Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 206527 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yusnita Rahman
"

Latar Belakang: Melasma merupakan bercak hiperpigmentasi yang sebagian besar terdapat pada wajah. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kadar hormon tiroid secara bermakna lebih tinggi pada pasien melasma. Akan tetapi, belum terdapat penelitian yang menjelaskan perbedaan kadar hormon tiroid pada gradasi derajat keparahan melasma.

Tujuan: Mengetahui perbandingan kadar hormone tiroid pada derajat melasma yang berbeda yaitu pada melasma ringan atau sedang-berat yang dinilai dengan mMASI dan Janus II facial analysis system.

Metode: Empat puluh delapan perempuan disertakan sebagai subjek penelitian potong lintang ini. Sampel dipilih menggunakan metode consecutive sampling. Subjek dinilai derajat keparahan melasma secara subjektif menggunakan skor mMASI di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUPN Cipto Mangunkusumo setelah diagnosis ditegakkan. Pemeriksaan dikonfirmasi menggunakan alat Janus II facial analysis system di RSPAD Gatot Subroto. Subjek penelitian kemudian diperiksa hormon tiroid FT4 dan TSH.

Hasil: Berdasarkan skor mMASI, 24 pasien (50%) didiagnosis sebagai melasma derajat ringan dan 24 pasien (50%) didiagnosis sebagai melasma derajat sedang. Sebanyak 2 pasien (4%) juga didiagnosis dengan hipertiroid subklinis dan 1 pasien (2%) didiagnosis dengan hipotiroid subklinis. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara derajat melasma berdasarkan mMASI dengan kadar TSH dan FT4 serum. Pemeriksaan Janus menggunakan modalitas cahaya polarisasi memiliki korelasi positif dengan kadar FT4 serum (r = 0,3, p = 0,039) dan skor mMASI (r = 0,314, p = 0,03).

Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan kadar TSH serum antar berbagai derajat melasma berdasarkan penilaian mMASI dan Janus II facial analysis system. Kadar FT4 serum memiliki korelasi positif dengan hasil penilaian Janus II facial analysis system menggunakan modalitas cahaya polarisasi.

 

 



Background:

Melasma is characterized by hypermelanosis manifested mostly on facial area. Previous studies have shown that thyroid hormone level was significantly higher in melasma patient. However, no studies has defined comparison of thyroid hormone level on varying severity of melasma yet.

Aim

To study comparison of thyroid hormone level across varying severity of melasma, between mild and moderate-severe melasma, evaluated using mMASI and Janus II facial analysis system.

Metode:

Forty eight women included in this cross-sectional study. Samples were included using consecutive sampling method. The severity of melasma was measured subjectively using mMASI score in Dermatology and Venereology Outpatient Clinic of Cipto Mangunkusumo General National Hospital after the diagnosis of melasma has been made. The measurement was confirmed using Janus II facial analysis system in Gatot Subroto General Army Hospital. Lastly, we measured the level of FT4 and TSH of each patients.

Results:

Based on mMASI score, 24 patients (50%) were diagnosed as mild melasma and 24 patients (50%) were diagnosed as moderate-severe melasma. As many as two patients (4%) were also diagnosed with subclinical hyperthyroidism and one patient (2%) with subclinical hypothyroidism. There is no assosciation between severity of melasma and level of TSH and FT4. Janus examination using polarisasi light modalities has weak positive correlation with level of FT4 (r = 0,3, p – 0,039) and darkness score of mMASI (r = 0,3, p = 0,03).

Conclusion:

There is no association between TSH and varying severity of melasma. Using mMASI and Janus. FT4 level has weak positive correlation with Janus facial analysis system examiniton results on polarisasi light modalities.

 

"
Jakarta: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fita Maulina
"Latar Belakang: Histerektomi adalah salah satu prosedur ginekologis yang paling banyak dilakukan pada wanita. Salah satu efek buruknya adalah perubahan fisik dan penampilan dalam bentuk gejala menopause, sering kali mengurangi kualitas hidup. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gejala menopause yang dialami oleh wanita premenopause yang menjalani histerektomi dengan salpingo-ooforektomi bilateral.
Metode: Penelitian deskriptif dengan metode kohort retrospektif dilakukan di RSUD dr. Rumah Sakit Umum Nasional Cipto Mangunkusumo, Indonesia. Semua wanita yang menjalani histerektomi total dengan salpingo-ooforektomi bilateral dilibatkan dalam penelitian ini. Pasien yang buta huruf atau tidak kooperatif dikeluarkan. Gejala menopause dibagi menjadi gejala vegetatif, psikosomatik, dan somatotropik. Setiap mata pelajaran ditindaklanjuti selama 6 bulan, mencatatmenopause gejala bulanan.
Hasil: Di antara 37 subjek dalam penelitian ini, 100% subjek mengalamimenopausegejala dalam 6 bulan pertama masa tindak lanjut. Kategori gejala yang paling sering dikeluhkan adalah gejala vegetatif (97,3%), diikuti oleh somatotropik (83,8%) dan gejala psikosomatik (70,3%). Prevalensi tertinggi keluhan darimenopause gejalanya adalah berkeringat (78,4%) dan muka memerah (75,7%), diikuti oleh nyeri otot (59,5%), suasana hati tidak stabil (54,1%), penurunan libido (51,4%), kelainan kencing (45,9%), kekeringan vagina (43,2%) ), masalah konsentrasi (43,2%), Insomnia (40,5%), kelelahan (29,7%), sakit kepala (5,4%), dan palpitasi (2,7%).
Kesimpulan: Wanita premenopause yang menjalani histerektomi akan mengalami gejala menopause dalam enam bulan pertama. Mengatasi dan mengelola setiap gejala menopause yang terjadi akan sangat penting dalam perawatan pasien pasca HTSOB.

Background:  Hysterectomy is among the most gynecological procedure done on women. One of its adverse effects is physical and appearance changes in form of menopausal symptoms, often reducing the quality of life. This study aims to investigate menopausal symptoms experienced by premenopausal woman undergoing hysterectomy with bilateral salpingo-oophorectomy.
Methods: A descriptive study with retrospective cohort method was conducted in dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital, Indonesia. All women undergoing total hysterectomy with bilateral salpingo-oophorectomy were included in this study. Illiterate or uncooperative patients were excluded. Menopausal symptoms were divided into vegetative, psychosomatic, and somatotropic symptoms. Each subjects was followed up for 6 months, noting menopausal symptoms monthly.
Results: Among 37 subjects in this study, 100% of subjects experienced menopausal symptoms in the first 6 months follow up period. The most commonly complained symptom category was vegetative symptoms (97.3%), followed by somatotropic (83.8%) and psychosomatic symptoms (70.3%). The highest prevalence of complaints from menopausal symptoms is sweating (78.4%) and hot flushes (75.7%), followed by muscle soreness (59.5%), unstable mood (54.1%), decreased libido (51.4%), urinary disorders (45.9%), vaginal dryness (43.2%), concentration problem (43.2%), Insomnia (40.5%), fatigue (29.7%), headache (5.4%), and palpitation (2.7%).
Conclusion: Premenopausal women undergoing hysterectomy would experience menopausal symptoms in the first six months. Addressing and managing each menopausal symptoms occurring would be essential in post HTSOB patient treatment.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trisnawulan
"ABSTRAK
Mola hidatidosa merupakan penyakit trofoblas yang disertai peningkatan kadar Human Chorionic Gonadotropin (= HCG). Telah dilaporkan terjadinya gejala hipertiroidisme pada panderita mola yang ada kemungkinan berlanjut dengan timbulnya penyulit krisis tiroid yang dapat berakibat fatal. Hiperfungsi tiroid tersebut disebabkan pengaruh keaktifan tirotropik dari HCG. Penelitian ini bertujuan untuk memantau kadar hormon tiroid pada penderita mola hidatidosa.
Dari bulan Maret sampai dengan Agustus 1986 telah diperiksa serum dari 12 penderita MR. Pemeriksaan dilakukan secara serial: sebelum pengeluaran jaringan mola, lalu dilanjutkan pada hari ke 3 - 5, 1 bulan dan 2 bulan sesudahnya.
Dilakukan penetapan kadar hormon tiroksin (= T4) dan ambilan tiroksin (= Ambilan T4) dengan cara "Enzyme Immuno Assay" (=EIA) menggunakan kit ENDAB Irmruno Assay, kemudian nilai Indeks tiroksin babas (= ITB) dihitung. Diperiksa pula kadar "Thyroid Stimulating Hormone" (=TSH) dengan cara Radio Immuna Assay (=RIA) dan kadar hCG urin dengan test aglutinasi.
Sebelum dilakukan pengeluaran jaringan mola ke 12 kasus semuanya menunjukkan tanda tanda hipertiroidisme secara laboratoris (Ti, ambilan T4, ITB) dengan atau tanpa disertai gejala klinia. Setelah pengeluaran jaringan mola kelainan ini akan menurun dan mencapai kadar normal pada kurang lebih 1 bulan sesudahnya. Kadar TSH makin meningkat tetapi masih dalam batas batas normal. Keadaan ini seiring dengan penurunan kadar hCG urin. Hasil-hasil tersebut sesuai dengan yang didapatkan oleh peneliti peneliti terdahulu.
Disarankan untuk memasukkan pemeriksaan kadar hormon tiroid pada protokol panatalaksanaan penderita mola hidatidosa untuk mempertimbangkan pengobatan terhadap kelainan barman ini dan menghindari penyulit yang mungkin terjadi. "
1987
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendrati Handini
"Dari tahun ke tahun, usia harapan hidup wanita Indonesia semakin meningkat. Sementara SDKI pada tahun 2003-2004 menyebutkan sekitar 21,1 % penduduk Indonesia yang telah memasuki usia menopause.
Menopause merupakan peristiwa fisiologis yang menyebabkan munculnya berbagai perubahan fisik, reproduksi dan psikis. Hal ini berhubungan dengan berhentinya fungsi indung telur yang mempengaruhi produksi hormon estrogen dan progesteron. Keadaan ini menyebabkan munculnya berbagai keluhan, gangguan atau penyakit, seperti sindroma menopause, osteoporosis, dan penyakit jantung koroner.
Untuk mencegah, dan mengurangi risiko kejadian tersebut, salah satu alternatifnya adalah dengan pemberian Terapi Sulih Harmon/Harmane Replacement Therapy (HRT). TSH adalah hormon pengganti yang diberikan kepada wanita menopause karena sudah tidak memproduksi estrogen lagi. TSH dapat mencegah, dan mengurangi resiko keluhan, gangguan atau penyakit akibat menopause. Penggunaan TSH sampai sekarang masih menimbulkan kontraversi di masyarakat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui alasan penggunaan terapi sulih hormon pada pasien menopause. Sebagai variabel bebas adalah usia saat menopause, lama menopause, sindroma menopause, riwayat reproduksi, riwayat kesehatan pasien dan keluarganya, riwayat penggunaan kontrasepsi, pendidikan, pekerjaan dan pengetahuan tentang terapi sulih hormon, anjuran dokter dan permintaan pasien.
Sedangkan sebagai varibel terikat adalah penggunaan terapi sulih hormon. Penelitian ini dilakukan di Klinik Menopause Yasmin Perjan RS. Dr. Cipto Mangunkusumo dan Klinik Menopause RSPAD Gatol Soebroto mulai bulan Januari 2003 - Desember 2004.
Penelitian ini menggunakan data sekunder dan data primer. Sampel penelitian adalah pasien yang sudah menopause yang datang berkonsultasi di klinik menopause selama periode Januari 2003- Desember 2004. Jumlah sampel minimal ditetapkan kasus banding kontrol = 1 : 1, dengan tingkat kemaknaan 95% dan presisi 20%, diperoleh 105 responden untuk kelompok kasus dan 105 responden untuk kelompok kontrol.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan secara bermakna dengan pemberian terapi sulih hormon adalah variabel riwayat penyakit, riwayat kontrasepsi hormonal, pengetahuan tentang terapi sulih hormon ananjuran dokter. Dari analisis multivariat didapatkan OR= 3,117 untuk variabel riwayat penyakit, OR = 2,381 untuk variabel riwayat menggunakan kontrasepsi hormonal, OR= 2,303 untuk variabel berpengetahuan linggi dan OR = 4.454 untuk variabel anjuran dokter.
Diperlukan upaya sosialisasi dan pendidikan yang berhubungan dengan masalah-masalah menopause dan penggunaan TSH kepada masyarakat luas. Hal ini harus didukung oleh kebijakan dari Departemen Kesehatan maupun organisasi profesi kedokteran tentang penatalaksanaan TSH, termasuk mempersiapkan tenaga yang handal untuk melaksanakan konseling pasca menopause.

Reasons on Use of Hormone Replacement Therapy for Menopausal Patients in Yasmine Perjan Menopause Clinic in Dr Cipto Mangunkusumo Hospital & Menopause Clinic RSPAD Gatot Subroto 2005.Through the years the life span of Indonesian women has been increasing. While in year 2003-2004 SDKI says that 21,1 % of Indonesian population is entering menopausal ages.
Menopause itself is a physiologic episode that causes many physical changes and in reproduction and psyche as well. It relates to the stop of the ovary function that affects the estrogen and progestine hormones. This condition will also affect other complaints on body, disorders or diseases, such as menopausal syndrome, osteoporosis, and coronary heart disease.
Hormone Replacement Therapy (HRT) is an alternative therapy to prevent and reduce the risks of those complaints. HRT aims to replace the hormone of a menopausal woman so that it could prevent and reduce the risks. But HRT user gives controversial with public
This research aims to find out the basic reasons for the patients to use the therapy. As free variables are the age by the time menopause starts, the length, the syndrome, the reproduction history of the patient and family, the history of contraception use, education, occupation and knowledge on HRT, doctor's advises and patients demands. As bond variable is the use of HRT. This research is conducted in Yasmin Perjan Menopause Clinic in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital and Menopause Clinic in RSPAD Gatot Soebroto starting January 2003 up to December 2004.
It uses primary and secondary data. The samples are patients with menopausal problem that already have a consultation in the clinic during period of January 2003 - December 2004. The total sample, with ratio = 1.1 minimally, with significant level 95% and precision 20%, is found respectively from 105 respondents each lbr case group and controlled group.
The result shows that the variables that related significantly to HRT are history of the diseases, hormonal contraception, knowledge on HRT and doctor's advises. From multi variant analysis it is found OR= 3, 1 17 times for variable of history o f disease, OR = 2,381 for variable of history on hormonal contraception, OR= 2,303 for variable with high education and OR= 4.454 for doctor's advises.
Finally it is necessary to socialize and to educate people relates to menopausal problems and use of HRT to the public. Policies are from Health Department and other Medical Profession Organization on HRT management. It is needed more experiences to do the menopausal consultation.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2005
T13579
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fredrico Patria
"Menjelang tahun 2000, harapan hidup wanita Indonesia meningkat menjadi 67,5 tahun dan kelompok usia tua akan mencapai 8,2 % dari seluruh populasi Indonesia. Diperkirakan pada tahun 2010, usia harapan hidup wanita Indonesia akan mencapai 70 tahun. Seiring dengan peningkatan usia harapan hidup, maka akan terjadi peningkatan penyakit-penyakit tua, khususnya pada wanita kejadian penyakit usia tua ini dihubungkan dengan penurunan kadar hormon estrogen. Penurunan hormon ini telah dimulai sejak usia 40 tahun.
Menopause sebagai akibat dari penurunan kadar hormon estrogen pada wanita akan memberikan gejala-gejala yang dapat bermanifestasi pada berbagai organ. Gejala-gejala yang mungkin timbul dibagi menjadi efek jangka pendek maupun efek jangka panjang. Efek jangka pendek adalah gejala vasomotorik (hot flushes, jantung berdebar, sakit kepala), gejala psikologik (gelisah, lekas marah, perubahan perilaku, depresi, gangguan libido), gejala urogenital (vagina kering, keputihan/infeksi, gatal pada vagina, iritasi pada vagina, inkontinensia urin), gejala pada kulit (kering, keriput), gejala metabolisme (kolesterol tinggi, HDL turun, LDL naik). Sedangkan efek jangka panjang meliputi osteoporosis, penyakit jantung koroner, aterosklerosis, stroke sampai kanker usus besar.
Osteoporosis sebagai salah sate efek jangka panjang akan memberikan dampak tersendiri. Prevalensi osteoporosis pada wanita usia 50-59 tahun adalah 24%, sedangkan pada wanita usia 60-70 tahun adalah 62%. Kejadian osteoporosis ini akan semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah usia pasca menopause akibat meningkatnya usia harapan hidup, dengan dampak akhirnya pada kejadian fraktur. Fraktur pada osteoporosis terjadi pada 25-30% wanita pasca menopause. Pada wanita pre menopause, estrogen akan menekan resorpsi tulang, sehingga pada saat pasca menopause dengan menurunnya kadar hormon estrogen maka efek tersebut juga akan menurun. Estrogen diperkirakan mengendalikan pembentukan osteokias dengan mengendalikan pembentukan interleukin (IL)-1, IL-6 dan Tumour Necrosis Factor (TNF)-a.
Dalam penanganan osteoporosis, pengobatan pengganti hormonal sangat diperlukan saat ini dan pemberian dosis rendah estrogen dengan dosis rendah progesteron yang digabung dengan kalsium, kalsitriol, senam beban dan aktivitas akan memberikan hasil yang cukup baik, yang ditunjukkan dalam kenaikan densitas tulang femur, lumbal dan radius. Pemberian estrogen juga akan membantu menghilangkan gejala-gejala menopause lainnya. Meskipun demikian terdapat kekhawatiran dari para wanita pasca menopause mengingat risiko untuk timbulnya keganasan pada pemakaian hormon pengganti ditambah dengan adanya perbedaan kebudayaan khususnya di negara-negara Asia yang membuat penerimaan terapi hormonal lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara Eropa.
Penelitian menunjukkan bahwa risiko keganasan pada endometrium pada wanita usia 50 tahun adalah 3%. Pemakaian hormon pengganti estrogen saja akan meningkat risiko keganasan 4-5 kali dalam 5 tahun pemberian dan 10 kali dalam pemberian Iebih dari 15 tahun. Gabungan estrogen dan progesteron akan menurunkan risiko kejadian keganasan pada endometrium dan pada payudara sampai sama dengan risiko tanpa pengobatan hormonal.
Pada penelitian lain ditemukan adanya peningkatan aktivitas enzim enzim peroxisomal proliferating activator receptor Alfa dan gamma yang dapat memicu keganasan pada payudara pada pemakai estrogen untuk jangka panjang. Penelitian World Health Initiative (WHI) menunjukkan bahwa terdapat peningkatan keganasan pada payudara sebesar 26 %, peningkatan sebesar 41% pada kejadian stroke, meskipun terjadi penurunan keganasan kolon 37% pada pemakaian hormon selama 5,6 tahun. Sehingga terapi sulih hormon tidak dianjurkan melebihi 5 tahun. Pada diskusi selanjutnya dikemukakan bahwa pemakaian estrogen pada usia di atas 54 tahun perlu diperhatikan kemungkinan peningkatan bahaya keganasan pada payudara."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zaima Amalia
"Keamanan pangan merupakan salah satu isu internasional. Bahaya penggunaan antibiotik pada budidaya hewan menjadi salah satu penyumbang timbulnya resistensi pada manusia. DiIndonesia, lazim digunakan antibiotik sebagai growth promotor pada budidaya hewan.Larangan penggunaan hormon dan antibiotik imbuhan pakan tertulis dalam Undang-UndangNo. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang kemudian diperjelasdengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14/Permentan/PK.350/5/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan. Tesis ini membahas faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan kebijakan larangan penggunaan hormon dan antibiotik imbuhan pakan, khususnya faktor kesehatan, hukum, politik, dan ekonomi. Penelitian menggunakan studi deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan menggunakan wawancara mendalam dan studi literatur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor ekonomi memiliki pengaruh lebih kuat dibandingkan faktor politik, hukum dankesehatan.

Food safety is an international issue. Using antibiotic in poultry production is dangerous and it could be caused of antibiotic antimicrobial resistance for human. In Indonesia, poultries using antibiotic as growth promoter AGP. The prohibition of hormones andantibiotics as feed additive using written in Act 18 of 2009 on Livestock and Animal Health, which is then clarified by the Regulation of the Minister of Agriculture No.14 Permentan PK.350 5 2017 on Classification of Animal Drugs. This thesis discusses the factors that influence the making policy of prohibiting the use ofhormones and antibiotics as feed additive, especially health, legal, politic, and economicfactors.This is a descriptive study by qualitative approach. The data were collected by of in depthinterview and literature review. The result is the economy factor is more influence thanpolitic, legal and health`s factor."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T47574
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Data Angkasa
"Pada tahun 2000, harapan hidup wanita Indonesia meningkat menjadi 67,5 tahun dan kelompok usia tua akan mencapai 8,2% dari seluruh populasi Indonesia. Diperkirakan pada tahun 2010, usia harapan hidup wanita Indonesia akan mencapai 70 tahun. Seiring dengan peningkatan usia harapan hidup, maka akan terjadi peningkatan penyakit-penyakit tua, khususnya pada wanita kejadian penyakit usia ma ini dihubungkan dengan penurunan kadar hormon estrogen. Penurunan hormon ini telah dimulai sejak usia 40 tahun.
Menopause sebagai akibat dari penurunan kadar hormon estrogen pada wanita akan memberikan gejala-gejala yang dapat bermanifestasi pada berbagai organ. Gejala-gejala yang mungkin timbul dibagi menjadi efek jangka pendek maupun jangka panjang. Efek jangka pendek adalah gejala vasomotorik (hot flushes, jantung berdebar, sakit kepala), gejala psikologik (gelisah, lekas marah, perubahan perilaku, depresi, gangguan libido), gejala urogenital (vagina kerng, keputihan, gatal pada vagina, iritasi pada vagina, inkontinensia urin), gejala pada kulit (kering, keriput), gejala metabolisme (kolesteroi tinggi, HDL turun, LDL naik). Sedangkan efek jangka panjang meliputi osteoporosis, penyakit jantung koroner, aterosklerosis, stroke sampai kanker usus besar.
Usia menopause perempuan di negara maju seperti di Amerika Serikat dan Inggcis adalah 51,4, sedangkan di negara-negara Asia Tenggara adalah 51,09 tahum. Usia menopause untuk perempuan Indonesia adalah 50 tahun. Jika usia harapan hidup wanita Indonesia adalah 70 tahun, maka hampir 20 tahun lamanya mereka akan mengalami berbagai masalah kesehatan akibat kekurangan hormon estrogen. Dampaknya adalah kualitas hidup kaum perempuan akan berkurang. Gejala klimakterik disebabkan oleh kekurangan hormon estrogen, maka pengobatannya adalah dengan pemberian hormon estrogen dari luar tubuh, yang dikenal dengan dengan istilah Hormone replacement therapy (HRT) atau istilah dalam bahasa Indonesia Terapi Sulih Hormon (TSH). Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa pemberian TSH pada perempuan menopause dapat menghilangkan keluhan klimakterik, bahkan mencegah terjadinya patah tulang, penyakit jantung koroner, kanker usus besar, dementia ripe Alzheimer dan katarak. Dengan kata lain pemberian TSH dapat meningkatkan kualitas hidup perempuan menopause."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18180
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Floryanti
"Latar belakang: Kanker payudara merupakan kanker dengan insiden tertinggi dan penyebab kematian utama akibat kanker pada perempuan di dunia. Penggunaan implan payudara pasca mastektomi maupun tujuan kosmetik juga ikut meningkat. Ultrasonografi, mamografi dan MRI adalah modalitas pencitraan utama dalam mendeteksi lesi kanker payudara pada pengguna implan payudara. Peranan USG dalam hal tersebut masih kontroversi; sensitivitas mamografi dilaporkan menurun sementara MRI terbatas penggunaanya akibat kendala ketersediaan dan biaya pemeriksaan tinggi. Telaah sistematis ini dibuat untuk menilai akurasi diagnostik USG, mamografi dan MRI dalam mendeteksi lesi kanker payudara pada pengguna implan payudara. Metode: Pencarian sistematis dilakukan pada Januari 2022 untuk mengidentifikasi studi yang menilai akurasi diagnostik USG, mamografi dan MRI dalam mendeteksi lesi kanker payudara dengan referensi baku pemeriksaan patologi anatomi dengan menggunakan data dasar Scopus, PubMed, jurnal dan riset nasional, hand searching serta grey literature. Nilai sensitivitas dan spesifisitas pada masing-masing uji indeks diekstraksi. Penilaian kualitas metodologi studi dilakukan menggunakan QUADAS-2. Hasil: Tiga belas studi diidentifikasi. Nilai sensitivitas USG terendah 62%, tertinggi 95%, spesifitas 93%. Nilai sensitivitas mamografi terendah 22%, tertinggi 80%, spesifitas 100%. Sementara itu, nilai sensitivitas MRI terendah 86%, tertinggi 100% dengan spesifisitas terendah 17%, tertinggi 75%. Sepuluh studi menunjukkan risiko bias tinggi pada salah satu domain, tiga studi di antaranya menunjukkan risiko bias tinggi pada domain yang lain. Kesimpulan: Akurasi diagnostik modalitas USG, mamografi dan MRI dalam mendeteksi lesi kanker payudara pada pengguna implan payudara sangat bervariasi.

Background: Breast cancer is cancer with the highest incidence and leading cause of cancer death among women worldwide. Breast implant use for post mastectomy patients and for cosmetic purposes is also increasing. Ultrasonography, mammography and MRI are imaging modalities mostly used to detect breast lesions in patients with breast implants. Ultrasound role is still unclear; mammography has been reported to have lower sensitivity while MRI availibility is still limited and highly cost. This systematic review is written to analyze diagnostic accuracy of ultrasound, mammography and MRI in detecting breast cancer in patients with breast implants. Methods: Studies contained diagnostic accuracy of ultrasound, mammography and MRI in detecting breast cancer lesions with pathological examination as reference standard were identified. Scopus, PubMed, national journals and research, hand searching and grey literatures were systematically searched through January 2022. Sensitivity and specificity value of each index tests from eligible studies is extracted. Methodological quality was assessed using QUADAS-2. Results: Thirteen studies were identified. The lowest and the highest sensitivity value are 62% and 95 % for ultrasound, 22% and 80 % for mammography, 86% and 100% for MRI while specificity value are 93% for ultrasound, 100% for mammography, the lowest and the highest of MRI 17% and 75%, respectively. Ten studies demonstrated high risks of bias in one domain with three of them also have high risk of bias in another domain. Conclusion: Diagnostic accuracy of ultrasound, mammography and MRI to detect breast cancer in patients with breast implants is varied."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firiyaliza Aulianisa
"Menstruasi merupakan perdarahan karena meluruhnya lapisan endometrium yang terjadi secara periodik. Menstruasi sering kali dikaitkan dengan munculnya akne vulgaris. Hal ini didukung oleh fakta bahwa akne vulgaris sering terjadi akibat rendahnya hormon estrogen dan progesteron selama siklus menstruasi. Hormon estrogen dan progesteron juga dapat menghambat proses konsepsi dikarenakan hormon tersebut bekerja sebagai penghambat pengeluaran FSH dan LSH. Terapi hormonal tidak hanya digunakan untuk menghambat proses konsepsi saja, ketidakseimbangan hormon estrogen dan progesteron dalam tubuh pada wanita dapat menyebabkan beberapa penyakit di antaranya gangguan menstruasi dan akne vulgaris. Terdapat beberapa terapi hormonal yang digunakan sebagai pengobatan gangguan menstruasi, akne vulgaris, dan kontrasepsi di Apotek Roxy Hasyim Ashari. Pemilihan terapi tersebut dapat dilihat berdasarkan mekanisme kerja obatnya. Mekanisme kerja terapi hormonal dapat menjaga keseimbangan hormon estrogen dan progesteron dalam tubuh selama siklus menstruasi sehingga dapat digunakan sebagai pengobatan gangguan menstruasi. Terapi hormonal juga dapat melawan efek androgen pada kelenjar sebaseus sebagai pemicu terjadinya akne vulgaris. Pemakaian kontrasepsi hormonal membuat kadar estrogen dan progesteron dalam peredaran darah tidak mencapai titik puncaknya sehingga menghambat pelepasan hormon FSH dan LH yang pada akhirnya menghambat ovulasi.

Menstruation is bleeding due to the shedding of the endometrial layer that occurs periodically. Menstruation is often associated with the appearance of acne vulgaris. This is supported by the fact that acne vulgaris often occurs due to low estrogen and progesterone hormones during the menstrual cycle. Estrogen and progesterone hormones can also inhibit the conception process because they work as inhibitors of FSH and LSH production. Hormonal therapy is not only used to inhibit the conception process, imbalance of estrogen and progesterone hormones in the body in women can cause several diseases including menstrual disorders and acne vulgaris. There are several hormonal therapies used as treatment for menstrual disorders, acne vulgaris, and contraception at Roxy Hasyim Ashari Pharmacy. The selection of these therapies can be seen based on the mechanism of action of the drug. The mechanism of action of hormonal therapy can maintain the balance of estrogen and progesterone hormones in the body during the menstrual cycle so that it can be used as a treatment for menstrual disorders. Hormonal therapy can also fight the effects of androgens on the sebaceous glands as a trigger for acne vulgaris. The use of hormonal contraceptives makes estrogen and progesterone levels in the blood circulation not reach their peak point, thus inhibiting the release of FSH and LH hormones which ultimately inhibit ovulation.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>