Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 158291 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Farida Nur Fatihah
"Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara gaya resolusi konflik dan kepuasan perkawinan pada keluarga single-earner (hanya suami yang bekerja) dan dual-earner (suami dan istri sama-sama bekerja). Gaya resolusi konflik, menurut Kurdek (1994) terbagi menjadi empat gaya yaitu positive problem solving, compliance, conflict engagement, dan withdrawal. Sebanyak 672 partisipan (82 laki-laki, 590 perempuan) diminta untuk mengisi kuesioner (terdiri dari alat ukur kepuasan perkawinan, gaya resolusi konflik, human value, dan marital characteristics) secara tatap muka dan online (via Google Form). Hasil menunjukkan bahwa positive problem solving berkorelasi secara positif dengan kepuasan perkawinan pada kedua kelompok. Sebaliknya, compliance, conflict engagement, dan withdrawal berkorelasi secara negatif dengan kepuasan perkawinan pada kedua kelompok. Hanya gaya positive problem solving, conflict engagement, dan withdrawal yang dapat memprediksi kepuasan perkawinan partisipan pada kedua kelompok. Selain itu, ditemukan bahwa tidak ada perbedaan kepuasan perkawinan di antara keluarga single-earner dan dual-earner.

This study aims to examine the relationship between conflict resolution style and marital satisfaction in the context of single-earner (only the husband work) and dual-earner family (both husband and wife work). According to Kurdek (1994), conflict resolution style is divided into four styles, which are positive problem solving, compliance, conflict engagement, and withdrawal. A total of 672 participants (82 male, 590 female) filled out offline and online questionnaires (via Google Form). The questionnaire consisted of marital satisfaction, conflict resolution styles, human value, and marital characteristics measuring instrument. Result shows that positive problem solving is positively correlated with marital satisfaction in both groups. On the contrary, compliance, conflict engagement, and withdrawal are negatively correlated with marital satisfaction on both group. Only positive problem solving, conflict engagement, and withdrawal that could predict marital satisfaction of the two groups. Furthermore, this study found that there are no difference in marital satisfaction between single-earner and dual-earner."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firli Marcelia
"Peningkatan partisipasi perempuan dalam angkatan kerja telah berimplikasi pada peningkatan dual-earner couple di Indonesia. Beberapa penelitian yang dilakukan di negara lain, seperti Australia dan Amerika, menemukan bahwa dual-earner couple berisiko mengalami berbagai tekanan yang dapat membuat mereka mengalami marital burnout lebih tinggi dibandingkan dengan single-earner couple. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan marital burnout antara dual-earner couple dengan single-earner couple, dan perbandingan suami atau istri dari dual-earner couple dengan suami atau istri dari single-earner couple, serta perbandingan marital burnout antara suami dan istri dari dual-earner couple. Terdapat 382 responden yang terdiri atas 191 suami, dan 191 istri yang berpartisipasi dalam penelitian ini. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dual-earner couple memiliki marital burnout yang tidak lebih tinggi dibandingkan dengan single-earner couple, suami dari dual-earner couple memiliki marital burnout yang tidak lebih tinggi dibandingkan dengan suami dari single-earner couple; dan istri dari dual-earner couple memiliki marital burnout yang tidak lebih tinggi dibandingkan dengan istri dari single-earner couple. Hal ini dapat disebabkan oleh karakteristik dari responden dan faktor lain yang dapat mempengaruhi hasil penelitian.

Increase in women rsquo s labor force participation has been implicated in the increase in dual earner couple in Indonesia. Several studies conducted in other countries, such as Australia and America, found that dual earner couple at risk of developing a variety of pressures that can make them experience higher marital burnout than single earner couple. This research is aimed to compare the marital burnout among dual earner couple with a single earner couple, and a comparison of the husband or wife of a dual earner couple with the husband or wife of a single earner couple, as well as marital burnout comparison between a husband and wife from dual earner couple. There were 382 respondents consisted of 191 husbands and 191 wives who participated in this study. The results of this study indicate that marital burnout in dual earner couple was not higher than single earner couple, marital burnout in husband in dual earner couple is not higher than husband in single earner couple and marital burnout in wife in dual earner couple was not higher than wife in single earner couple. This could be due to the characteristics of participants and other factors that may affect the results of this study.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S66067
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cut Maghfirah Faisal
"Setiap tahun jumlah wanita yang bekerja terus meningkat sedangkan jumlah wanita yang mengurus rumah tangga semakin menurun. Hal ini membuat jumlah pasangan suami istri pencari nafkah ganda juga meningkat. Pada tahun 2014, jumlah pasangan pencari nafkah ganda di Indonesia ialah sebanyak 51,2%, sementara jumlah pasangan pencari nafkah tunggal ialah sebanyak 39,9%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan kepuasan pernikahan antara suami/istri dari pasangan pencari nafkah ganda dan suami/istri dari pasangan pencari nafkah tunggal, serta perbandingan kepuasan pernikahan antara suami dan istri pada pasangan pencari nafkah ganda dan tunggal. Sebanyak 368 orang suami/istri berpartisipasi dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kepuasan pernikahan yang signifikan antara suami/istri dari pasangan pencari nafkah ganda dan pencari nafkah tunggal; dan tidak terdapat perbedaan kepuasan pernikahan yang signifikan antara suami dan istri baik pada pasangan pencari nafkah ganda maupun tunggal. Sehingga secara umum dapat disimpulkan bahwa status pekerjaan istri tidak berdampak pada kepuasan pernikahan. Selain itu, secara umum skor rata-rata kepuasan pernikahan partisipan berada di level yang tinggi. Hal ini terjadi karena budaya kolektivis di Indonesia serta berbagai faktor yang menguntungkan kedua kelompok partisipan, seperti kesamaan latar belakang dengan pasangan, usia pernikahan, dan jumlah anak.

Every year, the number of working woman increases, meanwhile the number of housewife decreases. This condition caused the increase in the number of dual-earner couple. In 2014, the number of dual-earner couple in Indonesia is 51,2%, while the number of single-earner couple is 39,9%. This research is aimed to investigate the comparison of marital satisfaction between husband/wife from dual-earner and single-earner couples; as well as comparison of marital satisfaction between husband and wife from dual- and single-earner couples. There are 368 husbands/wives who participated in this research. The results show that there is no significant difference in marital satisfaction between husband/wife from dual-earner and single-earner couples; and there is no significant difference in marital satisfaction between husband and wife in dual-earner and single-earner couples. Hence, we can conclude that wife’s working status does not affect marital satisfaction. In general, mean score of marital satisfaction among all participants is high. This condition occurred because of collectivism in Indonesia as well as various factors that is beneficial for both groups of participant, such as background similarity with couple, length of marriage, and number of children.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S63984
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizqika Rahmadini
"Meningkatnya jumlah wanita yang bekerja dapat mengarah kepada kondisi dual-earner family, di mana suami dan istri sama-sama bekerja. Istri dalam dual-earner family menghadapi konflik peran yang disebut dengan Work-Family Conflict. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara Work-Family Conflict dengan kepuasan pernikahan pada istri dalam dual-earner family. Variabel Work-Family Conflict dan kepuasan pernikahan diukur dengan menggunakan Work-Family Conflict Scale WFCS dan Couple-Satisfaction Index-16 CSI-16 . Terdapat 181 partisipan wanita di dalam penelitian ini dengan kriteria; berusia 20 hingga 60 tahun, pendidikan minimal SMA, telah bekerja di tempat yang sama selama minimal 1 tahun dan merupakan pegawai yang bekerja secara penuh, memiliki suami yang juga bekerja, serta bekerja di wilayah Jabodetabek. Analisis korelasi Pearson menunjukkan bahwa Work-Family Conflict berhubungan negatif secara signifikan dengan kepuasan pernikahan r = -0.346.

The increasing number of working women may lead to a dual earner family condition, where both husband and wife are working. Wives from dual earner families face a role conflict called Work Family Conflict. This research was conducted to examine the relationship between Work Family Conflict and and wives rsquo marital satisfaction in dual earner families. Work Family Conflict and marital satisfaction variable were measured using Work Family Conflict Scale and Couple Satisfaction Index 16, respectively. There were 181 female participants in this study with these following characteristics 20 60 years, at least a high school graduate, working in the same place at least for 1 year as a full time employee, having a working husband, and working in Jabodetabek area. Pearson correlation analysis showed that Work Family Conflict was significantly correlated with marital satisfaction r 0.346."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rima Woro Astuti
"Kepuasan pernikahan menjadi salah satu hal penting dalam pernikahan, tak terkecuali pada istri yang menjalani dual-earner family. Penelitian ini merupakan penelitian korelasi prediktif yang bertujuan untuk melihat peran work-family balance terhadap kepuasan pernikahan pada istri yang menjalani dual-earner family. Work-family balance diukur dengan Work-Family Balance Scale. Sementara kepuasan pernikahan diukur dengan Couple Satisfaction Index CSI. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 181 istri yang menjalani dual-earner family di Jabodetabek. Multiple regression digunakan sebagai metode dalam melakukan pengujian hipotesis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa work-family balance memiliki peran yang signifikan dalam memprediksi kepuasan pernikahan ?=0,299, R2=8,9.

Marital satisfaction is one of the most important things in marriage, which also includes wife from dual earner family. This research is a predictive correlational study that aims to see the role of work family balance in marital satisfaction among wife from dual earner family. Work family balance is measured using Work Family Balance Scale WFBS, while marital satisfaction is measured using Couple Satisfaction Index CSI. The participants of this study were 181 wives from dual earner family living in Jabodetabek. Multiple regression is used to examine the hypothesis. The results of this study shows that work family balance has a significant role to predict marital satisfaction 0,299, R2 8,9."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Giffari Arsyad
"Pernikahan dianggap sebagai hubungan yang penting karena berfungsi sebagai penyedia cinta, keamanan, dan kebahagiaan bagi individu. Meski begitu, konflik merupakan hal yang tidak dapat dihindari dalam pernikahan. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan kontribusi pada eksplorasi faktor-faktor yang memengaruhi kepuasan pernikahan dan resolusi konflik dengan melihat perbedaan pada generasi X dan Y. Penelitian juga dilakukan untuk melihat efek moderasi perbedaan generasi pada hubungan keduanya. Uji independent sample t-test dan moderasi dilakukan kepada 787 partisipan yang telah menikah (217 generasi X dan 570 generasi Y) menggunakan kuesioner berisi 16 item CRSI (Conflict Resolution Style Inventory) untuk mengukur gaya resolusi konflik dan 6 item QMI (Quality of Marriage Index) untuk mengukur kepuasan pernikahan. Hasilnya, generasi Y ditemukan lebih sering menggunakan gaya conflict engagement dibandingkan dengan generasi X. Generasi X lebih sering menggunakan compliance dan memiliki kepuasan pernikahan lebih tinggi ketimbang generasi Y. Kemudian, perbedaan generasi tidak memoderatori hubungan gaya conflict engagement dengan kepuasan pernikahan, namun memoderatori hubungan gaya positive problem solving, compliance dan withdrawal dengan kepuasan pernikahan. Dapat disimpulkan bahwa perbedaan generasi dapat berpengaruh pada resolusi konflik dan kepuasan pernikahan serta menjadi moderator pada hubungan keduanya meski memiliki pengaruh yang kecil.

Marriage is considered as an important relationship because it provides love, security, and happiness for individuals. Even so, conflict is something that cannot be avoided in marriage. This study aims to contribute to the study of factors that influence marital satisfaction and conflict resolution by looking at differences in generations X and Y. Research is also conducted to look for the moderating effects of generational differences between those variables. Independent sample t-test and moderation analysis were conducted on 787 participants (217 generation X and 570 generation Y) using a questionnaire containing 16 items of CRSI (Conflict Resolution Style Inventory) to measure conflict resolution styles and 6 items of QMI (Quality Marriage index) to measure marital satisfaction. Generation Y was found to use conflict engagement style more frequently than generation X. Generation X used compliance style more often and had higher marriage satisfaction than generation Y. Then, generational differences did not moderate the relationship between conflict engagement style and marriage, but moderated the relationship of positive problem solving, compliance and withdrawal style with marriage satisfaction. It can be concluded that the generational differences can result distinct conflict resolution style, marital satisfaction, and become a moderator for their relationship."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Aditya Pranata
"Tingginya level subjective well-being (SWB) telah terbukti dapat melindungi remaja dari stres akibat banyaknya perubahan yang dialami di masa ini. Diketahui bahwa pola asuh orang tua dapat berkontribusi terhadap SWB remaja. Pada keluarga dual earnerkondisi pekerjaan orang tua diprediksi dapat berpengaruh terhadap pola asuh tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara pola asuh dan SWB remaja di keluarga dual earner. Pengambilan data dilakukan dengan menyebarkan kuesioner secara online. Hasil analisis korelasi terhadap 118 remaja di SMP dan SMA di Jabodetabek menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang siginifkan antara kecenderungan pola asuh autoritatif dengan seluruh komponen SWB. Sementara itu, kecenderungan pola asuh permisif dan otoriter hanya berhubungan signifikan dengan komponen kepuasan hidup dan afek positif dari SWB. Penelitian ini menunjukkan kecenderungan pengasuhan autoritatif memiliki efek paling positif dan optimal bagi SWB remaja
.High subjective well-being(SWB) have been proven as a protective factor for adolescents experiencing stress due to various changes during this developmental period. It is known that parenting style contributes to adolescents’ SWB. In dual earner families, working parents might have certain conditions that influence their parenting which in turn, influence adolescents’ SWB. The purpose of this study is to investigate the relationship between parenting style and adolescent’s SWB in dual earner families. Data was collected via online questionnaire. Correlation analysis of 118 adolescents in middle and high school in Jabodetabek showed significant relationship between parents’ authoritativeness and all SWB components, whereas parents’ permissiveness and authoritarianism showed significant relationship only with life satisfaction and positive affect component. This result suggested that parents’ authoritativeness had the most positive and optimal effect to adolescents’ SWB.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitria Umami
"Penelitian ini dilakukan untuk melihat Hubungan antara Pola Pengasuhan dan Regulasi Emosi Anak Usia 2-7 tahun pada Keluarga dengan Kedua Orangtua Bekerja. Sebanyak 80 orangtua pada keluarga dengan kedua pasangan bekerja menjadi partisipan dalam penelitian ini dengan mengisi kuesioner cetak maupun online yang berisikan item-item yang mengukur pola pengasuhan orangtua dan regulasi emosi pada anak. Pola pengasuhan orangtua diukur dengan alat ukur Parenting Style Development Questionnaire (PSDQ) yang dikonstruksi oleh Robinson, dkk (1995).Dari hasil penelitian ini, terdapat 41 orangtua yang menerapkan pola pengasuhanAuthoritative, 25 orangtua yang menerapkan pola pengasuhan Authoritarian, dan 14orangtua yang menerapkan pola pengasuhanPermissive. Selanjutnya Regulasi Emosi diukur dengan menggunakan alat ukur Emotion Regulation Checklist (ERC) yang dikonstruksi oleh Shields & Cicchetti (1997). Pada penelitian ini ditunjukkan rata-rata hasil skor regulasi emosi anak usia 2-7 tahun sebesar 72,16, dari angka ini diidentifikasikan bahwa terdapat 34 anak yang memiliki kemampuan regulasi emosi baik dan 46 anak yang memiliki kemampuan regulasi emosi buruk.Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapathubungan yang signifikan antara ketiga pola pengasuhan orangtua dan regulasi emosi pada anak.

This study was conducted to see the relationship between parenting style and emotion regulation on children aged 2-7 years from dual-earner family. A total of 80 parents in families with both spouses working become participants in this study by completing a physic or online questionnaire containing items that measure parenting style and emotion regulation in children. Parenting style was measured by a Parenting Style Development Questionnaire (PSDQ) constructed by Robinson, dkk (1995). From the result of this study, there are 41parents who apply authoritative parenting style,25 parents who apply authoritarian parenting style, and 14 parents who apply permissive parenting style. Furthermore, Emotion Regulation is measured by Emotion Regulation Checklist (ERC), which is constructed by Shields & Cicchetti (1997). In this study, the results indicated an average score of emotion regulation on children aged 2-7 years at 72.16, this figure was identified that there is 34 children who have a good emotion regulation abilities and 46 children who have poor emotion regulation abilities. The results of this study indicate that there are significant relationship between threeparenting style and emotion regulation on children.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S58361
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syifa Rasyida Adriani
"Laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan kecenderungan gaya resolusi konflik yang
digunakan dalam menyelesaikan konflik perkawinan, dan hal tersebut dapat
mempengaruhi kepuasan perkawinan. Penelitian ini dilakukan untuk menguji apakah
terdapat pengaruh yang signifikan gaya resolusi konflik terhadap kepuasan perkawinan
pada laki-laki dan perempuan pada 5 tahun pertama perkawinan, serta mengetahui apakah
terdapat perbedaan yang signifikan tingkat kepuasan perkawinan dan penggunaan gaya
resolusi konflik pada kedua kelompok tersebut. Uji independent sample t test dan
multiple regression dilakukan kepada 625 partisipan (171 laki-laki dan 454 perempuan)
berusia 20 - 40 tahun yang sedang menjalani hubungan perkawinan dengan usia
perkawinan sama dengan atau kurang dari 5 tahun. Resolusi konflik diukur dengan CRSI
(Conflict Resolution Styles Inventory) dan kepuasan perkawinan diukur dengan QMI
(Quality of Marriage Index). Hasilnya, ditemukan perbedaan tingkat kepuasan
perkawinan dimana laki-laki memiliki tingkat kepuasan perkawinan yang lebih tinggi
dibandingkan perempuan. Selain itu, juga ditemukan perbedaan yang signifikan gaya
resolusi konflik yang cenderung digunakan laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki
lebih sering menggunakan gaya positive problem solving dan compliance, sedangkan
perempuan lebih sering menggunakan gaya conflict engagement. Kemudian, juga
ditemukan terdapat pengaruh yang signifikan gaya resolusi konflik conflict engagement,
withdrawal, dan positive problem solving terhadap kepuasan perkawinan, dimana gaya
conflict engagement dan withdrawal berpengaruh secara negatif terhadap kepuasan
perkawinan, sedangkan gaya positive problem solving berpengaruh secara positif
terhadap kepuasan perkawinan. Lalu, gaya resolusi konflik yang paling dapat
memprediksi tingkat kepuasan perkawinan pada laki-laki maupun perempuan adalah
positive problem solving. Disarankan bagi individu yang telah menikah untuk
menerapkan gaya resolusi konflik yang memberikan pengaruh positif agar mereka dapat
mempertahankan atau meningkatkan kepuasan perkawinan mereka.

Men and women have differences in conflict resolution styles that tend to be used to
resolve their marital conflicts, and this can affect their marital satisfactions. This study
was conducted to examine whether there is a significant effect of conflict resolution
styles on marital satisfaction in men and women in the first 5 years of marriage, and also
to know whether there is a significant differences of level of marital satisfaction and the
use of conflict resolution styles between men and women. Independent sample t test and
multiple regression tests were conducted on 625 participants (171 men and 454 women)
aged 20-40 years who were in marital relationships with marital duration equal to or less
than 5 years. Conflict resolution was measured by CRSI (Conflict Resolution Styles
Inventory) and marital satisfaction was measured by QMI (Quality of Marriage Index). It
was found that there was a difference in the level of marital satisfaction that men have a
higher level of marital satisfaction than women. It was also found a significant difference
in conflict resolution styles that tend to be used by men and women, where men more
often use positive problem solving and compliance styles, while women more often use
conflict engagement styles. Then, it was also found that there was a significant effect of
conflict engagement, withdrawal, and positive problem solving style on the level of
marital satisfaction, where conflict engagement and withdrawal styles negatively affected
marital satisfaction, whereas positive problem solving style positively affected marital
satisfaction. Finally, conflict resolution style that can best predict the level of marital
satisfaction in both men and women was positive problem solving. It is recommended for
married individuals to apply a conflict resolution style that has a positive influence so that
they can maintain or increase their marital satisfaction
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purba, Rina Jericho
"Jumlah tenaga kerja perempuan di Indonesia terus meningkat setiap tahun. Hal ini mulai menggeser peran gender tradisional menjadi egaliter sehingga memunculkan struktur keluarga baru, yaitu dual earner. Pasangan dual earner merupakan suami dan istri yang bekerja keduanya. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat hubungan positif yang signifikan antara stres eksternal dan stres internal. Selain itu, penelitian ini ingin mengetahui apakah common dyadic coping dapat memoderasi hubungan stres internal dan stres eksternal. Partisipan penelitian merupakan 164 individu dari pasangan dual earner yang berusia di atas 20 tahun. Alat ukur yang digunakan adalah Multidimensional Stress Questionnaire For Couples (MSF-P) dan Dyadic Coping Inventory (DCI). Analisis data menggunakan analisis korelasi dan regresi untuk melihat efek moderasi. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan positif yang signifikan antara stres eksternal dan stres internal (r=0.742, p<0.01, one tailed). Selain itu, hubungan keduanya dimoderasi oleh common dyadic coping secara signifikan (b = 0.11, 95% CI [0.02, 0.19], t = 2.55, p<0.05). Hasil ini dapat dijadikan acuan intervensi mengenai common dyadic coping untuk meminimalisasi tingkat stres eksternal dan internal pada pasangan dual earner.

The number of female workers in Indonesia continues to increase every year. This has begun the shift of traditional gender role to egalitarian gender role which gives a rise to a new family structure, namely the dual earner. Dual earner couples are husband and wife who both work. The aim of this study is to assess whether there is a significant positive relationship between external stress and internal stress. Aside from that, this study aims to the role of common dyadic coping in moderating the relationship between external stress and internal stress. Participants of this study are 164 individuals of dual earner couple aged above 20 years. Measuring instruments in this study are Multidimensional Stress Questionnaire For Couples (MSF-P) dan Dyadic Coping Inventory (DCI). The datas were analyzed using correlation analysis and regression analysis to assess the moderation effect. Results indicated that there is a significant positive relationship between external stress and internal stress (r=0.742, p<0.01, one tailed). Furthermore, that relationship is moderated by common dyadic coping significantly (b = 0.11, 95% CI [0.02, 0.19], t = 2.55, p<0.05). These results can be used as a reference for interventions regarding common dyadic coping to minimize external stress and internal stress levels in dual earner couple."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>