa hasil modifikasi; menganalisis interaksinya pada makromolekul DPP-IV; memprediksi ADME, toksisitas dan kemudahan sintesis senyawa modifikasi dan senyawa kemiripannya berdasarkan nilai energi ikatan dan konstanta inhibisi. Struktur modifikasi berasal dari fragmentasi  senyawa turunan asam sinamat dan fragmen basis data Zinc yang terlebih dahulu ditapiskan terhadap parameter Rule of Three dan Heavy Atom menggunakan program Knime serta penambatan pada masing-masing situs aktif DPP-IV. Hasil modifikasi ditambatkan ulang dengan program PyRx dan dianalisis lebih lanjut berdasarkan ADME, toksisitas, dan interaksi menggunakan SwissADME dan ProTox-II. Struktur rancangan dicari kemiripannya dengan senyawa-senyawa pada basis data PubChem berdasarkan Tanimoto. Hasil modifikasi diperoleh 133 struktur rancangan. Tiga belas struktur memiliki nilai afinitas yang mendekati penghambat DPP-IV. Berdasarkan hasil penambatan dan analisis, struktur38 serta senyawa 15471581 diprediksikan berpotensi sebagai penghambat DPP-IV


ABSTRACT


Research on new compounds as DPP-IV inhibitors for antidiabetic agent have been carried out, such as cinnamic acid derivates. However, their binding affinity have not optimum. Structure modification using in silico fragment-based method is needed to fix it. The aims of this research are to obtain new compound as DPP-IV inhibitor with modification using fragment  and alternative compound that potential as DPP-IV inhibitor based on similarity with the modified compounds; and analyze their interaction in DPP-IV; predict ADME, toxicity, and ease of synthesis based on binding affinity and inhibition constant. Modified structures come from the fragmentation of structure from cinnamic acid derivates and fragments from Zinc database which previously screened against Rule of Three and Heavy Atom using Knime and docked in each DPP-IV active site. The results are docked again with PyRx and analyzed further based on ADME, toxicity, and interactions using SwissADME and ProTox-II. The structures are searched for similarities with compounds in PubChem database based on Tanimoto parameters. The modification result obtained by 133 design structure. Thirteen structures have binding affinity that approach DPP-IV inhibitor. Based on docking and analyze result, structure38 and 15471581 compound are predicted to be potential as DPP-IV inhibitor.

"
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chailan
"Ruang lingkup dan cara penelitian: Filariasis lirnfatik pada manusia merupakan penyakit infeksi kronis sistem limfatik yang disebabkan parasit nematoda W. bancrofti, B. malayi dan B. tumori yang hidup dalam peredaran darah dan limfe. Diagnosis filariasis masih bergantung pada pemeriksaan mikroskopik sediaan darah yang diainbil inalam Bari. Tcknik ini spesifik dan rnerupakan gold standard untuk pemeriksaan filariasis, tetapi kurang sensitif. Pada filariasis bankrofti, kendala tersebut telah dapat diatasi dengan teknik deteksi antigen, namun pada filariasis malayi yang menjadi penyebab utama morbiditas filariasis di Indonesia belum berhasil. Upaya memperbaiki diagnosis filariasis malayi difokuskan pada deteksi isotipe IgG4-antifilaria menggunakan antigen rekombinan. Dalam penelitian ini diukur respons IgG4 serum filariasis malayi terhadap antigen rekombinan Bm-SPN-2 dan antigen kasar BrnA; perubahan repons IgG4-antifilaria setelah pengobatan; Berta sensitivitas dan spesifisitas tes F.1,ISA antigen tersebut. Sebagai pembanding digunakan gold standard diagnosis filariasis yakni, deteksi mikroftlaria secara mikroskopik.
Hasil dan keslmpulan : Hasil memperlihatkan pada B. malayi, antigen rekombinan Bm-SPN-2 dan antigen BmA masing masing mampu mendeteksi 98.0% dan 94% kelompok mikrofilaremik. Tempi pads kelompok normal endemik ads perbeaaan yang nyata (p<0.01) dari respons IgG4 terhadap antigen BmA dibandingkan terhadap antigen rekombinan Bm-SPN-2. Sebanyak 85% memberikan respons positif terhadap antigen BmA dan hanya 45% positif terhadap antigen Bm-SPN-2. Didapat pcrbcdaan yang amat nyata (p <0.001) dad respons IgG4 terhadap kodua antigen pada serum mikrofilaremik filariasis bankrofti. 91% memberi respons positif terhadap antigen BmA dan hanya 9% positif terhadap antigen BmSPN 2. Pengobatan DEC pada penderita mikrofilaremik memperlihatkan penurunan respons IgG4 terhadap antigen rekombinan Bm-SPN-2 dan BmA messing-messing 55% dan 46%. Sensitivitas dan spesifisitas tes-ELISA Bm-SPN-2 juga lebih balk daripada tes-FIJSA BmA. Kesimpulan : antigen rekombinan RmSPN-2 lebih balk daripada antigen DmA. Tea ELISA BmSPN 2 memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada tes ELISA BmA dlam mendeteksi infeksi aktiffilariasis malayi."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Anggraeni
"Penularan Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) yang mudah membuat perkembangan penyakit tersebut sangat cepat di Indonesia bahkan di seluruh dunia. Penelusuran riwayat kontak dan metode deteksi cepat dapat digunakan untuk mencegah dan mengendalikan penularan COVID-19. Rapid Test antibodi merupakan metode deteksi cepat yang banyak digunakan, namun akurasi Rapid Test antibodi tidak 100%. Parameter hematologi berupa Rasio Neutrofil Limfosit (RNL) diketahui dapat memberi gambaran terkit inflamasi sistemik di awal infeksi. Telah dilakukan penelitian mengenai gambaran RNL pada pasien suspek COVID-19 dengan hasil Rapid Test antibodi nonreaktif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi gambaran rasio RNL dalam upaya mengidentifikasi peran RNL pada populasi suspek dengan hasil Rapid Test antibodi nonreaktif. Data yang digunakan pada penelitian ini merupakan hasil pemeriksaan darah mahasiswa dan karyawan yang tinggal di Asrama UI. Sebanyak 70 sampel darah dikumpulkan, kemudian diberlakukan Rapid Test antibodi dan pemeriksaan hematologi lengkap menggunakan hematology Analyzer untuk mendapatkan nilai RNL. Seluruh hasil Rapid Test antibodi yang dilakukan menunjukkan hasil nonreaktif. Hasil dari pemeriksaan hematologi lengkap menunjukkan 65 subjek penelitian memiliki nilai RNL di dalam kisaran normal (1,88 ± 0,57) dan 5 subjek penelitian memiliki nilai RNL lebih tinggi dari nilai normal (4,2 ± 1,31). Hasil penelitian ini mengindikasi bahwa Rapid Test antibodi yang dilakukan pada pasien suspek menghasilkan persentase true nonreactive sebesar 92,8% dan false nonreactive sebesar 7,14%. Dari hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa RNL potensial untuk membantu melengkapi dan menerangkan hasil nonreaktif dari Rapid Test antibodi.

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) is a highly contagious disease which makes it easier to spread around the nation, even the world. Contact tracing and rapid detection methods for COVID-19 is the schemes to prevent and control the spread. Rapid antibody test is one of the rapid detection methods, but the accuracy is under 100%. Hematology parameter such as Neutrophil Lymphocyte Ratio (NLR) is one of the easy and rapid way to fit up the accuracy of rapid antibody test, since NLR is able to picture the systemic inflammation of early infection. The study regarding representation of NLR on COVID-19 suspect patients with nonreactive result of Rapid Antibody Test is conducted. The aim of the study is to evaluate the NLR ratio in order to identificate role of NLR on suspect populations with nonreactive result of Rapid Antibody Test. This study is using medical record data from student and employees who stayed at Asrama UI. As much as 70 blood samples were collected and proceeded to do the Rapid Antibody Test and complete blood count using hematology analyzer to determine NLR. All samples showed nonreactive results to Rapid Antibody Test. The complete blood count showed that 65 objects had NLR value in the normal range (1,88 ± 0,57) and 5 objects had NLR value higher than normal range (4,2 ± 1,31). The results of this study indicate that the Rapid Antibody Test performed resulted in the percentage of true nonreactive of 92.8% and false nonreactive of 7.14%. To be concluded, NLR was potential as a supporting data to complete and describe the nonreactive result of Rapid Antibody Test."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jasmine Arini Putri
"Latar belakang: Adenokarsinoma prostat adalah keganasan tersering kedua yang dialami pria di Indonesia. Skor Gleason digunakan untuk mengklasifikasi tingkat diferensiasi dari tumor sedangkan menghitung kadar PSA digunakan sebagai salah satu cara untuk mendiagnosis kanker prostat.
Tujuan: Riset ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara skor Gleason dengan kadar PSA pada pasien adenokarsinoma prostat di departemen Patologi Anatomik RSCM.
Metode Penelitian: Data dikumpulkan dari 77 sampel yang didapat dari form pemeriksaan hasil diagnosis pasien adenokarsinoma prostat tahun 2011 sampai 2014 di arsip Department Patologi Anatomik RSCM. Data diolah menggunakan analisis uji korelasi Kendall Tau-b di program SPSS 20.
Hasil: Sebagian besar pasien datang dengan skor Gleason yang sudah tinggi skor Gleason >7. Nilai PSA terkecil yang didapat dari arsip departemen Patologi Anatomik sebesar 2,73 ng/ml, nilai tertinggi mencapai 7100 ng/ml. Nilai rata-rata PSA meningkat dengan meningkatnya skor Gleason. Rata-rata nilai PSA dari skor Gleason 6, 7, 8, 9, dan 10 adalah 46,641 ng/ml, 63,935 ng/ml, 231,762 ng/ml, 542,146 ng/ml, and 1044,348 ng/ml p = 0,003, r = 0,254.
Kesimpulan: Terdapat korelasi yang lemah antara skor Gleason dengan nilai PSA pada pasien adenokarsinoma prostat di Department Patologi Anatomik RSCM. Nilai PSA meningkat seiring meningkatnya skor Gleason.

Background: Prostatic adenocarcinoma is the second most frequent malignancies occur in men in Indonesia. Gleason score is used to classify the grading of the tumor and PSA is used as one of diagnostic tools for prostate cancer.
Aim: To identify the correlation between Gleason score and PSA level in patients with prostate adenocarcinoma at Department of Anatomical Pathology Cipto Mangunkusumo Hospital. Method The data was obtained from 77 samples taken from request forms from patients with prostatic adenocarcinoma from 2011 to 2014 in the archive of Department of Anatomical Pathology and analyzed using Kendall Tau b rsquo s Rank Correlation in SPSS 20.
Result: Most patient came with high Gleason Score Gleason score 7 . The minimum PSA level obtained from the arcieve in Department of Anatomical Pathology is 2.73 ng ml and the highest value reached up to 7100 ng ml. The average PSA level increased with the Gleason score. Gleason score 6, 7, 8, 9, and 10 has the average PSA level of 46.641 ng ml, 63.935 ng ml, 231.762 ng ml, 542.146 ng ml, and 1044.348 ng ml respectively p 0.003, r 0.254.
Conclusion: There is statistically weak significant correlation between Gleason score and PSA level in patients with prostatic adenocarcinoma in Department of Anatomical Pathology Cipto Mangunkusumo Hospital. PSA increased as the Gleason score increase.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rinka Citra Awinda
"Di awal pandemi, anak-anak dikategorikan sebagai kelompok sulit terpapar virus COVID-19. Namun pendapat ini terbantahkan dengan kasus COVID-19 di Indonesia pada anak cukup tinggi. Kurangnya kesadaran orang tua bahwa pencegahan COVID-19 pada anak penting, terutama anak berkebutuhan khusus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran perilaku pencegahan penularan COVID-19 pada anak berkebutuhan khusus di Al-Fatih Center Jakarta Timur tahun 2021. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan rancangan penelitian studi kasus. Penelitian ini menggunakan metode wawancara mendalam kepada informan kunci serta informan utama dengan pemilihan informan menggunakan cara purposive sampling. Teori yang digunakan adalah teori domain perilaku menurut B.Bloom yang membagi perilaku menjadi pengetahuan, sikap, dan praktik/tindakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan informan utama sudah cukup baik, berada di tingkatan aplikasi (application), sikap informan utama sudah baik, berada di tingkatan penghargaan (valuing) dan organisasi (organizing), serta tindakan informan utama sudah cukup baik, berada di tingkatan respons yang diarahkan (guide respons) dan mekanisme (mechanism). Perlu peningkatan pada praktik mencuci tangan, namun untuk praktik memakai masker, aktivitas bepergian keluar rumah, dan langkah yang telah dilakukan untuk mencegah COVID-19 termasuk asupan makanan yang bergizi sudah dilakukan dengan baik. Secara keseluruhan perilaku pencegahan COVID-19 yang dilakukan informan utama sudah cukup baik.

At the beginning of the pandemic, children were categorized as a group difficult to be exposed to the COVID-19. However, this opinion is refuted by the high number of cases of COVID-19 in Indonesia in children. Lack of awareness of parents that prevention of COVID-19 in children is important, especially children with special needs. This study aims to describe the behavior of preventing transmission of COVID-19 in children with special needs at the Al-Fatih Center, East Jakarta in 2021. This study uses a qualitative method with a case study research design. This study used in-depth interviews with key informants and key informants with the selection of informants using purposive sampling. The theory used is the behavioral domain theory according to B. Bloom which divides behavior into knowledge, attitudes, and practices/actions. The results showed that the main informant's knowledge was quite good, at the application level, the main informant's attitude was good, at the valuing and organizational level, and the main informant's actions were quite good, at the response level. directed (response guide) and mechanism (mechanism). There is a need for improvement in the practice of washing hands, but for the practice of wearing masks, for traveling outside the house, and the steps that have been taken to prevent COVID-19 including the intake of nutritious food have been carried out properly. Overall, the COVID-19 prevention behavior carried out by key informants was quite good."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifka Fadhilah
"Aspergilosis paru merupakan infeksi oportunistik yang disebabkan oleh jamur Aspergillus spp. Insidensi aspergilosis paru cenderung semakin meningkat seiring dengan peningkatan penggunaan obat-obatan imunosupresan seperti kortikosteroid dan terapi sitotoksik. Sulitnya penegakan diagnosis aspergilosis paru menjadi tantangan disebabkan tanda dan gejala klinis yang tidak spesifik serta biopsi jaringan sebagai baku emas yang bersifat invasif. Pemeriksaan kultur sputum dan deteksi antibodi merupakan pemeriksaan yang rutin dilakukan pada pasien suspek aspergilosis paru yang dikirim ke Laboratorium Mikologi Departemen Parasitologi FKUI, namun belum tersedia data mengenai nilai diagnostik deteksi antibodi dalam mendiagnosis aspergilosis paru.
Tujuan penelitian ini adalah membandingkan pemeriksaan deteksi antibodi dengan crude antigen Aspergillus dengan metode imunodifusi dengan kultur sputum sebagai tes rujukan. Penelitian berdesain potong lintang dengan sampel berjumlah 689 rekam medis dari pasien suspek aspergilosis paru yang melakukan pemeriksaan kultur sputum dan deteksi antibodi di Laboratorium Mikologi Departemen Parasitologi FKUI tahun 2008-2015. Dari analisis deskriptif didapatkan prevalensi aspergilosis paru berdasarkan hasil positif kultur sebesar 0,4. Dari uji diagnostik deteksi antibodi dengan tabel 2x2, nilai sensitivitas 33,33 dan spesifisitas 95,62 serta terdapatnya perbedaan yang bermakna.

Pulmonary aspergillosis is an opportunistic infection caused by Aspergillus spp mold. The incidence of this infection has dramatically increased which is related to the increasing utilization of immunosuppressive drugs such as corticosteroids and cytotoxic therapy. Diagnosis of pulmonary aspergillosis has been challenging since not only the signs and symptoms of the disease are nonspecific, but also tissue biopsy as gold standard is considered invasive. Sputum culture and antibody detection has been routine examinations done to the patient with suspected pulmonary aspergillosis sent to the Mycology Laboratory of Department of Parasitology FMUI, but the diagnostic value of antibody detection is not available.
The aim of this study is to compare antibody detection with immunodiffusion method using crude antigen of Aspergillus with sputum culture as reference test. This cross sectional study used 689 samples obtained from medical records of patients with suspected pulmonary aspergillosis who undergo both sputum culture examination and antibody detection in Mycology Laboratory of Department of Parasitology FMUI in 2008 2015. Descriptive analysis showed the prevalence of pulmonary aspergillosis based on positive culture result is 0,4. The sensitivity and specificity of antibody detection are 33,33 and 95,62 respectively, resulted from diagnostic test using 2x2 table. Statistical analysis using McNemar rsquo. test shows significant difference between mentioned examinations and low level of agreement Kappa 0,026.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55737
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Andrianto Lesmana
"Latar Belakang. SARS-CoV-2 sebagai penyebab COVID-19 pertama kali terdeteksi pada sampel klaster pasien di Provinsi Hubei, China pada Desember 2019. Pada mulanya klaster pasien tersebut memiliki gejala seperti demam, batuk, sesak nafas, dan gejala lainnya yang tidak spesifik. Alat uji Rapid Antigen Test (RAT) dapat dijadikan alternatif untuk diagnosis klinis COVID-19. Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan rekomendasi mengenai alternatif spesimen dan metode deteksi SARS-CoV-2. Metode. Desain penelitian ini merupakan uji diagnostik studi potong lintang dengan pengumpulan spesimen secara consecutive sampling. Subjek penelitian yaitu pasien yang memiliki kontak dengan kasus infeksi SARS-CoV-2 yang terkonfirmasi dengan atau tanpa gejala klinis COVID-19 di Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) dan Laboratorium Mikrobiologi Klinik (LMK) FKUI dengan jumlah sampel 221. Analisis data dengan tabulasi silang dan perhitungan sensitivitas, spesifisitas, PPV, dan NPV. Hasil. Deteksi antigen menggunakan spesimen nasal memiliki nilai sensitivitas 32,35%, spesifisitas 99,35%, PPV 95,65%, NPV 76,77%, akurasi 78,73%. Tingkat positifitas pada spesimen nasofaring 34,84%, spesimen orofaring 30,32%, dan nasal 30,77%. Kesimpulan. Hasil uji rRT-PCR pada beberapa jenis spesimen menunjukkan bahwa spesimen nasal dan orofaring dapat dijadikan pilihan selain spesimen nasofaring. Penggunaan kit deteksi antigen dapat dilakukan untuk pelacakan kontak COVID-19 atau untuk diagnosis, terutama untuk daerah yang memiliki keterbatasan akses diagnosis menggunakan rRT-PCR.

Introduction. The SARS-CoV-2 as the cause of COVID-19 was first detected in a cluster sample of patients in Hubei Province, China in December 2019. The first patient had symptoms such as fever, cough, shortness of breath, and other non-specific symptoms. Rapid Antigen Test can be used as an alternative for diagnosis of COVID-19. Aim. This study aims to obtain recommendations alternative specimens and detection methods for SARS-CoV-2. Method. The design of this study is a cross-sectional diagnostic test with consecutive sampling. The research subjects were patients who had contact with confirmed cases of SARS-CoV-2 infection with or without clinical symptoms of COVID-19 at Health Service Facilities (Fasyankes) and Laboratorium Mikrobiologi Klinik (LMK) FKUI with a total sample of 221. Data analysis using cross tabulation to calculate the sensitivity, specificity, PPV, and NPV. Results. The positivity rate for nasopharyngeal specimens was 34.84%, oropharyngeal specimens 30.32%, and nasal specimens 30.77%. Antigen detection using nasal specimens has sensitivity 32.35%, specificity 99.35%, PPV 95.65%, NPV 76.77%, accuracy 78.73%. Conclusion. The results of the rRT-PCR test on several types of specimens indicate that nasal and oropharynx specimens can be used as an alternative to nasopharyngeal specimens. The use of antigen detection kits can be carried out for COVID-19 contact tracing or for diagnosis, especially for areas that have limited access to diagnosis using rRT-PCR."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan Wahyudi
"Tujuan: Mencari nilai ambang (cut-off value) rasio kadar prostate-specific antigen (PSA) terhadap volume zone transisional prostat (PSA-ZT) yang optimal dalam mendeteksi karsinoma prostat serta membandingkan sensitivitas dan spesifisitas PSA-ZT dan prostate-specific antigen density (PSAD) dalam mendeteksi karsinoma prostat. Metode: Studi cross sectional dengan subjek pasien yang dirujuk ke unit USG prostat, subbagian Urologi, RS Hasan Sadikin, Bandung, untuk deteksi karsinoma prostat atau persiapan operasi prostat, dengan nilai PSA> 4 ng/ ml dan menjalani pemeriksaan USG prostat transrektal menggunakan probe biplanar 7,5 MHz. Konfirmasi kelainan patologi prostat berdasarkan hasil biopsi atau operasi (TUR prostat atau prostatektomi terbuka). Hasil: Didapatkan 223 subjek yang memenuhi kriteria, 39 pasien dengan karsinoma prostat dan 184 pasien tanpa karsinoma prostat. Nilai median dan rentang PSA-ZT pada pasien dengan karsinoma prostat dan tanpa karsinoma prostat masing-masing 1,999 (0,150-56,170) dan 0,353 (0,009-6,290) Berdasarkan analisis dengan kurva receiver operating characteristic (ROC), didapatkan nilai ambang yang optimal untuk PSA-ZT adalah 0,40 dengan sensitivitas 88,5% dan spesifisitas 57,8%, lebih baik dibandingkan PSAD (menggunakan nilai ambang 0,25), yaitu 88,5% dan 53,1%. Nilai prediksi positif PZA-ZT juga lebih tinggi dibandingkan PSAD (77,78% dibandingkan 71,31%). Kesimpulan: Rasio kadar PSA terhadap volume zone transisional prostat (PSA ZT) mempunyai nilai spesifisitas dan nilai prediksi positif yang sedikit lebih baik dibandingkan PSAD. PSA-ZT berpotensi digunakan dalam mendeteksi karsinoma prostat."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T58450
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mia Rachmawati Kamal
"Latar belakang: Uveitis merupakan sekelompok penyakit yang ditandai dengan adanya inflamasi intraokular. Derajat inflamasi bilik mata depan yang dinilai secara semi-kuantitatif berdasarkan penghitungan sel dan flare, digunakan untuk menentukan keparahan penyakit, efektivitas terapi serta pemantauan jangka panjang pada uveitis anterior dan panuveitis.
Tujuan: Menilai validitas dan reliabilitas optical coherence tomography (OCT) segmen anterior dalam mengukur inflamasi bilik mata depan secara kuantitatif sebagai metode alternatif dari standar baku pengukuran semi-kuantitatif, Kriteria SUN.
Metode: Studi ini adalah studi potong lintang, prospektif. Penghitungan jumlah sel menggunakan optical coherence tomography dengan bantuan ImageJ dilakukan oleh dua penilai yang berbeda. Hasil: Sebanyak 30 mata yang berasal dari 24 pasien diikutkan dalam penelitian. Sebanyak 80% pasien menderita panuveitis dengan tuberkulosis sebagai etiologi tersering (50%). Uji kesesuaian Cohen’s kappa pada protokol multiple line scans didapatkan nilai 0,352 (p=0,000) sedangkan protokol single line scan didapatkan nilai -0,218 (p=0,032). Uji korelasi Gamma protokol multiple line scans didapatkan nilai rho=0,595 (p=0,002) sedangkan protokol single line scan didapatkan nilai rho=-0,210 (p=0,313). Nilai inter-rater protokol multiple line scans menunjukkan hasil sangat baik sedangkan protokol single line scan baik (0,986 dan 0,892, p<0,001).
Kesimpulan: OCT segmen anterior menghasilkan data kuantitatif sel inflamasi pada bilik mata depan. Jumlah sel bilik mata depan yang dihitung menggunakan OCT segmen anterior protokol multiple line scans menunjukkan korelasi sedang dan kesesuaian minimal dengan Kriteria SUN.

Background: Uveitis is a group of diseases characterised by intraocular inflammation. The evaluation of anterior chamber inflammation, conducted through a semi-quantitative assessment involving cell counts and flares, plays a pivotal role in determining disease severity, assessing therapeutic effectiveness, and facilitating long-term monitoring in anterior uveitis and panuveitis cases.
Purpose: To evaluate the validity and reliability of anterior segment optical coherence tomography (AS-OCT) as a quantitative measurement tool for assessing anterior chamber inflammation. The objective is to explore its potential as an alternative method to the standard semi-quantitative measurement defined by the SUN Criteria.
Methods: A prospective, cross-sectional study was conducted for this purpose. The anterior chamber cell numbers were quantified using anterior segment optical coherence tomography, assisted by ImageJ, and assessed independently by two raters.
Result: The study included a total of 30 eyes from 24 patients. Panuveitis was observed in 80% of the patients, with tuberculosis identified as the predominant etiology (50%). The Cohen’s kappa test, conducted on the multiple-line scan protocol, yielded a value of 0.352 (p=0.000), while the single-line scan protocol showed a value of -0.218 (p=0.032). The Gamma correlation test for the multiple-line scan protocol demonstrated a value of rho=0.595 (p=0.002), whereas the single-line scan protocol had a value of rho=-0.210 (p=0.313). Inter-rater values for the multiple-line scan protocol indicated excellent agreement (0,986, p<0.001), while the single-line scan protocol showed good agreement (0.892, p<0.001).
Conclusion: OCT yielded quantitative data on anterior chamber inflammatory cells. Quantifying anterior chamber cells through the multiple line scan protocols of anterior segment OCT showed a moderate correlation and minimal agreement with the SUN Criteria.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>