Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 138000 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mumfaridatul Jannah
"Stunting adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan anak seusianya. Balita stunting termasuk ke dalam masalah gizi kronik yang disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, riwayat penyakit pada bayi, dan kurangnya asupan gizi pada bayi. Balita stunting di masa yang akan datang akan mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis variabel atau faktor dominan yang mempengaruhi kejadian stunting di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data sekunder dari Indonesia Family Life Survey (IFLS) tahun 2014-2015, yang dilakukan di 13 provinsi di Indonesia. Pengumpulan data disaring berdasarkan variabel yang diujikan menggunakan perangkat lunak analisis statistika (Stata). Data output yang dihasilkan kemudian diolah dengan menggunakan algoritma Principal Component Analysis untuk mengekstraksi faktor dominan yang akan dianalisa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang paling dominan pada kejadian stunting adalah faktor tinggi badan, pendidikan ayah, dan pengeluaran asupan protein.

Stunting is a medical term that refers to an abnormal condition of the baby's body. In term of height and weight of the body, stunting babies tend to have the smaller one instead of normal. In Indonesia, this issue is categorized as a cronical issue that is caused by many factors such as social-economic condition, the health condition especially nutrition intake of pregnant women, the baby's history of disease and the less of nutrition intake of baby. In the future, stunting baby will be difficult in getting the optimal growth physically and cognitively. This study aims
to analyze the dominant factors or variables that cause the occurance of stunting in Indonesia. It will use secondary data from Indonesia Family Life Survey (IFLS) 2014-2015 that is conducted in 13 provinces in Indonesia. The data was preprocessed by filtering based on some tested variables using statistics analysis software (Stata). Output data were processed by using Principal Component Analysis algorithm to extract dominant factors which will be analyzed. The result of study shows that the most dominant factors that caused stunting occurance are height of the body, education level of baby's father and cost for protein intake.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cakra Yudi Putra
"Stunting masih menjadi masalah serius yang dihadapi setiap negara, termasuk Indonesia. Stunting menyebabkan banyak kerugian karena kekurangan gizi akut yang dialami selama 1000 hari pertama kelahiran akan menyebabkan konsekuensi negatif jangka panjang. Dari segi kesehatan, anak dengan stunting lebih berisiko terpapar berbagai penyakit serta mengalami gangguan kognitif, motorik, sosio-emosional. Stunting juga merugikan secara ekonomi karena anak dengan stunting akan memiliki produktivitas yang rendah sehingga berdampak pada status pekerjaan dan upah yang tidak layak. Dampak sosial ekonomi dari stunting secara massif diperkirakan menimbulkan kerugian bagi Indonesia sekitar 3% per tahun terhadap produk domestic bruto (PDB). Hingga saat ini, prevalensi stunting di Indonesia masih tetap tinggi walaupun sudah menunjukkan indikator perbaikan. Hal tersebut dikarenakan determinan stunting yang sangat kompleks. Faktor penyebab stunting tidak hanya dari faktor makanan atau asupan gizi saja, melainkan multidimensi termasuk aspek lingkungan dan politik. Aspek politik juga dapat memengaruhi stunting yang diukur dari komitmen politik pemerintah daerah sebagai pemangku kebijakan yang mengesahkan peraturan daerah sebagai landasan hukum dalam pelaksanaan program pengentasan stunting. Maka dari itu penelitian ini menguji dampak peraturan daerah urusan kesehatan terhadap prevalensi stunting. Unit analisis yang digunakan adalah kabupaten/kota di Indonesia pada tahun 2007 dan 2013 dengan metode regresi difference-in-difference. Penelitian ini menemukan bahwa pengesahan dan implementasi peraturan daerah kesehatan tidak berpengaruh signifikan dalam menurunkan prevalensi stunting. Penelitian ini menekankan pada pentingnya pemerintah daerah dalam memastikan implementasi peraturan daerah kesehatan dengan cara menyusun indikator target capaian, tata kelola dan implementasi, serta evaluasi capaian peraturan daerah kesehatan secara berkala.Implikasi dari temuan penelitian ini adalah bahwa pemerintah kabupaten/kota harus sepenuhnya memahami dalam mendesain peraturan daerah terkait penanganan stunting yang spesifik untuk menangani determinan stunting sesuai dengan standar World Health Organization dan berbagai literatur yang berkembang sehingga peraturan daerah yang disahkan mampu mengorkestrasi sumber daya dengan harmonis dalam rangka menurunkan prevalensi stunting.

Stunting is still a severe problem experienced by every country, including Indonesia. Not only because stunting cause adverse consequences on health, but economically, children with stunting will have low productivity, which will result in inadequate employment status and wages. In addition, stunting is estimates to cause losses for Indonesia’s Gross Domestic Product (GDP) around 3% per year. By now, the prevalence of stunting in Indonesia remains high, even though the indicators of improvement have shown. This condition is because the determinants of stunting are very complex – not only food factors or nutritional intake but also environmental and political aspects measured by the political commitment of local governments in passing local regulations as the legal basis for implementing stunting alleviation programs. Therefore, this study measures the impact of local health regulations on stunting prevalence with the unit of analysis used is districts/cities in Indonesia in 2007 and 2013 with the difference-indifference regression method. This research found that the ratification and implementation of regional health regulations did not significantly reduce the prevalence of stunting. This research emphasizes the importance of local governments in ensuring the implementation of regional health regulations by developing indicators for achievement targets, governance, and performance, as well as evaluating the achievements of regional health regulation regularly. The research implies that it is recommended that local governments have to entirely understand in designing regional regulations related to stunting management that are specific to dealing with the determinants of stunting in accordance with World Health Organization standards and various developing literature. Therefore, the regulations that are passed can orchestrate resources harmoniously to reduce the prevalence stunting. "
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Armil Dedy Djara
"ABSTRAK
Usia dini 0-6 tahun adalah salah satu periode paling penting bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Periode ini penting untuk menempatkan perkembangan kesehatan dan intelektual untuk masa depan seorang anak. Berdasarkan itu, masalah gizi pada masa anak-anak perlu dihilangkan. Menurut Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan RI 2013 , terdapat 37.2 anak yang dikategorikan kerdil atau stunting. Indonesia merupakan negara dengan stunting terbesar di ASEAN. Tujuan dari penelitian ini adalah: 1 Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi stunting pada anak usia dini 0-6 tahun di Indonesia timur; 2 Mengidentifikasi seberapa besar pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap stunting pada anak usia dini 0-6 tahun di Indonesia timur. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diambil dari Indonesia family Life Survey East IFLS EAST 2012. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain potong lintang Cross Section . Sampel yang digunakan adalah anak usia 0-6 tahun berjumlah 1.515 orang. Analisis determinan stunting dilakukan menggunakan analisis regresi logistik dengan program Stata 12.0. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi stunting secara statistik adalah usia, wilayah tempat tinggal dan sumber air minum.

ABSTRACT
Early age 0 6 years is one of the most important periods for the growth and development of children. This period is important to put the health and intellectual development for the future of a child. Based on that, nutritional problems in childhood need to be eliminated. According to Paimary Health Research of Health Ministry RI 2013 , there are 37.2 of children who are categorized as stunting. Indonesia is the largest stunting country in ASEAN. The objectives of this study are 1 to identify the determinant factors of stunting in early childhood 0 6 years 2 to identify the probability effect of relationship between the factors and stunting in early childhood 0 6 years. This study uses secondary data from Indonesia Family Life Survey East IFLS EAST 2012 with cross sectional design. The sample size is 1.515 children aged 0 6 years. To identify the determinant factors of stunting, it uses multiple logistic regression analysis using Stata 12.0 program. The result shows that factors that effect stunting statistically are age, living place and drinking water resources. "
2018
T49821
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yus Rizal
"Dalam era globalisasi sekarang ini, Indonesia menghadapi masalah gizi ganda. Disatu pihak masalah gizi kurang masih merupakan kendala yang harus ditanggulangi, di lain pihak masalah gizi lebih dengan berbagai risiko penyakit yang ditimbulkannya cenderung meningkat terutama di kota-kota besar.
Pada dasarnya kedua masalah gizi tersebut terjadi karena satu masalah pokok yang sama yaitu dimana adanya kegagalan tubuh dalam mencapai keadaan gizi yang seimbang. Keadaan gizi lebih merupakan konsekuensi akumulatif dari adanya ketidakseimbangan antara masukan energi dengan energi yang dipergunakan tubuh. Salah satu faktor yang berperan adalah adanya kebiasaan mengkonsumsi makanan sumber energi yang berlebihan seperti kebiasaan mengkonsumsi makanan trendi (fast food), kebiasaan mengkonsumsi makanan berlemak tinggi dan kurangnya mengkonsumsi makanan yang dapat menghambat penyerapan bahan makanan sumber energi seperti makanan berserat (sayuran dan buah-buahan). Disamping itu faktor aktifitas fisik juga berperan didalam mengatur kebutuhan energi, dalam hal ini menyangkut aktifitas pekerjaan utama sehari-hari dan aktifitas olah raga. Selain itu faktor-faktor lain yang berperan adalah umur, jenis kelamin dan tingkat pendidikan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keadaan gizi lebih orang dewasa di 27 kota propinsi di Indonesia tahun 1996 - 1997 dan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan gizi lebih tersebut. Desain penelitian ini adalah "cross sectional" dengan memanfaatkan data sekunder hasil pemantauan status gizi pada orang dewasa yang dilakukan oleh Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI di 27 kota Propinsi di Indonesia tahun 1996 - 1997. Kemudian data yang diperoleh dianalisa baik secara bivariat maupun multivariat dengan menggunakan regresi logistik antara faktor-faktor risiko (kebiasaan makan makanan trendi, kebiasaan makan makanan berlemak, kebiasaan makan sayuran dan buah, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan aktifitas olah raga) dengan keadaan gizi lebih orang dewasa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi keadaan gizi lebih orang dewasa di 27 kota propinsi di Indonesia adalah sebesar 22,10% (klasifikasi WHO) dan 21,33% (klasif kasi Depkes). Proporsi keadaan gizi lebih ini merata di 27 kota propinsi dan hanya di dua kota yang proporsinya <15% yaitu Dili dan Pontianak. Dari hasil analisa bivariat ternyata faktor risiko yang berhubungan dengan keadaan gizi lebih orang dewasa adalah kebiasaan makan makanan trendi, kebiasaan makan makanan berlemak, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan.
Dari analisa multivariat dengan memasukkan secara bersama-sama faktor risiko yang diduga mempunyai hubungan dengan keadaan gizi lebih kedalam model ternyata ada tiga faktor risiko yang berhubungan yaitu kebiasaan makan makanan trendi, umur dan jenis kelamin. Dari hasil analisa tersebut diketahui bahwa proporsi keadaan gizi lebih orang dewasa pada kelompok umur 30-39 tahun lebih tinggi 2,97 kali dibandingkan kelompok umur <30 tahun. Pada kelompok umur 40-49 tahun lebih tinggi 5,03 kali dibandingkan kelompok umur <30 tahun. Pada kelompok umur 50-59 tahun lebih tinggi 3,88 kali dan kelompok umur 60-65 tahun lebih tinggi 2,77 kali dibandingkan kelompok umur <30 tahun. Selain itu diketahui bahwa proporsi keadaan gizi lebih orang dewasa pada kelompok perempuan 2,28 kali lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Sementara itu proporsi keadaan gizi lebih orang dewasa pada kelompok yang jarang (1-4 kali/bulan) mengkonsumsi makanan trendi lebih tinggi 1,36 kali dan kelompok yang sering (2 kali/minggu) lebih tinggi 3,01 kali dibandingkan dengan yang tidak pernah. Namun demikian ada interaksi antara faktor risiko kebiasaan makan makanan trendi dan jenis kelamin, dimana pada setiap tingkatan kebiasaan makan makanan trendi (jarang maupun sering) tampak bahwa kelompok perempuan kemungkinannya lebih rendah dibandingkan laki-laki.

Factors Associated with Adult Overweight in 27 Provincial Capital Cities in Indonesia, 1996 - 1997In this globalization era, Indonesia faces double problems in nutrition. On the one hand under-nutrition is still a threat, which must be restrained; on the other hand overweight increases the risk for certain diseases, particularly in capital.
Basically, both malnutrition problems cause the same main problem, i.e. the failure of the body to reach a well-balanced condition of nutrition. Overweight is a cumulative consequence of unbalance between intake and useable energy. One of the factor is the habit of excessive consumption of high energy food such as, fast food, fatty food and certain foods which obstruct nutrient absorption of such as food rich in fiber (vegetables and fruits). Physical activity factors also play an important role to what extent energy is needed, in performing main daily working activities and physical exercise. Other factors which also play a role are age, sex and educational level.
The objective of this cross sectional study in to obtain information on adult overweight and related factors in 27 provincial capital cities in 1996 - 1997. Data used were secondary data from nutrition monitoring of adults, conducted by the Directorate Community Nutrition, MOH in 27 provincial capital cities during 1996 - 1997. In the analysis of data used logistic regression (bivariate and multivariate) between risk factors (eating habits of fast food, fatty food, vegetables and fruits, age, sex, educational level, occupation and physical exercise) and overweight condition of adult people.
The results of study revealed that the prevalence of adult overweight in 27 provincial capital cities in Indonesia was 22.10% (using WHO classification) and 21.33% (using MOH classification), Proportion of adult overweight was similar for 27 provincial capital cities, only 2 cities i.e. Dili and Pontianak, had proportions of <15%.
The bivariate analysis revealed that risk factors associated with adult overweight were consumption of fast food, fatty food, age, sex, educational level and occupation, and the multivariate analysis revealed that the three main risk factors associated with adult overweight were age, sex and consumption of fast food. The habit of eating fast food, age and sex in comparison with people aged <30 years, the proportion of overweight in 30-39 age group was 2.97 times higher, in the 40-49 age group 5.03 times higher, in the 50-59 and 60-65 age group 3.88 and 2.77 times higher respectively. It was also revealed that the proportion of female adult overweight was 2.28 times higher than male adult. Meanwhile, proportion of adult overweight in the group rarely eats fast food (1-4 times/month) and frequently eats fast food (2 times/week) 1.36 and 3.01 times higher than never eats fast food. Nevertheless there were interaction between risk factors, which were the habit to eats fast food and sex, wherever in every level of the habit to eats fast food (rarely and frequently) have also been observed: males tend to be more at risk to be overweight than females.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1999
T6421
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wilda Welis
"Gizi lebih adalah suatu keadaan kelebihan berat badan bila dibandingkan dengan standar sesuai umur dan jenis kelamin. Gizi lebih pada dasarnya disebabkan ketidakseimbangan energi. Di satu sisi konsumsi energi yang berlebihan karena mengkonsumsi makanan tinggi kalori dan lemak tapi rendah serat seperti konsumsi fastfood dan makanan jajanan. Dari sisi lain rendahnya penggunaan energi karena gaya hidup sedentaris seperti banyaknya aktifitas menonton televisi dan sedikit berolahraga.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan gizi lebih pada siswa SLTP Kesatuan dan SLTP Bina Insani Kota Bogor. Desain penelitian ini adalah crossectional dan cara pengambilan sampel dengan cara acak sederhana. Sampel adalah siswa kelas 1, 2 dan 3 SLTP Kesatuan dan SLTP Bina Insani yang berjumlah 200 orang. Analisis data dilakukan dengan uji khai kuadrat dan regresi logistik ganda. Variabel independen adalah umur, jenis kelamin, pengetahuan gizi, persepsi terhadap tubuh, jumlah uang saku, frekuensi makan, kebiasaan jajan, kebiasaan mengkonsumsi .fastfood, konsumsi energi, protein, karbohidrat, lemak, lama menonton televisi, lama tidur, kebiasaan olah raga, pendapatan keluarga, pendidikan ayah, pendidikan ibu dan status gizi orang tua.
Hasil penelitian ini mendapatkan persentase siswa dengan gizi lebih sebesar (44,9%). Ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin laki-laki, kebiasaan selalu jajan, kebiasaan olah raga yang rendah, pendidikan ayah yang rendah, pendapatan keluarga rendah dan orangtua yang gizi lebih dengan kejadian gizi lebih pada siswa. Hasil analisis multivariat dengan uji regresi logistik ganda didapatkan variabel yang paling dominan berhubungan dengan gizi lebih adalah kebiasaan jajan ( OR= 5,311 ; 95% CI: 2,457 - 11,482 ).
Berdasarkan hasil penelitian ini maka disarankan kepada Departemen Kesehatan bekerjasama dengan Departemen Pendidikan Nasional agar menggiatkan kembali program UKS dan promosi gizi siswa sekolah lanjutan tingkat pertama serta peningkatan sosialisasi PUGS untuk remaja.
Bahan Bacaan : 134 (1980-2003)

Analysis Factors Related to Overweight at Student of SLTP Kesatuan and SLTP Bina Insani in Bogor 2003Overweight is an increase of body weight above a standard for age and sex. Overweight is a problem of nutrient imbalance as more foodstuff are stored as fat than are used for energy and metabolism.
This study aim to examine factors that related to overweight at student of SLTP Kesatuan and SLTP Bina Lnsani in Bogor. This research using crossectional design and simple random sampling. The samples were student grade 1-3, total sample are 200 students. Data analysis by chi square and multiple logistic regression. Variables age, sex, knowledge nutrition, body perception, pocket money, food frequency, habit to buy snack, habit to eat fastfood, food consume, duration of viewing TV, sleep duration, exercise, family income, father and mother' education and nutritional status of parent are as independent variables.
The result of this study found that subject with overweight was 44,9%. Based on bivariate analysis, male, high habit to buy snack, low habit of exercise, low father's education, Iow family income and parental overweight showed significant correlation with overweight in adolescent. The most dominant variable to overweight was habit to buy snack. We recommended to Ministry of Health and Department of Education to reactive School Health Program (UKS), Nutrition Education and Marketing Indonesian Nutrition Guideline (PUGS) for adolescent.
References : 134 (1980-2003)"
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T 11217
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Armunanto
"ABSTRAK
Latar belakang masalah: Penderita Xeropthalmia yang mengancam kebutaan anak secara nasional di Indonesia secara berangsur-angsur menunjukkan penurunan dari 1.2% tahun 1978 menjadi 0.34% pada tahun 1992 (LITBANG GIZI DEPKES, 1992). Upaya pemerintah melalui Departemen Kesehatan ialah dengan memberikan vitamin A dosis tinggi kepada anak usia 12-59 bulan. Melihat kejadian Xeropthalmia sifatnya kluster (ada beberapa wilayah yang masih perlu mendapat perhatian khusus) seperti Sulawesi Tenggara (0.61 %) dan Sulawesi Selatan (2.92%) yang prevalensinya masih diatas standar WHO (0,5 %); maka hal ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, sehingga perlu diupayakan penanggulangan.
Tujuan dan manfaat penelitian: Penelitian ini bertujuan ingin mencari variabel-variabel penentu yang berpengaruh terhadap kejadian Xeropthalmia, Berta memperkirakan besarnya perlindungan dari kejadian Xeropthalmia pada kelompok yang mendapat vitamin A dan yang tidak mendapat vitamin A. Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan diharapkan dapat berguna bagi pengelola program dalam upaya menentukan target sasaran intervensi penanganan dampak kekurangan vitamin A.
Metodologi penelitian: Penelitian ini menggunakan pendekatan Cross sectional dengan menggunakan data sekunder dari penelitian survai nasional Xeropthalmia tahun 1992. Unit analisis yang dipergunakan adalah individu (anak usia 6-72 bulan) dengan besar sampel 1321 responden di wilayah Jawa dan 391 responden di wilayah Sulawesi. Hipotesa yang diajukan adalah; pertama secara bersama-sama variabel bebas mempengaruhi variasi kejadian Xeropthalmia, kedua perkiraan perlindungan dari kejadian Xeropthalmia pada anak yang mendapat vitamin A lebih tinggi dibandingkan anak yang tidak mendapat vitamin A. Analisis yang digunakan adalah, univariat untuk melihat gambaran frekuensi responden menurut berbagai karakteristik, bivariat untuk melihat hubungan antara variabel bebas dengan outcome, sedangkan untuk membuktikan hipotesa akan digunakan analisis statistik regresi logistik.
Hasil Penelitian: Di wilayah Jawa, variabel yang diduga berhubungan dengan outcome ternyata tidak ada yang berhubungan secara bermakna. Sedangkan di wilayah Sulawesi, variabel yang berhubungan secara bermakna adalah pemberian vitamin A (P=0,002; 95 %CI=0,02-0,62), makananyang dikonsumsi (P =0,003; 95 %CI =0,14-0,74), riwayat kesehatan (P =0,00-E; 95 %CI =0,00-0,16) dan pemberian air susu ibu/pendamping air susu ibu (P=0,048; 95%CI=0,07-1,11).
Kesimpulan & Saran: Kemungkinan penyebab tidak terjadinya hubungan secara bermakna di Jawa adalah respondennya terlalu homogen (98.8% tidak menderita Xeropthalmia), hal ini mungkin karena adanya bias selection dalam pemilihan lokasi (hanya kecamatan terjangkau saja) atau dalam penentuan umur responden (6-72 bulan). Walaupun begitu dari analisis ke dua Iokasi tersebut bisa ditemukan bahwa semua variabel bebas yang secara konseptual berhubungan tersebut ternyata menurut perhitungan statistik mempunyai dampak melindungi terhadap kejadian Xeropthalmia. Dengan demikian untuk mencegah atau meningkatnya kejadian Xeropthalmia secara nasional diperlukan upaya-upaya sebagai berikut: Penyuluhan tentang gizi anak, keluarga dan kesehatan mata; selain itu peningkatan program pemberian vitamin A perlu digalakkan karena terbukti bahwa anak yang mendapat vitamin A dapat terlindungi dari kejadian Xeropthalmia. "
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sajuti Jandifson
"ABSTRAK
Dalam GBHN 1993 tema sentral pembangunan nasional adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia kearah peningkatan kecerdasan dan produktivitas kerja. Salah satu usaha untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia adalah upaya peningkatan status gizi masyarakat. Status gizi merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas hidup dan produktivitas kerja.
Bila kita telusuri, kurangnya angka kematian bayi, anak balita, dan ibu melahirkan, menurunnya daya tahan fisik kerja serta terganggunya perkembangan mental dan kecerdasan anak adalah akibat langsung maupun tak langsung dari kekurangan gizi.
Hingga saat ini di Indonesia masih terdapat empat masalah gizi utama, yaitu: Kurang Kalori Protein (KKP), gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI), kekurangan vitamin A (KVA), dan kekurangan zat besi yang disebut anemia gizi.
Dalam rangka menanggulangi masalah gizi utama tersebut, pemerintah telah melakukan usaha perbaikan gizi masyarakat yang telah dirintis sejak tahun 1950. Mulai Pelita II Program Perbaikan Gizi, telah mendapat dukungan politis secara nasional dengan dicantumkannya sebagai bab tersendiri dalam buku Pelita II. Untuk lebih meningkatkan usaha perbaikan gizi masyarakat, diterbitkan Inpres No. 14 tahun 1974 dan selanjutnya diterbitkan satu Inpres lagi untuk memperbarui Inpres No.14 dengan Inpres No.20 tahun 1979, tentang Perbaikan Menu Makanan Rakyat dengan melibatkan program lintas sektoral.
Pada Pelita III dan IV program perbaikan gizi lebih ditingkatkan lagi dengan diperluasnya jangkauan untuk dapat menghasilkan dampaknya secara nasional. Pada Pelita V, kebijaksanaan program arahnya lebih dipertajam lagi dengan penekanan pada aspek pemerataan, juga.ditekankan pada peningkatan kualitas program, mengingat Pelita V merupakan tahap pembangunan yang panting untuk memantapkan kerangka tinggal landas Repelita VI mendatang.
Dibandingkan dengan GBHN 1988 maka dalam GBHN 1993, masalah gizi mendapat perhatian yang lebih besar. Hal ini terlihat dalam bidang ekonomi. Secara jelas disebutkan tujuan peningkatan mutu gizi pangan. sebagai bagian dari usaha perbaikan gizi masyarakat sebagai salah satu .tujuan dalam menetapkan swasembada pangan. Dibidang kesejahteraan Rakyat, pendidikan dan kebudayaan, upaya meningkatkan keadaan gizi masyarakat juga merupakan salah satu tujuan dari pembangunan kesehatan dan kependudukan, serta pembinaan anak, remaja, dan olah raga.
Timbulnya masalah gizi dan kesehatan dalam Pembangunan Jangka Panjang (PJP) II, juga terkait dengan kemampuan kita melanjutkan, melestarikan, dan mengembangkan keberhasilan program-program PJP I. Misalnya berbagai teknologi intervensi yang berhasil menurunkan angka kematian bayi, angka fertilitas, prevalensi seroftalmia, KKP berat, dan sebagainya perlu dikaji untuk dikembangkan dan ditingkatkan efektifitas dan efisiennya, disesuaikan dengan kematian ekonomi, iptek, sosial budaya, dan tingkat perkembangan pada umumnya. Tanpa kemampuan pelestarian program tersebut ada kemungkinan masalah lama yang sudah berhasil ditanggulangi akan muncul kembali, misalnya dalam hal seroftalmia akibat kekurangan vitamin A.
Dimasa mendatang masalah gizi semakin kompleks yang diperkirakan dan akan menonjol dari segi epidemiologi dan dampak daripada sosial ekonomi dengan adanya perkembangan ekonomi nasional yang meningkat yang lebih bercirikan industri, dan laju pertumbuhan ekonomi yang dapat dipertahankan rata-rata 6%, maka sebagian dari penduduk akan terperangkap ke pola makan yang beranekaragam, dimana proporsi sumber kalori dari karbohidrat akan berkurang dan diikuti dengan meningkatnya proporsi lemak dan protein serta meningkatnya karbohidrat yang berasal dari gula.
Kecenderungan pergeseran pola konsumsi ini apabila tak terkendalikan akan menimbulkan masalah gizi lebih (over nutrition) yang dampak sosial ekonominya tidak lebih kecil daripada masalah gizi kurang, sehingga kita akan menghadapi masalah gizi ganda.
"
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Kesehatan , 2000
616.39 IND p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Hanny Rasni
"Kemiskinan merupakan satu faktor terjadinya kekurangan gizi pada balita. Lingkungan Pelindu Kelurahan Karangrejo Kecamatan Sumbersari-Jember merupakan daerah dengan jumlah keluarga miskin yang banyak tetapi tidak tercatat memiliki balita gizi kurang maka penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran mengenai arti dan makna pengalaman keluarga miskin dalam pemenuhan nutrisi pada balita, dilakukan dengan desain fenomenologi deskriptif. Populasi adalah keluarga miskin dengan balita di Lingkungan Pelindu. 6 orang ibu yang menjadi pemberi asuhan utama pada anak di keluarga menjadi informan penelitian, yang ditentukan dengan purposeful sampling dan langkah-langkah Colaizzi digunakan dalam analisa data. Hasil penelitian menggambarkan: respon keluarga terhadap kemiskinan yang dialami terdiri dari 2 tema yaitu penilaian tingkat ekonomi, dan pengelolaan keuangan keluarga; perilaku keluarga dalam pemenuhan nutrisi pada balita terdiri dari 3 tema yaitu pemberian ASI, pemberian susu formula; dan pemberian makan; strategi yang dilakukan dalam pemenuhan nutrisi pada balita terdiri dari 3 tema yaitu cara akses sumber nutrisi keluarga, prinsip pemberian makan, dan pemeliharaan kesehatan; faktor pendukung dan penghambat dalam pemenuhan nutrisi pada balita terdiri dari 2 tema yaitu faktor pendukung dan faktor penghambat; kekuatan dan kelemahan pelayanan kesehatan terdiri dari 3 tema yaitu intervensi pelayanan kesehatan yang diterima, kelemahan pelayanan kesehatan, dan kekuatan pelayanan kesehatan; harapan keluarga terhadap pelayanan kesehatan terdiri dari 2 tema yaitu peningkatan pelayanan dan peningkatan sarana-prasarana. Perawat komunitas yang melakukan pelayanan pada masyarakat dan keluarga di Lingkungan Pelindu perlu mempertimbangkan sumber daya yang tersedia, nilai, keyakinan yang dianut oleh keluarga terutama berkaitan dengan budaya, dan meningkatkan pelayanan kesehatan, bagi pengambil kebijakan di pemerintahan Jember perlu memberdayakan keluarga miskin dalam pembangunan kesehatan masyarakat. Usulan penelitian selanjutnya diantaranya membandingkan atau mengetahui hubungan berbagai macam variabel yang muncul sebagai tema-tema dalam penelitian ini.

Poverty is a factor that causes children under five years old's malnutrition. Pelindu, Kelurahan Karangrejo, Kec. Sumbersari - Jember is an area with a large number of poor family but it has no record of the malnutrition case. So this research aims to find out the meaning of poor family's experience in fulfilling the children nutritient need. This research applies descritive fenomenologic design. The research population is the poor family that has children under five years old. 6 mothers who give primary education to their children act as reserch informants that are selected by purposive sampling method and the analysis of the data uses Colaizzi method. The result shows that : there are two themes on the family's respon toward the poverty. They are the family valuation on their economic state and their household finance management pattern; the family behaviour in fulfilling nutrient for their children that can be clasifify in 3 themes : kolostrom, ASI Matur, formulaic milk, food giving; nutrient supplying method which consist of 3 themes that are the access method of the family to nutrient sources, the principle of food supplying and the family health maintenance; supporting and demotivating factors; the strenght and weakness of health care which consist of 3 themes, that are the accepted health care intervention, the weakness and effectiveness of health care; the family expectation to the health care which consists of 2 themes: the improvement of service and health facility and also the infrastructure improvement. The nurse who works for the community and family in Pelindu has to consider the available resources, the value and belief hold by of those families especially within their cultural background. It is important for the policy makers in Jember to improve the service of health and empower the poor family to improve the public health. This research's suggestion is to compare and determine the correlation of various variables that appears as the themes in this research."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2008
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Atika Amalia Fajarini
"Prevalensi status kurang gizi/ kurus pada remaja masih tinggi dan meningkat pada negara berkembang. Permasalahan status gizi kurang lebih banyak terjadi pada remaja laki-laki daripada remaja perempuan. Hal ini juga terjadi di Indonesia berdasarkan data Riskesdas 2007 dan 2013. Status gizi kurang pada remaja akan memengaruhi produktivitas dan prestasi baik saat remaja maupun dewasa nanti. Salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi adalah asupan energi dan zat makronutrien. Penelitian ini menggunakan studi potong lintang untuk mengetahui hubungan antara status gizi kurang pada remaja laki-laki usia 16-18 tahun dengan asupan energi dan makronutrien. Jumlah subjek penelitian adalah sebesar 50 remaja laki-laki usia 16-18 tahun di Jakarta. Data status gizi diperoleh melalui pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT) berdasarkan usia yang diplot pada tabel Z-Score. Data mengenai asupan energi dan makronutrien diperoleh menggunakan metode 24 hour food recall dan food record selama 3 hari, kemudian diambil rerata dari keduanya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 22% subjek mengalami status gizi kurang/kurus. Sebagian besar subjek memiliki persentase asupan yang kurang (<80%AKG), yaitu 94% untuk asupan lemak dan energi, 90% untuk asupan karbohidrat, 74% untuk asupan protein. Analisis uji Fisher menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara asupan energi dan zat gizi makro dengan status gizi kurang (nilai p>0,05). Penelitian ini tidak memperhatikan beberapa faktor yang juga dapat mempengaruhi status gizi kurang yaitu aktifitas fisik, lingkungan, status pubertas, pola makan, gaya hidup, status psikologi, pengetahuan dan pola hidup dari orang tua.

The prevalence of poor nutrition status / underweight in adolescents remains high and is rising in developing countries. Malnutrition/underweight is more common in boys than girls. This phenomena is also occurs in Indonesia based on data Riskesdas 2007 and 2013. Malnutrition/underweight among adolescents will affect both productivity and achievement in adolescence and adulthood. One of factors that affect nutritional status is energy and macronutrients intake. This study uses a cross-sectional study to determine the association of malnutrition status in adolescent males aged 16-18 years with energy and macronutrient intake. The number of research subjects is 50 adolescent males aged 16-18 years in Jakarta. Data obtained through the measurement of nutritional status Body Mass Index (BMI) by age and is plotted on the chart Z-Score. Data on energy intake and macronutrient obtained using 24-hour food recall and a food record for 3 days, then take the average of the two. The results showed that 22% of subjects experienced poor nutrition status / underweight. Most of the subjects had less percentage of intake (<80% AKG), 94% for fat and energy intake, 90% for the intake of carbohydrates, 74% for protein intake. Fisher test analysis showed that there was no association between energy intake and macronutrient with ppor nutritional status (p values> 0.05). This study did not determinedi several factors that can affect the nutritional status ie physical activity, environmental, pubertal status, diet patterns, lifestyle, psychological status, knowledge and lifestyle of the parents."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>