Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 160237 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Romi Maulana
"Tesis ini membahas tentang tinjauan kelembagaan Bawaslu dengan kewenangan quasi judicial atau semi peradilan dalam menyelesaikan masalah hukum pemilu pelanggaran administratif dan sengketa proses pemilu pada pelaksanaan pemilu tahun 2019. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan studi kepustakaan dan wawancara dalam pengumpulan data, kemudian data-data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan pendekatan hukum kualitatif. Secara konstitusional, pembentukan Bawaslu sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu di Indonesia menginduk kepada Pasal 22 E ayat (5) UUD 1945 serta dikuatkan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-VIII/2010. Pada Pasal 22 E ayat (5) UUD 1945 tersebut menegaskan bahwa penyelenggara pemilu bersifat mandiri. Dalam prakteknya, Bawaslu telah memenuhi karakteristik sebagai lembaga Negara yang mandiri atau independen berdasarkan dasar pembentukannya. Sebagai lembaga Negara yang mandiri, Bawaslu secara ketatanegaraan dimungkinkan untuk memiliki kewenangan dalam  menjalankan fungsi quasi judicial. Diketahui bahwa dalam perkembangan lembaga negara pasca amandemen UUD 1945, selain Bawaslu terdapat lembaga negara independen lainnya yang memiliki kewenangan dengan fungsi quasi judicial. Lembaga tersebut misalnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Komisi Informasi Publik (KIP). Sebagai lembaga Negara lapisan kedua, pembentukan Bawaslu, KPPU dan KIP berada diluar sistem peradilan di Indonesia. Namun pada dasarnya lembaga-lembaga Negara independen ini melakukan fungsi campuran dengan sifatnya yang penunjang terhadap lembaga Negara utama untuk menjalankan fungsi regulatif dan administratif termasuk fungsi quasi judicial dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Dalam menjalankan fungsi kekuasaan quasi judicial yang dilakukan oleh Bawaslu secara umum telah memenuhi karakter kekuasaan quasi judicial yang dirumuskan oleh Jimly Asshiddqie.

This thesis discusses the institutional review of Bawaslu with quasi-judicial or semi-judicial authority in solving electoral legal problems in administrative violations and electoral process disputes in the 2019 elections. This research is a normative legal research using library studies and interviews in data collection, then data- the data obtained were analyzed using a qualitative legal approach. Constitutionally, the formation of Bawaslu as a unified function of the administration of elections in Indonesia is based on Article 22 E paragraph (5) of the 1945 Constitution and is strengthened based on the Decision of the Constitutional Court Number 11 / PUU-VIII / 2010. Article 22 E paragraph (5) of the 1945 Constitution confirms that the election organizer is independent. In practice, Bawaslu has fulfilled its characteristics as an independent or independent State institution based on the basis of its formation. As an independent state institution, Bawaslu in an administrative manner is possible to have the authority to carry out the quasi judicial function. It is known that in the development of state institutions after the amendment to the 1945 Constitution, in addition to Bawaslu there are other independent state institutions that have authority with quasi-judicial functions. Such institutions include the Business Competition Supervisory Commission (KPPU) and the Public Information Commission (KIP). As the second layer state institution, the formation of Bawaslu, KPPU and KIP is outside the justice system in Indonesia. However, basically these independent state institutions perform a mixed function with their supporting nature to the main State institutions to carry out regulatory and administrative functions including quasi judicial functions in carrying out their duties and authorities. In carrying out the functions of quasi judicial power carried out by Bawaslu in general it has fulfilled the character of quasi judicial power formulated by Jimly Asshiddqie."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widi Megantoro
"Tesis ini membahas tentang Peran Bawaslu dan Dinamika Hubungan
Kelembagaannya Dalam Proses Pengawasan Pemilu Pasca Reformasi di
Indonesia. Dengan menggunakan metode penelitian Yuridis Normatif, pendekatan
dengan menggunakan teori Kedaulatan Rakyat, teori Lembaga Negara, dan teori
Partisipasi. Serta penggunaan konsep-konsep tentang pemilihan umum,
pengawasan pemilu, dan masyarakat. Untuk memperoleh kesimpulan dari tujuan
penelitian hal-hal yang disampaikan adalah meliputi sejarah pengawasan pemilu
di Indonesia, kedudukan dan kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
pasca reformasi, mekanisme penyelesaian sengketa, dan dinamika hubungan
kelembagaan Bawaslu, Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil bahwa peran Bawaslu dalam
pengawasan pemilu pasca reformasi menunjukkan hasil yang cukup baik, meski
masih terdapat banyak kekurangan. Kedudukan Bawaslu diperkuat dari yang
semula lembaga adhoc menjadi tetap dan mandiri. Kewenangannya pun ditambah
sebagai penyelesai sengketa pemilu. Dalam praktiknya terjadi dinamika hubungan
kelembagaan Bawaslu, KPU, selaku penyelenggara pemilu dan DKPP sebagai
lembaga yang menegakkan kode etik penyelenggara pemilu. Dinamika hubungan
kelembagaan tersebut mengakibatkan terhambatnya tahapan pemilu dan terjadi
ketidakpastian hukum sebagai akibat putusan DKPP yang menyentuh ranah
tahapan pemilu yang bukan menjadi kewenangannya

ABSTRACT
This Thesis will discuss the Role of BAWASLU and the Dynamic Instituional
Relationship of BAWASLU in the General Election (PEMILU) Monitoring
Process Post- Reform in Indonesia. This paper uses a normative juridical
research method, as well as the Popular Sovereignty theory, State Institutions
theory and Participation theory as approach. Last but not least, concepts related
to General Election, General Election Monitoring and the society is also included
in the research. In order to draw a conclusion from the research objectives, the
points that will be addressed includes the history of General Election Monitoring
in Indonesia, the Position and Authority of BAWASLU Post – Reformasi era, the
General Election Commition (KPU) and the Election Organizers Ethics Council
(DKPP).
Based on the results, the role of BAWASLU in monitoring general election during
post-reform era shows decent results, nothing that improvements are still needed.
The position of BAWASLU is reaffirmed with its transition from and adhoc
institution into and independent and permanent institution. BAWASLU was also
granted authority to settle disputes related to the general election. However, in its
practice, tensions and dynamic institutional relationships among BAWASLU,
KPU and DKPP arises. The dynamic institutional relationship has hindered the
general election process and causes uncertainty due to DKPP’S authority to pass
out a decision outside its original authority and functions."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Ziadatur Rizqi
"Pemilu merupakan suatu mekanisme yang disediakan oleh negara dalam memperjuangkan segala kebutuhan rakyatnya dan pencerminan dari sistem demokrasi. Penyelenggaraan Pemilu di negara Indonesia dilaksanakan secara konsisten dengan berdasar kepada asas yang dituangkan secara tegas dalam Konstitusi, yang mana dipengaruhi juga oleh beberapa faktor. Salah satu faktor tersebut adalah peran dari institusi pengadilan yang berkewajiban untuk bertindak imparsial serta efektif dalam mengawal penyelenggaraan Pemilu. MK sebagai institusi pengadilan yang berwenang untuk menyelesaikan perkara PHPU, dalam praktiknya, baik putusan yang dikeluarkan dalam Pemilu maupun Pemilukada sering megeluarkan putusan yang bersifat “kontroversial” dan problematik yang mana menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat serta ahli hukum karena dianggap kurang dapat memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. Mengingat kekuatan putusan yang dikeluarkan MK sangat “kuat”, MK diharapkan dapat menentukan metode atau konsep pendekatan yang tepat dalam menjawab segala isuisu konstitusionalitas yang ada. Diantara bentuk metode atau konsep pendekatan yang dilakukan oleh Hakim MK dalam menyelesaikan PHPU adalah judicial activism dan judicial restraint, dimana konsep tersebut dianggap oleh beberapa orang memiliki hal yang bertolak belakang satu dengan yang lainnya.

Election is a mechanism provided by the state in fighting for all the needs of its people and a reflection of the democratic system. The election in Indonesia is carried out consistently based on the principles expressly stated in the Constitution, which is also influenced by several factors. One of these factors is the role of the court institution which is obliged to act impartially and effectively in overseeing the implementation of the Election. The Constitutional Court as a court institution that has the authority to settle PHPU cases, in practice, both decisions issued in the General Election and regional head elections, often issue decisions that are “controversial” and problematic which lead to pros and cons among the public and legal experts because they are deemed insufficient to give a sense justice to society. Considering the strength of the decisions issued by the Constitutional Court is very "strong", the Court is expected to be able to determine the method or concept of the right approach in answering all existing constitutionality issues. Among the methods or concepts used by the Constitutional Court Judges in resolving the PHPU were judicial activism and judicial restraint, where these concepts were considered by some to have contradicting matters with one another"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Al Jabbar
"Penelitian ini merekonstruksi penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia tahun 2009 dalam surat kabar Kompas menggunakan metode sejarah. Sebagai surat kabar terbesar di zamannya, Kompas berperan penting sebagai sumber penyedia informasi bagi masyarakat Indonesia mengenai pemilu. Dalam salah satu beritanya, Kompas menyatakan bahwa manajemen Pemilu 2009 merupakan yang terburuk dibandingkan dengan Pemilu 1999 dan 2004. Pernyataan tersebut dilatarbelakangi oleh kinerja KPU yang sangat merosot. Selain itu, penelitian ini juga menguraikan bagaimana respon pemerintah dan KPU mengenai masalah penyelenggaraan Pemilu 2009. Sumber yang digunakan adalah surat kabar Kompas sezaman sebagai sumber primer, serta artikel dan buku lain sebagai sumber sekunder. Kebaruan penelitian ini menyajikan penggunaan metode dan fokus penelitian yang berbeda dari penelitian-penelitian terdahulu. Penelitian ini memunculkan penulisan dengan aspek kronologi yang lebih kuat terhadap sejarah perkembangan Pemilu 2009 dibandingkan penelitian-penelitian sebelumnya yang hanya menganalisis salah satu atau sebagian kecil berita Kompas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyelenggaraan Pemilu 2009 dalam pemberitaan surat kabar Kompasmemiliki banyak sekali kekurangan mulai dari persiapan, pelaksanaan, hingga perhitungan hasil. Dalam perkembangannya selama empat bulan April-Juli, surat kabar Kompas memiliki sikap yang konsisten dan tegas dalam memberitakan penyelenggaraan Pemilu 2009.

This study reconstructs the implementation of 2009 Indonesian general elections in the coverage of Kompas newspaper using historical methods. As the largest newspaper of its time, Kompas played an important role as a source of information for the Indonesian people regarding elections. In one of its reports, Kompas stated that the 2009 Election management was the worst compared to the 1999 and 2004 Elections. This statement was motivated by the KPU's declining performance. In addition, this study also describes how response of the government and the KPU regarding the issue of the implementation of the 2009 elections. The sources used are the contemporary Kompas newspaper as the primary source, as well as articles and other books as secondary sources. The novelty of this study presents the use of methods and research focus that are different from previous studies. This research led to writing with a stronger chronological aspect of the history of the development of the 2009 Election compared to previous studies which only analyzed one or a small portion of the Kompas news. The results of the study show that the implementation of the 2009 election in the coverage of the Kompas newspaper has many shortcomings, starting from the preparation, implementation, to the calculation of the election results. During its development during the four months of April-July, the Kompas newspaper had a consistent and firm attitude in reporting on the implementation of the 2009 elections."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kevin Bonauli
"Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas pengawasan APIP Bawaslu atas pengelolaan dana hibah Pilkada Serentak Tahun 2020 dan memberikan strategi peningkatan efektivitas pengawasan APIP Bawaslu atas pengelolaan dana hibah Pilkada Serentak Tahun 2024. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif melalui pendekatan studi kasus dengan menggunakan kriteria antara lain Peraturan Deputi Kepala BPKP Bidang Pengawasan Instansi Pemerintah Bidang Politik, Hukum, Keamanan, Pembangunan Manusia Dan Kebudayaan Nomor 1 Tahun 2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan Intern Berbasis Risiko Di Lingkungan Kementerian/Lembaga, Piagam Audit Intern Bawaslu, dan Peraturan Bawaslu Nomor 1 Tahun 2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal Bawaslu. Data diperoleh melalui reviu dokumen dan wawancara dengan pejabat dan auditor di Inspektorat Utama, Kepala Sekretariat Bawaslu Provinsi, dan Kepala Sekretariat Bawaslu Kabupaten/Kota. Hasil evaluasi menunjukan APIP Bawaslu telah melakukan pengawasan atas pengelolaan dana hibah Pilkada Serentak Tahun 2020 sesuai dengan ketentuan Permendagri Nomor 54 Tahun 2019 akan tetapi belum sepenuhnya efektif. Pengawasan yang belum efektif antara lain pada tahapan perencanaan pengawasan, pelaksanaan pengawasan atas tahapan penanggaran dana hibah Pilkada, serta pelaksanaan pengawasan atas tahapan penatausahaan dan pelaksanaan dana hibah Pilkada. Sementara itu, pelaksananaan pengawasan atas tahapan pertanggungjawaban dan pelaporan dana hibah Pilkada telah cukup efektif. Berdasarkan evaluasi tersebut, diperlukan strategi yang dapat diimplementasikan APIP Bawaslu untuk meningkatkan efektivitas pengawasan atas pengelolaan dana hibah Pilkada Tahun 2024. Pada tahapan perencanaan pengawasan, APIP Bawaslu direkomendasikan untuk melakukan empat tahapan perencanaan pengawasan berbasis risiko berdasarkan Petunjuk Pelaksanaan PIBR serta menyusun program pengawasan komprehensif atas pengelolaan dana hibah Pilkada Tahun 2024. Sementara itu, pada tahapan pelaksanaan pengawasan, APIP Bawaslu direkomendasikan untuk meningkatkan jumlah reviu atas anggaran dana hibah Pilkada, meningkatkan kualitas pendokumentasian Catatan Hasil Reviu anggaran dana hibah Pilkada, meningkatkan intensitas kegiatan pembinaan serta asistensi khusus pengelolaan dana hibah Pilkada Serentak Tahun 2024, serta melaksanakan kegiatan audit pada saat pengelolaan atas dana hibah masih berjalan agar pengelola dana hibah masih dapat melakukan perbaikan apabila ditemukan kesalahan pada pelaksanaan audit.

This research aims to evaluate the effectiveness of APIP Bawaslu's supervision over the management of grant funds for the 2020 Simultaneous Regional Elections and provide a strategy to increase the effectiveness of APIP Bawaslu's supervision over the management of grant funds for the Simultaneous Regional Elections in 2024. The method used in this research is qualitative through a case study approach using criteria between Regulations of the Deputy Head of BPKP for Supervision of Government Agencies in the Sectors of Politics, Law, Security, Human Development and Culture Number 1 of 2020 concerning Guidelines for Implementing Risk-Based Internal Supervision in Ministries/Agencies, Bawaslu Internal Audit Charter, and Bawaslu Regulation Number 1 of 2021 concerning Organization and Work Procedures of the Bawaslu Secretariat General. Data was obtained through document reviews and interviews with officials and auditors at the Inspectorate, Head of the Provincial Bawaslu, and Head of Regency/City Bawaslu. The evaluation results show that APIP Bawaslu has supervised the management of grant funds for the 2020 Simultaneous Regional Elections in accordance with the provisions of Minister of Home Affairs Regulation Number 54 of 2019, but has not been fully effective. Supervision that has not been effective includes, among other things, the planning stages of supervision, the implementation of supervision over the budgeting stages of regional election grant funds, as well as the implementation of supervision over the stages of administration and implementation of regional election grant funds. Meanwhile, the implementation of supervision over the accountability and reporting stages of regional election grant funds has been quite effective. Based on this evaluation, a strategy is needed that APIP Bawaslu can implement to increase the effectiveness of supervision over the management of 2024 Pilkada grant funds. At the supervision planning stage, APIP Bawaslu is recommended to carry out four stages of risk-based supervision planning based on the PIBR Implementation Guidelines and develop a comprehensive monitoring program for management. Meanwhile, at the monitoring implementation stage, APIP Bawaslu is recommended to increase the number of reviews of the Pilkada grant fund budget, improve the quality of documentation of the Record of Review Results of the Pilkada grant fund budget, increase the intensity of consulting activities and special assistance, and carrying out audit activities while the management of grant funds is still ongoing so that grant fund managers can still make improvements if errors are found in the implementation of the audit."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adeline Syahda
"Penyelesaian Pelanggaran administrasi Pilkada dan Pemilu oleh Bawaslu dan jajaran sesuai dengan mandat UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Keduanya menggunakan mekanisme yang bebeda yaitu mekanisme penerimaan laporan, kajian dengan produk rekomendasi untuk pilkada dan mekanisme adjudikasi dalam persidangan terbuka umum dengan produk putusan untuk Pemilu. Pada praktiknya terdapat hambatan dalam penyelesaian pelanggaran administrasi pilkada yang difokuskan pada pelanggaran Pasal 71 ayat (2) ayat (3) dengan sanksi administrasi pembatalan calon karena diparitas mekanisme dan produk akhir ini. Ditemui variasi tindaklanjut yang dilakukan oleh KPU dan jajarannya ketika produk pelanggaran administrasi berupa rekomendasi meskipun baik putusan ataupun rekomendasi, UU Pemilu dan UU Pilkada sama mengatur kewajiban KPU dan jajarannya untuk melakukan tindaklanjut. Perbedaan terletak pada konteks pilkada karena setalah rekomendasi Bawaslu diberikan UU Pilkada juga memberikan kewenangan memeriksa dan memutus pelanggaran administrasi Pilkada oleh KPU dan jajarannya. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakan penanganan pelanggaran administrasi Pilkada dan Penanganan Pelanggaran administrasi Pemilu oleh Bawaslu dan bagaimanakah hambatan dalam penanganan pelanggaran administrasi Pilkada jika dibandingkan dengan penanganan pelanggaran Pemilu berdasarkan Putusan dan Rekomendasi. Penulisan tesis ini menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penanganan pelanggaran administrasi Pilkada dan Pemilu menggunakan mekanisme yang diatur oleh dua regulasi yang berbeda sehingga menimbulkan disparitas meskipun diselenggarakan oleh lembaga yang memiliki kewenangan yang sama sebagaimana putusan MK 48/PUU-XVII/2019. Ditemui hambatan seperti perbedaan pemahaman antara KPU dan Bawaslu, sifat dan daya ikat rekomendasi, mekanisme non adjudikasi yang tidak berimbang dengan output rekomendasi pembatalan calon, peraturan KPU yang tidak sesuai. Saran adalah perbaikan kerangka hukum dengan revisi UU Pilkada berkenaan dengan kewenangan pelanggaran administrasi menyesuaikan dengan UU Pemilu untuk pelanggaran Pasal 71 ayat (2), (3) dengan sanksi pembatalan calon dengan output putusan, mengatur hukum acara sendiri, revisi PKPU Nomor 25 Tahun 2013 dan membangun kesepahaman antar lembaga penyelenggara pemilu

Settlement of Election and Election administrative violations by Bawaslu and its ranks in accordance with the mandate of Law Number 7 of 2017 concerning General Elections and Law Number 10 of 2016 concerning Election of Governors, Regents and Mayors. Both of them use different mechanisms, namely the mechanism for receiving reports, studies with recommendation products for the regional elections and adjudication mechanisms in public open trials with decisions for elections. In practice, there are obstacles in resolving election administrative violations which are focused on violations of Article 71 paragraph (2) paragraph (3) with administrative sanctions for canceling candidates due to the disparity of the mechanism and the final product. There were variations of follow-up carried out by the KPU and its staff when the product of administrative violation was in the form of a recommendation, even though it was a decision or recommendation. The Election Law and the Pilkada Law both regulate the obligations of the KPU and its staff to follow up. The difference lies in the context of the election because after the Bawaslu recommendation was given the Pilkada Law also gave the authority to examine and decide on violations of the election administration by the KPU and its staff. The formulation of the problem in this research is howhandling of election administrative violations and handling of election administrative violations by Bawaslu and how are the obstacles in handling election administrative violations when compared to handling election violations based on Decisions and Recommendations. The writing of this thesis uses a normative juridical legal research method. The results of the study indicate that the handling of administrative violations of the Pilkada and General Elections uses a mechanism regulated by two different regulations, causing disparities even though they are carried out by institutions that have the same authority as the Constitutional Court's decision 48/PUU-XVII/2019. Obstacles were encountered such as differences in understanding between the KPU and Bawaslu, the nature and binding power of the recommendations, non-adjudication mechanisms that were not balanced with the output of recommendations for the cancellation of candidates, Inappropriate KPU regulations. Suggestions are improvements to the legal framework by revising the Pilkada Law with regard to the authority for administrative violations to comply with the Election Law for violations of Article 71 paragraph (2), (3) with sanctions for canceling candidates with decision outputs, regulating their own procedural law, revising PKPU Number 25 of 2013 and build understanding among election management bodies."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nilam Rahmahanjayani
"Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan kewenangan menguji Undang-undang terhadap UUD 1945 berperan sebagai negative legislator. Dalam perkembangannya seringkali Mahkamah Konstitusi tidak hanya memutus apakah suatu norma bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak tetapi juga merumuskan norma baru. Sikap aktif Mahkamah Konstitusi tersebut dianggap sebagai bentuk penerapan prinsip judicial activism. Judicial Activism dipahami sebagai dinamisme para hakim ketika membuat putusan tanpa melalui batas-batas konstitusi. Namun banyaknya kritik terhadap prinsip judicial activism melahirkan doktrin judicial restraint sebagai sebuah antitesa. Dalam doktrin judicial restraint, pengadilan harus dapat melakukan pengekangan diri dari kecenderungan ataupun dorongan untuk bertindak layaknya sebuah miniparliament. Putusan Mahkamah Konstitusi yang menerapkan prinsip ini pun tidak sedikit jumlahnya. Namun hingga kini penerapan kedua prinsip tersebut oleh Mahkamah Konstitusi belum jelas. Oleh karena itu, skripsi ini ingin membahas mengenai penerapan kedua prinsip tersebut dalam putusan pengujian Undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Metode penulisan yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif dan menggunakan bahan kepustakaan serta wawancara.
Dari hasil riset didapati bahwa belum adanya parameter bagi Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan kapan dan dalam keadaan yang bagaimana bisa menerapkan prinsip judicial restraint dan judicial activism menimbulkan kerancuan. Prinsip judicial restraint dan judicial activism tidak bisa disamakan penerapannya dalam setiap kasus karena masing-masing kasus memiliki persoalan yang berbeda. Tidak ada satu prinsip yang lebih baik atau yang lebih tinggi dari prinsip lainnya, sehingga tidak bisa dikatakan jika Mahkamah Konstitusi lebih baik mengedepankan penerapan judicial restraint dibanding judicial activism maupun sebaliknya.

The Constitutional Court in executing its authority to review the constitutionality of the law act as negative legislator. In its development the Constitutional Court often to not only decide whether a norm contradict to the constitution or not but also formulate a new norm. The Constitutional Court 39s active stance is considered as a form of applying the judicial activism principle. Judicial Activism is understood as the dynamism of judges when making decisions without going through the boundaries of the constitution. However, many criticisms towards judicial activism causing judicial restraint doctrine to rise as an antithetical view In judicial restraint doctrin, the court must be able to exercise self restraint from the tendency to act like a miniparliament. There are many Constitutional Court's cases that applies the judicial restraint principle. However, until now the application of both principles by the Constitutional Court is not clear. Therefore, this thesis would like to examine about the application of both principles on judicial review cases in Constitutional Court. Research method used is normative juridical writing with qualitative approach from library materials and interview.
The research results found that there is no parameter yet for the Constitutional Court to decide when and under what circumstances to apply the judicial restraint and judicial activism principles. It cause confusion. Nevertheless, the judicial restraint and judicial activism principle can not be equated with the application in each case because each case has different problems. There is no one principle that is better or higher than other principles, so it can not be said if the Constitutional Court is better put forward the implementation of judicial restraint than judicial activism or vice versa.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Abdillah
"Abstrak
Lembaga Quasi Non Governmental Organization atau yang biasa disebut sebagai Quango belum terlalu terdengar dalam khasanah lembaga negara di Indonesia. Namun bukan berarti lembaga tersebut tidak ada. Artikel ini mencoba mengulas mengenai keberadaan lembaga Quasi Non Governmental Organization (Quango) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, dalam hal ini adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Di dalam artikel ini dijelaskan mengenai pengertian Quango beserta dengan karakteristiknya dari berbagai negara. Kemudian, artikel ini juga mengkaji bahwa berdasarkan karakteristik Quango tersebut, MUI dapat diklasifikasikan sebagai salah satu Quango yang ada di Indonesia. Artikel ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan studi pustaka mengenai Quango dan pelaksanaannya di berbagai negara di dunia."
Depok: Badan Penerbit FHUI, 2019
340 JHP 49:1 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Komang Tri Gayatri Saraswati
"Penelitian ini dilakukan dengan upaya untuk melihat hubungan antara keduanya ketidakpastian politik yang disebabkan oleh pemilihan umum melawan kebijakan dividen perusahaan ditetapkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham Saham (RUPS) menggunakan data dari perusahaan non keuangan di Indonesia yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang melakukannya pembayaran dividen berturut-turut pada tahun 2004 - 2017. As Selain itu, penelitian ini mempertimbangkan hubungan antara kepemilikan menyatakan kebijakan dividen perusahaan dalam kondisi ketidakpastian yang besar tinggi. Penelitian ini menggunakan metode analisis regresi efek acak melakukan pengujian hipotesis. Berdasarkan pemrosesan data yang tersedia, ditemukan bahwa ketidakpastian politik tidak mempengaruhi kebijakan dividen perusahaan. Di sisi lain, penelitian ini juga menemukan bahwa tidak ada hubungan antara kepemilikan negara terhadap kebijakan dividen perusahaan pada kondisi ketidakpastian politik.

This research was conducted with an attempt to see the relationship between the two political uncertainties caused by the general election against the company's dividend policy stipulated in the General Meeting of Shareholders (GMS) using data from non-financial companies in Indonesia listed on the Indonesia Stock Exchange (IDX) that did so. successive dividend payments in 2004 - 2017. As well, this study considers the relationship between the stated ownership of the company's dividend policy under conditions of high uncertainty. This study uses a random effect regression analysis method to test the hypothesis. Based on available data processing, it is found that political uncertainty does not affect the company's dividend policy. On the other hand, this study also finds that there is no relationship between state ownership and company dividend policy under conditions of political uncertainty."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Distinctly the 1945 Constitution has given authority to perform judicial power to the “Supreme Court", that is the authority to perform judiciary. The authority to perform judiciary in concrete reality, means expressing what the law is for the case presented to him. Reviewing (testing) the law in principle is also an action for expressing its law, because this action means determining whether a law is conitradictory to the Constitution or not"
340 KANUN 11:29 (2001)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>