Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 115537 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Vincent Kharisma Wangsaputra
"Karsinoma hepatoseluler merupakan penyebab utama keempatkematian akibat kanker di dunia pada tahun 2018. Namun, kebanyakan pasien baru didiagnosis pada stadium lanjut. Satu-satunya kemoterapi oral untuk karsinoma hepatoseluler stadium lanjut adalah sorafenib, suatu inhibitor multikinase. Salah satu mekanisme yang berkontribusi terhadap resistensi sorafenib adalah modulasi transporter obat. Studi melaporkan efek kemosensitisasi dari alfa-mangostin, suatu xanton yang diekstrak dari Garcinia mangostana Linn., yang memungkinkan penggunaannya sebagai terapi adjuvan. Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh alfamangostin terhadap ekspresi mRNA transporter obat pada galur sel HepG2 yang tahan terhadap sorafenib. Sel HepG2 pada awalnya dilakukan pemberian sorafenib 10 μM. Sel yang tahan sorafenib tersebut kemudian dibagi menjadi empat kelompok perlakuan, yaitu dengan DMSO, sorafenib (SOR) 10 μM, alfa-mangostin (AM) 20 μM, dan kombinasi SOR 10 μM-AM 20 μM. Ekspresi mRNA dari transporter obat ABCB1 (P-gp), ABCG2, MRP2, MRP3, OCT1, dan OATP1B3 diperiksa dengan qRT-PCR setelah isolasi RNA dan sintesis cDNA yang dilakukan sebelumnya. Penurunan ekspresi mRNA transporter P-gp diamati pada kelompok SOR+SOR dibandingkan dengan kelompok SOR+DMSO. Sebaliknya, transporter efluks lainnya menunjukkan ekspresi yang lebih tinggi pada kelompok SOR+SOR. Menariknya, dua kelompok yang ditambahkan perlakuan alfa-mangostin (SOR+AM dan SOR+SORAM) menunjukkan ekspresi mRNA MRP2, MRP3, OCT1, dan OATP1B3 yang secara signifikan lebih tinggi (p <0,05) dibandingkan dengan kelompok SOR+DMSO. Secara umum, pemberian alfa-mangostin menyebabkan peningkatan ekspresi mRNA dari semua transporter obat pada penelitian ini. Penafsiran secara cermat tetap diperlukan meskipun terdapat efek akhir pada transporter influks yang cukup besar pada studi ini.

Hepatocellular carcinoma (HCC) is the fourth leading cause of cancer mortality worldwide in 2018. Most patients unfortunately are diagnosed at advanced stage. Hence, the only oral chemotherapy for advanced unresectable HCC is sorafenib, a multikinase inhibitor. One of the mechanisms contributing to sorafenib resistance is drug transporters modulation. Studies reported chemosensitizing effect of alphamangostin, a xanthone extracted from Garcinia mangostana Linn., leading to its use as adjunctive treatment. This study aimed to analyse the impact of alpha-mangostin towards drug transporters’ mRNA expression in sorafenibsurviving HCC HepG2 cell line. HepG2 cells were initially treated with sorafenib 10 μM. The sorafenib surviving cells later were divided into four groups of treatment, namely with vehicle (DMSO), sorafenib (SOR) 10 μM, alpha-mangostin (AM) 20 μM, and combination of SOR 10 μM-AM 20 μM. The mRNA expressions of P-gp, ABCG2, MRP2, MRP3, OCT1, and OATP1B3 drug transporters were examined with quantitative reverse transcriptase-polymerase chain reaction following the RNA isolation and cDNA synthesis. Decreased mRNA expression of P-gp was observed in SOR+SOR group as compared to SOR+DMSO group. In contrast, other efflux transporters showed higher expression in SOR+SOR group. Interestingly, two groups treated with alpha-mangostin (SOR+AM and SOR+SOR-AM groups) showed statistically significant (p<0.05) higher mRNA expression of MRP2, MRP3, OCT1, and OATP1B3 compared to SOR+DMSO group. Generally, alpha-mangostin treatment increased the mRNA expression of all the drug transporters in the present study. Cautious interpretation was nonetheless required despite the considerable net effect on uptake transporters.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ineke Anggreani
"Latar Belakang: Karsinoma payudara invasif adalah keganasan payudara yang berasal dari proliferasi epitel duktus/asinus payudara. Seiring berjalannya waktu terjadi perubahan molekular menjadi karakteristik yang lebih agresif dan menyebabkan kurang respons terhadap terapi. Kemoterapi berbasis anthracycline dan taxane umum digunakan pada tatalaksana karsinoma payudara invasif. Kemoterapi tersebut pada umumnya berfokus dalam menekan proliferasi. Kemampuan anti-apoptosis sel tumor membuat sel tumor sulit dieliminasi. NF-kB/p65 merupakan faktor transkripsi yang berperan dalam regulasi anti-apoptosis.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan ekspresi NF-kB/p65 dengan respons terapi serta perbandingan ekspresi NF-kB/p65 sebelum dan sesudah kemoterapi neoadjuvan pada kasus karsinoma payudara invasif.
Metode: Penelitian analitik observasional dengan desain cross sectional pada kasus karsinoma payudara invasif yang mendapatkan kemoterapi berbasis anthracycline serta kombinasi anthracycline dan taxane dengan siklus kemoterapi lengkap di RSCM periode Januari 2015 sampai Desember 2021. Pengambilan sampel penelitian dilakukan secara consecutive sampling pada blok parafin sediaan biopsi (sebelum kemoterapi neoadjuvan) yang berpasangan dengan sediaan operasi (sesudah kemoterapi neoadjuvan), kemudian dilakukan pemeriksaan imunohistokimia NF-kB/p65 dan dianalisis dengan uji Fisher’s exact.
Hasil: Dari 21 kasus, 4 kasus (19%) tidak respons terapi dan 17 kasus (81%) respons terapi. Pada 2 kasus respons komplet, 1 kasus NF-kB/p65 terekspresi dan 1 kasus lainnya NF-kB/p65 tidak terekspresi pada sediaan biopsi (sebelum kemoterapi neoadjuvant). Kedua kasus tersebut tidak mengekspresikan NF-kB/p65 pada sediaan operasi (sesudah kemoterapi neoadjuvan). NF-kB/p65 yang terekspresi menunjukkan pasien yang tidak respons terapi dan respons parsial, namun tidak bermakna secara statistik (p>0,05). Hasil analisis ekspresi NFkB p65 sebelum dan sesudah kemoterapi tidak bermakna (p=0,095).
Kesimpulan: Terekspresinya NF-kB/p65 ditemukan pada respons terapi patologik yang tidak respons dan respons parsial. Ekspresi NF-kB/p65 sebelum dan sesudah kemoterapi menunjukkan ekspresi yang sama.

Background: Invasive breast carcinoma is a breast malignancy originating from proliferation of the ductal/acini epithelium of breast. Overtime, there are molecular changes that become more aggressive characteristics and cause less response to therapy. Anthracycline-based and taxane-based chemotherapy are commonly used in the treatment of breast carcinoma. Chemotherapy generally focuses on suppressing proliferation. The anti-apoptotic ability of tumour cells make it difficult to eliminate tumour cells. NF-kB/p65 is a transcription factor that plays a role in anti-apoptotic regulation.
Objectives: This study aims to determine the relationship between NF-kB/p65 expression and therapy response before and after neoadjuvant chemotherapy in invasive breast carcinoma cases.
Methods: An observational analytic study with a cross sectional design in invasive breast carcinoma’s specimens treated with anthracycline-based and combination with taxane chemotherapy at RSUPN Dr. dr. Cipto Mangunkusumo from January 2015 until December 2021. The study sample was taken by consecutive sampling from block paraffin biopsy preparation (before neoadjuvant chemotherapy) paired with surgical preparation (after neoadjuvant chemotherapy), then NF-kB/p65 immunohistochemistry examination was performed and analyzed by Fisher’s exact test.
Results: Of the 21 cases, 4 cases (19%) did not respond to therapy and 17 cases (81%) respond. In two cases of complete response, one case expressed NF-kB/p65 and other case was not expressed in biopsy specimen. Both cases did not expressed NF-kB/p65 in operation specimen. NF-kB/p65 expressed show in patients who did not respond to therapy and partial response, but not statistically significant (p>0.05). The result of analysis NF-kB/p65 expression before and after chemotherapy were not significant (p=0.095).
Conclusion: Expression of NF-kB/p65 was found in partial response and no response to chemotherapy neoadjuvant. Expression of NF-kB/p65 before and after chemotherapy neoadjuvant showed same expression.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meuthia Faralita Annisa
"Sorafenib adalah tata laksana sistemik pertama pada hepatoseluler karisonoma. Resistensi HCC terhadap sorafenib dapat berkembang cepat dan melibatkan disregulasi apoptosis. Apoptosis diregulasi oleh protein anti-apoptosis dan pro-apoptosis seperti Bcl-2 dan Bax serta dimediasi oleh caspase. Alpha-mangostin telah ditemukan menginduksi apoptosis dengan meningkatkan rasio Bax/Bcl-2 serta caspases di sel kanker payudara serta mengembalikan resistensi doksorubisin di HCC. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari efek alpha-mangostin di sel HepG2 tahan terhadap sorafenib.
Lini sel HCC, sel HepG2 dibagi menjadi 6 kelompok;.01% DMSO, alphamangostin 20μM, sorafenib 10μM, sorafenib 10μM + sorafenib 10μM, sorafenib + alpha-mangostin 20μM, and sorafenib 10μM + sorafenib 10μM + alpha-mangostin 20 μM. Sel diambil dan dihitung, serta RNA diisolasi diikuti dengan sintesis cDNA. Ekspresi dari Bcl-2, Bax, caspase-9, dan -3 diukur menggunakan q-RT PCR.
Pemberian alfa-mangostin terhadap sel HepG2 tahan sorafenib secara signifikan meningkatkan ekspresi mRNA Bcl-2 dan Bax bersamaan, sedangkan perbedaan rasio Bax/Bcl-2 tidak ditemukan signifikan. Sementara, ekspresi dari mRNA caspase-9 juga tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Namun, ditemukan peningkatan yang signifikan pada ekspresi mRNA caspase-3, tetapi juga menurun signifikan setelah administrasi sorafenib dan alpha-mangostin bersamaan. Kesimpulan: Alfa-mangostin menginduksi apoptosis di sel HepG2 tahan sorafenib ditunjukkan dengan peningkatan caspase-3 pada pemberian. Namun, mekanisme apoptosis dapat tidak melibatkan jalur intrinsik yang diindikasikan oleh perubahan yang tidak signifikan pada rasio Bax/Bcl-2 dan caspase-9.
.....
Sorafenib is the first-line systemic treatment in hepatocellular carcinoma. Sorafenib-resistance HCC may develop rapidly, which may involve apoptosis dysregulation. Apoptosis is regulated by anti-apoptotic and pro-apoptotic proteins such as Bcl-2 and Bax and mediated by caspases. Alpha-mangosin has been reported to induce apoptosis by increase Bax/Bcl-2 ratio and caspases in breast cancer cells as well as reverse doxorubicin resistance in HCC. The purpose of this research is to explore alpha-mangostin effect in sorafenib-surviving HepG2 cells.
HCC cell line, HepG2 cells were divided into 6 groups; 0.01% DMSO, alphamangostin 20μM, sorafenib 10μM, sorafenib 10μM + sorafenib 10μM, sorafenib + alpha-mangostin 20μM, and sorafenib 10μM + sorafenib 10μM + alpha-mangostin 20 μM. The cells were taken and counted, and RNA was isolated followed with cDNA synthesis. The expression of Bcl-2, Bax, Bax/Bcl-2 ratio caspase-9 and -3 were measured using q-RT-PCR.
The treatment of alpha-mangostin to sorafenib-surviving HepG2 cells significantly increase Bcl-2 and Bax mRNA expression concurrently. In the ratio of Bax/Bcl-2 mRNA, the change was not significant. Meanwhile, the expression of caspase-9 mRNA was neither found to significantly change. However, the expression of caspase-3 mRNA was found to be significant, yet significantly lower in the coadministration of sorafenib and alpha-mangostin. Conclusion: Alpha-mangostin induces apoptosis in sorafenib-surviving HepG2 cells due to increase of caspase-3 upon its administration. However, the mechanism may not be through the intrinsic pathway given the insignificant changes in Bax/Bcl-2 ratio and caspase-9 expression."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Brigitta Cindy Lauren
"Latar belakang: Karsinoma hepatoseluler (HCC) merupakan salah satu penyebab kematian akibat kanker terbanyak di dunia. Berbagai metode terapeutik telah tersedia untuk mengobati HCC, namun penyakit ini tetap menjadi masalah dengan tingkat insidensi dan mortalitas yang terus meningkat. Sorafenib merupakan salah satu obat yang digunakan dalam mengobati HCC. Resistensi terhadap sorafenib menjadi kendala dalam terapi HCC dan diketahui berperan penting dalam progresi tumor. Alfa mangostin, suatu komponen aktif pada buah Garcinia mangostana mulai dikenal karena potensinya sebagai terapi anti-kanker dan dibuktikan dapat menginduksi apoptosis pada beberapa sel kanker. Pemberian alfa mangostin diharapkan dapat menekan proliferasi sel HepG2 tahan sorafenib. Tujuan: Mengetahui efek alfa mangostin terhadap penanda proliferasi sel, Ki-67 dan c-Jun sebagai terapi tambahan pada sel hepatoselular karsinoma yang tahan sorafenib
Metode: Sel HCC HepG2 dibagi menjadi 6 kelompok yang diberi perlakuan berbeda, yakni (A) DMSO-DMSO (kelompok kontrol), (B) DMSO-alfa mangostin 20 μM, (C) sorafenib 10 μM-DMSO (sel tahan sorafenib), (D) sorafenib-sorafenib 10 μM, (E) sorafenib 10 μM-alfa mangostin 20 μM, (F) sorafenib 10 μM-sorafenib 10 μM+alfa mangostin 20 μM. Kelompok sel dikultur selama 48 jam. Sel kemudian diambil dan dilakukan pemeriksaan berupa analisis marker proliferasi sel, yaitu c-Jun dan Ki-67 dengan menggunakan metode qRT-PCR.
Hasil: Pemberian sorafenib meningkatkan ekspresi mRNA Ki-67 dan c-Jun pada sel tahan sorafenib. Pemberian alfa mangostin juga meningkatkan ekspresi mRNA Ki-67 dan ekspresi c-Jun secara signifikan dibandingkan kontrol dan sel HepG2 tahan sorafenib (SOR+AM). Kombinasi pemberian sorafenib dan alfa mangostin menghasilkan efek yang serupa (SOR+SORAM)
Kesimpulan: Alfa mangostin meningkatkan ekspresi penanda proliferasi sel Ki-67 dan c-Jun pada sel HepG2 tahan sorafenib.

Introduction : Hepatocellular carcinoma (HCC) is one of the leading causes of cancer- related death in the world. Various therapeutic methods have been available to treat HCC, however, this disease remains unresolved with a continuous increase of incidence and mortality rate. Sorafenib is one of the drugs used in the treatment of HCC. Sorafenib resistance becomes a problem in HCC therapy and is also known for its role in tumor progression. Alpha mangostin, an active substance found in Garcinia mangostana is starting to be recognized for its potential as anti-cancer therapy and is also proven to be able to induce apoptosis in several cancer cells. Administration of alpha mangostin is expected to suppress the proliferation of sorafenib-surviving HepG2 cells.
Purpose: To observe the effect of alpha mangostin on the expression of proliferation markers Ki-67 and c-Jun as an adjuvant therapy in sorafenib-surviving hepatocellular carcinoma cells.
Method: HepG2 HCC cells were divided into 6 groups which were treated differently, (A) DMSO-DMSO (control group), (B) DMSO-alpha mangostin 20 μM, (C) sorafenib 10 μM-DMSO (sorafenib-surviving group), (D) sorafenib-sorafenib 10 μM, (E) sorafenib 10 μM-alpha mangostin 20 μM, (F) sorafenib 10 μM-sorafenib 10 μM+alpha mangostin 20 μM. Cells were cultured for 48 hours. The cells were then harvested and analyzed for their cell proliferation markers, c-Jun and Ki-67, using qRT-PCR method. Result: Administration of sorafenib increased expression of Ki-67 and c-Jun in sorafenib-surviving cells. Alpha mangostin also increased expression of Ki67 and c-Jun mRNA significantly compared to control group and sorafenib-surviving cells group (SOR+AM). Combination of sorafenib and alpha mangostin generates similar effects. (SOR+SORAM).
Conclusion: Alpha mangostin increased the expression of proliferation markers Ki-67 and c-Jun in sorafenib-surviving HepG2 cells.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pamela Basuki
"Latar belakang: Penurunan stress oksidatif intraseluler merupakan salah satu mekanisme resistensi sorafenib pada sel karsinoma hepatoseluler. Alfa mangostin, senyawa xanthone dari Garcinia mangostana, memiliki sifat antikanker dan dual efek antioksidan/prooksidan diduga dapat menjadi sumber terapi adjuvan untuk meningkatkan efektivitas sorafenib. Pemberian α-mangostin diduga mampu meningkatkan ekspresi MnSOD dan GPx pada dosis rendah tetapi menurunkannya pada dosis mendekati konsentrasi sitotoksik.
Tujuan: Mengetahui potensi alfa mangostin sebagai bahan terapi tambahan pada sorafenib pada tatalaksana karsinoma hepatoseluler lanjut yang ditinjau dari mekanisme stress oksidatif.
Metode: Galur sel karsinoma hepatoseluler, HepG2, dibagi menjadi 6 kelompok yang diinkubasi dalam: (A) DMSO-DMSO 0,01% (kelompok kontrol), (B) DMSO-alfa mangostin 20 μM, (C) sorafenib 10 μM-DMSO (kelompok tahan sorafenib), (D) sorafenib-sorafenib 10 μM (E) sorafenib 10 μM-alfa mangostin 20 μM, (F) sorafenib 10 μM - sorafenib 10 μM + alfa mangostin 20 μM selama 24 jam dan 24 jam berikutnya. Sel kemudian diambil dan diisolasi RNAnya. Analisis ekspresi mRNA MnSOD dan GPx dilakukan dengan metode qRT-PCR.
Hasil: Penambahan alfa mangostin meningkatkan ekspresi mRNA MnSOD dan GPx secara signifikan (p<0,05) dibandingkan kontrol dan sel tahan sorafenib pada kelompok perlakuan sorafenib + alfa mangostin (SOR+AM) dan sorafenib + sorafenib-alfa mangostin (SOR+SORAM).
Simpulan: Alfa mangostin bersifat antioksidan pada galur sel karsinoma hepatoseluler HepG2 yang tahan sorafenib sehingga dapat meningkatkan ekspresi MnSOD dan GPx.

Introduction: Intracellular oxidative stress reduction is one of the sorafenib resistance mechanisms in hepatocellular carcinoma cells. Alpha mangostin, xanthone substance from Garcinia mangostana, has anticancer and dual effect antioxidant/prooxidant properties that might be a source of adjuvant therapy, increasing sorafenib effectivity. Administration of alpha mangostin presumably can increase MnSOD and GPx expression in low dose but decrease the expression when given nearing cytotoxic concentration dosage.
Purpose: To find out alpha mangostin potential as adjuvant therapy to sorafenib in management of advanced hepatocellular carcinoma in the view of oxidative stress.
Method: Hepatocellular carcinoma cell line, HepG2 cells, were divided into 6 groups incubated in: (A) DMSO-DMSO 0,01% (control group), (B) DMSO-alpha mangostin 20 μM, (C) sorafenib 10 μM-DMSO (sorafenib-surviving group), (D) sorafenib-sorafenib 10 μM (E) sorafenib 10 μM-alpha mangostin 20 μM, (F) sorafenib 10 μM - sorafenib 10 μM + alpha mangostin 20 μM for 24 hours and another 24 hours. Then, the cells were harvested and the RNA were isolated. Expression of MnSOD and GPx mRNA were analyzed using qRT-PCR.
Result: Administration of alpha mangostin increased MnSOD and GPx mRNA expression significantly (p<0,05) compared to control and sorafenib-surviving cells in sorafenib + alpha mangostin (SOR+AM) group and sorafenib + sorafenib-alpha mangostin (SOR+SORAM) group.
Conclusion: Alpha mangostin is an antioxidant for hepatocellular carcinoma cell line, HepG2 cell, increasing MnSOD and GPx expression.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Matheus Jorizal
"ABSTRAK
Pada makalah ini akan dikemukakan pengobatan radiasi pada karsinoma prostat, dengan suatu laporan retrospektif pengeobatan radiasi pada pasien yang dikirim ke Unit Radioterapi RSCM/FKUI selama periode Januari 1982 sampai dengan Desember 1986.
Kesimpulannya adalah: (1). Penderita karsinoma prostat yang datang berobat ke Subbagian Radioterapi RSCM/FKUI pada umumnya sudah berada pada stadium lanjut, (2). Limfografi penting bukan saja untuk diagnostik tetapi juga dalam hal penanganan terapi, (3). Pengobatan radiasi yang diberikan pada karsinoma prostat umumnya merupakan radiasi pasca bedah, (3). Perlu disusun protokol pengobatan karsinoma prostat.
"
1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Incidences of pancreatic cancer worldwide have been known to be increased. It is the fifth leading cause of death in United State of America.Seventy percent accourts in the head of the pancreas...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Birril Qudsi
"belakang: Karsinoma sel skuamosa rongga mulut (KSSRM) adalah salah satu kanker yang paling umum dijumpai dengan angka survival 52.0% yang tidak meningkat secara bermakna walaupun tatalaksana kanker ini terus berkembang. Cornulin merupakan protein spesifik untuk sel skuamosa yang penting dalam diferensiasi epitel. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa rendahnya ekspresi cornulin berhubungan dengan gambaran klinikopatologi dan survival yang lebih buruk dibandingkan dengan ekspresi tinggi. Oleh karena sifatnya yang spesifik dan belum ada penelitian mengenai ekspresi cornulin sebagai faktor prognosis di Indonesia, maka penulis tertarik untuk mengetahui hubungan antara ekspresi cornulin dan survival pada pasien dengan KSSRM.
Tujuan: Mengetahui potensi cornulin sebagai penanda biologis survival pada pasien dengan KSSRM.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi kohort retrospektif yang dilakukan dari periode Juni 2021 sampai dengan Mei 2022. Populasi penelitian ini merupakan pasien dengan diagnosis KSSRM yang ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologis dan menjalani terapi di Divisi Bedah Onkologi Departemen Ilmu Bedah RSCM periode Januari 2015 – Mei 2020. Pemeriksaan imunohistokimia dilakukan untuk mengetahui ekspresi cornulin dan skor imunihistokimia ditentukan menggunakan immunoreactive score (IRS). Skor IRS < 6 berarti ekspresi rendah dan ≥ 6 berarti ekspresi tinggi. Analisis statistik univariat, bivariat, dan survival dilakukan menggunakan perangkat lunak SPSS.
Hasil: Cornulin tidak memiliki hubungan yang signifikan secara statistik dengan survival pada pasien dengan KSSRM. T, N, dan stadium memiliki hubungan yang signifikan secara statistik dengan survival pada pasien dengan KSSRM dengan nilai p masing-masing adalah 0.001, 0.040, dan 0.001. T dan N memiliki hubungan yang bermakna secara statistik dengan ekspresi cornulin pada pasien dengan KSSRM, dengan nilai p masing-masing adalah 0.034 dan 0.030.
Kesimpulan:Cornulin sebagai protein penanda biologis KSSM tidak dapat menjadi prediktor dari survival pasien dengan KSSM.

Background: Oral squamous cell carcinoma (OSCC) is one of the most common cancers with a 52.0% survival rate which does not increase significantly even though the management of this cancer continues to develop. Cornulin is a specific protein for squamous cells that is important in epithelial differentiation. Previous studies have shown that low cornulin expression is associated with worse clinicopathological features and survival compared to high cornulin expression. Due to its specific nature and no research on cornulin expression as a prognostic factor has been done in Indonesia, the author is interested in knowing the relationship between cornulin expression and survival in patients with OSCC.
Objective: To determine the potential of cornulin as a biological marker for survival in patients with OSCC.
Methods: This study used a retrospective cohort study design that was conducted from June 2021 to May 2022. The population of this study were patients with OSCC diagnosis confirmed by histopathological examination and undergoing therapy at the Division of Surgical Oncology, Department of Surgery, RSCM for the period January 2015-May 2020. Immunohistochemical examination was performed to determine the expression of cornulin and the immunohistochemical score was calculated using the immunoreactive score (IRS). IRS score < 6 means low cornulin expression and ≥ 6 means high cornulin expression. Univariate, bivariate, and survival statistical analyses were performed using SPSS software.
Results: Cornulin did not have a statistically significant relationship with survival in patients with OSCC. T, N, and stage had a statistically significant relationship with survival in patients with SCC with p values ​​of 0.001, 0.040, and 0.001, respectively. T and N had a statistically significant relationship with cornulin expression in patients with OSCC, with p-values ​​of 0.034 and 0.030, respectively.
Conclusion: Cornulin as a biological marker protein of OSCC cannot be a predictor of the survival of patients with OSCC.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alif Gilang Perkasa
"Latar Belakang: Karsinoma sel hati (KSH) adalah lesi neoplastik ganas pada hati tersering. Transformasi keganasan sel hati normal menjadi KSH melibatkan berbagai faktor seperti inflamasi dan perubahan genetik yang menyebabkan KSH menjadi sangat heterogen pada tingkat histologik dan molekular. Perbedaan fenotipe yang dipengaruhi berbagai perubahan molekular menghasilkan berbagai derajat diferensiasi, subtipe histologik dan gambaran klinik yang berbeda dan sebagian berhubungan dengan prognosis pada KSH. Mutasi pada gen TP53 yang berfungsi menontrol proliferasi sel melalui perbaikan DNA, apoptosis, dan penuaan sel terbukti sebagai salah satu perubahan molekular tersering pada KSH dan sering dikaitkan dengan beberapa faktor risiko, derajat diferensiasi, subtipe histologik tertentu dan prognosis. Penelitian ini bertujuan menginvestigasi ekspresi p53 pada derajat diferensiasi, subtipe histologik dan stadium patologi tumor KSH.
Bahan dan cara: Penelitian dilakukan di Departemen Patologi Anatomik FKUI/RSCM, Jakarta terhadap 41 kasus KSH yang diperoleh seara reseksi. Sampel kasus diklasifikasikan berdasarkan kelompok derajat diferensiasi (WHO), subtipe histologik dan stadium patologi tumor. Selanjutnya dilakukan pulasan imunohistokimia (IHK) protein 53 (p53) pada seluruh kasus dan dilakukan analisis untuk mengetahui ekspresi p53 pada variabel penelitian.
Hasil: Ekspresi p53 ditemukan pada 35 kasus (85%). Berdasarkan derajat diferensiasi, ekspresi p53 ditemukan paling banyak pada derajat diferensiasi sedang dan buruk, yaitu 21 dan 14 kasus (91% dan 93%). Ekspresi p53 berdasarkan stadium patologi tumor ditemukan paling banyak pada pT1b dan pT2, yaitu 8 dan 14 kasus ( 88% dan 93%). Berdasarkan subtipe histologik, seluruh kasus macrotrabecular massive (MTM) menunjukkan ekspresi p53 (4 kasus, 100%), subtipe clear cell (CC) terpulas pada 15 kasus (93%), klasik (CL) ditemukan 16 kasus (88%) dan tidak ditemukan ekspresi p53 pada seluruh kasus steatohepatitic (SH). Terdapat perbedaan rerata bermakna ekspresi p53 pada kelompok baik dan sedang (p=0,011), baik dan buruk (p=0,015) dan tidak terdapat perbedaan rerata bermakna antara kelompok sedang dan buruk (p=0,339). Tidak ditemukan perbedaan rerata bermakna ekspresi p53 pada seluruh kelompok stadium patologi tumor (p=0,948) dan subtipe histologik (p=0,076).
Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna ekspresi p53 pada KSH kelompok diferensiasi baik dan sedang serta baik dan buruk.

Background: Hepatocellular cell carcinoma (HCC) is the most common malignant neoplastic lesion of the liver. Malignant transformation of hepatocytes involves various factors such as inflammation and genetic causing HCC to be very heterogeneous at the histological and molecular level. Differences in phenotypes affected by various molecular changes produce different differentiation grade, histological subtype, clinical features and prognosis. TP53 as one of the most common molecular changes in HCC play an important role in cycle cell by controlling cell proliferation through DNA repair, apoptosis and cellular senescence, associates with several risk factors such as certain differentiation grade, histologic subtypes, and prognosis. This current study aimed to investigate p53 expression at HCC’s differentiation grade, tumor pathology stage and histologic subtype.
Materials and methods: The study was conducted at the Department of Anatomical Pathology FKUI / RSCM, Jakarta on 41 cases of resected HCC. Case samples are classified based on groups of differentiation grade (WHO), histologic subtypes and tumour pathology stage. Furthermore immunohistochemical (IHC) staining of protein 53 (p53) carry out in all cases and an analysis statistic was performed to evaluated the expression of p53.
Results: p53 expression was found in 35 cases (85%). Based on the differentiation grade, the expression of p53 was found mostly in the moderate and poor differentiation (91%, 21 cases and 93%, 14 cases). Based on tumour pathology stage, p53 expression was found mostly in pT1b and pT2, which were 8 and 14 cases (88% and 93%). Based on histologic subtypes, all macrotrabecullar massive (MTM) cases showed p53 expression (4 cases, 100%), clear cell (CC) subtypes were in 15 cases (93%), classic (CL) 16 cases (88%) and negative expression was found in all cases of steatohepatitic (SH). There were significant differences in mean expression of p53 in the well and moderate groups (p = 0.011), well and poor (p = 0.015) and there were no significant mean differences between the moderate and poor groups (p = 0.339). There were no significant mean differences in p53 expression in all groups of tumour pathology stages (p = 0.948) and histologic subtypes (p = 0.076).
Conclusion: There is significant difference mean of p53 expression in well and moderate as well as well and poor differentiation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ferdinand Inno Luminta
"Latar Belakang: Karsinoma sel sebasea adalah keganasan yang cukup sering ditemukan pada populasi Asia dan bersifat agresif dengan tingkat rekurensi lokal dan metastasis jauh yang tinggi. Peningkatan ekspresi pulasan imunohistokimia (IHK) tumor suppressor gene p53 dan Ki-67 sebagai penanda aktifitas proliferasi pada tumor kepala dan leher menunjukkan adanya korelasi antara aktivitas proliferasi dengan buruknya prognosis.
Tujuan: Menilai ekspresi p53 dan Ki-67 pada karsinoma sel sebasea yang dihubungkan dengan faktor prognostik klinis dan histopatologi pada karsinoma sel sebasea yaitu ukuran tumor, keterlibatan kelenjar getah bening (KGB), metastasis jauh, diferensiasi, penyebaran pagetoid, dan invasi perineural.
Metode: Pulasan IHK menggunakan antibodi p53 dan Ki-67 dilakukan pada jaringan karsinoma sel sebasea di blok parafin yang berasal dari data rekam medis sejak Juni 2017 – Juni 2022 di RSCM. Penilaian ekspresi dilakukan pada nukleus dengan metode manual dan semi-kuantitatif pada 1 lapang pandang dengan minimal jumlah sel sebanyak 500 sel dari hasil foto dan diproses ke dalam peranti lunak Qupath. Hasil penilaian selanjutnya di cek silang dengan data klinis pasien yang sudah dicatat di tabel induk dan kemudian dianalisa secara statistik untuk mengetahui hubungan keduanya.
Hasil: Total 34 pasien dengan ketersediaan blok parafin dianalisa berdasarkan data klinis dan ekspresi p53 dan Ki-67. Tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara kategori ekspresi p53 dengan faktor prognosis klinis dan histopatologi (p>0.05). Ekspresi p53 pada hasil penelitian menunjukkan proporsi faktor prognosis buruk lebih banyak ditemukan pada ekspresi tinggi yaitu adanya metastasis, invasi perineural, dan penyebaran pagetoid. Tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara kategori ekspresi Ki-67 dengan faktor prognosis klinis dan histopatologi (p>0.05). Ekspresi Ki-67 pada penelitian ini menunjukkan proporsi faktor prognosis buruk lebih banyak ditemukan pada ekspresi tinggi yaitu ukuran tumor yang lebih besar, metastasis, diferensiasi buruk, dan invasi perineural.
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara ekspresi Ki-67 dan p53 dengan faktor prognosis klinis dan histopatologi buruk pada karsinoma sel sebasea. Terdapat proporsi sampel dengan ekspresi Ki-67 tinggi yang lebih banyak dan nilai tengah yang lebih tinggi pada faktor prognosis ukuran tumor, metastasis, berdiferensiasi buruk, serta invasi perineural, meskipun hasil yang didapatkan tidak jauh berbeda dan secara statistik tidak bermakna. Pada pulasan p53 terdapat perbedaan yang cukup besar dalam hal proporsi pulasan dengan ekspresi tinggi serta nilai tengah yang lebih tinggi pada faktor prognosis ukuran tumor.

Sebaceous cell carcinoma is a relatively common malignancy in the Asian population, characterized by aggressive behavior with high rates of local recurrence and distant metastasis. Increased expression of immunohistochemical marker such as tumor suppressor gene p53 and Ki-67, a proliferation marker, in head and neck tumors suggests a correlation between proliferation activity and poor prognosis.
Objective: This study aims to evaluate the expression of p53 and Ki-67 in sebaceous cell carcinoma and its association with clinical and histopathological prognostic factors, including tumor size, lymph node involvement, distant metastasis, cell differentiation, pagetoid spread, and perineural invasion.
Methods: Immunohistochemical staining using p53 and Ki-67 antibodies was performed on paraffin-embedded sebaceous cell carcinoma tissues obtained from medical records between June 2017 and June 2022 at RSCM. Expression assessment was conducted on nuclei using manual and semi-quantitative methods on 500 cells per field processed with Qupath software. The results were cross-checked with patients' clinical data recorded in a master table and statistically analyzed to determine their relationship.
Results: A total of 34 patients were analyzed based on clinical data and p53 and Ki-67 expression. There was no statistically significant association between p53 expression and clinical and histopathological prognostic factors (p>0.05). However, high p53 expression was associated with a higher proportion of poor prognostic factors, such as metastasis, perineural invasion, and pagetoid spread. Similarly, there was no statistically significant association between Ki-67 expression categories and clinical and histopathological prognostic factors (p>0.05). High Ki-67 expression was more frequently observed in cases with larger tumor size, metastasis, poor differentiation, and perineural invasion.
Conclusion: This study found no significant statistical association between Ki-67 and p53 expression with poor prognostic factors in sebaceous cell carcinoma. Nonetheless, a higher proportion of samples with high Ki-67 expression and higher median values were observed in cases with bigger tumor size, metastasis, poor differentiation, and perineural invasion, although these differences were not statistically significant. For p53 expression, significant differences were found in terms of proportion and median values concerning tumor size prognostic factors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>