Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 184 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Christie, Agatha, 1890-1976
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2018
823 CHR d
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Christie, Agatha, 1890-1976
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2018
823 CHR d
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Dwinanto Agung Wibowo
"Peran pelaku kejahatan yang merupakan 'orang dalam' dianggap mempunyai potensi dalam membuka tabir kejahatan lebih signifikan. Terlebih lagi pada kejahatan yang melibatkan beberapa pelaku. Ia dapat menyediakan bukti yang penting mengenai siapa yang terlibat, apa peran masing-masing pelaku, bagaimana kejahatan itu dilakukan, dan dimana bukti lainnya bisa ditemukan. Agar 'orang dalam' ini mau bekerjasama dalam pengungkapan suatu perkara, para penuntut umum di berbagai negara menggunakan perangkat hukum yang ada di masing-masing negaranya itu.
Di sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, Italia dan Belanda, pelaku kejahatan yang merupakan 'orang dalam' yang mau bekerja sama dengan menjadi saksi terhadap pelaku kejahatan lainnya ini diberikan perhargaan atas peranannya tersebut. Dengan memberikan penghargaan merupakan cerminan perlindungan terhadap saksi. United Nations Convention Against Corruption, memberikan 2 macam bentuk perlindungan, yaitu pengurangan hukuman, dan kekebalan dari penuntutan.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui konsep saksi mahkota di Indonesia dan perbandingannya dengan negara lain, mengetahui bagaimana saksi mahkota dalam praktik peradilan pidana di Indonesia dan mengetahui pengaturan mengenai saksi mahkota dalam hukum acara pidana di Indonesia yang akan datang. Metode yang dipergunakan dalam penelitian adalah yuridis normatif.
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa konsep saksi mahkota di Indonesia adalah saksi yang diambil dari tersangka atau terdakwa dalam kejahatan yang dilakukan secara bersama-sama dan kesaksian yang diberikannya dipandang sebagai alat bukti dan atas kesaksiannya itu dapat diberikan pengurangan hukuman. Sedangkan saksi mahkota yang ada di Amerika Serikat, Italia dan Belanda, yaitu pelaku kejahatan yang mau bekerja sama dengan penegak hukum dengan memberikan informasi dan/atau menjadi saksi terhadap pelaku kejahatan lainnya dan atas kerjasamanya itu dimungkinkan untuk diberikan kekebalan dari penuntutan. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Rancangan Undang-Undang Perubahan Atas Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban telah memasukkan ketentuan pemberian kekebalan dari penuntutan dan ketentuan perlindungan hukum lainnya kepada saksi mahkota yang telah turut serta berperan dalam upaya penanggulangan kejahatan.

A criminal's role who inner-cicle criminal is considered has a potency in revending crime more significant. More over in crime which involve a few doers. He can provide important evidence about who involved, what is role each does, how is crime is done, and where is another evidence can be found. In order that inner-cicle criminal wants to collaborate in revealing a case, prosecutor at various state utilize law's instrument which it's own in each state.
At amount state, such as United States, Italy and Dutch, a criminal that is innercicle criminal who want to cooperate as witness for other criminal can be gived reward for his role. With gives appreciation to constitute protection reflection to witness, United Nations Convention Against Corruption give 2 kind of protection which is mitigating punishment and immunity from prosecution.
The objective of this reseach to know crown witness concept at Indonesia and its compare with other state, know how crown witness in criminal justice praticaly at Indonesia. Method that is used in research is normatif's judicial formality.
Of research result can be know that crown witness concept at Indonesia is witness that takes from suspected or defendant in a crime was done by together and witness that be given viewed as evidence and witness up it that can give mitigating punishment. Meanwhile crown witness that is at United States of America, Italy and Dutch, which is criminal who wants to cooperate with law enforcement officer with give information or as witness to another criminal and up that its cooperation is enabled to be given immunity from prosecution. The draft of Criminal Code Procedure dan the draft of Witness Protection Law of 2006 revision have inserted immunity from prosecution rule and other witness protection rule that senteced crown witness who participate in effort tacling crime.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28577
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sigit Artantojati
"Upaya memberantas kejahatan terorganisir tidaklah mudah jika justice collaborators tidak mendapat perlindungan yang memadai dalam menyampaikan informasi yang mereka miliki. Perlindungan bagi justice collaborators sangat penting karena yang bersangkutan biasanya mengetahui dengan pasti pola kejahatan yang terjadi, siapa-siapa yang terlibat dalam kejahatan tersebut, serta jaringan yang ada. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai lembaga yang memberikan perlindungan terhadap justice collaborators dalam menjalankan tugasnya harus bekerjasama dengan berbagai instansi penegak hukum baik kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Pelaksanaan perlindungan justice collabolators hanya bisa ditangani secara efektif melalui pendekatan multi lembaga.
Tesis ini membahas tentang perlindungan justice collabolators oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui perbandingan konsep dan pengaturan, perlindungan bagi justice collaborators di beberapa negara, peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam memberikan perlindungan dan penghargaan bagi justice collaborators, mengetahui bentuk kerjasama LPSK dan komponen sistem peradilan pidana dalam perlindungan justice collaborators, untuk mengetahui hambatan dan peluang pengaturan mengenai perlindungan justice collaborators di Indonesia. Penelitian ini dengan menggunakan metode yuridis normatif yang kemudian dipaparkan secara deskriptif analitis.
Hasil penelitian berupa perbandingan peraturan perlindungan saksi khususnya justice collabolators di Amerika Serikat, Jerman, Italia, Albania ,Belanda dan di Indonesia. Selanjutnya dibahas pratek perlindungan justice collabolators oleh LPSK yang ternyata berjalan tidak maksimal dimana selama tahun 2011 dapat dikategorikan sebagai Justice Collabolators hanya dalam 1 (satu) perkara yaitu Perkara Agus Condro. Hambatan pelaksanaan perlindungan justice collabolators melalui pendekatan teori Lawerence Friedman dari sisi substansi hukum adalah kelemahan dari Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang No 13 tahun 2011 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dari sisi struktur hukum adalah kelemahan kelembagaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dan dari sisi budaya hukum adalah adalah masalah koordinasi dan ego sektoral antar komponen sistem peradilan pidana.
Oleh karena itu disarankan agar melakukan perubahan dan penyempurnaan atas beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban khususnya berkaitan dengan perlindungan justice collabolators, kelembagaan LPSK, dan mekanisme hubungan kerjasama antara LPSK dan penegak hukum.

The effort to eradicate organized crime is not an easy if justice collaborator do not get enough protection to reveal the information that they have. Justice colaborator's rotection is very important because they ussually know for sure the pattern of the crime, who involved in the crime and the systems. The witness and victims protection agency (LPSK) as an institution that gives protection to justice collaborators on their duty has to cooperate with other law enforcement institutions, such as police, prosecutor, court and penitentiary institutions. The implementation of protection on justice collaborators can be done effectively by an approach of several institutions.
This thesis discusses about the protection of justice collaborators by the witness and victim protection agency (LPSK). The purpose of this writing is to find out the comparison on concept and regulation of protection for justice collaborators in several countries, the role of Witness and victims protection agency (LPSK) on giving protection and appreciation for justice collaborator, knowing the form of cooperation between the witness and victim protection agency (LPSK) and criminal justice system component on protecting justice collaborator, to know the obstacles and regulations opportunities on justice collaborators protection in Indonesia. This research uses normative yuridical method and then presented in descriptive analitical.
The results of the study is comparing witness protection regulation specially justice collaborators in United States of America, Germany, Italy, Albany, Dutch and Indonesia. Than discussing about justice collaborators protection by the witness and victims protection agency (LPSK) does not work well because during 2011 only one case that can categorized as justice collaborators, that is Agus Condro Case. Obstacle on justice collaborators protection through Lawrence Friedmann Theory approachment, from the legal substance is the weakness of article 10 part (2) Act no.13 year 2006 about Witness and victims protection, from the legal structure is the weakness of the witness and victims protection agency (LPSK), and from the legal culture is problems on coordination and sectoral ego between criminal justice system components.
Therefore it is recommended to make changes and improvements several provisions on Act no 13 year 2006 about Witness and victims protection especially related on justice colaborators protection, the institutionally of the witness and victims protection agency (LPSK), and the mechanism of cooperation relationship between the witness and victim protection agency (LPSK) and law enforcements.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30356
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Zahri Kurniawan
"Konsep saksi mahkota yang dilaksanakan di peradilan Indonesia saat ini masih menimbulkan kontroversi dan perdebatan dikalangan praktisi maupun akademisi, karena memang sesungguhnya belum ada definisi normatif tentang saksi mahkota termuat dalam undang-undang. Apabila dibandingkan dengan konsep saksi mahkota di negara lain, ternyata terdapat perbedaan yang sangat mendasar yaitu pada konsep di Eropa dan Amerika sebelum diterapkan saksi mahkota harus dilakukan terlebih dahulu kesepakatan kerjasama atara penuntut umum dan saksi mahkota dalam penuntutan tindak pidana, sedangkang di Indonesia lebih mengartikan saksi mahkota sebagai kesaksian saling menyaksikan antara sesama pelaku tindak pidana penyertaan dalam tindak pidana untuk tujuan sempurnaya pembuktian. Tujuan dari penelitian ini mengkaji mengenai penerapan saksi mahkota dalam peradilan pidana dan memperbandingkanya dengan pelaksanaan saksi mahkota di Belanda dan Amerika Serikat serta melihat paradigma saksi mahkota menurut hukum acara pidana yang akan datang. Metode penelitian yang digunaka yuridis normatif. Dari hasil penelitian diperoleh suatu kenyataan konsep saksi mahkota yang dilaksanakan dalam peradilan pidana di Indonesia saat ini melanggar asas non self incrimination. Peranan saksi mahkota dibutuhkan dalam menghadapi permasalahn kurangnya alat bukti saksi pada penyertaan dalam tindak pidana. Penerapan konsep saksi mahkota dalam peradilan saat ini hanya mewujudkan suatu kepastian hukum, sehingga kurang memperhatikan cara memperoleh alat bukti (exclusionary rule), dan pentinya alat bukti yang saling menguatkan (corroborating evidence) dalam penerapan saksi mahkota. Secara subtansi dalam RUU KUHAP terjadi perubahan sangat signifikat mengenai konsep saksi mahkota dengan menyerap konsep saksi mahkota yang di kenal di Eropa dan Amerika Serikat.

The concept of crown witness implemented in Indonesian courts is still causing controversy and debates among practitioners and academicians, because actually there has been no normative definition of crown witness contained in the legislation. When compared with the concept of crown witness in other countries, there are fundamental differences. In Europe and the USA before crown witness is applied, a cooperation agreement shall be made first between the public prosecutor and the crown witness in a criminal proceeding; whereas in Indonesia what is referred to as crown witness is a witness who came from suspects or defendants and testify against other suspects/perpetrators in a crime in order to obtain perfect/complete evidence. The purpose of this research is to examine the application of crown witness in the criminal proceedings and compare it with the implementation of crown witness in the Netherlands and the United States as well as to see the crown witnesses paradigm in accordance with the law of criminal procedure which will be applicable in the future. The research method employed is judicial normative. Based on the research findings it is discovered that the concept of crown witness in criminal proceedings in Indonesia today violates the principle of non-self incrimination. The role of crown witnesses is required as a consequence of lack of evidence of witnesses in the participation (deelneming) in a crime. The application of the crown witness concept in court today is only to realize the rule of law so it does not take into consideration the manner in obtaining evidence (exclusionary rule) and the importance of corroborating evidence in the application of crown witnesses. In substance, the Draft of the Criminal Procedure Code experiences very significant changes in the concept of crown witness by absorbing the concept of crown witnesses which is known in Europe and the United States.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35481
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulian Khairani
"ABSTRAK
Kepemimpinan, tidak terlepas dari individu yang berperan sebagai pelaksananya. Memang ada kecenderungan perbedaan dalam gaya kepemimpinan antara perempuan dan laki-laki karena sifatnya, tetapi untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif banyak faktor lainnya yang ikut misalnya pemilihan dan penempatan pemimpin, pendidikan, pemberian imbalan pada prestasi, teknik pengelolaan organisasi dan sebagainya.
Penelitian ini membahas mengenai persepsi kepemimpinan baik kepemimpinan laki-laki dan terutama mengenai kepemimpinan perempuan dalam lembaga negara yang baru berdiri yaitu lembaga perlindungan saksi dan korban.
Penelitian ini merupakan salah satu penelitian kualitatif dengan metode studi kasus. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan wawancara tidak terstruktur dan observasi partisipan.
Dari hasil analisis, diketahui bahwa sikap perempuan yang menjadi pimpinan di lembaga perlindungan saksi dan korban cukup merepresentasikan kepemimpinan yang efektif. Namun kepemimpinan yang lebih banyak didominasi keberadaan laki-laki, menyebabkan persepsi pegawai tentang kepemimpinan cenderung negatif. Sehingga ada baiknya diterapkan keterbukaan dalam menjalani kepemimpinan itu sendiri.

ABSTRAK
Leadership as its implementation related to the leader. Though there is differences in leadership styles between women and men due its nature. But in implementing effective leadership, need another factors such as positioning, qualification, achievement, organizational management etc.
This study discusses about applied leadership in newly organization named witness and victim protection program agencies. About male and especially about women's leadership. This study is another qualitative research with case study method. Data collected by using unstructured interviews and participant observation.
From data analysis, it is found that female leaders attitude represents ideal leadership. But it is dominated by men causing employee's perception of leadership tend to be negative. Therefore it, transparency management needs to be implemented in it."
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T41727
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fadel Anandita Palaguna
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas kedudukan saksi perempuan dalam penyelesaian sengketa ekonomi Syariah di Pengadilan Agama di Indonesia. Pokok masalah dalam skripsi ini adalah, bagaimana prosedur beracara dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah, dan penerapan Hukum Islam tentang kedudukan saksi perempuan dalam penyelesaian sengketa ekonomi Syariah di Pengadilan Agama di Indonesia. Penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan dan juga wawancara kepada hakim-hakim Pengadilan Agama di Indonesia, dan juga Notaris Syariah. Penelitian ini menggunakan sumber data yang diperoleh dari sumber hukum primer yang berupa Undang-Undang No. 7 tahun 1989, Undang-Undang No 3. Tahun 2006, dan Undang, Undang nomor 50 Tahun 2009. Sumber hukum sekunder yang berupa Buku-buku terkait dengan tema, sumber hukum tersier berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI , dan juga wawancara terhadap Hakim Mahkamah Agung, Hakim Pengadilan Agama, dan Notaris syariah yang diolah dan dianalisis sehingga mendapatkan kesimpulan dari permasalahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan dari prosedur beracara dalam dalam penyelesaian sengketa ekonomi Syariah di Peradilan Agama dan Peradilan Umum dalam hal tahapan, saksi, dan prosedur beracara, Saksi perempuan dalam perkara transaksi ekonomi syariah tidak membedakan saksi perempuan dan saksi laki -laki, begitu juga dengan Peradilan Agama dalam prakteknya tidak membedakan kesaksian perempuan dan laki-laki sebagaimana diatur dalam QS. Al-Baqarah ayat 282

ABSTRACT
This thesis discusses the position of female witnesses in the settlement of Sharia economic disputes in the Religious Courts in Indonesia. The main problem in this thesis is, how is the procedure for proceedings in the settlement of sharia economic disputes, and the application of Islamic Law concerning the position of female witnesses in the settlement of Sharia economic disputes in the Religious Courts in Indonesia. This study uses library research and also interviews with Religious Court judges in Indonesia, and also Sharia Notaries. This study uses data sources obtained from primary legal sources in the form of Law No. 7 of 1989, Law No. 3. of 2006, and Act, Act No. 50 of 2009. Secondary sources of law in the form of books related to themes, tertiary legal sources in the form of Large Indonesian Language Dictionary KBBI , and also interviews with Judges of the Supreme Court, Religious Court Judges, and Islamic Notaries that are processed and analyzed so as to get a conclusion from the problem. The results of the study show that there are differences in the procedure of proceedings in the settlement of Sharia economic disputes in the Religious Courts and General Courts in terms of stages, witnesses, and procedure of proceedings. with the Religious Courts in practice does not distinguish the testimony of women and men as stipulated in QS. Al Baqarah verse 282."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Indah Aprillia
"Tulisan ini membahas mengenai kritik terhadap saksi peradilan yang terdapat dalam naskah Dongeng Monyong Tuwin Bodong karya Mas Jaya Diwirya yang disahkan oleh Raden Pujaharja. Naskah tersebut berkode CL 35 – K 11.08 koleksi Perpustakaan Universitas Indonesia, berisikan cerita guyonan yang menghadirkan dua tokoh remaja sebagai seorang saksi mata dalam sebuah perkara di peradilan. Fokus tulisan ini lebih mengarah kepada kritik sebagai media ungkap terhadap suatu permasalahan sosial yang terjadi, pada umumnya dikemas dalam sebuah kaya sastra seperti naskah. Keadaan tersebut penting adanya karena dalam sebuah naskah terkandung informasi mengenai keadaan pada saat naskah itu dituliskan hal tersebut menjadikan pertimbangan dalam penulisan ini. Permasalahan utama dalam penulisan ini adalah untuk mengetahui kritik atas saksi dan sistem hukum yang terdapat dalam naskah tersebut untuk diungkap relevansinya dengan situasi sosial pada masa naskah tersebut ditulis. Tulisan ini menggunakan prosedur paradigma penelitian kualitatif, yang menggunakan teori interpretatif objektif untuk menganalisis serta menerapkan cara kerja filologi dalam penyajian naskah, yang bertujuan untuk menganalisis kritik terhadap saksi peradilan dalam naskah Dongeng Monyong Tuwin Bodong. Hasil dari tulisan ini adalah kritik terhadap keadaan hukum persaksian yang seharusnya tidak terjadi dalam sebuah peradilan.

This paper discusses the criticisms of justice witness in the Dongeng Monyong Tuwin Bodong by Mas Jaya Diwirya which was ratified by Raden Pujaharja. The text coded CL 35 - K 11.08 collection of the University of Indonesia Library, the text tells about jokes that present two teenage figures as eyewitnesses in a case in court. The focus of this paper is more directed at criticism as a medium for expressing a social problem that occurs, generally packaged in a rich literature such as a script. The situation is important because in a text contained information about the situation at the time the text was written it makes consideration in this writing. The main problem in this paper is to find out the criticisms of the witness and the legal system contained in the text to reveal its relevance to the social situation in the time the manuscript was written. This paper uses a qualitative research paradigm procedure, which uses objective interpretive theory to analyze and apply the workings of philology in the presentation of texts, which aims to analyze criticisms of justice witness in Dongeng Monyong Tuwin Bodong. The results of this paper are criticisms of the legal conditions of witnessing which should not occur in a court."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Ketut Apriyanti R.
"Tesis ini membahas mengenai kekuatan suatu akta notaris yang pada dasarnya telah memiliki kekuatan hukum sebagai akta otentik. Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh didalam suatu perkara perdata. Melalui akta otentik yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan pula dapat dihindari terjadinya sengketa. Walaupun sengketa tersebut tidak dapat dihindari, dalam proses penyelesaian sengketa, akta otentik merupakan suatu bukti yang sempurna, yang berarti bahwa isi akta tersebut akan dianggap sebagai suatu kebenaran yang mengikat, yang tidak memerlukan suatu penambahan pembuktian. Namun dalam perkembangannya muncul permasalahan yaitu semakin mudahnya notaris untuk dipanggil dan dimintai keterangan sebagai saksi dalam proses perkara pengadilan. Permasalahannya adalah apakah kehadiran Notaris sebagai saksi dalam proses perkara pengadilan yang terkait dengan Akta yang dibuat di hadapannya telah sesuai menurut hukum? dan bagaimanakah akibat hukum atas pemberian keterangan yang diberikan Notaris di dalam proses perkara pengadilan terhadap akta yang dibuat dihadapannya? Penelitian ini merupakan kajian yuridis normatif yang bersifat teoritis dengan permasalahan pokok yaitu mengenai akibat hukum pemberian keterangan oleh Notaris sebagai saksi dalam proses perkara pengadilan terhadap kekuatan pembuktian akta notaris. Dari penelitian yang dilakukan diperoleh hasil bahwa pemanggilan Notaris sebagai saksi dalam proses perkara pengadilan menurut pasal 66 Undang-Undang No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris harus mendapat persetujuan dari Majelis Pengawas Notaris. Dan dengan hadirnya Notaris di dalam proses perkara pengadilan tidak menimbulkan akibat hukum atas kekuatan pembuktian akta otentik. Akan tetapi dapat berakibat hukum menjadi akta dibawah tangan atau akta menjadi batal demi hukum, apabila dapat dibuktikan sebaliknya berdasarkan keputusan pengadilan.

This study discusses the strength of a deed which basically has legal strength as an authentic deed. It serves as the strongest evidence in a civil case. It clearly detennines someone’s rights and obligations, provides him or her with legal certainty, and at the same time, is expected to avoid any dispute. In case that the dispute can not be avoided, in the process of its settlement, it serves as perfect evidence, meaning that its has content is deemed a binding truth and that no additional evidence is needed. However, recently a new problem has been emerging that notaries are easily called and requested to give information as witnesses in legal cases at the court. The question is that whether the existence of a notary public as a witness in such legal cases related to the deed made before him or her is legal? The next question is that what is the legal consequence of the information provided by him or her as witness at the court related to the deed made before him or her? This study is a normative juridical study which is theoretical in naturc with the main problem “Legal Consequence of the Information Provided by a Notary Public as Witness at the Court to Strengthen Authentication of a Deed”. The findings show that an approval is needed from Majelis Pengawas Notaris when notary public is called and requested to be a witness at the court. This refer to Article 66 of the Regulation Number 30 of 2004 conceming duty of a Notary Public. His or her existence at the court does not legally affect the strength of authentication of an authentic deed. However, the contrast may take place if legally proved that such a deed is illegal or legally cancelled."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
T26417
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>