Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 114397 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sri Wulandari
"Pengalaman-menyerupai-psikotik (Psychotic-like experience/PLE) merupakan pengalaman serupa halusinasi/delusi, bersifat non – klinis, dan cukup umum ditemui pada populasi sehat. PLE muncul sebagai hasil dari interaksi aspek kognitif dan aspek emosi yang diketahui berfluktuasi secara cepat. Namun, penelitian longitudinal terdahulu kurang dapat menangkap fluktuasi tersebut karena jeda waktu antar pengukuran yang panjang. Selain itu, belum banyak penelitian mengenai mekanisme terbentuknya PLE pada kelompok dengan kerentanan biopsikososial tinggi. Penelitian ini akan menguji peran afek negatif sebagai mediator atas pengaruh skema negatif-mengenai-diri terhadap PLE pada anggota keluarga pasien psikosis. Sebanyak 36 individu berpartisipasi dalam pengambilan data secara Experience Sampling Method (ESM). Pada hari pertama, pengukuran mencakup gejala depresi (PHQ – 9), kecemasan (GAD – 7), dan psikotik (CAPE – 42). Pada hari kedua sampai kelima belas dilakukan pengukuran skema negatif (BCSS), afek negatif (Momentary Affect Scale), dan PLE (Index of PLE). Data harian dianalisis dengan Multilevel Mediation Modeling. Skema negatif-mengenai-diri ditemukan memprediksi PLE, b = 0,378, p < 0,001, dan afek negatif memediasi secara parsial hubungan kedua variabel tersebut, b = 0,401, 95% CI [0,2501; 0,5714]. Fluktuasi harian dari skema yang disertai dengan keberadaan afek negatif akan mendorong interpretasi maladaptif atas pengalaman sehari – hari, sehingga memicu PLE, yang pada keluarga pasien dapat dijelaskan melalui tingginya behavioral sensitization.

Psychotic-like experience (PLE) is hallucination/delusion – like experiences, nonclinical, and quite common in healthy normal population. PLE is shaped by the interplay of cognitive and emotional aspects which are found to be fluctuated in daily life. However, most of the longitudinal studies have yet to capture the dynamic, due to the longer time gap between measurements. Studies in higher-than-average genetic risk-group were also still limited. This study examines the role of negative affect as a mediator to the effect of negative-self schema on PLE in first-degree relatives of psychotic patients. Data was collected from 36 individuals using Experience Sampling Method (ESM). On the first day, depression (PHQ – 9), anxiety (GAD – 7), and psychotic symptoms (CAPE – 42) were measured. On day two until fifteen, daily measurements on negative-self schema (BCSS), negative affect (Momentary Affect Scale), and PLE (Index of PLE) were completed twice a day. Multilevel Mediation Modeling was performed to analyze the data. Negative-self schema was found to predict PLE, b = 0,378, p < 0,001, and this effect was partially mediated by negative affect, b = 0,401, 95% CI [0,2501; 0,5714]. Day-to-day fluctuation of negative-self schema accompany by negative affect would induce maladaptive interpretation which then result in the PLE symptoms. In first-degree relatives, vulnerability to PLE could be explained by behavioral sensitization."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shierlen Octavia
"ABSTRAK
Trauma masa kanak-kanak adalah faktor risiko yang mempengaruhi perkembangan gejala psikotik. Berbagai penelitian telah menjelaskan mekanisme hubungan antara keduanya
variabel. Skema diri negatif, respons psikologis terhadap trauma dan diketahui memiliki
dampak pada tingkat gejala psikotik, dipostulatkan untuk memediasi dua variabel ini. Ini
Penelitian ini bertujuan untuk menguji peran skema negatif diri sebagai mediator antara masa kanak-kanak trauma dan gejala psikotik dengan mengendalikan gejala depresi sebagai kovariat. Itu Penelitian dilakukan pada 397 peserta (25,4% pria; Mage = 22,28, SD = 4,93).
Gejala psikotik diukur oleh Asesmen Komunitas terhadap Pengalaman Psikotik (AKPP), trauma masa kecil diukur dengan kuesioner berbasis laporan diri pada studi NEMESIS, dan skema negatif diri diukur dengan Skema Inti Singkat Timbangan (BCSS). Melalui analisis mediasi, hasilnya menunjukkan skema self-negative secara signifikan memediasi hubungan antara trauma masa kecil dengan positif gejala (ab = 0,08; SE = 0,04; 95% CI [0,01, 0,17]), serta gejala negatif dari gejala psikotik (ab = 0,08; SE = 0,03; 95% CI [0,03, 0,14]), dan juga langsung hubungan antara pengalaman traumatis masa kanak-kanak dan gejala positif juga
ditemukan. Ini menjelaskan pentingnya mempertimbangkan peran kognitif dalam menerjemahkan efek trauma masa kecil terhadap gejala psikotik.

ABSTRACT
Childhood trauma is a risk factor that influences the development of psychotic symptoms. Various studies have explained the mechanism of the relationship between the two
variable. Negative self schemes, psychological responses to trauma and are known to have
impact on the level of psychotic symptoms, postulated to mediate these two variables. This This study aims to examine the role of self-negative schemes as a mediator between childhood trauma and psychotic symptoms by controlling depressive symptoms as covariates. The study was conducted on 397 participants (25.4% male; Mage = 22.28, SD = 4.93). Psychotic symptoms were measured by the Community Assessment of Psychotic Experience (PPA), childhood trauma was measured by a self-report questionnaire based on the NEMESIS study, and a negative self-scheme was measured by the Short Core Scales Scheme (BCSS). Through mediation analysis, the results showed a self-negative scheme significantly mediated the relationship between childhood trauma with positive symptoms (ab = 0.08; SE = 0.04; 95% CI [0.01, 0.17]), as well as symptoms negative psychotic symptoms (ab = 0.08; SE = 0.03; 95% CI [0.03, 0.14]), and also a direct relationship between childhood traumatic experiences and positive symptoms as well
was found. This explains the importance of considering the cognitive role in translating the effects of childhood trauma on psychotic symptoms."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferry Ferdian Nugraha
"ABSTRAK
Nama : Ferry Ferdian NugrahaProgram studi : Farmakologi klinikJudul : Survei Penggunaan Antipsikotika Oral dan Haloperidol Dekanoat pada Pasien Skizofreniadi Instalasi Rawat Jalan Departemen Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Periode 1 Januari 2017 - 31 Mei 2018Terapi farmakologi dengan antipsikotika sampai saat ini merupakan salah satu pilihan utama dalam penatalaksanaan skizofrenia. Penelitian pada tingkat kepatuhan pasien untuk datang berobat, ketepatan dari pemilihan terapi, penentuan dosis terapi, lama terapi, efektivitas terapi, berapa banyak pasien yang mendapatkan terapi obat anti ekstrapiramidal, ketepatan dosis serta kombinasi dari penggunaan suntikan antipsikotik jangka panjang dan menilai berapa biaya yang dikeluarkan untuk terapi skizofrenia selama satu bulan serta analisa hubungan di poli jiwa rumah sakit Cipto Mangunkusumo belum pernah dilakukan. Penelitian retrospektif dengan menggunakan data rekam medis didapatkan 58 pasien yang dianalisis, di dapatkan data demografik terbanyak berjenis kelamin laki-laki 69 , usia 26 ndash;45 tahun 58,6 , belum menikah74,1 , jenjang pendidikan perguruan tinggi 1,7 , status tidak bekerja 36,2 , dan pasien dengan jaminan kesehatan nasional sebesar 75,9 , Data karakteristik klinik terbanyak pasien dengan diagnosis skizofrenia tipe paranoid sebesar 84,5 dengan lama menderita kelainan ini kurang lebih 5 tahun, tingkat kepatuhan dan remisi paling baik tampak pada pasien skizofrenia yang mendapat terapi antipsikotika oral. Data penggunaan obat di dapatkan cara pemberian monoterapi risperidon dan kombinasi haloperidol dengan klozapin, terapi obat anti ekstrapiramidal lebih dari 50 . Tidak ada hubungan yang bermakna antara kepatuhan dan remisi, sedangkan tampak ada hubungan bermakna antara dosis dan remisi P=0,019 . Kejadian efek samping merupakan faktor yang bermakna mempengaruhi kepatuhan pasien untuk datang berobat P=0,005 .
ABSTRACT
AbstractName : Ferry Ferdian Nugraha Study Program : Farmakologi klinikTitle : A Survey of Oral Antipsychotic and Haloperidol Decanoate Long Acting Injection Usage in Out-Patient with Schizophrenia at Psychiatry Policlinic, Cipto Mangunkusumo Hospital in The Period of January 1, 2017 - May 31, 2018Pharmacological therapy with antipsychotics is currently one of the main options in the management of schizophrenia. There was no study about patient compliance rates to come for treatment, accuracy of therapy selection, therapy dosage determination, length of therapy, effectiveness of therapy, how many patients received anti-extrapyramidal drug therapy, dosage accuracy and combination of long-term use of antipsychotic injections, cost therapy assessment of schizophrenia for one month and analysis of the relationship in the Psychiatric Policlinic of Cipto Mangunkusumo Hospital.Retrospective study using medical record data obtained from 58 patients were analyzed. From demographic data, the majority of patients was men 69 , age 26-45 years 58,6 , single 74,1 , college education level 1,7 , unemployed status 36,2 , and national health insurance 75,9 . From clinical characteristic data, most patients were diagnosed with schizophrenia paranoid type 84,5 with duration of disorder was about 5 years. The level of compliance and remission is best seen in schizophrenia patients receiving oral antipsychotic therapy. From drug usage data, patients obtained monotherapy risperidon and combination therapy haloperidol and clozapine, anti-extrapyramidal drug therapy were more than 50 . There was no significant association between compliance and remission, while there was a significant association between dosage and remission P = 0.019 . The incidence of side effects was a significant factor which influenced patient compliance to come for treatment P = 0.005 ."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58610
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Guntara Hari
"Latar belakang: Ditemukannya peningkatan proporsi kasus psikiatri pada pasien dengan epilepsi dibandingkan dengan pasien yang tidak pernah mengalami serangan epilepsi. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan proporsi dan profil gambaran gejala psikosis episodik, serta rentang waktu antara awitan penyakit epilepsi dengan awitan gejala psikosis episodik pada pasien epilepsi.
Metode: Penefitian ini menggunakan rancangan potong lintang dengan subyek pasien rawat jaian di Paliklinik Syaraf. Pada setiap subyek dilakukan wawancara psikiatri terstruktur berdasarkan butir-butir kuesioner DIP versi Indonesia. Metode statistik deskriptif digunakan untuk menjabarkan data-data hasil penelitian.
Hasil: Dari ke-80 subyek terdapat total 20% subyek yang menyatakan mengalami gejala psikosis episodik, pada beberapa subyek terdapat lebih dari satu gejala, sementara pada subyek lain hanya satu gejala psikosis episodic saja. Angka rerata rentang waktu dari saat awitan sampai munculnya gejala pslkotik dari ke-16 subyek ini 9 tahun dengan standar deviasi 6,663 tahun.
Simpulan: Pada penelitian ini 20% pasien epilepsi mengalami gejala psikosis episodik."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T 18168
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Natalia Widiasih Raharjanti
"Latar Belakang: Sebagian besar gangguan psikosis muncul pada masa remaja akhir dan dewasa muda awal, sehingga berdampak pada biaya yang besar, beban (burden), morbiditas dan mortalitas. DUP (duration of untreated psychotic) yang panjang berhubungan dengan keparahan gejala, respons yang lambat terhadap pengobatan, peningkatan kekambuhan dan penurunan kualitas hidup. Hal ini masih belum diteliti di Indonesia, padahal dengan DUP yang pendek, deteksi dini dan pengobatan akan memperbaiki outcome pada psikosis episode pertama.
Tujuan: untuk mengetahui lama mencari pertolongan medis psikiatrik (DUP) pasien psikosis episode pertama. Selain itu, melihat faktor-faktor yang berhubungan dengan DUP dan tahapan pencarian pertolongan kesehatan jiwa.
Metoda: Penelitian ini mengunakan metode disain penelitian deskriptif potong lintang dengan sampel sebanyak 50 orang. Pengambilan sampel secara konsekutif. Instrumen yang digunakan adalah SCID-1V, PANSS,SUMD, IRAOS, Instrumen jalur menuju perawatan, PAS, PSST, GAF, Stigma Scale dan DAS. Analisis Statistik menggunakan program SPSS versi 11.50
Hasil: DUP adalah 32,53 minggu (SD 47,265) dan median 14 minggu. Dari analisis bivariat dan multivariat didapatkan hubungan bermakna antara DUP dengan variabel onset (p=0,009), gejala negatif(p=0,005), fungsi premorbid(p=0,016)dan fungsi posmorbid (p=0,10). Pada tahapan pencarian pertolongan pasien psikotik episode pertama didapatkan: hanya 10% yang langsung ke pelayanan kesehatan jiwa, jenis pertolongan pertama 38% pengobatan tradisional & 30% konsultasi dengan pemuka agama. Alasan ke pelayanan kesehatan jiwa adalah perilaku aneh (70%), menganggu lingkungan (32%) dan perilaku agresif subyek (26%). Halangan ke yankeswa : perasaan negatif terhadap yankeswa (62%) dan stigma 46% .
Simpulan: Berdasarkan penelitian didapatkan lama mencari pengobatan medis psikiatris pasien psikotik episode pertama adalah 14 minggu (median). Didapatkan hubungan bermakna antara DUP dengan onset penyakit, jenis gejala, fungsi premorbid dan fungsi postmorbid. Kurangnya pengetahuan mengenai gangguan jiwa di masyarakat. Peran pengobatan tradisional dan pemuka agama yang cukup prominen dalam penanganan pertama pasien psikotik episodik pertama. Terdapatnya citra negatif terhadap pelayanan kesehatan jiwa dimasyarakat.

Background : Most of psychotic disorder is found in late adolescence or early adult life, thus related to bigger cost, burden, morbidity and mortality. Longer DUP is related to severity of symptoms, increasing recurrence and decreasing quality of life. So far no research on DUP has been conducted in Indonesia, although shorter DUP combined with early detection and treatment will improve outcome in first episode psychosis.
Purpose : To find the average DUP in first episode psychosis, its related factors and pathways in seeking mental health service.
Methods : This was a descriptive cross sectional study with 50 respondents, using consecutive sampling method. Instruments used in this study were SCID If , PANSS, SUMD, IRAOS, Health Seeking Action Pathway Instrument, PAS, PSST, GAF, Stigma Scale and DAS Statistical analysis was performed using SPSS version 11.50
Result : Average DUP were 32,53 weeks (SD 47,265) with median 14 weeks. Bivariate & multivariate analysis found significant association between DUP and onset (p=0.009), negative symptoms (p=0.005), premorbid function (p=0.016), and post morbid function (p=0.10). First intervention was traditional treatment (38%) and counseling with religious figures (30%), and only 10% went directly to mental health service. The main reason was strange behavior (70%), social environment disturbance (32%) and aggressive behavior (26%). Negative feeling (62%) and stigma (46%) were the reason of avoiding mental health service.
Contusion : DUP of first episode psychosis are 14 weeks (median). There were significant association between DUP and onset of the disease, type of symptoms, premorbid and post morbid function. There was lack of understanding about mental illness, while traditional approach and counseling to religious figures played prominent role in the intervention of first episode psychosis. There are negative perceptions in mental health service in the society.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18164
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nezza Nehemiah
"Individu dalam populasi umum yang pernah mengalami gejala psikotik psychotic-like experience memiliki risiko lebih besar untuk mengembangkan berbagai gangguan klinis seperti gangguan psikotik maupun gangguan psikologis berat lain di masamendatang. Oleh sebab itu diperlukan langkah preventif untuk mencegah berkembangnya gangguan pada individu normal. Berbagai penelitian terdahulu telah menggunakan berbagai alat tes skrining dalam upaya mengidetifikasi kelompok-kelompok berisiko, salah satunya adalah kelompok remaja. Akan tetapi, validitas dari alat tes skrining yang ada dan digunakan belum banyak diuji.
Penelitian ini adalah penelitian longitudinal berbasis sekolah yang telah dimulai sejak awal tahun 2017. Dalam penelitian tahap awal telah diperoleh data mengenai fenomena psychotic-like experience dengan menggunakan alat tes skrining Psychotic-Like Experiences PLEs di 5 sekolah di Jakarta. Pada tahap kedua yang saat ini dilaksanakan, peneliti melibatkan 40 orang siswa yang dipilih dengan teknik purposive sampling berdasarkan hasil temuan penelitian tahap awal. 40 orang siswa dilibatkan dalam wawancara diagnostik dengan panduan yang diadaptasi dari The Structured Clinical Interview for DSM-IVAxis I Disorders SCID-IV untuk dijadikan dasar acuan pembanding hasil diagnosis gold standard dari alat tes skrining PLEs. Validitas alat tes skrining diuji dengan melakukan perhitungan sensitivitas, spesifisitas, predictive values, likelihood ratios, beserta nilai cut-off optimum dari alat skrining tes dilakukan dengan menggunakan analisis Cross-tabulation dan analisis Area Under the Receiver Operating Characteristic ROC Curve.
Berdasarkan analisis Area Under the ROC Curvediketahui bahwa alat tes skrining PLEs memiliki sensitivitas 75 dan spesifisitas 87.5 yang baik untuk membedakan individu dengan atau tanpa gejala psikotik. Alattes skrining PLEs juga telah memiliki nilai cut-off yang optimum yaitu sebesar 1 gejala.Terdapat perbedaan cakupan gejala antara alat tes skrining PLEs dan panduanwawancara SCID-IV yang dapat turut mempengaruhi hasil penelitian. Adaptasi lebih lanjut dengan menambah cakupan gejala dirasa dapat meningkatkan sensitivitas dari alattes skrining PLEs di masa mendatang.

Individuals from general population who ever experienced psychotic like experience areat more risk to develop psychotic disorder or other psychological disorders in the future.Therefore, any prevention action is needed to prevent the development of any seriousdisorder in individuals from general population. Previous research had used variousscreening instruments for psychotic experience to identify at risk groups one of them isadolescents. Unfortunately the validity of these screening instruments has not yet beentested.
This is a longitudinal school based study which has been conducted since theearly 2017. In the first study, we use the Psychotic Like Experiences PLEs questionnaire to identify at risk individuals from 5 high schools in Jakarta. In this study second study , 40 students are selected by using purposive sampling technique based on the result of our first study. These 40 students then interviewed using The Structured Clinical Interview for DSM IV Axis I Disorders SCID IV to provide the gold standardbases for measuring PLEs questionnaire validity. The sensitivity, specificity, predictive values, likelihood ratios, and optimum cut off score were analyzed by using the Crosstabulation and Area Under the Receiver Operating Characteristic ROC Curve analysis.
Based on the analysis, we found that the sensitivity 75 and specificity 87.5 ofPsychotic Like Experiences PLEs questionnaire is good enough to differentiate individuals with or without psychotic experience. The cut off score of PLEs questionnaire is also found to be optimum ge 1 symptom to identify at risk individuals. There are differences in the number of symptoms covered by PLEs questionnaire andSCID IV, which is assumed to affect this study result. Further adaptation by addingmore symptoms covered by PLEs questionnaire are believed to increase its sensitivity infuture studies.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2017
T49073
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lida Nurlainah
"Psychotic disorders are the most severe form of mental illness. The family is the primary supporter of patients with psychosis; as such, the family is likely to experience stress when caring for psychotic patients and assisting in their recovery. Data analysis regarding stress within families could inform the types of support that family members receive. This study aimed to determine stress within families of psychotic patients in Garut, Indonesia. A descriptive study was carried out using a quantitative approach. The samples collected were of the families who visited an outpatient clinic in Garut. A purposive sample of 70 respondents using the Slovin formula (10%) was recruited. Data were collected using the 42 Depression Anxiety Stress Scale (DASS) questionnaire, and univariate analysis was conducted. Results showed that 5.7% of the respondents experienced medium stress, 54.4% experienced mild stress, 41.4% did not experience stress, and only one person (1.4%) experienced severe stress. The findings suggest that families with psychotic patients experience stress. Further research is recommended to examine the factors and levels of stress within families of long-term acute psychotic patients."
Jakarta: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
610 UI-JKI 23:3 (2020)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Dwi Astuti
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran perilaku sedentary selama pandemi COVID-19 sebagai mediator antara kecemasan dan depresi. Kecemasan didefinisikan sebagai bentuk antisipasi dari ancaman di masa depan yang lebih sering diasosiasikan dengan ketegangan otot dan kewaspadaan, perilaku pencegahan, dan penghindaran. Depresi didefinisikan sebagai adanya perasaan sedih, kosong, suasana hati yang mudah tersinggung, disertai perubahan somatis dan kognitif yang secara signifikan mempengaruhi kapasitas dan fungsi individu. Adapun perilaku sedentary didefinisikan sebagai setiap perilaku dalam keadaan terjaga yang ditandai dengan pengeluaran energi sebesar ≤ 1,5 ekuivalen metabolik (MET), baik dalam postur duduk, bersandar, atau berbaring. Pengukuran variabel pada penelitian ini dilakukan dengan alat ukur Beck Anxiety Inventory (BAI), Beck Depression Inventory (BDI), dan Sedentary Behavior Questionnaire (SBQ). Data diperoleh melalui survei daring dari warga negara Indonesia yang tinggal di Indonesia dan berada di rentang usia 20-40 tahun (N=608). Analisis data dilakukan dengan analisis model mediasi pada makro PROCESS dari Hayes, analisis korelasi parsial dan semi parsial, serta analisis kovariat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perilaku sedentary mentally passive ditemukan memediasi secara parsial hubungan antara kecemasan dan depresi.

This study aims to determine the role of sedentary behavior during the COVID-19 pandemic as a mediator between anxiety and depression. Anxiety is defined as the anticipation of a future threat associated with muscle tension and alertness, prevention, and avoidance. Depression is defined as feelings of sadness, emptiness, irritable moods, somatic and cognitive changes that significantly affect individual capacity and function. Sedentary behavior is defined as any behavior in an awake state with an energy expenditure of ≤ 1.5 metabolic equivalents (MET), whether in a sitting, leaning, or lying posture. Variables in this study were measured using Beck Anxiety Inventory (BAI), Beck Depression Inventory (BDI), and the Sedentary Behavior Questionnaire (SBQ). Data collected by online surveys from Indonesian citizens who live in Indonesia in the age range of 20-40 (N = 608). Data were analyzed using a mediation model on Hayes macro PROCESS, part and partial correlation, and analysis of covariance. This study indicates that sedentary behavior mentally passive was found to partially mediated relationship between anxiety and depression."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Depkes , 1989
362.26 IND p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nailah Putri Azizah
"Pada tahap perkembangan emerging adulthood, individu berusaha untuk mengeksplorasi diri dan menghadapi perubahan peran. Perubahan peran yang terjadi secara drastis dan ketidakmampuan individu dalam beradaptasi, dapat menyebabkan ia mengalami depresi. Salah satu faktor protektif dari depresi adalah keberfungsian keluarga. Keluarga yang berfungsi dengan baik dapat menjadi salah satu sumber dukungan sosial bagi emerging adult sehingga emerging adult dapat terhindar dari depresi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran keberfungsian keluarga terhadap depresi pada emerging adult. Peneliti menggunakan tipe penelitian kuantitatif dengan strategi penelitian noneksperimental. Peneliti menggunakan teknik convenience sampling, yaitu dengan cara menyebarkan Google Form yang di dalamnya terdapat alat ukur Family Assessment Device (FAD) untuk mengukur keberfungsian keluarga dan alat ukur Beck Depression Inventory-II (BDI-II) untuk mengukur depresi. Total partisipan pada penelitian ini adalah 128 emerging adult yang berada pada rentang usia 18-25 tahun. Berdasarkan hasil analisis regresi linear berganda ditemukan bahwa keberfungsian keluarga berperan secara signifikan terhadap depresi pada emerging adult (R²= 0,330, p < 0,05). Namun, dari enam dimensi keberfungsian keluarga, hanya dua dimensi yang berperan secara signifikan yaitu dimensi pemecahan masalah dan keterlibatan afektif. Oleh karena itu, keluarga diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan keterlibatan afektif sehingga dapat menurunkan depresi pada emerging adult.

At the developmental stage of emerging adulthood, emerging adults try to explore themselves and deal with changing roles. Changes in roles that occur drastically and their inability to adapt can cause depression. One of the protective factors from depression is family functioning. A well-functioning family can be a source of social support for emerging adults so that emerging adults can avoid depression. This study aims to examine the role of family functioning on depression in emerging adult. This research is a quantitative non-experimental study. The questionnaires used on assessing family functioning is Family Assessment Device (FAD) and Beck Depression Inventory-II (BDI-II) to measure depression, which were distributed via Google Form and used the technique convenience sampling. A total of 128 emerging adults who were in the range of 18-25 years old participated in this study. Multiple linear regression analysis revealed that family functioning has a significant role on depression in emerging adult (R²= 0,330, p < 0.05). However, only two out of six dimensions of family functioning that have a significant role which is problem solving and affective involvement dimensions. Therefore, families are expected to improve problem solving and affective involvement so depression in emerging adult can be reduced."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>