Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 151396 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aryandhito Widhi Nugroho
"LATAR BELAKANG: Waktu tunggu menuju operasi pengangkatan tumor intrakranial elektif di Indonesia masih belum diketahui. Penulis bertujuan mengetahui waktu tunggu menuju operasi pengangkatan tumor intrakranial elektif di Departemen Bedah Saraf FKUI/RSUPNCM dan menganalisis hubungannya dengan luaran fungsional 3 bulan pascaoperasi menurut skala performa Karnofsky. METODE: Penelitian retrospektif ini didasarkan pada data rekam medis dan register pasien neuroonkologi yang menjalani operasi pengangkatan tumor intrakranial elektif pada tahun 2016. Analisis regresi logistik multivariabel dipakai
untuk mengetahui kemaknaan statistik dari hubungan antara waktu tunggu menuju operasi pengangkatan tumor intrakranial elektif dengan luaran fungsional dependen, ditandai oleh skor KPS 0-70 3 bulan pascaoperasi, dengan mempertimbangkan usia, jenis kelamin, skor KPS praoperasi, volume tumor pradan pascaoperasi, persentase pengangkatan tumor, patologi dan grading tumor.
HASIL: Median (min-maks) waktu tunggu secara umum adalah 35 (0-529) hari. Tampak hubungan bermakna antara waktu tunggu menuju operasi pengangkatan tumor intrakranial elektif dengan luaran fungsional pada analisis univariabel (OR [95%CI]: 1,004 [1,001-1,007], tetapi tidak pada analisis multivariabel. Nilai kolinearitas volume tumor pra-operasi, pascaoperasi dan persentase pengangkatan tumor dengan waktu tunggu masing-masing adalah sebesar 5,92, 5,69, dan 3,2. SIMPULAN: Tidak terdapat hubungan bermakna secara statistik antara waktu tunggu menuju operasi pengangkatan tumor elektif dengan skor KPS 3 bulan pascaoperasi. Terdapat korelasi kuat antara waktu tunggu dengan volume tumor pra- dan pascaoperasi serta persentase pengangkatan tumor.

BACKGROUND: The waiting time to elective intracranial tumor removal surgery in Indonesia is unknown. The author aimed to identify the waiting time to elective intracranial tumor removal surgery in the Department of Neurosurgery FMUI/RSUPNCM, and to analyze its association with functional outcome 3, defined by Karnofsky Performance Scale (KPS), in 3 months after surgery.
METHODS: This retrospective study was based on medical record and the registry of neuro-oncology patient who underwent elective intracranial tumor removal surgery in 2016. Multivariable logistic regression analyses were utilized to
investigate statistical significance of waiting time to elective intracranial tumor removal surgery and poor functional outcome, defined by 3-months follow-up KPS of 0-70, adjusting for age, sex, pre-operative KPS score, pre and post-operative
tumor volume, percentage of tumor removal, tumor histopathology and grading. RESULTS: Overall median (min-max) of waiting time to elective intracranial tumor removal surgery was 35 (0-529) days. Significant statistical association between waiting time to elective intracranial tumor removal surgery and poor functional outcome was identified in univariable analysis (OR [95%CI]: 1,004 [1,001- 1,007]), but not in multivariable analysis. The collinearity value of pre- and postoperative tumor volume, percentage of tumor removal with waiting time were,
respectively, 5,92, 5,69, and 3,2. CONCLUSION: There was no significant statistical association identified between
waiting time to elective intracranial tumor removal surgery and KPS 3 months after surgery. Strong correlations were identified between pre- and post-operative tumor volume, percentage of tumor removal and waiting time to elective intracranial tumor removal surgery
"
Jakarta: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ganot Sumulyo
"Latar Belakang: Kanker ovarium merupakan salah satu keganasan dengan kematian tertinggi pada wanita di seluruh dunia. Seringkali pasien dating dengan stadium lanjut dan memerlukan penanganan segera. Akan tetapi, terdapat berbagai penyebab terjadinya pemanjangan waktu tunggu operasi. Hal ini mungkin dapat menyebabkan perburukan klinis saat dilakukan tindakan operatif pada pasien.
Tujuan: Menentukan hubungan antara lama waktu tunggu operasi dengan perburukan klinis pada pasien kanker ovarium stadium lanjut.
Metode: Penelitian kohort retrospektif dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia pada Januari 2019 hingga Juni 2019. Pasien kanker ovarium stadium lanjut yang dilakukan tindakan operatif diikutsertakan pada penelitian. Pasien yang terbukti tidak memiliki kanker ovarium stadium lanjut pada pemeriksaan histopatologi atau memiliki penyakit komorbiditas berat lainnya dieksklusi dari penelitian. Karakteristik dasar, waktu tunggu, status performa berdasarkan ECOG score, kadar haemoglobin dan albumin dasar, status nyeri, dan indeks massa tubuh dikumpulkan dan dilakukan analisis secara statistik.
Hasil: Didapatkan 90 subyek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi. Didapatkan 25,6% subyek mengalami perburukan status performa, 11,1% mengalami perburukan haemoglobin, 61,1% mengalami perburukan albumin, 14,4% mengalami perburukan nyeri, 32,2% mengalami perburukan indeks massa tubuh, dan 77,8% mengalami perburukan klinis. Didapatkan nilai cutoff 73 hari untuk menentukan pemanjangan waktu tunggu operasi.
Kesimpulan Terdapat hubungan bermakna antara waktu tunggu terapi dengan perburukan klinis pasien kanker ovarium stadium lanjut.

Background: Ovarian cancer is one of the highest fatalities for cancer in women worldwide. Patients often come in an advanced stage and require immediate treatment. However, there are various causes for the extension of the waiting time for surgery. This might cause clinical deterioration during the operation.
Objective: To determine the relationship between the length of time waiting for surgery and clinical deterioration in patients with advanced ovarian cancer.
Methods: A retrospective cohort study conducted at the National Center General Hospital Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia from January 2019 to June 2019. Patients with advanced stages of ovarian cancer who performed operative measures were included in the study. Patients who were proven not having advanced ovarian cancer on histopathological examination or had other severe comorbidities were excluded from the study. Baseline characteristics, waiting time, performance status based on ECOG score, haemoglobin and albumin levels, pain status, and body mass index were collected and analyzed statistically.
Results: There were 90 study subjects who met the inclusion criteria and did not meet the exclusion criteria. A total of 25.6% of subjects experienced a worsening of performance status, 11.1% experienced worsening of hemoglobin, 61.1% experienced worsening of albumin, 14.4% experienced worsening pain, 32.2% experienced a worsening of body mass index, and 77.8% experiencing clinical deterioration. A cutoff value of 73 days is obtained in order to determine the lengthening of the operating waiting time.
Conclusion There is a significant relationship between the waiting time of therapy with clinical deterioration in patients with advanced ovarian cancer.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58865
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aisy Mutiara Rachmawati
"Analisis waktu tunggu pelayanan operasi elektif orthopedi memiliki tujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan khususnya untuk pasien dengan operasi elektif orthopedi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui rata-rata waktu tunggu pelayanan operasi elektif pasien orthopedi yang berasal dari poliklinik untuk mengetahui penyebab lamanya waktu tunggu pelayanan dilihat dari input, proses dan output. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan pencatatan waktu, telaah dokumen dan wawancara mendalam.
Hasil penelitian ini didapatkan rata-rata waktu tunggu pelayanan operasi elektif dari poliklinik adalaha 35,35 hari. Lamanya waktu tunggu pelayanan operasi elektif orthopedi dipengaruhi oleh ketersediaan dana, ketersediaan kamar rawat inap, persiapan medis dan alat, persiapan administrasi, ketidaksesuaian rencana operasi dengan realisasi operasi.

The purpose of analysis of waiting time for orthopedic elective surgery is to improve hospital rsquo s quality in service especially for orthopedic elective surgery patients. This study is done to measure the average waiting time for orthopedic elective surgery of outpatient unit and to know the factors influencing the waiting time, measures from the input, process and output. This study is a quantitative and qualitative research. Data collecting is done by time writing, document analysis and indepth interview.
The result states that the average waiting time from outpatient unit is 35,35 days. Waiting time for elective surgery is influenced by these factor availability of funds, availability of Inpatient Room, medical preparation and tools, administration preparation, non conformity of planned operation with the realization.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2017
S67575
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Albar Abshar Muhamad
"Tumor odontogenik merupakan jenis tumor yang sering terjadi di regio kepala leher terutama di rongga mulut. Badan Kesehatan Dunia WHO telah membuat klasifikasi yang baru terhadap jenis tumor odontogenik. Kejadian tumor odontogenik di Indonesia dipengaruhi oleh banyak hal di antaranya kondisi demografi, sosioekonomi dan keadaan klinis masing-masing individu. Penelitian mengenai tumor odontogenik masih sangat sedikit dilakukan di Indonesia sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengetahui frekuensi dan distribusi tumor odontogenik di Indonesia periode 2012-2015. Analisis dilakukan pada 118 rekam medik pasin tumor odontogenik. Frekuensi dan distribusi dilihat berdasarkan umur, jenis kelamin, lokasi, pekerjaan, pendidikan, diagnosis tumor, jenis perawatan, spesialisi, gambaran histopatologis, lama rawat inap dan tingkat rekurensi. Mayoritas pasien berusia 31-40 tahun 26,27. Tumor odontogenik ditemukan lebih banyak pada laki-laki dengan rasio 1.03:1. Tingkat pendidikan paling banyak adalah tamat SMA, 35 pasien 29,67. Mayoritas pasien tidak bekerja sebanyak 26 pasien 22,03. Ameloblastoma merupakan jenis tumor paling banyak yaitu 101 kasus 85,60. Tumor odontogenik paling banyak ditemukan di rahang bawah sebanyak 102 kasus 86,44. Penanganan tumor paling banyak dilakukan oleh spesialis bedah mulut sebanyak 91 kasus 77,12. Rata-rata lama rawat inap pasien adalah 9,87 7,60 hari. Terjadi 15 kasus rekurensi pada jenis tumor ameloblastoma.

Odontogenic tumor is a common tumor in the head and neck regio especially oral cavity. World Health Organization WHO in 2005 currently reclassify the classification of tumor odontogenic. The incidence of the odontogenic tumor in Indonesia were depends on demographic conditions, socio economic and clinical condition of the patients. The research about odontogenic in Indonesia are currently limited so this research are conducted to see the frequency and distribution of odontogenic tumor in Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital from 2012 2015. 118 medical records was analyzed. Frequency and distribution analyzed concerning age, gender, location of tumor, educational level, occupation, diagnosis, treatment, specialization, histopatologic type, length of stay, and reccurent rate. Most of the patients were 31 40 years old in age 26,27. Odontogenic tumor mostly happen in man with ratio 1.03 1. The educational level of the patients mostly are graduated high school student 29,67 and mostly are not work 22,03. Ameloblastoma is the most common odontogenic tumor 85,60. Mandible is the common site of the odontogenic tumor 86,44. The treatment of the odontogenic tumor mostly done by the oral and maxillofacial surgeon 77,12. Mean of patient length of stay were 9,87 7,60 days. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prasojo
"Pendahuluan: Kembar siam adalah gangguan kongenital yang langka dengan insiden 1/50.000 hingga 1/500.000 kelahiran di seluruh dunia.1 Operasi pemisahan adalah pengobatan utama yang memiliki tingkat kematian tinggi hingga 60%. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kembar siam memiliki tingkat kejadian penyakit jantung kongenital hingga 66%, dengan kejadian tertinggi terlihat pada kembar siam thorakopagus.2 Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi hubungan antara penyakit jantung kongenital (PJK) dan mortalitas kembar siam setelah operasi pemisahan.
Metode: Kami melakukan studi retrospektif, pada semua pasien kembar siam yang menjalani operasi pemisahan di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) dari tahun 2009 hingga 2022. Dua puluh enam subjek ditemukan telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi kami. Kompleksitas penyakit jantung kongenital didefinisikan oleh klasifikasi kompleksitas penyakit Bethesda. Hubungan antara kompleksitas PJK dan mortalitas dalam satu tahun pada pasien kembar siam yang menjalani operasi pemisahan dianalisis menggunakan uji Fisher.
Hasil: Penyakit jantung kongenital terjadi pada kembar omfalopagus di RSCM. Tingkat kematian kembar siam dengan PJK yang menjalani operasi pemisahan di pusat kami adalah 40%, menunjukkan tidak adanya korelasi signifikan antara PJK dan mortalitas setelah operasi pemisahan, (p= 0,369).
Kesimpulan: Kembar siam dengan PJK tidak menunjukkan korelasi dengan tingkat mortalitas setelah operasi pemisahan dalam studi awal ini. Penelitian lebih lanjut diperlukan dengan lebih banyak subjek untuk mendapatkan hasil yang lebih konklusif.

Introduction: Conjoined twins are a rare congenital disorder with an incidence of 1/50.000 up to 1/500.000 births around the world.1 Separation surgery is the mainstay treatment which yields a high mortality rate of up to 60%. Previous studies show conjoined twins have a high incidence of congenital heart disease up to 66%, with the highest incidence evident in thoracopagus conjoined twins.2 This study aimed to evaluate the relationship between congenital heart disease (CHD) and conjoined twins mortality after separation surgery.
Methods: We performed a retrospective study, on all conjoined twin patients who underwent separation surgery in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH) from 2009 until 2022. Twenty-six subjects were found to have fulfilled our inclusion and exclusion criteria. Congenital heart disease complexity was defined by Bethesda disease complexity classification. The relationship between CHD complexity within one-year mortality in conjoined twins patients who underwent separation surgery was analysed using Fischer’s exact test.
Results: Congenital heart disease occurs in omphalopagus twins in CMH. The mortality rate of conjoined twins with CHD who underwent separation surgery in our centre was 40%, showing no significant correlation between CHD and mortality after separation surgery, (p= 0,369).
Conclusion: Conjoined twins with CHD showed no correlation to mortality rates following separation surgery in this preliminary study. Further research is needed with more subjects to make more conclusive results.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Noviyanti
"
Latar Belakang : Inflamasi kronik berhubungan dengan tumor dan menyebabkan prognosis yang buruk pada pasien kanker. Salah satu penanda inflamasi yang meningkat pada tumor adalah C-Reactive Protein (CRP). Kadar CRP meningkat pada lebih dari 50% pasien keganasan. Peningkatan CRP berhubungan kuat dengan keparahan penyakit pada beberapa kanker. Salah satu zat gizi dalam inflamasi adalah asam lemak omega-3. Asam lemak omega-3 dapat meningkatkan pembentukan specialized pro-resolving mediators (SPM) yang berfungsi meningkatkan mediator antiinflamasi, melindungi blood brain barrier, menurunkan sitokin proinflamasi, menurunkan apoptosis neuron. Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan asupan asam lemak omega-3 dengan CRP pada pasien tumor sistem saraf pusat.
Metode : Studi potong lintang ini dilakukan pada subjek berusia 18-65 tahun di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada bulan November hingga Desember 2023. Pengukuran CRP menggunakan metode immunoturbidimetric assay. Pengambilan asupan asam lemak omega-3 menggunakan Food Frequency Questionnaires semikuantitatif. Analisis bivariat digunakan untuk menilai hubungan antara variabel bebas dan terikat.
Hasil : Dari total 63 subjek penelitian, sebanyak 35 subjek (55,6%) pada kelompok asupan asam lemak omega-3 < 2 g/hari dan 28 subjek (44,4%) pada kelompok asupan asam lemak omega-3 ≥ 2 g/hari. Nilai median CRP 8,3 (0,6 – 71,5) mg/L. Tidak terdapat hubungan yang bermakna (p = 0,714) antara asupan asam lemak omega-3 dengan CRP pada pasien tumor sistem saraf pusat.
Kesimpulan : Tidak terdapat hubungan bermakna antara asupan asam lemak omega-3 dengan CRP pada pasien tumor sistem saraf pusat.

Background: Chronic inflammation is associated with tumors and causes poor prognosis in tumor patients. One of the inflammatory markers that increase in tumors is C-Reactive Protein (CRP). CRP levels are elevated in more than 50% of patients with malignancies. Elevated CRP is associated with disease severity in some cancers. One of the nutrients in inflammation is omega-3 fatty acids. Omega-3 fatty acids can increase the formation of specialized pro-resolving mediators (SPM) which function to increase anti-inflammatory mediators, protect the blood brain barrier, reduce pro-inflammatory cytokines, reduce neuron apoptosis. This study aims to assess the relationship between omega-3 fatty acid intake and CRP in patients with central nervous system tumors.
Methods: This cross-sectional study was conducted on subjects aged 18-65 years at Cipto Mangunkusumo Hospital from November to December 2023. CRP measurement using immunoturbidimetric assay method. Omega-3 fatty acid intake was collected using semiquantitative Food Frequency Questionnaire. Bivariate analysis was used to assess the relationship between independent and dependent variables.
Results: From the total 63 research subjects, 35 subjects (55,6%) in the omega-3 fatty acid intake group < 2 g/day and 28 subjects (44,4%) in the omega-3 fatty acid intake group ≥ 2 g/day. The median CRP value was 8.3 (0.6 - 71.5) mg/L. There was no significant relationship (p = 0,714) between omega-3 fatty acid intake and CRP in patients with central nervous system tumors.
Conclusion: There is no significant relationship between omega-3 fatty acid intake and CRP in patients with central nervous system tumors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kevin Triangto
"Osteosarkoma digolongkan sebagai salah satu keganasan tersering pada usia remaja dan dewasa muda. Sampai saat ini, angka kesintasan osteosarkoma di Indonesia masih rendah. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa angka kesintasan bergantung pada diagnosis histopatologik. Selain itu, telah ditemukan sebuah pola insidens umum yang berhubungan dengan usia, jenis kelamin, dan lokasi tumor. Maka itu, penelitian ini dilakukan untuk membuktikan adanya hubungan antara usia dan lokasi tumor, juga untuk mengetahui profil osteosarkoma di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada tahun 2006-2011.
Desain penelitian ini adalah potong lintang, dan data diperoleh dari departemen Patologi Anatomi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo sebanyak 187 kasus osteosarkoma. Uji chi-square telah digunakan untuk menganalisis hubungan.
Dari hasil penelitian ini, ditemukan mayoritas pasien adalah laki-laki (58.8%) dan kebanyakan berusia remaja dan dewasa muda (61%). Predileksi tersering adalah bagian tulang panjang ekstremitas bawah (54.3%), telah ditemukan hubungan yang bermakna dengan usia remaja dan dewasa muda (p = 0.018). Selain itu, diagnosis yang tersering ditemukan adalah osteosarkoma konvensional sebanyak 93% dari populasi sampel.
Kesimpulan yang bisa diambil adalah pasien remaja memiliki kemungkinan dua kali lipat lebih tinggi untuk terkena osteosarkoma pada tulang panjang, disebabkan adanya keterlibatan dari lempeng pertumbuhan di tulang.

Osteosarcoma had been classified as one of the most common malignancy in the adolescents. Until recently, osteosarcoma survival rate in Indonesia is still considered low. Previous studies mentioned that survival rates are dependent on histopathologic diagnosis. Interestingly, a common incidence pattern was found and was associated to age, gender and sites. Therefore, this study was meant to describe the association between predilection site and age, as well as presenting the profile of osteosarcoma in Cipto Mangunkusumo hospital in 2006-2011.
This cross-sectional study took place in the Department of Anatomical Pathology Cipto Mangunkusumo hospital, where 187 osteosarcoma cases were found. Chisquare test was used to analyze the association.
It was revealed in the results that the sample was predominated by males (58.8%), and majority of the cases were adolescents (61%), The most common site affected is long bones of the lower extremities (54.3%), and this was found to be associated with the incidence in adolescents (p = 0.018). Accordingly, the most common diagnosis found was conventional osteosarcoma, accounting for 93% of the sample.
In conclusion, adolescent patients were found to be roughly two times more likely to develop conventional osteosarcoma on long bones, suggesting possible growth plate involvement.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salwa Auliani
"Latar Belakang: Penggunaan cardiopulmonary bypass dalam bedah jantung terbuka pada anak yang berkepanjangan dapat memicu koagulopati dan hemodilusi, serta menyebabkan perdarahan pasca operasi. Pasien anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik memiliki risiko lebih tinggi karena sistem koagulasi darah mereka yang imatur. Meskipun demikian, tidak ada penelitian serupa yang betujuan untuk menilai hubungan antara keduanya.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk meneliti korelasi antara CPB time dan perdarahan pasca operasi jantung terbuka pada pasien anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik.
Metode: Penelitian ini bersifat descriptive-analytical dengan metode cross- sectional. Rekam medis 100 pasien anak dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dari Januari 2016 sampai dengan Maret 2018 digunakan sebagai sampel. Pasien anak berusia 0 sampai 17 tahun dengan penyakit jantung bawaan sianotik, yang telah melalui bedah jantung terbuka elektif digunakan sebagai sampel. Korelasi Spearman digunakan untuk meneliti hubungan antara CPB time dengan perdarahan pasca operasi.
Hasil: Dari 100 data yang diperoleh, tidak terdapat korelasi antara CPB time dan perdarahan pasca operasi (p = 0.087). Median dari CPB time adalah 87 menit (29 – 230). Perdarahan pasca operasi pasien memiliki median 15.3/kgBB dalam 24 jam (3.0 – 105.6).
Konklusi: Tidak ada hubungan antara CPB time dan post-operative bleeding pada pasien anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik. Faktor lain dapat mempengaruhi kedua variabel diteliti, termasuk dari pasien sendiri dan dari tindakan operasi, seperti kemampuan operator menangani perdarahan serta jenis prosedur operasi. Maka dari itu, CPB time tidak dapat dianggap sebagai faktor tunggal yang dapat mempengaruhi perdarahan pasca operasi.

Background: Prolonged use of cardiopulmonary bypass during open heart surgery can induce coagulopathy and hemodilution, contributing towards post-operative bleeding. Pediatric patients with cyanotic congenital heart disease are susceptible due to presence of immature coagulation system. However, no similar studies have been done to assess the relationship between the two.
Aim: This study aims to assess correlation between CPB time and post-operative bleeding in pediatric patients with cyanotic congenital heart disease undergoing open heart surgery.
Method: This is a descriptive-analytical study, utilizing cross-sectional method. Medical records of 100 pediatric patients from Cipto Mangunkusumo General Hospital between January 2016 to March 2018 were used. Patients aged 0 to 17 years old with cyanotic congenital heart disease, who underwent elective open heart surgery were included as sample. Spearman’s correlation was used to determine correlation between CPB time and post-operative bleeding.
Result: Data from 100 patients were obtained. No correlation was observed between CPB time and post-operative bleeding (p = 0.087). Patients’ CPB time has a median of 87 minutes (29 – 230). Patients’ post-operative bleeding has a median of 15.3 ml/kgBW in 24 hours (3.0 – 105.6).
Conclusion: CPB time and post-operative bleeding has no correlation in pediatric patients with cyanotic congenital heart disease. Presence of various factors can influence both variables, including from the patients or operative factors, including dexterity of operator and applied procedure. Thus, CPB time cannot be held responsible as a single determining factor for post-operative bleeding.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alphadenti Harlyjoy
"LATAR BELAKANG: Medulloblastoma memiliki prognosis baik jika pasien menjalani tatalaksana multimodalitas lengkap, terdiri dari operasi, radioterapi, dan kemoterapi. Radioterapi dan kemoterapi memiliki banyak efek samping, namun dosisnya dapat dikurangi pada kelompok pasien dengan faktor prognosis tertentu. Saat ini belum diketahui faktor prognosis medulloblastoma di Indonesia. Penulis bertujuan mengetahui karakteristik medulloblastoma di RSUPN Cipto Mangunkusumo dan menganalisis hubungannya dengan luaran mortalitas.
METODE: Penelitian retrospektif ini didasarkan pada rekam medis dan register pasien medulloblastoma yang menjalani operasi pengangkatan tumor di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2011 - 2018. Cox regression analysis dipakai untuk mengetahui kemaknaan statistik dari hubungan antara demografi (usia dan jenis kelamin), karakteristik tumor (ukuran tumor praoperasi, lokasi tumor, komponen kistik, keterlibatan batang otak), serta tatalaksana (luas reseksi dan waktu pelaksanaan diversi liquor serebrospinal (LCS)) dengan luaran mortalitas.
HASIL: Dari 44 pasien medulloblastoma yang dioperasi pada tahun 2011 – 2018, mortalitas didapatkan pada 84,1% pasien, dengan median survival time 13 (8,67 – 17,32) bulan. Terdapat hubungan bermakna antara usia, jenis kelamin, dan luas reseksi dengan luaran mortalitas. Didapatkan HR (95% CI) untuk usia sebesar 0,44 (0,22 – 0,88; p = 0,022), untuk jenis kelamin 0,001 (0,000 – 0,27; REF: perempuan; p = 0,015), dan untuk luas reseksi berupa biopsi 31,52 (1,09 – 910,56; REF: Gross Total Resection (GTR); p = 0,044).
SIMPULAN: Terdapat hubungan bermakna secara statistik antara usia, jenis kelamin, dan luas reseksi dengan mortalitas. Tidak terdapat hubungan bermakna antara ukuran tumor praoperasi, lokasi tumor, komponen kistik, keterlibatan batang otak, dan waktu pelaksanaan diversi LCS.

BACKGROUND: The current prognosis of medulloblastoma is better in patients who underwent complete treatment consisting of surgery, radiotherapy, and chemotherapy. Radiotherapy and chemotherapy is widely associated with multiple side effects, but reduction of dosage is advisable in patients with certain prognostic factors. No study of prognostic factors of medulloblastoma had been conducted in Indonesia. The author aimed to study the characteristics of medulloblastoma patients in Cipto Mangunkusumo National Referral Hospital, and to analyze its association with mortality.
METHOD: This retrospective study was based on medical record and patient registry of medulloblastoma patients who underwent removal tumor in Cipto Mangunkusumo National Referral Hospital between 2011 – 2018. Cox regression analysis was used to determine statistical significance of patients’ demography (age and gender), tumor characteristics (preoperative size, location, cystic component, brainstem involvement), and treatment (extend of resection and timing of cerebrospinal fluid (CSF) diversion) with mortality as the outcome.
RESULT: 44 medulloblastoma patients were analyzed. The incidence of mortality is 84.1% and median survival time is 13 (8.67 – 17.32) months. Significant statistical association between age, gender, and extend of resection with mortality was identified, with HR (95% CI) for age was 0.44 (0.22 – 0.88; p = 0.022), gender was 0.001 (0.000 – 0.27; REF: female; p = 0.015), and biopsy was 31.52 (1.09 – 910.56; REF: gross total resection (GTR); p = 0.044).
CONCLUSION: There was significant statistical association identified between age, gender, and extend of resection with mortality. No significant statistical association was found between tumor size, location, cystic component, brainstem involvement, and timing of CSF diversion.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Samuel Raymond Rumantir Wardhana
"Latar belakang: Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma (JNA) merupakan tumor jinak nasofaring yang bersifat hipervaskular, agresif lokal, dan destruktif. Pencitraan sebelum pembedahan untuk menentukan ukuran dan perluasan tumor, serta embolisasi preoperatif dapat mempengaruhi jumlah perdarahan intraoperatif, yang merupakan salah satu faktor morbiditas pada pasien JNA. Penelitian ini bertujuan untuk menilai pengaruh karakteristik tumor antara lain ukuran tumor, staging, dan pembuluh darah yang memperdarahi tumor, serta efek dari embolisasi preoperatif terhadap jumlah perdarahan intraoperatif.
Metode: Penelitian dilakukan pada pasien JNA yang menjalani embolisasi preoperatif dan operasi pengangkatan tumor di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo sejak tahun 2018 hingga Maret 2022. Dilakukan penilaian ukuran tumor dan staging, serta identifikasi feeding artery menggunakan CT/MRI dan juga DSA embolisasi preoperatif, kemudian dilakukan analisis perbandingan dan korelasi terhadap jumlah perdaran intraoperatif.
Hasil: Terdapat 21 pasien JNA yang menjalani embolisasi preoperatif dan pengangkatan tumor. Didapatkan perbedaan jumlah perdarahan intraoperatif yang bermakna antara pasien JNA stadium III dibandingkan dengan stadium I-II (p=0,006). Jumlah perdarahan intraoperatif lebih banyak pada tumor yang berukuran lebih besar, namun didapatkan korelasi yang lemah (R=0,43; p=0,051). Jumlah perdarahan intraoperatif juga berbeda bermakna pada tumor JNA dengan feeding artery dari kedua sisi arteri maksilaris interna dengan tumor JNA yang mendapatkan feeding artery satu sisi arteri maksilaris interna saja (p=0,009), serta keterlibatan feeding artery dari cabang arteri karotis interna (p=0,023). Persentase pembuluh darah yang dilakukan embolisasi preoperatif, juga mengurangi jumlah perdarahan intraoperatif (R=-0,36; p=0,113).
Kesimpulan: Pencitraan preoperatif pada pasien JNA memegang peranan penting dalam menentukan perluasan tumor (staging), ukuran tumor, dan feeding artery yang berpengaruh terhadap jumlah perdarahan intraoperatif pada pasien JNA. Tindakan embolisasi preoperatif juga memiliki peranan penting dalam mengurangi jumlah perdarahan intraoperatif

Background: Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma (JNA) is a benign tumor of the nasopharynx that is hypervascular, locally aggressive, and destructive. Imaging before surgery to determine the size and extent of the tumor, as well as preoperative embolization can affect the amount of intraoperative bleeding, which is one of the morbidity factors in JNA patients. This study aimed to assess the effect of tumor characteristics such as tumor size, staging, and blood vessels supplying the tumor, as well as the effect of preoperative embolization on the amount of intraoperative bleeding.
Methods: The study was conducted on JNA patients who underwent preoperative embolization and surgical removal of tumors at the Cipto Mangunkusumo National General Hospital from 2018 to March 2022. Tumor size and staging were assessed, as well as identification of feeding arteries using CT/MRI and DSA preoperative embolization, then we performed a comparative and correlation analysis of the amount of intraoperative bleeding.
Results: There were 21 JNA patients who underwent preoperative embolization and tumor removal. There was a significant difference in the amount of intraoperative bleeding between patients with stage III JNA compared to stage I-II (p = 0.006). The amount of intraoperative bleeding was higher in larger tumors, but a weak correlation was found (R=0.43; p=0.051). The amount of intraoperative bleeding was also significantly different in JNA tumors with feeding arteries from both sides of the internal maxillary artery compared to JNA tumors with feeding arteries on one side of the internal maxillary artery only (p=0.009), and the involvement of feeding arteries from the internal carotid artery branch (p=0.023). The percentage of vessels that underwent preoperative embolization also reduced the amount of intraoperative bleeding (R=-0.36; p=0.113).
Conclusion: Preoperative imaging in JNA patients plays an important role in determining tumor expansion (staging), tumor size, and feeding arteries that affect the amount of intraoperative bleeding in JNA patients. Preoperative embolization also have an important role in reducing the amount of intraoperative bleeding.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>