Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 175525 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sarah Patricia
"Skripsi ini membahas mengenai insolvensi sebagai syarat pengajuan kepailitan. Insolvensi merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan keadaan debitur yang tidak dapat membayar utang kepada para kreditornya. Di dalam hukum kepailitan, debitur dapat diajukan permohonan pailit apabila debitur tersebut sudah dalam keadaan insolven. Keadaan insolven adalah apabila debitur itu tidak lagi mampu secara finansial untuk membayar sebagaian besar utang-utangnya atau nilai aktiva atas asetnya kurang dari nilai pasiva atau liabilities-nya. Syarat Kepailitan di Indonesia yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menjelaskan bahwa permohonan pailit dapat diajukan dengan dalam hal seseorang atau suatu badan mempunyai 2 (dua) kreditor atau lebih dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai syarat yang sangat sederhana apabila dibandingkan dengan syarat kepailitan di negara Jepang, Malaysia, dan Singapura. Dimana masing-masing negara tersebut mensyaratkan bahwa diwajibkan adanya suatu rangkaian tes untuk mengetahui keadaan keuangan suatu debitur pailit, atau yang disebut sebagai insolvency test. Insolvency test ini digunakan untuk mengukur, menghitung, dan menganalisa bagaimana keadaan keuangan suatu debitur apakah sudah layak atau belum layak dipailitkan.
Kata Kunci: Insolvensi; Kepailitan; Insolvency Test

This thesis discusses insolvency as a condition for filing for bankruptcy. Insolvency is a term used to describe the situation of debtors who cannot pay debts to their creditors. In the bankruptcy law, the debtor can be filed for bankruptcy if the debtor is insolvent. An insolvent situation is if the debtor is no longer financially able to pay most of his debts or the asset value is less than its liability value. Indonesia’s Bankruptcy Law No. 37 of 2004 regarding Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations (the “Bankruptcy Law”) sets forth the requirements for filing a bankruptcy petition. The essential requirement is that there must be two or more creditors and at least one mature but unpaid debt for a bankruptcy action to be initiated against a debtor. It can be said as a very simple requirement when compared to the bankruptcy conditions in Japan, Malaysia and Singapore. Where each country requires that a financial test is required to determine the financial situation of a debtor, or what is called an insolvency test. This insolvency test is used to measure, calculate, and analyze how a debtor's financial condition is feasible or not bankrupt."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lena
"Pailit merupakan upaya akhir bagi debitor yang berada dalam keadaan insolven dimana ia tidak lagi mampu melakukan kewajiban kepada para kreditornya. Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 merupakan peraturan terakhir yang diamandemen Indonesia namun masih memiliki beberapa perbedaan mendasar dengan Jepang, Malaysia, dan Singapura tentang insolvency test yang dijadikan tolak ukur pengajuan pailit. Hukum yang seyogyanya dijadikan sandaran demi memenuhi nilai keadilan bagi debitor dan kreditor secara proporsional, dalam hal ini akan dibahas dengan membandingkan hukum kepailitan dan insolvency test.
Dengan melihat Undang-Undang Kepailitan Jepang, Malaysia, dan Singapura, tulisan ini dibuat untuk mengambil kelebihan yang ada pada hukum Negara lain serta melihat kekurangannya untuk dijadikan pegangan dalam memperbaiki Hukum Kepailitan Indonesia kearah yang lebih baik. Dengan demikian diharapkan hukum dapat memenuhi perannya sebagai pedoman dalam memberikan nilai keadilan, serta utilitas pengadilan dalam memutus perkara dengan waktu yang efisien dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.

Bankrupt ought to be last resort for debtor who could not pay his debt to his creditors as it became due and payable and he has been stated as insolvent. Bankruptcy Act Number 37 of 2004 is the last amended statute in Indonesia. This Act has fundamental difference with Bankruptcy Law of Japan, Malaysia, and Singapore concerning about insolvency test which is used as legal task for bankruptcy petition. Justice for both of debtors and creditors should rely on Bankruptcy Law in such case as mentioned. In this matter, insolvency test is an important point to be considered in bankruptcy law.
Discussion between Japan, Malaysia, Singapore, and Indonesia Bankruptcy Law is purposed to analyze law and to compare insolvency matters in each laws. Through this analytic discussion, taking excess points and also to prevent short points of law is the priority to improve Indonesia Bankruptcy Law. Thus law can fulfill its duties as reference to produce just norm, show utility of court in deciding case, and also give an efficient proceedings to support economic growth.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39018
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Natarina Syahputri Sidharta
"Dengan semakin meningkatnya transaksi bisnis internasional, maka semakin meningkat pula kemungkinan terjadinya kepailitan lintas batas. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu pengaturan kepailitan lintas batas yang memadai. Suatu negara dapat mengadopsi salah satu instrumen hukum internasional, yaitu UNCITRAL Model Law on Cross-Border Insolvency, ke dalam hukum kepailitannya guna menghadapi kasus kepailitan lintas batas. Skripsi ini membahas mengenai langkah Singapura dan Jepang dalam menghadapi kasus-kasus kepailitan lintas batas dengan mengadopsi UNCITRAL Model Law on Cross-Border Insolvency dan bagaimana UNCITRAL Model Law on Cross-Border Insolvency tersebut diterapkan dalam pengaturan kepailitan lintas batas di masing-masing negara. Skripsi ini juga akan membahas mengenai kemungkinan penerapan UNCITRAL Model Law on Cross-Border Insolvency dalam hukum kepailitan di Indonesia sebagai solusi dalam menghadapi permasalahan kasus kepailitan lintas batas dengan melihat Singapura dan Jepang sebagai acuan.

With the ever-increasing number of international business transactions, the possibility of cross-border insolvency also increases. Therefore, an adequate cross-border insolvency regulation is needed. A country can adopt one of the international law instruments, namely the UNCITRAL Model Law on Cross-Border Insolvency, into their insolvency law to deal with cross-border insolvency cases. The study will discuss about Singapore and Japan's steps in facing cross-border insolvency cases by adopting the UNCITRAL Model Law on Cross-Border Insolvency and how the UNCITRAL Model Law on Cross-Border Insolvency is applied in cross-border insolvency regulation in each country. This study will also discuss about the possibility of adopting the UNCITRAL Model Law on Cross-Border Insolvency in Indonesia's insolvency law as the solution to facing cross-border insolvency cases by looking at Singapore and Japan as a reference."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabilla Azzahra Jayputri
"Kegiatan ekonomi antar negara membukakan pintu para investor untuk dapat menanamkan investasinya di negara lain. Seiring dengan meningkatnya kegiatan transaksi ekonomi internasional, terbuka besar kemungkinan munculnya masalah kepailitan lintas negara. Maka dari itu, instrumen hukum kepailitan di sebuah negara harus ditingkatkan. Dalam menghadapi masalah kepailitan lintas negara, beberapa negara telah mencari jalan keluar seperti halnya Perserikatan Bangsa-Bangsa yang telah menciptakan UNCITRAL Model Law 1997, dan European Union yang telah menciptakan peraturan regional yang disebut dengan Council Regulation (EC) No. 1356/2000 of 29 May 2000 on insolvency proceedings. Permasalahan kepailitan lintas negara juga dapat diatasi dengan perjanjian bilateral seperti yang dilakukan Singapura dengan Malaysia dalam Mutual Recognition and Mutual Enforcement of Republic of Singapore and Malaysia on Cross-Border Insolvency. Indonesia merupakan salah satu negara yang belum memiliki satupun peraturan yang mengatur mengenai kepailitan lintas negara. Skripsi ini akan membahas mengenai kemungkinan diterapkannya pengaturan mengenai kepailitan lintas negara di Indonesia dengan meninjau pengaturan kepailitan lintas negara yang dilakukan Singapura dengan perjanjian bilateral bersama Malaysia, dan juga langkah Singapura dalam mengadopsi UNCITRAL Model Law melalui studi kasus. Selain itu, Skripsi ini juga membahas mengenai pengaturan regional kepailitan lintas negara yang diciptakan oleh European Union.
Economic activity between countries opens opportunities for investors to be able to invest in other countries. Along with the increase of international economic transactions, there is possibility of the emergence of Cross-Border Insolvency inssues. Therefore, bankruptcy instruments in a country must be improved. In dealing with Cross-Border Insolvency, several countries have sought solutions. The United Nations created the UNCITRAL Model Law on 1997, and the European Union created a regional regulation called Council Regulation (EC) No. 1356/2000 of 29 May 2000 on insolvency proceedings. The Cross-Border Insolvency issues can also be settled by bilateral agreements such Mutual Recognition and Mutual Enforcement of the Republic of Singapore and Malaysia on Cross-Border Insolvency which conducted by Singapore and Malaysia. Indonesia does not yet have a single regulation that governs Cross-Border Insolvency. This study will discuss the possibility of applying Cross-Border Insolvency instruments in Indonesia by reviewing the Cross-Border Insolvency Instruments undertaken by Singapore with bilateral agreements with Malaysia, and also Singapore's steps in adopting the UNCITRAL Model Law through case studies. In addition, this study also discusses regional regulation on Cross-Border Insolvency created by the European Union"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ramadhan Muhamad
"Suatu Negara memeiliki Hukum untuk mengatur berbagai macam kepentingan di dalamnya, Khususnya dalam penelitian ini adalah Hukum kepailitan. Hukum kepailitan hadir guna menunjang kepentingan debitor dan kreditor dalam adanya suatu perjanjian utang piutang, Hukum kepailitan yang saat ini berlaku di Indonesia masih memiliki kekurangan dan ketertinggalan dari hukum kepailitan yang ada di berbagai negara, dari momen ini tingkat kepailitan meningkat di Indonesia dan menyebabkan banyaknya perusahaan yang pailit, dari banyaknya kasus kepailitan ini, ada perusahaan yang masih solven atau dapat melanjutkan usahanya tetapi terancam oleh persyaratan hukum kepailitan yang berlaku, penelitian ini membahas bagaimana pentingnya penerapan sistem tes insolvensi dan bagaimana penerapannya jika di adopsi di Indonesia sejalan dengan PP no.74 tahun 2020 tentang LPI, sebenarnya mekanisme ini sudah diterapkan di dalam Peraturan pemerintah mengenai Lembaga Pengelolaan Investasi, tetapi tidak di diterapkan dalam Hukum kepailitan di Indonesia, terdapat berbagai macam metode untuk menentukan solvabilitas suatu entitas yang mana sudah banyak diterapkan di berbagai Negara.Metode penelitian penelitian ini menggunakan metode sosio legal di mana sumber berasal dari bahan hukum dan sumber lain yang berkaitan dengan penelitian ini dan juga data dari hasil wawancara kepada beberapa narasumber terkait dengan topik penelitian, Indonesia masih memiliki kekurangan di dalam syarat permohonan kepailitan, test insolvensi dapat menjadi kebutuhan dalam hukum kepailitan Indonesia untuk dapat menutup kekurangan dalam hukum kepailitan Indonesia, dan hanya debitor yang benar-benar dalam keadaan insolven yang dapat dimohonkan pailit. hukum kepailitan juga mendorong kemajuan iklim investasi yang sedang terpuruk di Indonesia. oleh karena itu metode tes insolvensi dapat dijadikan patokan dalam persyaratan permohonan kepailitan kepada debitor di Indonesia, penerapannya secara langsung membutuhkan peran akuntan publik yang akan menghitung solvabilitas debitor dalam proses kepailitan.

A country has laws to regulate various kinds of interests in it, especially in this research is bankruptcy law. Bankruptcy law exists to support the interests of debtors and creditors in the existence of a debt agreement. Bankruptcy law currently in force in Indonesia still has shortcomings and lags behind the existing bankruptcy laws in various countries, from this moment the level of bankruptcy increased in Indonesia and caused many companies that went bankrupt, of the many bankruptcy cases, there are companies that are still solvent or can continue their business but are threatened by the requirements of the applicable bankruptcy law, this study discusses how important the application of the insolvency test system is and how it is implemented if adopted in Indonesia in line with PP no.74 In 2020 regarding LPI, in fact this mechanism has been implemented in government regulations regarding Investment Management Institutions, but is not applied in Bankruptcy Law in Indonesia, there are various methods to determine the solvency of an entity which have been widely applied. in various countries. This research method uses the socio-legal method where the sources come from legal materials and other sources related to this research and also data from interviews with several sources related to the research topic, Indonesia still has shortcomings in the requirements for bankruptcy applications, tests insolvency can be a necessity in Indonesian bankruptcy law to be able to cover deficiencies in Indonesian bankruptcy law, and only debtors who are truly insolvent can be filed for bankruptcy. Therefore, the insolvency test method can be used as a benchmark in the requirements for bankruptcy applications to debtors in Indonesia, its application directly requires the role of public accountants who will calculate the solvency of debtors in the bankruptcy process."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laura Reggyna
"Timbul permasalahan ketika terdapat putusan pengadilan asing atas pailitnya perusahaan yang mempunyai anak perusahaan yang berada di negara lain dan didirikan berdasarkan hukum setempat, dan perusahaan yang pailit tersebut memiliki aset yang lebih di negara lain. Secara kongkrit, keterkaitan masalah kepailitan dengan hukum perdata internasional dalam hal ini terletak bagaimana keberlakuan putusan pailit pengadilan asing di suatu negara. Mengingat juga banyak negara yang masih berpandangan sangat konservatif terhadap pelaksanaan putusan pengadilan asing utamanya kepailitan, berakibat pada terhambatnya transaksi bisnis internasional. Para pelaku usaha merasa ada kebuntuan (deadlock) dalam memperoleh haknya. Untuk mengatasi kebuntuan ini United Nations Commisions on International Trade Law (UNCITRAL) melakukan terobosan yang memungkinkan sebuah negara mengakui dan melaksanakan putusan pailit yang dikeluarkan oleh pengadilan asing, yakni berupa UNCITRAL Model Law on Cross-Border Insolvency with Guide to Enacment and Interpretation.
Lalu, bagaimanakah pengakuan putusan pailtit yurisdiksi asing di Indonesia sendiri, dan beberapa negara seperti Jepang, Selandia Baru, Australia, Malaysia dan Singapura?

Arise issue when there is insolvency foreign judgement of company, which have subsidiary company, located in other country and established by local law, and that bankrupt companies have assets in other states. Concretely in this case, link of insolvency and private international law issue is how the enforceability of insolvency foreign judgment in a state. In view of many states sighted conservatively to the enforcement of foreign judgment especially in isolvency, so that have impact to inhibition of international business transaction. Business feel there?s impasse (deadlock) to acquire their rights. To solve that issue, United Nations Commisions on International Trade Law (UNCITRAL) do breakthrough so that state can recognize and enforce the insolvency foreign judgment, namely UNCITRAL Model Law on Cross-Border Insolvency with Guide to Enacment and Interpretation.
Then, how the recognition of insolvency foreign judgment in Indonesia itself, and some country like Japan, New Zealand, Australia, Malaysia dna Singapore.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T44991
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bunga Lirvina Sori
"Kewajiban insolvensi test pada lembaga Indonesia Investment Authority atau Lembaga Pengelola Investasi (“INA”) diatur di dalam Pasal 72 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2020 tentang Lembaga Pengelola Investasi yang pada pokoknya mengatur bahwa INA tidak dapat dipailitkan kecuali dapat dibuktikan INA berada dalam kondisi yang insolven  dengan pembuktian berdasarkan insolvency test oleh lembaga independen yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Namun demikian, tidak dijelaskan secara rigid bagaimana mekanisme insolvency test yang dimaksud dan bagaimana penerapannya di Indonesia karena sistem kepailitan di Indonesia sama sekali tidak mengenal mekanisme insolvency test karena ada beberapa faktor bahwa insolvency test dianggap sulit diterapkan di Indonesia sehingga lembaga independen yang dapat melakukan insolvency test pun sampai dengan saat ini belum ada. Hal tersebut menyebabkan ketentuan mengenai insolvency test pada INA akan sulit diterapkan karena tidak relevan dengan kepailitan di Indonesia. Adapun penelitian ini bertujuan untuk memahami dan mengetahui sejauh mana kewajiban insolvency test pada INA dapat diterapkan di Indonesia dan mengapa insolvency test juga tidak dijawibkan pada kepailitan BUMN yang sama-sama menjadi kewenangan Menteri Keuangan, dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan berdasarkan perkembangan perekonomian Indonesia, saat ini insolvency test tidak hanya dapat diterapkan pada INA, namun kedepannya berkemungkinan dapat diterapkan pada kepailitan BUMN.

The insolvency test obligation on the Indonesia Investment Authority or Investment Management Institution ("INA") is regulated in Article 72 of Government Regulation of the Republic of Indonesia No.74 of 2020 concerning Investment Management Institutions which basically regulates that INA cannot be bankrupted unless it can be proven that INA is in an insolvent condition with proof based on an insolvency test by an independent institution appointed by the Minister of Finance. However, it is not rigidly explained how the insolvency test mechanism is intended and how it is applied in Indonesia because the bankruptcy system in Indonesia does not recognize the insolvency test mechanism at all because there are several factors that the insolvency test is considered difficult to apply in Indonesia so that independent institutions that can conduct insolvency tests do not yet exist. This causes the insolvency test in the INA difficult to apply as it is not relevant to bankruptcy in Indonesia. This study aims to understand and find out the extent to which the insolvency test obligation on INA can be applied in Indonesia and why the insolvency test is also not obliged to the bankruptcy of BUMN which is equally the authority of the Minister of Finance, using normative juridical research methods and based on the development of the Indonesian economy, currently the insolvency test can not only be applied to INA, but in the future it is possible to be applied to the bankruptcy of BUMN."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agnes Kusuma Wardani
"Skripsi ini membahas tentang cross border insolvency pada pelaksanaan putusan pailit perusahaan asing di Indonesia dan Malaysia. Seiring dengan perkembangan suatu negara, transaksi bisnis mulai merambah melewati batas-batas negara, salah satunya adalah pinjam meminjam uang untuk modal suatu perusahaan. Keadaan ketika debitur tidak mampu membayar utangnya dapat membuat debitur dinyatakan pailit. Kepailitan tersebut disebut cross border insolvency. Salah satu
kasus terkait cross border insolvency adalah kasus permohonan pailit Penaga Timur Sdn.Bhd yang diajukan oleh PT. Wijaya Artha Shipping dan PT. Ujung Medini Lestari. Permasalahan yang diangkat dalam kasus tersebut adalah unsurunsur cross border insolvency dan ketentuan UNCITRAL Model Law on Cross- Border Insolvency dapat diterapkan dalam Putusan Nomor 11/Pdt.Sus- PKPU/2018/PN.Niaga.Mdn. Permasalahan lain yang diangkat pada skripsi ini adalah bagaimana pelaksanaan putusan pailit perusahaan asing di Indonesia dan Malaysia. Penelitian dilakukan dengan metode yuridis-normatif. Analisis yang
dilakukan adalah untuk menjelaskan unsur-unsur cross border insolvency dan ketentuan UNCITRAL Model Law on Cross-Border Insolvency dapat diterapkan dalam Putusan Nomor 11/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN.Niaga.Mdn, dan pelaksanaan putusan pailit perusahaan asing di Indonesia dan Malaysia.
This paper discussed cross border insolvency in enforcement of bankruptcy judgment of foreign company in Indonesia and Malaysia. As a country developing, business transactions begin to penetrate cross border, one of the business transcations is loan agreement for capital. The condition of debtors can not pay their debts can make the debtors go bankrupt. This is called as cross border insolvency. One of the cases of cross border insolvency is a bankruptcy of Penaga Timur Sdn.Bhd case that was filed by PT. Wijaya Artha Shipping and PT. Ujung Medini Lestari. This paper examines the elements of cross border insolvency and the using of UNCITRAL model Law on Cross Border Insolvency
in the case Nomor 11/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN.Niaga.Mdn. This paper also examines the enforcement of bankruptcy judgment of foreign company in Indonesia and Malaysia. This study was conducted by using normative legal research method. The analysis presents the elements of cross border insolvency and the using of UNCITRAL model Law on Cross Border Insolvency in the case Nomor 11/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN.Niaga.Mdn, and the enforcement of
bankruptcy judgment of foreign company in Indonesia and Malaysia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wawan Kennardi
"[ABSTRAK
Hukum kepailitan di Indonesia masih memiliki kekurangan, yaitu tidak terdapatnya syarat tes insolvensi di dalam permohonan pailit. Hal ini menyebabkan seringnya terjadi kepailitan terhadap perusahaan-perusahaan yang masih solven, hanya karena tidak mau membayar utangnya. Syarat tes insolvensi diperlukan untuk membedakan mana debitur yang masih mampu melunasi utangnya dengan debitur yang tidak mampu untuk melunasi utangnya, agar kepailitan terhadap debitur yang masih solven tidak terulang kembali. Penelitian ini membahas mengenai bagaimanakah pentingnya syarat tes insolvensi dalam permohonan pailit suatu perusahaan dan bagaimanakah kemungkinan penerapan tes insolvensi dalam permohonan pailit suatu perusahaan di Indonesia. Metode penelitan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan dianalisa secara kualitatif serta dilaporkan dalam bentuk preskriptif analitis. Dengan membandingkan kepailitan di Amerika Serikat, diketahui terdapat metode-metode untuk menilai kemampuan debitur dalam melunasi utangnya, salah satunya dengan menggunakan metode perhitungan Altman Z-Score. Metode Altman Z-Score telah lama digunakan di Amerika Serikat dan terbukti dapat digunakan untuk menghitung kemampuan pelunasan utang dalam perkara kepailitan di Indonesia pula. Oleh karena itu, metode Altman Z-Score dapat digunakan sebagai tolak ukur untuk membentuk peraturan setingkat Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tes insolvensi yang akan digunakan dalam kasus-kasus kepailitan di Indonesia. Implementasi secara langsung adalah dengan memanfaatkan jasa akuntan publik selaku profesi penunjang untuk melakukan tes insolvensi terhadap debitur dalam kasus kepailitan.

ABSTRACT
The law of bankruptcy in Indonesia still has some weakness points, such as the unavailability terms of insolvency test in the bankruptcy petition. This condition often induces bankruptcy towards the companies which are still solvent, just because not willing to pay the debt. The term of insolvency test is needed to differentiate which debtors are still affordable to pay off their debt with the unaffordable ones, so that bankruptcy towards the solvent debtors not to be reoccurred. This thesis covers about how important the term of insolvency test is in a company‟s bankruptcy petition in and how the possibility to apply the insolvency test in a company‟s bankruptcy petition is in Indonesia. The method of this research use juridical and normative approach, and to be analyzed qualitatively and to be reported in the form if prescriptive analytically. By comparing the bankruptcy in the United States of America, there are methods to evaluate the affordability of the debtors to pay off their debt, one of which using the Altman Z-Score method. The method of Altman Z-Score has been commonly used in the Unite States of America and also proved can be used for measuring the affordability of debt payment in the bankruptcy cases in Indonesia. Therefore the method of Altman Z-Score is able to be used as a standard measurement to construct the rules as the same level of the Minister Regulation (Peraturan Menteri) which manages about the insolvency test which will be used in bankruptcy cases in Indonesia. The direct implementation is to use the service of Public Accountant as a supportive profession to perform the insolvency test toward the debtors in the bankruptcy cases., The law of bankruptcy in Indonesia still has some weakness points, such as the unavailability terms of insolvency test in the bankruptcy petition. This condition often induces bankruptcy towards the companies which are still solvent, just because not willing to pay the debt. The term of insolvency test is needed to differentiate which debtors are still affordable to pay off their debt with the unaffordable ones, so that bankruptcy towards the solvent debtors not to be reoccurred. This thesis covers about how important the term of insolvency test is in a company‟s bankruptcy petition in and how the possibility to apply the insolvency test in a company‟s bankruptcy petition is in Indonesia. The method of this research use juridical and normative approach, and to be analyzed qualitatively and to be reported in the form if prescriptive analytically. By comparing the bankruptcy in the United States of America, there are methods to evaluate the affordability of the debtors to pay off their debt, one of which using the Altman Z-Score method. The method of Altman Z-Score has been commonly used in the Unite States of America and also proved can be used for measuring the affordability of debt payment in the bankruptcy cases in Indonesia. Therefore the method of Altman Z-Score is able to be used as a standard measurement to construct the rules as the same level of the Minister Regulation (Peraturan Menteri) which manages about the insolvency test which will be used in bankruptcy cases in Indonesia. The direct implementation is to use the service of Public Accountant as a supportive profession to perform the insolvency test toward the debtors in the bankruptcy cases.]"
2015
T44625
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfredo Joshua Bernando
"Penerapan hukum kepailitan di Indonesia untuk menyatakan pailitnya seseorang atau suatu perusahaan membutuhkan pembuktian sederhana, dimana hanya membutuhkan syarat mempunyi dua atau lebih kreditur dan mempunyai setidaknya satu hutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Pembuktian yang sangat sederhana ini tidak menyertakan insolvency test sebagai salah satu syarat untuk mendasari pertimbangan Majelis Hakim untuk memutus pailit dalam putusan pengadilan niaga. Hal ini cenderung tidak proporsional karena merugikan pihak debitur, dimana Prinsip Keadilan adalah salah satu Prinsip atau Asas yang mendasari Hukum Kepailitan di Indonesia yakni Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Adanya insolvency test dapat menunjukan bahwa seseorang atau suatu perusahaan sebagai debitur dalam keadaan solven atau insolven, sehingga dapat dipertimbangkan apakah aset-aset yang dimiliki oleh debitur dapat membayar utang-utangnya atau tidak. Tidak adanya penerapan insolvency test dalam proses kepailitan menutup kemungkinan untuk melihat hal-hal tersebut sehingga debitur dapat dengan mudah untuk dipailitkan. Sehingga, insolvency test perlu untuk diterapkan dalam proses kepailitan serta diperbaharui peraturannya agar tidak menciderai prinsip keadilan yang menjadi dasar dari hukum kepailitan di Indonesia.

The application of bankruptcy law in Indonesia to declare someone or a company bankrupt requires simple proof, where it only needs the condition of having two or more creditors and at least one debt that has matured and is demandable. This very simple proof does not include the insolvency test as one of the conditions to substantiate the consideration of the Judges' Panel to decide bankruptcy in a commercial court ruling. This tends to be disproportionate as it harms the debtor, where the Principle of Justice is one of the principles underlying Bankruptcy Law in Indonesia, namely Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Postponement of Debt Payment Obligations. The existence of an insolvency test can show that an individual or a company as a debtor is in a solvent or insolvent condition, so it can be considered whether the assets owned by the debtor can pay off its debts or not. The lack of the application of the insolvency test in the bankruptcy process closes the possibility of examining these matters, making it easy to declare bankruptcy for debtors. Thus, the insolvency test needs to be applied in the bankruptcy process and its regulations need to be updated to avoid undermining the principle of justice that is the basis of bankruptcy law in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>