Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 175000 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yasir Mustafa Banadji
"Latar Belakang: Nyeri akut pasca-bedah pada anak-anak sering tidak ditangani
dengan baik karena dogma yang popular adalah anak-anak tidak merasakan nyeri.
Penanganan nyeri yang tidak adekuat mencetus respon stress dan biokimia dan
menyebabkan gangguan fungsi metabolisme, kardiovaskular, pulmoner, neuroendokrin,
gastrointestinal, dan imunologi. Selama ini, penanganan nyeri akut
pascabedah anak-anak di bawah umbilikus dilakukan dengan pendekatan
multimodal dengan teknik anestesia regional dan obat analgetika sistemik.
Asetaminofen merupakan obat analgetika yang paling sering digunakan untuk
menangani nyeri derajat ringan-sedang. Metamizol juga telah banyak digunakan
sebagai obat analgetika yang efektif untuk nyeri pasca-bedah. Meski demikian,
untuk penanganan nyeri pasca-bedah, penggunaan metamizol tidak sepopuler
asetaminofen di Indonesia. Di RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo, penggunaan
asetaminofen intravena sebagai analgetika pascabedah direstriksi berdasarkan
formularium nasional.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinik acak tersamar ganda untuk menilai
efektivitas metamizol 15 mg/KgBB IV dan asetaminofen 15 mg/KgBB IV untuk
analgesia pascabedah di bawah umbilikus pada pasien pediatrik. Pengambilan
sampel penelitian dilakukan pada bulan April 2019-Oktober 2019 secara consecutive sampling. Enam puluh empat subjek penelitian memenuhi kriteria
inklusi dan bersedia mengikuti penelitian, kemudian dirandomisasi menjadi dua
kelompok. Subjek menjalani pembedahan dengan pembiusan umum dan injeksi
bupivakain 0,25% secara kaudal. Sebelum pembedahan berakhir, subjek
mendapatkan regimen analgetika asetaminofen 15 mg/KgBB IV atau metamizol 15
mg/KgBB IV sesuai kelompok randomisasi. Pemberian regimen analgetika diulang
setiap 8 jam dalam 24 jam pertama pasca-bedah. Dilakukan penilaian skala FLACC
saat istirahat dan bergerak pada saat pasien pulih sadar, jam ke-4, jam ke-6, jam k-
12, dan jam ke-24 pascabedah. Dilakukan pula pencatatan kebutuhan fentanil, saat
pertama pasien membutuhkan fentanil, dan efek samping yang timbul selama 24
jam pertama pascabedah.
Hasil: Derajat nyeri (skala FLACC) pada saat istirahat maupun bergerak tidak
berbeda bermakna antar kedua kelompok pada saat pasien pulih sadar, jam ke-4, 6,
12, dan 24 pascabedah. Tidak terdapat subjek yang membutuhkan fentanil rescue
selama 24 jam pertama pacabedah pada kelompok metamizol. Terdapat 4 dari 32
subjek yang membutuhkan fentanil rescue pada kelompok asetaminofen dengan
saat pertama membutuhkan fentanil rescue berkisar antara 300 hingga 700 menit
pascabedah. Angka kejadian mual dan muntah lebih banyak terjadi pada kelompok
asetaminofen (mual: 31,3% vs 18,8%; Muntah: 25% vs 12,5%).
Simpulan: Metamizol 15 mg/kgBB IV tidak lebih efektif dibandingkan dengan
asetaminofen 15 mg/kgBB IV untuk analgesia pascabedah di bawah umbilikus pada
pasien pediatrik.

Background: Acute post-operative pain in pediatric patients often poorly handled
due to the popular paradigm that children doesnt feel pain. Inadequate pain
treatment can induce stress and biochemical response and cause metabolism,
cardiovascular, pulmonary, neuro-endocrine, gastrointestinal, and immunological
dysfuctions. Nowadays, pediatric pain management for post-operative pain below
umbilical surgery is done in multimodal fashion with combination of regional
anesthesia and systemic analgesia drugs. Acetaminophen is often used for
analgesia on mild-moderate pain. Metamizole also has been used and quite
effective for post-operative analgesia. However, metamizole is not as popular as
acetaminophen for post-operative analgesia in Indonesia. In dr.Cipto
Mangunkusumo Hospital, acetaminophen for post-operative analgesia is restricted
due to National Drugs Regulation.
Methods: We conducted this double-blinded clinical trial to evaluate effectiveness
of intravenous metamizole 15 mg/KgBW and intravenous acetaminophen 15
mg/KgBW for post-operative analgesia of below umbilical surgery in pediatric
patients. A consecutive sampling was done from April 2019 to October 2019. Sixtyfour
subjects that meet inclusion criteria and had consent randomized into 2 groups. The subjects had surgery with combination of general anesthesia and
injection of caudal block bupivacaine 0.25%. Before surgery concluded, the
subjects received analgesia regiment acetaminophen 15 mg/KgBW or metamizole
15 mg/KgBW according to their randomization group. The analgesia regiment was
given again every 8 hours for 24 hours post-operative. The FLACC scale at rest
and during movement were recorded at time of fully recover from anesthesia, 4-h,
6-h, 12-h, and 24-h post-operative. Fentanyl rescue requirement, moment of first
time fentanyl rescue requirement, dan the drugs side effect were also recorded for
24 hours post-operative.
Result: FLACC scale at rest and during movement between two groups at fully
recover from anesthesia, 4-h, 6-h, 12-h, and 24-h post-operative was not
significantly different. No subject needed fentanyl rescue during 24 hours postoperative
in metamizole group. There was 4 of 32 subjects needed fentanyl rescue
in acetaminophen group with first fentanyl rescue requirement occur between 300
to 700 minutes post-operative. The incidence of nausea and vomiting ws higher in
acetaminophen group than metamizole group (nausea: 31.3% vs 18.8%; vomiting:
25% vs 12.5%)
Conclusion: Metamizole 15 mg/KgBW is not more effective compared to
acetaminophen 15 mg/KgBW for post-operative analgesia of below umbilical
surgery in pediatric patients
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yulia Hafni
"ABSTRAK
Latar belakang. Target Control Infusion (TCI) yang digunakan untuk propofol
saat ini adalah Marsh dan Schneider. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
perbandingan efisiensi propofol antara aplikasi TCI rumusan Marsh dan rumusan
Schneider pada pasien ras Melayu di RSCM. Efisiensi propofol dinilai dari total
dosis propofol yang digunakan, lama waktu sampai tercapainya LoC (Loss of
Conciousness) dan efek samping yang terjadi.
Metode. Subyek sebanyak 54 pasien, dirandomisasi menjadi 2 kelompok, 27
pasien menggunakan TCI rumusan Marsh dan 27 pasien menggunakan TCI
rumusan Schneider. Target konsentrasi plasma (Cp) 4,2μg/ml unruk rumusan
Marsh dan 6μg/ml untuk Schneider. dinilai kesadaran subyek, bila Cp awal telah
tercapai selama 1 menit namun pasien masih sadar, target Cp dinaikkan 0,5μg/ml
tiap 30 menit sampai tercapai loss of consciousness (LoC).
Hasil. Total dosis propofol yang digunakan sampai tercapainya LoC dengan TCI
rumusan Marsh 1,50±0,34 mg/kg dan yang menggunakan TCI rumusan Schneider
1,74±0,29 mg/kg. Lama waktu yang diperlukan sampai tercapainya LoC dengan
rumusan Marsh 104,58±28,00 detik dan dengan rumusan Schneider 173,48±28,94
detik. Pasien yang menggunakan TCI rumusan Marsh mengunakan total dosis
yang lebih sedikit dengan p<0,05 dan waktu yang lebih singkat sampai
tercapainya LoC dengan p<0,05. Tidak ditemukan adanya perbedaan efek
samping antara kedua aplikasi tersebut.
Kesimpulan. Tidak ada aplikasi TCI yang lebih efisien antara Marsh dan
Schneider.

ABSTRACT
Background. Target Control Infusion (TCI) were used for the current propofol is
Marsh and Schneider. This study compare the efficiency propofol using Marsh
and Schneider TCI application for Malay race patients in RSCM. Efficiency of
propofol assessed total propofol dose used, the length of time to reach the LoC
(Loss of Conciousness) and the side effects that occur.
Methods. The subject are 54 patients, randomized into 2 groups, 27 patients using
the TCI Marsh formulation and 27 patients using the TCI Schneider formulation.
Target plasma concentrations (Cp) 4.2 mg / ml for Marsh group and 6μg/ml for
Schneider group then we assessed the patient’s awareness. If initial Cp had been
achieved for 1 minute but the patient is still conscious, target Cp was increased
0.5 ug / ml every 30 minutes until the patients was unconscious (LoC).
Results. Total dose of propofol had been used to achieve LoC in Marsh group
was 1.50 ± 0.34 mg / kg, and for Schneider group was 1.74 ± 0.29 mg / kg. The
length of time needs to reach the LoC in Marsh group was 104.58 ± 28.00 seconds
and Schneider group was 173.48 ± 28.94 seconds. Patients in Marsh group used
less total dose and had shorter time to reach the LoC than in Schneider group (p
<0.05). There are no differences in side effects between the two groups.
Conclusion. No applications of TCI are more efficient between Marsh and
Schneider."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arnaz Fahdika
"Latar Belakang: Post Aneshesia Shivering (PAS) adalah gerakan involunter satu otot rangka atau lebih yang biasanya terjadi pada masa awal pemulihan pascaanestesia. Kekerapannya mencapai 60% pada pasien yang mendapatkan anestesia umum. PAS dapat menyebabkan hipoksia arterial, meningkatnya curah jantung, risiko terjadinya infark miokard, dan mengganggu interpretasi alat-alat pemantauan tanda vital. Tatalaksana kejadian PAS diantaranya dengan menggunakan metode farmakologi diantaranya dengan pemberian ondansetron dan meperidin. Penelitian ini bertujuan membandingkan keefektifan pencegahan PAS dengan pemberian ondansetron 4 mg dengan meperidin 0.35 mg/kgBB intravena.
Metode:Uji klinis, acak, tersamar ganda pada 92 pasien yang menjalani operasi elektif sederhana di kamar operasi RSCM Kirana. Pasien dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok ondansetron dan kelompok meperidin. Pasien mendapatkan ondansetron atau meperidin sesaat sebelum anestesia, lalu seluruh pasien mendapatkan anestesia yang distandarisasi (premedikasi dengan midazolam 0.05 mg/kgBB dan fentanyl 2 mcg/kgBB, induksi dengan propofol 12.5 mg/kgbb, intubasi atau insersi LMA difasilitasi rokuronium 0.6 mg/kgBB, pemeliharaan dengan sevofluran 2 vol% dengan compressed air:O2 = 2:1). Kekerapan dan derajat menggigil dicatat tiap lima menit selama tiga puluh menit pascaanestesia. Efek samping pascapemberian juga dicatat.
Hasil: Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik (p>0.05) dalam kekerapan PAS pada kedua kelompok. Kekerapan kelompok ondansetron sebesar 15.2%, sedangkan kekerapan kelompok meperidin sebesar 6.5%.
Kesimpulan: Ondansetron 4 mg intravena sama efektifnya dengan meperidin 0.35 mg/kgBB dalam mencegah kejadian PAS.

Background: Post Anesthesia Shivering (PAS) is the involuntary movements of one or more skeletal muscles that usually occur in the early time of postanesthesia recovery. The incidence reached 60% in patients receiving general anesthesia. PAS can cause arterial hypoxia, cardiac output increased, the risk of myocardial infarction, and interfere with interpretation tools vital sign monitoring. Management of the incidence of PAS such as by using pharmacological methods such as by administration of ondansetron and meperidine. This study aimed to compare the effectiveness of prevention PAS by administering ondansetron 4 mg with meperidine 0.35 mg / kg intravenously.
Methods: Clinical trials, randomized, double-blind on 92 patients undergoing elective surgery in the RSCM-Kirana operating room. Patients were divided into two groups: group ondansetron and meperidine. Patients received ondansetron or meperidine shortly before anesthesia and all patients receive standardized anesthesia (premedication with midazolam 0.05 mg / kg and fentanyl 2 mcg / kg, induced with propofol 1-2.5 mg / kg, intubation or LMA insertion is facilitated with rocuronium or 0.6 mg / kg, maintenance with sevoflurane 2 vol% to compressed air: O2 = 2: 1). The frequency and degree of shivering recorded every five minutes for thirty minutes post-anesthesia. The side effects were also recorded.
Result: There was no statistically significant difference (p> 0.05) in the frequency of PAS in both groups. Ondansetron group frequency of 15.2%, while the frequency of meperidine group was 6.5%.
Conclusion: Ondansetron 4 mg intravenously as effective as meperidine 0.35 mg/kgBW in preventing the incidence of PAS."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mega Halida
"Latar Belakang. Pembiusan dengan sevofluran untuk pemasangan jalur intravena pada anak merupakan hal yang sering dilakukan. Namun belum diketahui waktu optimal pemasangan kanulasi vena setelah induksi sevofluran 8 vol% pada pasien anak dan belum diketahui apakah metode Dixon dapat digunakan untuk hal ini.
Metode. Penelitian ini adalah uji prospektif intervensi dengan metode Dixon: up and down sequenece pada usia 1-3 tahun dengan ASA 1 dan 2 yang menjalani operasi elektif di kamar operasi RSCM Kirana. Kanulasi dinilai berhasil jika tidak ada gerakan, batuk, atau laringospasme. Kanulasi pada pasien pertama dilakukan 2 menit setelah hilangnya refleks bulu mata dan waktu untuk kanulasi intravena ditentukan oleh metode Dixon Up and Down dengan menggunakan 15 detik sebagai ukuran langkah. Tes Probit digunakan untuk menganalisis penelitian ini.
Hasil. Sebanyak 22 anak terdaftar secara berurutan selama waktu penelitian. Dengan sevofluran 8vol%, fraksi oksigen 100%, dan aloran udara 6 L/menit didapatkan waktu optimal untuk 50% dan 95% sebesar 27,25 detik dan 31,60 detik.
Kesimpulan. Kami merekomendasikan waktu kanulasi intravena 32 detik pada pasien usia 1-3 tahun setelah hilangnya refleks bulu mata dengan induksi sevofluran 8 vol%, fraksi oksigen 100%, dan aliran udara 6 L/menit.

Background. Intravenous cannulation is usually done in children after inhalational induction with volatile anesthetic agents. However, it is not yet known the optimal time for intravenous cannulation after induction of sevoflurane induction 8 vol% in pediatric patients and it is not yet known whether the Dixon method can be used for this.
Method.. This is a prospective intervention study with Dixon Up-and-Down sequential allocation study in ASA grade 1 and 2 children aged 1-3 years undergoing elective surgery in RSCM Kirana. The timing of cannulation was considered adequate if there was no movement, coughing, or laryngospasm. The cannulation attempt for the first child was set at 2 minutes after the loss of eyelash reflex and the time for intravenous cannulation was determined by the up-and-down method using 15 seconds as step size. Probit test was used to analyze the up-down sequences for the study.
Results. A total of 22 children were enrolled sequentially during the study period. The adequate time for effective intravenous cannulation after induction with sevoflurane 8 vol% in 50% and 95% of patients were 27,25 second and 31,60 second respectively.
Conclusions. We recommend waiting 32 second for attempting intravenous placement following the loss of the eyelash reflex in children after receiving an inhalation induction with sevoflurane 8 vol%,, oxygen fraction 100%, and flow 6 L/min.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Endah Permatasari
"Menggigil pasca anesthesia merupakan komplikasi yang potensial bagi pasien pasca bedah yang dapat mengakibatkan Iiipoksemia karena peningkatan konsumsi oksigen jaringan dan peningkatan kadar C02 dalam darah. Hal ini berbahaya tenriama bagi pasien dengan riwayat penyakit jantung iskemi atau pasien-pasien dengan fungsi cadangan ventilasi yang terbatas. Teiah banyak upaya pencegahan maupun penanggulangan dilakukan untuk mengatasi menggigil pasca anestesia, obat yang lazim digunakan adalah petidin. Penelitian terbaru juga menunjukkan bahwa ketamin juga efektif untuk mencegah menggigil pasca anestesia.
Penelitian ini bertujuan membuktikan apakah ketamin lebih efektif dibandingkan petidin untuk mencegah menggigil pasca anestesia inhalasi N20/02/isofluran, Penelitian ini bersifat uji klinis tersamar ganda yang membandingkan keefektifan ketamin intravena 0,5 mg/kb BB dengan petidin 0.35 mg/kg BB. Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Pusat RSCM dengan jumlah sampel 40, laki-laki dan perempuan, usia 16-65 tahun, status fisik ASA I-II. Kriteria penolakan adalah mempunyai riwayat alergi terhadap petidin dan ketamin, memiliki riwayat kejang, hipertensi dan penyakit jantung koroner, jika suhu tubuh sebelum induksi >38 °C atau <36°C dan bila pasien mengkonsumsi obat inhibitor monoamine oksidase. Kriteria pengeluaran jika operasi berlangsung >180 menit atau kurang dari 30 menit, mendapatkan darah atau komponen darah, memerlukan perawatan di ruang rawat intesif pasca pembedahan., mengalami komplikasi selamaanestesia seperti syok atau henti jantung dan bila intra operatif pasien mendapatkan obat klonidin, prostigmin, petidin dan ondansetron."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ana Zakiyah
"Perawat sering melakukan kesalahan dalam memberikan cairan intravena. Hal ini dapat diminimalkan dengan supervisi, namun kenyataan yang ada kegiatan supervisi belum optimal dan hanya sebatas pengawasan. Tujuan penelitian ini mengetahui pengaruh supervisi pimpinan ruang terhadap pelaksanaan pemberian cairan intravena. Metode yang digunakan adalah kuantitatif dan kualitatif. Sampel kuantitatif berjumlah 66 responden, partisipan FGD berjumlah 6.
Hasil penelitian ketiga sub variabel supervisi berpengaruh terhadap pemberian cairan intravena. Hasil FGD diidentifikasi 5 tema yaitu pemahaman pimpinan ruang tentang supervisi, mempertahankan kinerja perawat pelaksana, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, pimpinan ruang memberikan dukungan dan dorongan, supervisi yang kurang terstandar. Direkomendasikan untuk meningkatkan kegiatan supervisi secara berjenjang dan membuat suatu perencanaan supervisi yang terstandar.

Nurses often make mistakes in administering intravenous fluids. This can be minimized with supervision, but there is a fact that supervision has not been optimized and this activity limited only on one way control. The purpose of this study was to determine the influence of supervision by head nurse on intravenous therapy administration. The method used was quantitative and qualitative methods. Samples in a quantitative approach were 66 respondents, while the number of participants in Focus Group Discussion was 6 head of wards.
The results obtained indicated that the three sub variables affected the administration of intravenous fluids. The results of FGD identified several themes, namely the understanding of head nurses about supervision, maintaining performance, improving knowledge and skills, providing support and encouragement, and supervision that was less standardized. It is recommended that head nurses need to improve supervision activities on an ongoing basis, to make a standardized plan about supervision.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2012
T31200
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fachrizal Hariady
"Latar belakang: Kecemasan seringkali dijumpai pada pasien yang hendak menjalani suatu prosedur operasi, termasuk brakiterapi. Agen farmakologi anti ansietas saat ini merupakan pilihan untuk mengurangi kecemasan pasien. Obat memiliki potensi efek samping seperti depresi napas dan interaksi dengan agen anestesi sehingga dapat memperlama durasi perawatan di rumah sakit. Penggunaan terapi non farmakologi dengan terapi farmakologi dianggap memiliki efektivitas yang setara. Salah satu terapi non farmakologi untuk mengurangi kecemasan pasien adalah terapi musik. Musik dapat mempengaruhi kondisi hemodinamik pasien. Musik juga mempengaruhi aspek psikologis pasien, termasuk modifikasi mood dan emosi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas terapi musik dalam mengurangi kecemasan sebelum prosedur brakiterapi mengingat terapi musik adalah terapi non farmakologi yang mudah dan murah serta tidak memiliki potensi efek samping.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal untuk menilai efektivitas terapi musik dibandingkan midazolam dalam mengurangi kecemasan sebelum prosedur brakiterapi dengan anestesia spinal. Setelah mendapat izin komite etik dan informed consent sebanyak 60 subyek diambil dengan consecutive sampling, subyek dirandomisasi menjadi dua kelompok yaitu kelompok subyek yang mendapatkan perlakuan dengan mendapatkan suntikan obat intravena midazolam 0,02 mg/kgbb dan kelompok subyek yang mendapat perlakuan dengan didengarkan terapi musik. Dilakukan penilaian parameter hemodinamik serta kuisioner APAIS sebelum perlakuan dan setelah perlakuan. Uji Chi-square dan Mann-Whitney dilakukan untuk menganalisis data.
Hasil: Pemberian terapi musik memberikan manfaat yang sama baik dengan suntikan midazolam intravena dalam mengurangi kececemasan prabedah. Tidak didapatkan adanya perbedaan skor APAIS maupun parameter hemodinamik antar kedua kelompok sebelum dimulainya perlakuan p> 0,05 . Tidak dijumpai perbedaan antara nilai skor APAIS maupun parameter hemodinamik pascaintervensi pada kedua kelompok p0,05.
Simpulan: Terapi musik sama efektifnya dengan midazolam 0,02 mg/kgbb intravena dalam mengurangi kecemasan prabedah dan perubahan hemodinamik pada pasien yang menjalani brakiterapi dengan anestesia spinal.

Anxiety is often seen in patients who want to undergo a surgical procedure, including brachytherapy. Antimicrobial pharmacology agents are currently an option to reduce patient anxiety. Drugs have potential side effects such as respiratory depression and interactions with anesthetic agents so as to prolong the duration of hospitalization. The use of nonpharmacologic therapy with pharmacological therapy is considered to have equal effectiveness. One of the non pharmacological therapy to reduce patient anxiety is music therapy. Music can affect the patient's hemodynamic condition. Music also affects the patient's psychological aspects, including mood and emotion modification. This study aims to determine the effectiveness of music therapy in reducing anxiety before brachytherapy procedures considering music therapy is a non pharmacological therapy that is easy and cheap and has no potential side effects.
Methods: This was a single blinded randomized clinical trial to assess the effectiveness of music therapy compared with midazolam in reducing anxiety before brachytherapy procedures with spinal anesthesia. After obtaining the permit of the ethics committee and the informed consent of 60 subjects taken with consecutive sampling, subjects were randomized into two groups of subjects treated with intravenous injection of midazolam 0,02 mg kg body weight and the subjects treated with music therapy. Assessed hemodynamic parameters and APAIS questionnaires were performed before treatment and after treatment. Chi square and Mann Whitney tests were performed to analyze the data.
Results: The administration of music therapy provides the same benefits as intravenous midazolam injection in reducing anxiety before surgery. There was no difference in APAIS score nor hemodynamic parameters between the two groups before the start of intervention p 0.05 . There was no difference between APAIS score score and post intervene hemodynamic parameters in both groups p 0.05.
Conclusion: Music therapy is as effective as midazolam 0.02 mg kg body weight intravenously in reducing anxiety before surgery and haemodynamic changes in patients undergoing brachytherapy with spinal anesthesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sandhi Prabowo
"LATAR BELAKANG: Anestesia umum yang merupakan teknik standar pembiusan pada timpanomastoidektomi memiliki beberapa kelemahan. Nyeri post operatif dan efek samping mual-muntah (Post Operative Nausea Vomiting (PONV)) yang kerap terjadi pada operasi ini dapat meningkatkan morbiditas pasca operasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan penambahan blok pleksus servikal superfisialis dengan bupivakain 0.5% sebagai analgesia postoperatif pada timpanomastoidektomi.
METODE : Tiga puluh dua pasien yang akan menjalani timpanomastoidektomi dibagi secara acak menjadi dua kelompok dengan jumlah yang sama. Kelompok pertama (Grup BPSS+IV-PCT, n=16) menerima blok pleksus servikal superfisialis sebelum induksi. Kelompok kedua (Grup IV-PCT, n=16) tidak menerima blok pleksus servikal superfisialis. Sebelum operasi berakhir, kedua grup diberikan paracetamol 1 gram intravena (IV). Setelah ekstubasi, di ruang pemulihan dipasang Patient Controlled Analgesia (PCA) yang dipertahankan selama 24 jam di ruang perawatan dihitung sejak operasi dimulai. PCA berisi fentanil, dengan pengaturan demand dose (bolus) 1mcg/kgBB. Waktu pertama kali pasien menekan tombol PCA (T1), total fentanil PCA yang digunakan (mcg/kgBB), dan insidens PONV dicatat.
HASIL: Permintaan analgesia pertama pada Grup BPSS+IV-PCT lebih lama (1437.5 ± 10 minutes) dibandingkan dengan Grup IV-PCT (1310.63 ± 268.49 minutes). Pemakaian fentanil total pada Grup BPSS+IV-PCT lebih sedikit (0.06 ± 0.25mcg/kg) dibandingkan dengan Grup IV-PCT (0.31 ± 0.48 mcg/kg). Namun dari perhitungan statistik menunjukkan hampir tetapi tidak berhasil mencapai nilai p yang dianggap signifikan (p=0.056 and p=0.086). Di lain pihak insidens PONV menurun secara signifikan pada Grup BPSS+IV-PCT (P<0.001).
KESIMPULAN : Blok pleksus servikal superfisialis dengan bupivakain 0.5% sebagai analgesia postoperatif tidak lebih efektif bila dibandingkan dengan anestesia umum tanpa penambahan blok pada timpanomastoidektomi. Anestesia umum yang dikombinasi dengan blok pleksus servikal superfisialis secara signifikan berhasil menurunkan insidens PONV pada timpanomastoidektomi.

BACKGROUND: General anesthesia as a standard technique of anesthesia on tympanomastoidectomy has some disadvantages. Postoperative pain and side effects of nausea-vomiting (Post Operative Nausea Vomiting (PONV)) that often occurs in this operation may increase postoperative morbidity and length of treatment in the ward. This study aims to determine the effectiveness of the addition of the superficial cervical plexus block with 0.5% bupivacaine as post operative analgesia in tympanomastoidectomy.
METHOD: Thirty two randomly selected patients presenting for elective tympanomastoidectomy were divided equally into two groups to receive either a cervical superficial plexus block with bupivacaine 0.5% (Group BPSS+IV-PCT, n=16) or general anesthesia alone without block (Group IV-PCT, n=16) as a control. Before surgery was ended, both group received paracetamol 1 gram intravenous (IV). After extubation in the recovery room, Patient Controlled Analgesia (PCA) was installed for 24 hours counted since the surgery was started. PCA was contained with fentanyl, with setting of demand dose (bolus) 1mcg/kgBW. First time analgesia request (T1), total fentanyl PCA consumption (mcg/kgBW), and PONV incidence were recorded.
RESULTS: First time analgesia request was longer (1437.5 ± 10 minutes) in Group BPSS+IV-PCT compared with Group IV-PCT (1310.63 ± 268.49 minutes). Total fentanyl PCA consumption was lower in Group BPSS+IV-PCT (0.06 ± 0.25mcg/kg) compared with Group IV-PCT (0.31 ± 0.48 mcg/kg). However, they approaches but fails to achieve a customary level of statistical significance (p=0.056 and p=0.086). In the other hand PONV incidence decreased significantly (P<0.01) in group BPSS+IV-PCT.
CONCLUSION: Cervical superficial plexus block with bupivacaine 0.5% as post operative analgesia was not more effective than general anesthesia alone without block in tympanomastoidectomy. General anesthesia combined with cervical superficial plexus block significantly resulted in less PONV compared with general anesthesia alone for tympanomastoidectomy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Rahmawati
"Latar belakang : Penelitian ini membandingkan efek ropivakain hiperbarik 15 mg + morfin 0,15 mg dengan ropivakain hiperbarik 12 mg + morfin 0,15 mg untuk bedah sesar dengan analgesia spinal.
Metode : Dilakukan secara acak tersamar Banda. Hipotesis yang dibuat adalah Ropivakain hiperbarik 12 mg dengan morfin 0,15 mg intratekal, mempunyai mula kerja hambatan sensorik dan motorik yang sama dengan ropivakain hiperbarik 15 mg ditambah morfin 0,15 mg intratekal, namun dengan masa kerja hambatan sensorik dan motorik lebih singkat, dan dapat digunakan untuk anestesia spinal pada bedah sesar. Sebanyak 66 wanita hamil yang akan menjalani beddah sesar, ASA I -- II diberikan ropivakain hiperbarik 15 mg + morfin 0,15 mg (n=33) atau ropivakain hiperbarik 12 mg + morfin 0,15 mg (n-33) dengan teknik blok subaraknoid. Perubahan blok sensorik diukur dengan tes pinprick, dan perubahan hambatan motorik diukur dengan modifikasi skala bomage, VAS diukur 3 kali.
Basil : Tidak ada perbedaan bermakna pada data demografi kedua kelompok. Kelompok ropivakain 15 mg mempunyai penyebaran hambatan sensorik maksimal lebih tinggi (median [min-max]) : Th 4 (th 1 - 6) vs Th 5 (Th 2 -- 6), tidak ada perbedaan bermakna pada mula kerja hambatan sensorik (median [min-max]) : 3,2 mnt (2 - 5 mnt) vs 3,0 (1- 5 mnt), tidak ada perbedaan bermakna pada mula keija hambatan motorik (median [min-max]) : 3,3 mnt (1-10 mnt) vs 3 mnt (1-7 mnt), masa kerja hambatan sensorik lebih lama pada kelompok ropivakain 15 mg (median [min-max]) : 60 mnt (45 -120mnt) vs 52 mnt (30 - 103 mnt), masa kerja hambatan motorik lebih lama pada kelompok ropivakain 15 mg (median[min-max]) : 60 mnt (35-118 mnt) vs 57 mnt (32 -102 mnt), dan basil yang sama pada pengukuran VAS sebanyak 3 kali.
Simpulan : Ropivakain hiperbarik 15 mg + morfin 0,15 mg dan ropivakain hiperbarik 12 mg + mofin 0,15 mg dapat digunakan untuk analgesia spinal untuk operasi bedah sesar.

Background This study was designed to evaluate the effects of intrathecal hyperbaric ropivacaine 15 mg plus morln 0,15 mg and hyperbaric ropivacaine 12 mg plus morphine 0,15 mg in women undergoing cesarean section.
Methods : This was a prospective, randomized, doubleblinded study. We hypothesized that hyperbaric ropivacaine 12 mg plus morphin 0,15 mg has the same onset of sensory and motoric block, with longer duration of sensory and motoric block with hyperbaric ropivacaine 15 mg plus morphine 0,15 mg. Sixtysix parturients, physical status ASA I - II were given either hyperbaric ropivacaine 15 mg plus morphine 0,15 mg (n=33) or hyperbaric ropivacaine 12 mg plus morphine 0,15 mg (n=33), for cesarean section with spinal analgesia. Changing of sensory block was assessed by pinprick test and motoric block was assessed by bromage score (modification). Visual analogue score was measured three times.
Results : There were no significant differences in demographic variable between groups. Higher cephalic spread (median [range]) maximum block height to pinprick hyperbaric ropivacaine 15 mg compare hyperbaric ropivacaine 12 mg : Th 4 (th 1 - 6) vs Th 5 (Th 2 - 6), no significant difference of sensory block onset (median [range]) : 3,2 min (2 - 5 minutes) vs 3,0 (1 - 5 min), no significant difference of motoric block onset (median [range]) : 3,3 min (1-10 min) vs 3 min ( 1-7 min), longer sensoric block duration hyperbaric ropivacaine 15 mg compare to hyperbaric ropivacaine 12 mg (median [range]) : 60 min (45 -120min) vs 52 min (30 -- 103 min), longer motoric block duration in hyperbaric ropivacaine 15 mg compare hyperbaric ropivacaine 12 mg (median[range]) : 60 min (35-118 min) vs 57 min (32 - 102 min), and no significant difference in visual analogue score in three times measurements.
Conclusion : Hyperbaric ropivacaine 15 mg plus morphine 0,15 mg and hyperbaric ropivacaine 12 mg plus morphine 0,15 mg are sufficient for spinal analgesia in patients undergoing cesarean section."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T21413
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astari Karina
"Latar Belakang: Pemasangan akses intravena pada pasien pediatrik memiliki kesulitan tersendiri, selain ukurannya yang lebih kecil, pembuluh darah lebih rapuh, dan jaringan subkutan pada pediatrik lebih tebal sehingga visualisasi vena tidak jelas.Pada pasien pediatrik yang tidak dalam pengaruh anestesia, pasien sering kali tidak kooperatif karena takut dan trauma akibat tindakan sebelumnya, yang berdampak pada angka keberhasilan upaya pertama insersi kanul intravena pada pediatrik rendah. Alat pemindai vena dengan prinsip kerja sinar infra-merah dapat membantu visualisasi vena namun efektifitasnya dalam keberhasilan insersi pada pasien pediatrik masih kontradiktif. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan angka keberhasilan insersi kanul intravena pada upaya pertama menggunakan pemindai vena dan tanpa pemindai vena pada pasien pediatrik, sehingga dapat menjadi suatu dasar usulan standart operasional di RSCM.
Metode: Penelitian ini uji klinis acak tidak tersamar pada pasien pediatrik usia 0-5 tahun yang mendapat layanan anestesia di ruang diagnostik MRI, CT dan Radioterapi RSCM. Subjek penelitian berjumlah 92 pasien yang dikelompokkan menjadi 2 grup sesuai tabel randomisasi. Pada grup pemindai vena dilakukan insersi kanul intravena dengan bantuan alat pemindai vena (Accuvein AV400) dan pada grup kontrol dilakukan insersi tanpa alat bantu tambahan. Diambil data keberhasilan insersi pada upaya pertama, waktu pemasangan dan total jumlah upaya, selain itu dicatat status demografi jenis kelamin, usia, tinggi badan, berat badan, lingkar lengan atas dan indeks massa tubuh. Analisis data dilakukan untuk melihat data demografi, faktor yang mempengaruhi dan hubungan penggunaan pemindai vena dengan keberhasilan upaya pertama insersi.
Hasil: Angka keberhasilan upaya pertama pada kelompok peminda vena adalah 76,1% dibandingkan tanpa pemindai vena 52,2% dengan cOR 2,92 (p 0,017). Faktor warna kulit memiliki angka keberhasilan yang lebih tinggi pada warna kulit gelap sebesar 74,5% dibandingkan warna kulit terang 53,5% (p 0,035). Faktor lain seperti usia, jenis kelamin, dan status gizi pada penelitian ini secara statistik tidak berhubungan dengan keberhasilan insersi kanil intravena. Selain itu didapatkan data deskriptif pada kelompok pemindai vena memiliki median lama waktu yang lebih singkat yaitu 133,5 (55-607) dibandingkan tanpa pemindai vena 304,5 (65-1200). Simpulan: Kelompok pemindai vena memiliki angka keberhasilan upaya pertama insersi yang lebih tinggi dibandingkan tanpa pemindai vena. pada penelitian ini faktor yang mempengaruhi keberhasilan insersi hanya warna kulit.
Kata Kunci: akses intravena, pediatrik, pemindai vena

Background: Establishing intravenous access in pediatric patients has its own challanges, in addition to their smaller size, blood vessels are more fragile, and subcutaneous tissue is thicker so that visualization of veins is often unclear. In pediatric patients who are awake, patients are often not cooperative because of fear and trauma due to previous experiencethus the success rate of the first attempt venous cannulation in pediatric patient is low. The vein viewer with the principle of infrared rays can help visualize the vein but its effectiveness in the success of insertion in pediatric patients is still contradictory. This study aims to compare the success rate of the first attempt venous cannulation between using vein veiwer and control in pediatric patients.
Metho: This study is an openrandomized clinical trials in pediatric patients aged 0-5 years who received anesthesia procedure in the diagnostic room for MRI, CT and Radiotherapy at Cipto Mangunkusumo Hospital. The research subjects were 92 patients grouped into 2 groups according to the randomization table. In the vein viewer group, Venous cannulation was performed with the help of a vein viewer (Accuvein AV400) and in the control group cannulation was done without additional assistive devices. Data on first attempt success rate, time of cannulation and total number of attempts in recorded. In addition, demographic status such as sex, age, height, weight, upper arm circumference and body mass index is also recorded. Data analysis was performed to search for the relationship of the use of vein viewer with the success of the first attempt at cannulation.
Result: The success rate of the first attempt at the vein viewer group was 76.1% compared with control group 52.2% with cOR 2.92 (p 0.017). Skin color factor has a higher first attempt success rate in dark skin color of 74.5% compared to light skin color 53.5% (p 0.035). Other factors such as age, sex, and nutritional status in this study were not statistically related to the success of first attempt venous cannulation. In addition, secondary data were obtained that vein viewer group has shorter median cannulation time of 133.5 (55-607) than control 304.5 (65-1200).
Conclusion: The vein viewer group has a higher success rate of first attempts venous cannulation than control group. In this study the factors that influence the success rate of first attempts venous cannulation are only skin color.
Keywords: Peripheral accesss, ediatric, Veinviewer"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>