Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 72240 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kelly Christy
"ABSTRAK
Latar belakang: Prosedur Cox-Maze IV merupakan standar baku emas dalam terapi fibrilasi atrium (FA) secara ablasi bedah dengan keberhasilan yang tinggi. Konversi dari FA menjadi irama sinus diharapkan mengurangi komplikasi akibat dari FA, yaitu risiko terjadinya tromboemboli termasuk gagal jantung. Prosedur yang kompleks dan lama, yang menambah beban operasi, menjadi pertimbangan dokter bedah untuk melakukan tindakan ini terutama pada pasien risiko tinggi. Penelitian ini untuk menilai peran irama jantung pascaoperasi Concomitant Cox-Maze IV, serta faktor-faktor lain yang berhubungan terhadap perubahan fungsi jantung kiri.
Metode: Desain penelitian adalah cross sectional. Pasien dengan penyakit katup mitral dan fibrilasi atrium diperiode Januari 2012 sampai Desember 2017 dilakukan operasi katup mitral dan Cox-maze IV menggunakan single clamp radio frekuensi. Kemudian dievaluasi peran irama jantung pascaoperasi serta faktor-faktor yang dapat berhubungan dengan perubahan fungsi jantung kiri.
Hasil: Total subjek adalah 73 subjek. Keberhasilan Concomitant Cox-Maze IV dengan menggunakan single clamp radio frekuensi di RS Jantung Harapan Kita mencapai 86,3%. Irama jantung pascaoperasi, baik irama sinus maupun tetap FA, juga tidak mempunyai hubungan terhadap perubahan EF (nilai p 0,792). Kelainan fungsi katup mitral (stenosis dan regurgitasi) sebelum operasi merupakan faktor yang berperan dalam perubahan EF pascaoperasi (nilai p 0,01). Berdasarkan derajat disfungsi ventrikel sebelum operasi terdapat perubahan EF bermakna (nilai p <0,0001). Pada kelompok disfungsi ventrikel kiri yang sedang (EF 36% - 45%), terdapat perbaikan EF menjadi normal, yaitu dari 43,17% ke 61,5%. Perbaikan EF lebih baik pada stenosis mitral dengan disfungsi ventrikel kiri sedang yang kembali menjadi irama sinus pascaoperasi yaitu dari 43,3 ± 2,9% ke 64 ± 10,9% dibandingkan yang tetap irama FA 42% ke 49%.
Simpulan: Irama jantung pascaoperasi concomitant Cox-Maze IV dengan metode single clamp radio frekuensi tidak mempunyai hubungan terhadap fraksi ejeksi ventrikel kiri secara statistik. Prosedur ini lebih memberi manfaat yang lebih berarti dalam perbaikan fungsi ventrikel pada fraksi ejeksi yang rendah terutama pada stenosis mitral.

ABSTRACT
Background: The Cox-Maze IV procedure is the gold standard in the treatment for atrial fibrillation (AF) by surgical ablation with high of success rate. Conversion of AF into sinus rhythm is expected to reduce complications resulting from FA, such as the risk of thromboembolism and heart failure. Complex and lengthy procedures especially in high-risk patients, which add to the burden of surgery, are considered by surgeons to perform this procedure. This study was to assess the role of postoperative heart rhythm Concomitant Cox-Maze IV, as well as other factors related to changes in left heart function.
Methods: The study design was cross sectional. Patients with mitral valve disease and atrial fibrillation in the period January 2012 to December 2017 performed mitral valve and Cox-maze IV surgery using a single radio frequency clamp. The role of postoperative heart rhythm and the factors that can be related to changes in left heart function were then evaluated.
Results: Total number of subjects were 73 subjects. The success of the concomitant Cox-Maze IV by using a single frequency radio clamp at Harapan Kita Heart Hospital reached 86.3%. Postoperative heart rhythms, both sinus rhythm and AF, showed no relationship with EF changes (p value 0.792). Mitral valve dysfunction (stenosis and regurgitation) before surgery is a factor that plays a role in changes in postoperative EF (p value 0.01). Based on the degree of ventricular dysfunction before surgery, there was a significant change in EF (p value <0.0001). There was an improvement in EF to normal in the group of moderate left ventricular dysfunction (EF 36% - 45%), ie from 43.17% to 61.5%. Improved EF was better in mitral stenosis with moderate left ventricular dysfunction returning to postoperative sinus rhythm, from 43.3 ± 2.9% to 64 ± 10.9% compared to those that remained in AF 42% to 49%.
Conclusion: Postoperative heart rhythm after concomitant Cox-Maze IV with single frequency radio clamp method has no statistically significant relationship to the left ventricular ejection fraction. This procedure has more significant benefits in improving ventricular function in low ejection fractions, especially in mitral stenosis."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wirya Ayu Graha
"Latar belakang: Salah satu terapi fibrilasi atrium adalah ablasi bedah yang disebut Cox-maze IV yang dilakukan bersamaan dengan operasi katup mitral (concomitant cox-maze IV). Keberhasilan Cox-maze IV di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah RSJPD Harapan kita cukup tinggi yaitu 88,13%. Penelitian ini untuk menilai faktor-faktor yang berhubungan dengan keberhasilan concomitant Cox-maze IV pada pasien dengan fibrilasi atrium dan penyakit katup mitral di RSJPD Harapan Kita, Indonesia.
Metode: Desain penelitian adalah cross sectional. Pasien dengan penyakit katup mitral dan fibrilasi atrium diperiode Januari 2012 sampai Desember 2017 dilakukan operasi katup mitral dan Cox-maze IV kemudian dievaluasi irama jantung 6 bulan pasca operasi. Irama yang dinilai adalah bebas fibrilasi atrium dan dinilai faktor-faktor yang berhubungan.
Hasil: Total subjek adalah 115 pasien dengan prevalensi bebas fibrilasi atrium 6 bulan pascabedah adalah 81.5%. Pascabedah mortalitas sebanyak 7 pasien (6,1%). Diameter atrium kiri lebih dari 60 mm memiliki odds ratio 2,91 artinya, pasien dengan diameter atrium kiri lebih dari 60 mm memiliki peluang 2,91 kali irama tetap fibrilasi atrium dibanding dengan pasien dengan diameter atrium kiri kurang dari 60 mm.
Simpulan: Faktor yang berhubungan dengan keberhasilan concomitant Cox-maze IV pada pasien dengan fibrilasi atrium dan penyakit katup mitral adalah diameter atrium. Pasien dengan diameter atrium kiri lebih dari 60 mm memiliki OR 2,91 tetap FA.

Introduction: One of the therapies for atrial fibrillation is surgical ablation that is known as Cox-maze IV, that is performed together with mitral valve operation (concomitant cox-maze IV). The success rate of Cox-maze IV in RSPJD Harapan Kita is quite high, which is 88.13%. This study is aimed at understanding the factors that attribute to the success of concomitant Cox-maze IV on atrial fibrillation and mitral valve disease patients in RSJPD Harapan Kita, Indonesia.
Method: The study design is cross sectional. Patients with mitral valve disease and atrial fibrillation within the period of January 2012 to December 2017 were given mitral valve operation and Cox-maze IV, then the cardiac rhythm was evaluated for 6-months post-surgery. The examined rhythm is atrial fibrillation free and we evaluated the associating factors.
Results: Total subject was 115 patients with the prevalence of atrial fibrillation free for 6-months post-surgery was 81.5%. Post-surgery mortality rate was 7 patients (6.1%). A larger than 60 mm left atrium diameter had an odds ratio of 2.91, which meant that patients with a left atrium diameter larger than 60 mm had a 2.91 higher risk of having atrial fibrillation rhythm than those with a smaller than 60 mm left atrium diameter.
Conclusion: Factors associated with the success of concomitant Cox-maze IV on atrial fibrillation and mitral valve disease patients is atrium diameter. Patients with a left atrium diameter larger than 60 mm has an OR of 2.91 to have atrial fibrillation. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Chairunnisa
"ABSTRAK
Latar Belakang: Disfungsi sistolik ventrikel kiri memiliki prognosis yang buruk dan sekitar 60% dapat asimptomatik. Penilaian kondisi disfungsi sistolik ventrikel kiri ini dapat diketahui dengan mengukur fraksi ejeksi ventrikel kiri (leftventricular fraction ejection/LVEF) dengan menggunakan pemeriksaan cardiac magnetic resonance (CMR), sedangkan cardiothoracic ratio (CTR) memiliki sensitivitas 86% untuk mendeteksi penurunan fraksi ejeksi (< 50%).Tujuan: Mengetahui adakah hubungan korelasi CTR dengan LVEF pada pasien gagal jantung disfungsi sistolik ventrikel kiri. Metode: Menggunakan desain korelatif studi potong lintang (cross sectional) dan retrospektif dengan minimal sampel 47 pasien. Analisis data menggunakan uji korelasi dan regresi. Hasil: Didapatkan korelasi negatif antara CTR dan LVEF dengan r = -0,20 dan  p = 0,170. Kesimpulan: Terdapat hubungan yang tidak bermakna antara CTR dan LVEF.

ABSTRACT
Background: Left ventricular systolic dysfunction has a poor prognosis and about 60% can be asymptomatic. Assessment of left ventricular systolic dysfunction condition can be determined by measuring left ventricular fraction ejection (LVEF) by cardiac magnetic resonance (CMR) examination, while cardiothoracic ratio (CTR) has 86% sensitivity to detect decreased ejection fraction (< 50%). Purpose: To knowing correlation relationship of CTR with LVEF in patients with heart failure left ventricular systolic dysfunction. Methods: Using correlative design of cross sectional and retrospective studies with a minimum sample of 47 patients. Data analysis using correlation and regression test. Result: There was a negative correlation relationship between CTR and LVEF with r = -0.20 and p = 0.170. Conclutions: Correlations with no significans between CTR and LVEF.

"
2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Mansjoer
"Penyakit Graves merupakan penyakit autoimun pada kelenjar tiroid dengan manifestasi berbagai sistem organ, termasuk sistem kardiovaskular akibat hipertiroid. Pada pasien hipertiroid terjadi peningkatan fungsi sistolik ventrikel kiri dibandingkan populasi normal. Beberapa penelitian tentang kadar hormon tiroid mendapatkan hasil yang berbeda-beda. Hipotesis pada penelitian ini adalah peningkatan kadar hormon tiroid akan diikuti peningkatan fungsi ventrikel kiri.
Tujuan
Diketahui korelasi kadar tiroksin bebas dan fraksi ejeksi ventrikel kiri pada pasien Graves yang belum diobati.
Metode
Pada penelitian potong lintang ini digunakan kadar tiroksin bebas sebagai parameter hormon tiroid dan fraksi ejeksi ventrikel kiri (LVEF) menurut cara Simpson yang dimodifikasi dengan ekokardiografi sebagai parameter fungsi sistolik ventrikel kiri. Kadar tiroksin bebas diperiksa di laboratorium sedangkan fraksi ejeksi ventrikel kiri cara Simpson dinilai dengan alat ekokardiografi.
Hasil
Didapatkan 10 pasien, 7 laki-laki dan 3 perempuan, dengan usia 18-52 tahun. Lama gejala dirasakan pasien 2-12 bulan. Pada pasien didapatkan rerata kadar fT4 5,75 (SB 0,96) ngldL dan rerata fraksi ejeksi ventrikel kiri 70,57 (SB 4,50) %. Didapatkan koefisien korelasi positif antara kadar tiroksin bebas dan fraksi ejeksi ventrikel kiri (r=0,711, p=0,021) pada pasien Graves yang belum diobati
Kesimpulan
Pada penelitian ini didapatkan korelasi positif kuat antara kadar tiroksin bebas (fT4) dan fraksi ejeksi ventrikel kiri (LVEF) pada pasien Grave yang belum mendapat pengobatan.

Graves' disease is an autoimmune disease of thyroid gland which can be manifested in many organ system, especially cardiovascular system due to hyperthyroid. Hyperthyroid patients have a higher left ventricular systolic function than normal. Several studies of correlation between thyroid hormone level and cardiac function have showed different results. The hypotesis tested in this study is the increasing thyroid level will followed by the increase of left ventricular systolic function in Graves' disease.
Objective
To determine the correlation between thyroid hormone level and left ventricular ejection fraction in newly diagnosed Graves' patients.
Methods
In this cross-sectional study, we use the free thyrosine level as a parameter of thyroid hormon and use left ventricular ejection fraction as a parameter of left ventricular systolic function. Free thyroxine level was measured in the laboratory and the LVEF were assessed by Simpson's methods of echocardiography study.
Results
Ten patients (7 men and 3 women; age 18-52 years old) were studied. Their average of ff4 was 5.75 (SD 0.96) ngldL and their average of LVEF was 70.57 (SD 4.50) %. There was positive correlation coefficient between free thyroxine level and left ventricular ejection fraction (r=0.711, p=0.021) in newly diagnosed Graves' patients.
Conclusion
In this study there was strong positive correlation between free thyroxine (fT4) and left ventricular ejection fraction (LVEF) in newly diagnosed Graves' patients.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budhi Setianto Purwowiyoto
"Lima puluh persen penderita gagal jantung merupakan gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang normal (HFPEF). Morbiditas dan mortalitas HFPEF belumlah jelas. Latihan olahraga telah menjadi rekomendasi pertama dalam beberapa panduan klinis, namun belum pada HFPEF. Strain longitudinal apikal 4 ruangan dapat digunakan sebagai nilai prognostik. Perbaikan fungsi longitudinal intrinsik ventrikel kiri menggunakan strain longitudinal apikal empat ruangan akibat latihan olahraga belumlah diketahui. Kuasi eksperimental menggunakan 30 sampel konsekutif HFPEF, dilakukan program latihan olahraga tersupervisi. Program latihan olahraga dilakukan selama satu bulan. Dilakukan pemeriksaan ekokardiografi, 6MWT, kuesioner MLWHF dan WHO. Terdapat perbedaan yang signifikan dalam 6MWT, nilai skoring MLWHF dan WHO5 sebelum dan sesudah latihan olahraga. Didapatkan nilai strain longitudinal sebesar -16,20% (-10,7% sampai dengan -17,81%). Strain longitudinal apikal 4 ruangan mengalami perbaikan pada minggu ke 2 dan ke 4 latihan olahraga (sebelum latihan olahraga LS = -16,20 [-10,70 to -17,81]; minggu ke dua latihan olah raga LS = -18,00±2,69 dan minggu ke 4 latihan olahraga LS = -21,86±1,79) dan terdapat perbedaan yang signifikan (p < 0,001). Terdapat perbaikan fungsi intrinsik longitudinal ventrikel kiri sebelum dengan sesudah diberikan program latihan olahraga pada penderita gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang normal.

Fifty percent of patients with heart failure are heart failure with preserved ejection fraction (HFPEF). Morbidity and mortality of HFPEF is unclear. Exercise has become the first recommendation in several clinical guidelines, but not yet in HFPEF. Apical 4 chamber longitudinal strain can be used as a prognostic value. But the improvement of longitudinal intrinsic left ventricular function using apical 4 chamber longitudinal strain due to exercise training is not yet known. Quasi- experimental study using thirty consecutive sample of HFPEF. Exercise training program was conducted for a month. Echocardiography, 6MWT, MLWHF and WHO questionnaire was performed before and after exercise. There was significant differences in the 6MWT, the value of MLWHF and WHO5 score before and after exercise. Longitudinal strain values obtained by -16.20 % (-10.7% to -17.81%). Four chamber longitudinal strain was improved at weeks 2 and 4 of exercise (before exercise LS = -16.20[-10.70 to -17.81]; the second week of exercise training LS = -18.00±2,69 and week 4 exercise LS = -21.86 ± 1.79) and there were significant differences (p < 0.001). There was an improvement in the longitudinal intrinsic left ventricular function before and after exercise training in patients with heart failure with preserved ejection fraction."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hashfi Fauzan Raz
"Latar Belakang: Pasien dengan fraksi ejeksi (FE) rendah memiliki risiko apabila dilakukan BPAK dengan mesin PJP. Pengunaan mesin PJP memiliki risiko cedera miokard yang diakibatkan dari periode iskemia, reperfusi, dan inflamasi yang dapat mengakibatkan aritmia pascaoperasi. Aritmia pascaoperasi BPAK terjadi pada 5-40% dan meningkatkan mortalitas serta morbiditas. Glutamin merupakan asam amino yang memiliki efek anti inflamasi dengan menurunkan mediator inflamasi dan kerusakan oksidatif akibat radikal bebas sehingga menurunkan efek cedera miokard dan dihipotesiskan menurunkan kejadian aritmia pascaoperasi BPAK.
Metodologi: Penelitian ini kohort retrospektif pada pasien penyakit jantung koroner dengan FE rendah yang menjalani BPAK menggunakan mesin PJP. Subjek dibagi menjadi kelompok yang mendapat dan tidak mendapat glutamin intravena praoperasi. Luaran yang dinilai adalah kejadian aritmia pascaoperasi secara keseluruhan, arimita ventrikel dan supraventrikel pascaoperasi BPAK.
Hasil: Kejadian aritmia pascaoperasi lebh rendah secara bermakna pada kelompok yang mendapatkan glutamin intravena praoperasi, yaitu 16,7%dibandingkan 40% (p=0,045). Kejadian aritmia atrium pascaoperasi juga lebih rendah secara bermakna pada kelompok yang mendapat glutamin intravena praoperasi, yaitu 26,7% dibandingkan 73,3% (p=0,026), namun pada kejadian aritmia ventrikel pascaoperasi tidak ada perbedaan bermakna (p=0,74).
Kesimpulan: Pada pasien dengan fraksi ejeksi rendah yang menjalani BPAK menggunakan mesin PJP, pemberian glutamin intravena praoperasi dapat menurunkan angka kejadian aritmia pascaoperasi.

Background: Low ejection fraction (EF) increases the risk of morbidity and mortality in patients undergoing CABG. CABG with CPB induces myocardial injury caused from ischemia, reperfusion and inflammation, causing postoperative arrhythmias. Arrhyhtmias occur in 5-40% patients after CABG and increase postoperative mortality and morbidity. Glutamine is an amino acid that has antiinflammatory effect, decerasing inflammatory mediators and oxidative stress from free radicals. In turn, glutamin lower the effect of myocardial injury and hypothesized to lower postoperative arrhythmias after CABG.
Methods: This is a cohort retrospective study in patients with coronary artery disease with low EF undergoing CABG with CPB. The subjects were divided into two groups based on given or not given intravenous glutamin preoperative.The outcomes of the study is incidence of arrhythmias after CABG and the incidence of ventricular and supraventricular arrhythmias after CABG.
Results: The subjects in the intravenous glutamin group have lower incidence of postoperative arrhythmias compared to control (16.7% vs 40% respectively, p=0.045). Supraventricular arrhythmia incidence in intravenous glutamin group is also lower compard to control (26.7% vs 73.3% respectively, p=0,026). There are no significant differences of postoperative ventricular arrhythmias between two groups (p=0.74).
Conclussion: In patients with low EF undergoing CABG with CPB, intravenous glutamin administration can lower the incidence of postoperative arrhythmias.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maifitrianti
"Doksorubisin masih banyak digunakan di Rumah Sakit Kanker Dharmais. Efek samping doksorubisin terhadap jantung yang dapat ditandai dengan adanya penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri perlu mendapatkan perhatian khusus. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh faktor-faktor risiko yang mempengaruhi penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri pada pasien kanker yang mendapatkan kemoterapi doksorubisin di Rumah Sakit Kanker Dharmais. Penelitian dilakukan menggunakan rancangan cross sectional. Data diperoleh dari rekam medis pasien. Populasi adalah pasien kanker yang mendapatkan kemoterapi doksorubisin periode Oktober 2011-Oktober 2013 di Rumah Sakit Kanker Dharmais. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi sebanyak 77 pasien. Faktor-faktor risiko yang dievaluasi adalah jenis kelamin, usia, kombinasi kemoterapi, hipertensi, diabetes mellitus, riwayat penyakit jantung, radiasi pada dada kiri dan penggunaan obat kardiotoksik lain. Penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri setelah kemoterapi doksorubisin terjadi pada 84,5% pasien: penurunan fraksi ejeksi <10% pada 48,1% pasien dan penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≥10% pada 36,4% pasien. Hipertensi berpengaruh terhadap penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≥10% secara bermakna (p=0,032). Jenis kelamin laki-laki dan radiasi pada dada kiri menunjukkan adanya kecenderungan berhubungan dengan penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≥10% (p=0,095 dan p=0,051). Penderita hipertensi yang mendapatkan doksorubisin berpotensi mengalami penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri.

Doxorubicin was still widely used in Dharmais Cancer Hospitals. The side effect of doxorubicin to the heart which can be characterized by a decline of left ventricular ejection fraction (LVEF) should received special attention. The aim of this study was to determine risk factors associated with the incidence of LVEF decline in cancer patients treated with doxorubicin at Dharmais Cancer Hospital. The study design was cross sectional. Data was collected from patient?s medical record. The populations were cancer patients who got doxorubicin on October 2011-October 2013 at Dharmais Cancer Hospital. The Samples which fulfilled the inclusion and exclusion criteria were 77 patients. Gender, age, chemotherapy combination, hypertension, diabetes mellitus, cardiac diseases history, left chest wall irradiation and the used of other drugs-induced cardiotoxicity were evaluated as risk factors. The amount of patient that declined their LVEF after doxorubicin chemotherapy was 84.5%, consist of 48.1% patients have ejection fraction fall <10%, and 36.4% patients have ejection fraction fall ≥10%. Hypertension significantly related with decline of LVEF ≥10% (p=0.032). Male sex and left chest wall irradiation showed a trend decline of LVEF ≥10% (p=0.095 and p=0.051). Patients with hypertension who got doxorubicin potentially had declined LVEF."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2014
T38691
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Sari Dewi
"Latar Belakang : Rasio netrofil-limfosit (NLR) sudah banyak diteliti memiliki hubungan yang erat dengan luaran penyakit kardiovaskular. Hal ini berhubungan dengan proses inflamasi yang dapat menyebabkan perubahan struktural dan fungsi dari jantung yang dapat dinilai dengan salah satunya fraksi ejeksi (EF). Pasien IMA-EST yang mendapatkan IKPP memiliki resiko untuk mengalami perubahan EF yang berhubungan dengan NLR saat admisi.
Tujuan : Mengetahui hubungan antara NLR rendah dengan peningkatan fraksi ejeksi (EF) ventrikel kiri pada pasien IMA-EST yang mendapatkan IKPP.
Metode : Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif dan data dilaporkan dalam bentuk deskriptif dan analitik korelasi. Dilakukan analisa hubungan NLR admisi pasien STEMI yang mendapatkan IKPP dengan EF ≤50% yang di ambil dengan ekokardiografi selama perawatan, akan kemudian dilakukan ekokardiografi kembali pada bulan ke-3.
Hasil : Total sampel penelitian adalah 58 subjek dengan 91,4% merupakan laki-laki. Rerata nilai EF I 42% dan EF ke-2 45,9%. Pasien dibagi menjadi 2 kelompok dengan NLR <7 dan >7. Terdapat perbedaan proporsi antara kedua kelompok yang ditunjukan dengan nilai p sebesar 0,05. Subjek yang mempunyai kadar NLR >7 lebih beresiko sebesar 4,30x untuk tidak mengalami perbaikan. Faktor yang paling dominan yang mempengaruhi perbaikan EF pada penelitian ini adalah NLR <7 dengan OR sebesar 6,56 (1,31-32,84) setelah dikontrol oleh variable lekosit dan multivesel diseases.
Kesimpulan : Terdapat hubungan antara NLR dengan perbaikan EF ventrikel kiri pada Pasien IMA-EST yang mendapatkan IKPP

Background : The neutrophil-lymphocyte ratio (NLR) has been widely studied to have a close relationship with cardiovascular disease outcomes. This is related to the inflammatory process that can cause structural and functional changes of the heart which can be assessed by ejection fraction (EF). STEMI patients who receive Primary PCI are at risk for experiencing changes in EF related to NLR at admission.
Objective: To determine the relationship between low NLR and increased left ventricular ejection fraction (EF) in STEMI patients who receive primary PCI.
Methods: The design of this study was a retrospective cohort and the data were reported in descriptive and analytic form. An analysis of the relationship between NLR admissions for STEMI patients who received primary PCI with an EF 50% or below were carried out by echocardiography during treatment, then echocardiography was performed again in the 3rd month.
Results: The total sample of the study ware 58 subjects with 91.4% of males. The mean score for EF I was 42% and EF 2 was 45.9%. Patients were divided into 2 groups with NLR <7 and >7. There is a difference in the proportion between the two groups as indicated by a p-value of 0.05. Subjects who have NLR levels > 7 are 4,30x more at risk for not experiencing improvement. The most dominant factor influencing the improvement of EF in this study was NLR <7 with an OR of 6.56 (1.31-32.84) after being controlled by leukocyte and multivesel diseases variables.
Conclusion: There is a relationship between NLR and left ventricular EF improvement in IMA-EST patients who received PCI
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vanda Mustika
"Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran peningkatan fraksi ejeksi ventrikel kiri dan peningkatan kapasitas aerobik pasien pasca sindrom koroner akut setelah intervensi koroner perkutan sebelum dan sesudah terapi latihan jalan.
Metode: Penelitian ini adalah studi intervensi dengan desain pre dan post satu kelompok pada 22 subjek pasca sindroma koroner akut setelah intervensi koroner perkutan yang mengikuti program rehabilitasi jantung fase II. Subjek diberikan latihan jalan dengan intensitas submaksimal 3 kali seminggu, selama 8 minggu dengan jarak yang ditingkatkan setiap latihan. Sebelum memulai dan setelah selesai program latihan jalan dilakukan pemeriksaan kapasitas aerobik dengan uji jalan 6 menit dan pemeriksaan echokardiografi untuk menentukan fraksi ejeksi ventrikel kiri.
Hasil: Didapatkan peningkatan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang signifikan (p<0,001), dengan rerata sebelum diberikan latihan jalan 61,49 + 11,94 % dan setelah diberikan latihan jalan mengalami kenaikan menjadi sebesar 65,85 + 8,68 %. Kapasitas aerobik yang dinilai dengan uji jalan 6 menit juga memberikan hasil yang bermakna secara statistik, sebelum diberikan latihan jalan memiliki rerata 16,05 + 3,01 mL/kgBB/menit dan setelah diberikan latihan rerata kapasitas aerobik mengalami kenaikan menjadi sebesar 19,71 + 2,83 mL/kgBB/menit.
Kesimpulan: Pemberian latihan jalan dalam program rehabilitasi jantung fase II pada pasien pasca sindroma koroner akut setelah intervensi koroner perkutan dapat meningkatkan fraksi ejeksi ventrikel kiri dan kapasitas aerobik.

Objectives: To examine the effect of walking exercise on left ventricular ejection fraction (LVEF) and aerobic capacity in post acute coronary syndrome patient after percutaneus coronary intervention.
Methods: This study is an interventional study with one group pre and post design on 22 subjects post acute coronary syndrome patient after percutaneus coronary intervention in phase II cardiac rehabilitation program. Subjects were given walking exercise programme with submaximal intensity 3 times a week, for 8 weeks with increased distance every attendance. Aerobic capacity were measured with 6 Minute Walking Test, Ejection Fraction were measured with Echocardiography, both were done before and after the walking exercise program.
Results: There were significant improvement in left ventricular ejection fraction (p<0,001), mean LVEF before exercise was 61,49 + 11,94 % and after exercise was 65,85 + 8,68 %. Aerobic capacity also show a significant improvement (p<0,001), with mean aerobic capacity before exercise was 16,05 + 3,01 mL/kgbodyweight/minutes and mean after exercise was 19,71 + 2,83 mL/ kgbodyweight/minutes.
Conclusion: Walking exercise in phase II cardiac rehabilitation program in in post acute coronary syndrome patient after percutaneus coronary intervention can improve the left ventricular ejection fraction and aerobic capacity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bimo Bintoro
"Latar Belakang. Pemacuan ventrikel kanan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari tatalaksana bradikardi simptomatik, bradiaritmia, dan kelainan konduksi lainnya. Sayangnya terdapat efek buruk pemacuan ventrikel kanan terhadap disinkroni dan penurunan fungsi ventrikel kiri. Penelitian ini mencoba melihat secara potong lintang hubungan pemacuan ventrikel kanan terhadap kejadian disinkroni dan penurunan fungsi ventrikel kiri.
Metode. Seratus delapan belas pasien dengan disfungsi nodal AV diambil secara konsekutif untuk studi potong lintang, mulai bulan Maret hingga Mei 2013 didapat dari registri divisi Aritmia Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta. Pasien menjalani pemeriksaan disinkroni dan fungsi ventrikel kiri dengan ekokardiografi. Dilakukan penilaian terhadap interval elektromekanikal dengan doppler jaringan, kemudian dinilai variabel nilai awal yang didapat dari rekam medis pasien.
Hasil. Dalam studi kami, 70 dari 118 (59.3%) pasien mengalami disinkroni dalam rerata durasi pemacuan 4.7 tahun. Terdapat perbedaan signifikan terhadap durasi waktu di kelompok pasien yang mengalami disinkroni intraventrikel dengan yang tidak mengalami disinkroni intraventrikel (5.29 vs 3.27 tahun). Setelah pemacuan ventrikel kanan 6.1 tahun, pasien paska pacu-jantung berisiko untuk mengalami disinkroni intraventrikel dengan OR 4.07 kali. Tidak didapatkan perbedaan bermakna antara pemacuan di apeks RV ataupun RVOT terhadap kejadian disinkroni. Terdapat kecenderungan kejadian disinkroni intraventrikel, disinkroni interventrikel, dan penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri pada pasien-pasien yang mendapatkan pemacuan apeks RV.
Kesimpulan. Semakin lama durasi pemacuan ventrikel kanan, semakin tinggi risiko kejadian disinkroni intraventrikel pada pasien pacu-jantung permanen dengan OR di atas 6.1 tahun adalah 4.07 kali.

Background. Right ventricular pacing is an established therapy from the management of symptomatic bradycardia, brady-arrhytmias, and other conduction disturbances. Unfortunately there are deleterious effects of right ventricular pacing on cardiac synchrony and left ventricular function. This study tried to look cross sectionaly the variable of pacing duration, lead locations to the occurrence of dyssynchrony and decrease left ventricular ejection fraction.
Method. One hundred and eighteen patients with AV nodal dysfunction (SND with AVN dysfunction, AF slow response, Total AV-Block, and AF post AVJ ablation) taken consecutively for this cross-sectional study, from March to May 2013 obtained from the registry division of the National Cardiac Arrhythmia Center Harapan Kita, Jakarta. Patients then undergone echocardiography assessment for cardiac dyssynchrony and left ventricular function. After we assessed of the electromechanical interval with tissue Doppler, we then assessed the value of the basic variables that was obtained from patient medical records.
Results. In our study, 70 of 118 (59.3%) patients had dyssynchrony at a mean duration of pacing disinkroni in 4.7 years. There are significant differences in the duration of time under pacing in the group of patients who experienced intraventricular dyssynchrony (5.29 vs. 3.27 years). In post-cardiac pacemaker patients, there were increased risk by year with peak after 6.1 years of OR 4.07 times. There were no significant differences between pacing lead at the RV apex or RVOT. There is a downward trend in intraventricular and interventricular dyssynchrony, also with poor left ventricular ejection fraction in patients receiving RV apical pacing.
Conclusion. The longer the duration of right ventricular pacing, the higher the risk of intraventricular dyssynchrony in patients with permanent cardiac pacemaker (OR for patients with RV pacing more than 6.1 years is 4.07x).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>