Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 148477 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Harrison Handoko
"

Glioma adalah tumor yang bermula dari tulang belakang atau otak yang berasal dari sel glial, dan merupakan salah satu keganasan yang sering ditemukan di Indonesia. TGF-I²1 mempunyai peran yang penting dalam mengontrol homeostasis jaringan dan peranjakan keganasan kanker, oleh sebab itu TGF-I²1 mempunyai potensi untuk menjadi biomarker untuk membedakan antar glioma keganasan tinggi dan rendah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis ekspresi relatif TGF-I²1 glioma tingkat tinggi dan rendah, untuk melihat potensi menjadi biomarker. Dalam eksperimen terdapat 28 sampel yang digunakan dalam studi ini,16 jaringan dengan keganasan rendah, 10 dengan keganasan tinggi dan 2 jaringan otak normal yang didapat dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Indonesia. Jaringan telah digolongkan berdasarkan klasifikasi yang diberikan oleh World Health Organization, derajat 1 dan 2 sebagai keganasan rendah dan derajat 3 dan 4 sebagai derajat tinggi. Ekspresi relatif dari TGF-I²1 dianalisa menggunakan Real-Time RT PCR dengan 18sRNA sebagai houskeeping gene. Dari hasil terlihat bahwa adanya penurunan ekspresi relatif TGF-I²1 di glioma keganasan tinggi saat dibandingkan dengan ekspresi di glioma keganasan rendah. Tetapi setelah dianalisis secara statistik, hasil penemuan ini tidak signifikan. Kegunaan dari TGF-I²1 sebagai biomarker belum terbukti, maka dari itu studi lebih lanjut harus dilakukan untuk menjelaskan fungsi dari TGF-I²1 sebagai biomarker untuk glioma.



Glioma is a term used to describe tumors which originate from the spinal cord or brain, specifically the glial cells. This type of tumor is one of the most commonly found brain malignancies in Indonesia. TGFI²1 has a key role in the maintenance of tissue homeostasis and progression of cancer, due to this fact TGF-I²1 has the potential as a tissue biomarker to differentiate low grade and high grade gliomas. The goal of this study is to analyze the relative expression of TGF-²1 in both high grade and low grade glioma to explore its potential as a biomarker. In the experiment there was a total of 28 samples, 16 low grade glioma, 10 high grade glioma and 2 normal brain tissue obtained from Cipto Mangunkusumo Hospital, Indonesia. The sample was categorized to low grade and high grade glioma based on the guideline given by the World Health Organization. Grades 1 and 2 are considered to be low grade gliomas and grades 3 and 4 are considered to be high grade gliomas. The relative expression of TGF-I²1was measured through Real-Time RT-PCR with 18sRNA as a housekeeping gene. It was seen that there was a decrease in the expression of TGF-I²1 in high grade glioma as to low grade glioma. However, when the result was analyzed it is proven to be statistically insignificant.The role of TGF-I²1 as a definitive biomarker for glioma grading is yet to be proven, therefore further research must be conducted to elaborate the role of the gene as a glioma biomarker.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bagus Ramasha Amangku
"HIF-2α adalah mediator yang penting dalam reaksi hipoksia di situasi keganasan dan tingginya tingkat ekspresi HIF-2α berkorelasi dengan konsep metastasis, resistensi terapi dan penurunan kualitas prognosis dalam berbagai bentuk pertumbuhan kanker. Karena kemampuan sel glioma otak yang sangat infiltratif, glioma tidak dapat sepenuhnya dihilangkan dengan pembedahan dimana tingkat kekambuhan juga tinggi. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi ekspresi relatif dari gen HIF-2α dihubungkan dengan keganasan glioma. Spesimen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 22 sampel yang diperoleh dari Departemen Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia- Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Ekspresi relatif HIF-2α dianalisis dengan menggunakan quantitative RT-PCR. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan ekspresi relatif HIF-2α pada glioma derajat tinggi dibandingkan dengan glioma derajat rendah, namun tidak bermakna secara statistik. Dengan demikian kemungkinan HIF-2α dapat digunakan sebagai penanda prognostik untuk pasien yang didiagnosis glioma, meskipun eksperimen tambahan perlu dilakukan untuk memperkuat fakta ini.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fidinny Izzaturrahmi Hamid
"Glioma is one of the most common central nervous system tumors that show variant responses towards radiotherapies. Most of the cases especially the high grade Glioblastoma Multiforme have very poor prognosis. Pluripotency of cMyc genes might be another factor for the high glial cell differentiation in glioma thus it may become an alternative therapeutic target. mRNA obtained from 20 glioma samples with different degree of malignancy are converted to cDNA and then amplified. Relative quantification of cMyc mRNA expression is measured by calculating the cycle threshold values of Real Time RT PCR and normalized towards 18s rRNA to predict the relationship between the expression of cMyc and the degree of malignancy. The cMyc expression is increased in accordance with the tumor grade. The cMyc expressions in high grade glioma are 17424.23 folds higher when calibrated to the normal cell, whereas the genes in lower grade tumors are expressed with the rate of 6167.35. Despite the statistically insignificant values the genes express, this research has strengthened molecular diagnosis, specifically pluripotency, to be the factor that gives a greater prognostic relevance than the histopathologic diagnosis. As a conclusion, there is a clinical tendency where the c Myc expression is higher than in high degree glioma compared to low degree malignancy, however it is not statistically significant.

Glioma adalah salah satu tumor sistem saraf pusat yang sering terjadi dan memiliki respon yang variatif terhadap radioterapi. Glioblastoma Multiforme cenderung memiliki prognosis buruk terhadap pengobatan. Pluripotensi mRNA cMyc dapat menjadi salah satu faktor tingginya diferensiasi sel glial pada gliom sehingga dapat menjadi target terapi alternatif. mRNA yang diperoleh dari 20 sampel glioma dengan derajat keganasan berbeda ditransformasi menjadi cDNA dan diamplifikasi menggunakan Accupower Two-Step RT-PCR with SYBR Green. Kuantifikasi relatif mRNA cMyc ditentukan dengan menghitung nilai cycle threshold pada RT PCR ang dinormalisasi dengan rRNA 18S untuk melihat hubungan antara ekspresi cMyc dan derajat keganasan glioma. Ekspresi cMyc ternyata lebih tinggi seiring dengan meningkatnya tingkat keganasan. Ekspresi cMyc pada glioma klasifikasi WHO derajat tinggi senilai 17424.23 kali lebih tinggi dibandingkan dengan ekspresi pada sel otak normal, sedangkan glioma derajat rendah menurut klasifikasi WHO mengalami ekspresi gen cMyc senilai 6167.35. Meskipun nilai yang diperoleh tidak signifikan secara statistik, penelitian ini telah menunjukkan bahwa diagnosis molekuler, terutama pluripotensi, dapat menjadi faktor penentu prognosis glioma selain ditentukan dengan derajat keganasan melalui pemeriksaan histopatologis. Terdapat kecenderungan secara klinis dimana ekspresi relatif mRNA cMyc lebih tinggi pada glioma derajat tinggi dibandingkan dengan glioma derajat rendah, namun nilainya tidak signifikan secara statistik."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Jantika Djuarna
"Latar belakang: Malignant peripheral nerve sheath tumor MPNST, merupakan sarkoma jaringan lunak yang prognosis nya buruk karena tidak responsif terhadap kemoterapi. Epidermal growth factor receptor EGFR terlibat dalam transduksi sinyal mitogenik dan jalur proliferasi sel. Ekspresi EGFR yang tinggi pada tumor sudah dipakai untuk menentukan apakah tumor dapat diberikan terapi anti-EGFR. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat perbedaan ekspresi EGFR pada MPNST derajat tinggi dan derajat rendah serta ekspresi EGFR sebagai faktor prognostik.
Metode: Penenelitian ini merupakan penelitian potong lintang, restrospektif, deskriptif. Sampel terdiri atas 20 kasus MPNST derajat rendah dan 20 kasus MPNST derajat tinggi yang telah didiagnosis selama periode 2007-2015. Dilakukan pulasan imunohistokimia dengan antibodi monoklonal EGFR. Selanjutnya dilakukan scoring berdasarkan persentase sel dengan membrane dan atau sitoplasma yang berwarna coklat pada 500 sel/5 LPB : 0 tidak terpulas, 1 terpulas 30. Perbedaan ekspresi EGFR pada MPNST derajat tinggi dan derajat rendah dianalisis menggunakan uji Chi-square. Selain itu di analisis hubungan antara ekspresi EGFR dengan umur, lokasi dan ukuran tumor.
Hasil: Ditemukan ekspresi EGFR yang lebih tinggi pada MPNST derajat tinggi dibandingkan dengan MPNST derajat rendah yang secara statisitk bermakna p=0,000. Tidak ditemukan hubungan antara ekspresi EGFR dengan umur, lokasi maupun ukuran tumor.
Kesimpulan: Ekspresi EGFR yang tinggi dapat digunakan untuk dasar memberikan terapi anti-EGFR pada MPNST derajat tinggi.

Background: Malignant peripheral nerve sheat tumor MPNST is a sarcoma that is difficult to differentiate with other spindle cell sarcomas, because of their similar morphology. The behavior of MPNST is aggressive, with a high recurrence and tend to metastases hematogenous, especially to lung. Histologic type and location are amongs factors that determine prognosis of MPNST. Combined therapies on MPNST which consist of complete resection, chemoterapy, and radiation do not increase the survival. Anti EGFR therapy has been used in epithelial tumor, while its use in sarcoma is still in research. The aim of this study is to see the correlation between expression of epidermal growth factor receptor and histopathology grading and other prognostic clinical variables.
Method: This was a retrospective cross sectional study, using consecutive sampling. The cases consist of 20 low grade MPNST and 20 high grade MPNST in Departement of Anatomical Pathology FKUI RSCM 2007 2015.MPNST was diagnosed by histopathology and confirmed by immunostaining.EGFR immunostaining was performed and scored semiquantitatively. Analysis the correlation between over expression of EGFR and histopathology grading and other clinical variables, such as age, sex, size, location of the tumor and margin of the tumor.
Result: Overexpression of EGFR was observed in 80 cases of high grade MPNST and 20 cases of low grade MPNST p 0,000. There is a significant correlation between EGFR over expression and histopathology grade. There is no correlation between EGFR expression and age, sex, size, location of the tumor and margin of the tumor.
Conclusion: High expression of EGFR is in parallel with high histologic grade, therefore it may be of additional use as prognostic factor.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Jantika Djuarna
"Latar belakang: Malignant peripheral nerve sheath tumor MPNST adalah sarkoma jaringan lunak yang sulit dibedakan dengan beberapa sarkoma sel spindel karena morfologinya yang serupa. MPNST bersifat agresif dengan angka rekurensi yang tinggi dan cenderung bermetastasis terutama ke paru.Tipe histologik dan lokasi termasuk faktor yang menentukan prognosis MPNST. Terapi kombinasi pada MPNST dengan reseksi komplit, kemoterapi, dan radiasi belum meningkatkan kesintasan pasien MPNST. Anti terhadap Epidermal growth factor receptor EGFR telah dipakai dalam terapi untuk tumor epitelial ganas, sedangkan penggunaannya pada sarkoma masih dalam penelitian. Dalam penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara peningkatan ekspresi EGFR dengan derajat keganasan histologik dan variabel prognostik klinis lainnya.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang dengan pemilihan sampel secara konsekutif. Sampel terdiri atas 20 kasus MPNST derajat rendah dan 20 kasus MPNST derajat tinggi di Departemen Patologi Anatomi FKUI/RSCM tahun 2007-2015. Diagnosis MPNST ditegakkan secara histopatologik dan imunohistokimia. Dilakukan pulasan imunohistokimia EGFR pada MPNST derajat tinggi dan MPNST derajat rendah dengan penilaian semikuantitatif, serta menganalisis hubungan antara peningkatan ekspresi EGFR dengan derajat keganasan dan variabel klinis seperti usia, jenis kelamin, ukuran, lokasi tumor dan batas sayatan.
Hasil: Ekspresi EGFR pada MPNST derajat tinggi lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan MPNST derajat rendah 80 vs 20 , p=0,000 .Terdapat hubungan yang kuat antara peningkatan ekspresi EGFR dengan derajat keganasan MPNST. Tidak ditemukan hubungan antara ekspresi EGFR dengan usia, jenis kelamin, lokasi tumor, ukuran tumor dan batas sayatan.
Kesimpulan: Peningkatan ekspresi EGFR sejalan dengan peningkatan derajat histologik, sehingga dapat digunakan untuk membantu menentukan progressifitas MPNST.

Background: Malignant peripheral nerve sheat tumor MPNST is a sarcoma that is difficult to differentiate with other spindle cell sarcomas, because of their similar morphology. The behavior of MPNST is aggressive, with a high recurrence and tend to metastases hematogenous, especially to lung. Histologic type and location are amongs factors that determine prognosis of MPNST. Combined therapies on MPNST which consist of complete resection, chemoterapy, and radiation do not increase the survival. Anti EGFR therapy has been used in epithelial tumor, while its use in sarcoma is still in research. The aim of this study is to see the correlation between expression of epidermal growth factor receptor and histopathology grading and other prognostic clinical variables.
Method: This was a retrospective cross sectional study, using consecutive sampling. The cases consist of 20 low grade MPNST and 20 high grade MPNST in Departement of Anatomical Pathology FKUI RSCM 2007 2015. MPNST was diagnosed by histopathology and confirmed by immunostaining.EGFR immunostaining was performed and scored semiquantitatively. Analysis the correlation between over expression of EGFR and histopathology grading and other clinical variables, such as age, sex, size , location of the tumor and margin of the tumor.
Result: Overexpression of EGFR was observed in 80 cases of high grade MPNST and 20 cases of low grade MPNST p 0,000 . There is a significant correlation between EGFR over expression and histopathology grade. There is no correlation between EGFR expression and age, sex, size, location of the tumor and margin of the tumor.
Conclusion: High expression of EGFR is in parallel with high histologic grade, therefore it may be of additional use as prognostic factor.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Silitonga, Imelda Setiana
"Latar belakang: Karsinoma urotelial merupakan keganasan kandung kemih tersering pada laki-laki. Faktor risikonya adalah merokok, pajanan bahan kimia, radiasi, infeksi Schistosoma hematobium. Mutasi p53 merupakan mutasi tersering pada karsinoma urotelial kandung kemih yang menyebabkan akumulasi protein p53 di inti dan terlihat dengan imunohistokimia. Tujuan penelitian adalah untuk melihat perbedaan ekspresi p53 pada karsinoma urotelial kandung kemih derajat rendah dan derajat tinggi serta hubungan ekspresi p53 dengan: "stadium tumor. Bahan dan cara: Penelitian menggunakan desain potong lintang. Sampel terdiri atas 47 kasus yang terbagi menjadi 22 kasus karsinoma urotelial derajat rendah dan 25 kasus karsinoma urotelial derajat tinggi di Departemen Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI/RSCM) tahun 2009-2017. Dilakukan pulasan imunohistokimia p53 dengan menggunakan cut off positif ≥ 20% berdasarkan penelitian Thakur et al, Ong et al, dan Saint et al. Hasil: Ekspresi p53 positif pada 33 sampel (70,21%), terbanyak pada karsinoma urotelial derajat tinggi 20 kasus (80%), sedangkan pada karsinoma urotelial derajat rendah terdapat 13 kasus (59,1%). Sebanyak 22 kasus (68,8%) Nonmuscle invasive bladder cancer dan 11 kasus (73,3%) Muscle invasive bladder cancer menunjukkan ekspresi positif. Ekspresi p53 cenderung lebih banyak ditemukan pada karsinoma urotelial derajat tinggi dan stadium tinggi. Kesimpulan: Tidak ada perbedaan ekspresi p53 pada karsinoma urotelial kandung kemih derajat rendah dan derajat tinggi. Tidak ada hubungan antara ekspresi p53 dengan stadium tumor.
Kata kunci: Karsinoma urotelial, kandung kemih, p53, imunohistokimia.

Background : Urothelial carcinoma is the most common malignancy in the bladder and mainly occurs in older men. Risk factors for bladder cancer include smoking, exposure to chemicals, radiation and schistosoma hematobium infection. P53 is a tumor suppressor gene that is involved in the cell cycle and plays a role in the occurrence of apoptosis in response to DNA damage. P53 gene mutation is one of the most common genetic changes in urothelial bladder carcinoma. The p53 gene mutation will cause accumulation of p53 protein in the nuclei which can be detected through immunohistochemical examination. The aim of this study is to see differences of p53 expression in low grade and high grade urothelial carcinoma and to see the association of p53 expression with tumor stage. Material and method : This study uses a cross sectional study design. The sample consisted of 47 cases of urothelial bladder carcinoma divided into 22 cases of low grade urotelial carcinoma and 25 cases of high grade urotelial carcinoma originating from the archives of the Anatomical Pathology Department Faculty Medicine of Universitas Indonesia/Cipto Mangunkusumo Hospital (FKUI/ RSCM) in 2009-2017. The study was carried out by p53 immunohistochemical examination and assessment of p53 expression using a percentage with a positive cut off value of ≥ 20%. Result : This study obtained positive p53 expression in 33 samples from 47 samples studied (70,21%). Most are found in high grade urothelial carcinoma as many as 20 cases (80%). Whereas in low grade urothelial carcinoma there are 13 cases (59,1%) with positive p53 expression. As many as 22 cases (68,8%) of Non muscle invasive bladder cancer (NMIBC) and 11 cases (73,3%) of Muscle invasive bladder cancer (MIBC) showed positive p53 expression. There was no difference between p53 expression in low grade and high grade bladder urothelial carcinoma (p=0,118). This study also showed no association between p53 expression with tumor stage (p=1,000). Conclusion : P53 expression was not significantly different with tumor grade. P53 expression was not significantly associated with the tumor stage."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57631
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tamara Tango
"ALDH1A1 merupakan penanda sel induk kanker yang memiliki peran pada diferensiasi dan metastasis dari sel glioma manusia. Riset ini bertujuan untuk menganalisis ekspresi relatif dari ALDH1A1 di sel glioma manusia dengan derajat keganasan yang berbeda. Sampel diperoleh dari 32 pasien di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo yang terdiri dari 19 jaringan glioma derajat rendah, 11 jaringan glioma derajat tinggi, dan 2 jaringan otak normal. Isolasi RNA pada glioma dengan derajat keganasan yang berbeda dilakukan sebelum mengukur kuantifikasi relatif ALDH1A1 menggunakan Real-Time Quantitative Reverse Transcription PCR (qRT-PCR). Riset ini menunjukkan terdapat kecenderungan ekspresi berlebih yang lebih tinggi dari ALDH1A1 pada glioma derajat tinggi dibandingkan dengan glioma derajat rendah. Namun hasil ini tidak signifikan secara statistic. Ekspresi ALDH1A1 bervariasi pada glioma dengan derajat keganasan yang berbeda, tetapi
cenderung lebih tinggi pada glioma derajat tinggi. Oleh karena itu, ALDH1A1 berpotensi untuk menjadi penanda klasifikasi malignansi pada glioma. Akan tetapi, riset selanjutnya diperlukan untuk mendukung bukti ini.

ALDH1A1 is a cancer stem cell marker which plays role in differentiation and metastasis of human glioma cells. This research aims to analyze the relative expression of ALDH1A1 in different grades of malignancy of human glioma cells. Initially, the samples were collected from 32 patients in Cipto Mangunkusumo hospital which consisted of 19 low grade glioma tissues, 11 high grade glioma
tissues, and 2 normal brain tissues. Isolation of RNA was performed prior to measurement of relative quantification of ALDH1A1 by using Real-Time Quantitative Reverse Transcription PCR (qRT-PCR) in different malignancies of glioma. The research revealed a tendency of higher overexpression of ALDH1A1 in high grade human glioma compared to those in low grade. However, this result was statistically insignificant. Expression of ALDH1A1 varied in different malignancies of glioma, but tend to be higher in high grade glioma. Therefore,
ALDH1A1 may become potential marker for malignancy classification. However, further research should be conducted to support this evidence.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fergie Marie Joe Grizella Runtu
"Gen NANOG berperan dalam pembentukan faktor transkripsi yang memiliki DNA binding domain. Protein yang dibentuk oleh gen ini memiliki kemampuan untuk menimbulkan dan mempertahankan sifat pluripotent dari sebuah sel. Dikarenakan sifat sel tumor yang pluripotent, banyak studi telah dilakukan untuk menilai peran NANOG dalam keganansan tumor. Namun, data mengenai peran NANOG pada keganansan gliom belum cukup untuk mengklarifikasi efek NANOG pada perkembangan glioma. Glioma merupakan tumor otak yang paling dijumpai dalam praktik klinis. Tantangan dalam penanganan glioma terletak pada lokasi tumor yang susah dan beresiko untuk dijangkau. Penanganan glioma, beresiko tinggi untuk mengakibatkan kerusakan pada jaringan otak yang dapat berakibat pada kehilangan fungsi tubuh dan bahkan berakibat pada kematian. Dalam kesempatan ini, studi ini dilakukan untuk meninjau peran NANOG dalam keganasan glioma untuk menunjang penanganan dini dan mengurangi mortalitas dan morbiditas penderita. Studi dilaksanankan melalui kuantifikasi gen dengan metode real-time RT-PCR atas specimen glioma yang diperoleh melalui operasi pengangkatan tumor di Departemen Bedah Saraf FKUI-RSCM. Hasil yang diperoleh menunjukan adanya kecenderungan ekspresi NANOG untuk lebih tinggi di glioma tingkat tinggi dibandingkan glioma tingkat rendah walau tidak signifikan menurut statisitik. Diperlukan studi yang lebih besar untuk menunjang peran NANOG sebagain penanda keganasan pada kasus glioma.
NANOG gene codes for a transcription factor with a DNA binding domain that has been found to contribute in maintenance and induction of cell pluripotency. Due to this characteristic, extensive studies have been done to evaluate its function as biomarker of tumor malignancy. However, the role of NANOG in glioma malignancy is not yet elucidated. Glioma, a leading tumor of the brain remains a challenging medical condition due to the location of the tumor. Treatment is complicated due to the high chance of compromising the brain structure which could lead to detrimental effects in body functions. The study conducted is to determine the role of NANOG in glioma malignancy by performing NANOG gene quantification using real-time RT-PCR in low-grade and high-grade glioma samples that was obtained from resection surgery in the Neurosurgery Department of FKUI-RSCM. Statistical analysis, showed that there was not significant difference in NANOG expression between the low-grade and high-grade glioma. Despite the absence of significance, there is a trend for higher expression of NANOG in high-grade glioma compared to low-grade glioma. The result, supports the proposition of NANOG as glioma malignancy biomarker. Further studies need to be conducted with greater sample to bolster the NANOG role in glioma malignancy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tantri Hellyanti
"Latar belakang: Penderita kanker ovarium umumnya datang berobat pada stadium lanjut, sehingga kekambuhan pasca pembedahan dan pemberian kemoterapi mencapai 70-80%. EGFR mengaktifkan jalur sinyal yang menginduksi onkogenesis dan proliferasi sel. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis peran EGFR dalam patogenesis tumor serosum ovarium dan peluangnya untuk digunakan sebagai penanda keganasan.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang. Sampel terdiri atas 15 kasus tumor jinak, 15 kasus borderline dan 15 kasus adenokarsinoma di Departemen Patologi Anatomik FKUI/RSCM tahun 2008-2012. Dilakukan pulasan imunohistokimia EGFR dan penilaian dengan H score.
Hasil: Terdapat perbedaan ekspresi EGFR yang bermakna antara kelompok tumor serosum jinak (H score = 15), borderline (H score = 60) dan adenokarsinoma (H score = 120), dengan p=0,000.
Kesimpulan. Ekspresi EGFR pada tumor serosum ovarium meningkat seiring peningkatan derajat keganasan.

Background: Most of ovarian cancer patients are diagnosed in already advanced stage, therefore 70-80% of cases having recurrence after surgical staging and chemotherapy. EGFR activates signaling pathways which induce oncogenesis and cell proliferation. The aim of this study is to analyze the role of EGFR in the pathogenesis of serous ovarian tumors and its possibility to be used as a malignant marker.
Methods: This was a cross-sectional study on each 15 cases of benign, borderline and malignant serous ovarian tumors from Anatomical Pathology Department FMUI/CMH in 2008-2012. EGFR status was assessed by immunohistochemistry technique and the expression was evaluated using H score.
Results: There was significant difference between EGFR expression in benign (H score = 15), borderline (H score = 60) and malignant serous ovarian tumors (H score = 120), p=0,000.
Conclusion: The EGFR immunoexpression was increased along with the higher degree of serous ovarian tumor malignancy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58703
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eifel Faheri
"Latar Belakang: Kanker Nasofaring (KNF) salah satu pilihan terapinya adalah kemoterapi neoajuvan. Respon kemoterapi ini, di pengaruhi oleh Epidermal Growth Factor Receptor(EGFR), faktor yang berperan pada pertumbuhan dan invasif tumor. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan tingkat ekspresi EGFR dengan respon kemoterapi neoajuvan dan tingkat ekstensif tumor primer. Penelitian ini merupakan studi potong lintang deskriptif, dilakukan penilaian respon kemoterapi neoajuvan dan tingkat ekstensif tumor primer, pada pasien KNF yang telah mendapat kemoterapi dan dilakukan pemeriksaan ekspresi EGFR.
Hasil penelitian: Proporsi ekspresi EGFR pada kanker nasofaring untuk ekspresi negatif, positif dan kuat, berturut-turut sebesar (10%), (70%) dan (20%). Pasien yang respon terhadap kemoterapi neoajuvan adalah 23 pasien (76,6%) dan tidak respon 7 pasien (23,4%). Kelompok pasien yang memberikan respon terhadap kemoterapi, 15 pasien ( 50%) memiliki intensitas EGFR yang lemah. Pasien dengan tingkat ekstensif T3-T4 , mempunyai ekspresi EGFR lebih besar dibandingkan T1-T2 tumor.
Kesimpulan : Proporsi ekspresi EGFR pada kanker nasofaring di Indonesia sebesar 90 persen. Kemoterapi neoajuvan lebih respon pada tumor dengan ekspresi EGFR positif dan intensitas EGFR yang lemah. Tumor dengan tingkat ekstensif yang lebih tinggi, mempunyai ekspresi EGFR lebih tinggi.

Background: Neoadjuvan chemotherapy is one option of treatment for nasopharyngeal cancer (NPC). The response of chemotherapy influenced by EGFR expression. EGFR is important factor for the growth and tumors invasion. Purpose of the study is compare of the EGFR expression level with response of neoadjuvan chemotherapy and extensive level of the primary tumor. The methods is cross-sectional descriptive study that assessment of response to neoadjuvan chemotherapy and extensive level of the primary tumor. The NPC patients who have received chemotherapy is examined of EGFR expression.
Result of the study is the proportion of EGFR expression in NPC for negative, positive and strong expression is 10%, 70%, and 20% respectively. Patients who responses to neoadjuvan chemotherapy are 23 patients(76.6%) and non-responses 7 patients (23.4%). The group patients who responses to chemotherapy, 15 patients (50%) have EGFR weak intensity. Patients with T3-T4 tumors (56,6%) have EGFR expression is greater than T1-T2 tumors(44,4%).
Conclusion: The proportion of EGFR expression in NPC in Indonesia is 90 percent. Neoajuvan chemotherapy is more response in tumors with positive EGFR expression and weak intensity. Tumors with high extensive levels have higher EGFR expression.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>