Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 155925 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Alfi Sophian
"Ayam ketawa atau yang dikenal dengan nama manu gaga merupakan salah satu jenis ayam hias yang berasal dari Sidrap (Sidenreng - Rappang), Sulawesi Selatan. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk melihat kekerabatan ayam ketawa tipe dangdut dan slow berdasarkan morfometrik pita suara dan analisis gen IGF-1. Penelitian dilakukan di
Pinrang, Sulawesi Selatan sebagai tempat galur murni ayam gaga, terdiri dari lima daerah yaitu Kanie, Bullo, Macege, Rappang, dan Sidenreng. Sampel terdiri atas sepuluh ekor ayam ketawa tipe dangdut dan sepuluh ekor tipe slow. Data morfometrik pita suara dicatat dan dianalisis secara statistik. Analisis gen IGF-1 dilakukan isolasi
dari darah. Korelasi antara data morfometrik organ pita suara dan variasi ayam ketawa tipe dangdut dan slow dilakukan menggunakan SPSS (versi 22) sedangkan analisis gen IGF-1 menggunakan metode Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) dan High-resolution Melting (HRM). Untuk analisis morfometrik, nilai signifikansi () yang ditetapkan adalah 0,01. Berdasarkan Tabel Tests of Equality of Group Means, nilai Sig. untuk variabel syrinx adalah 0,016 > 0,010. Artinya, panjang syrinx tidak dapat menjelaskan perbedaan tipe ayam. Sedangkan untuk variabel trakea, otot trakea kanan, dan otot trakea kiri, nilai Sig. kurang dari 0,010. Artinya, masing-masing variabel tersebut dapat menjelaskan perbedaan tipe ayam. Sedangkan analisis molekuler menunjukkan bahwa target DNA gen IGF-1 berada pada posisi (632 bp), sedangkan hasil analisis polimorfisme menggunakan PCR-RFLP dan HRM diperoleh hasil bahwa
ayam ketawa tipe dangdut dan slow merupakan homozigot. Hasil konfirmasi dengan menggunakan sekuensing diketahuai bahwa ayam ketawa tipe dangdut dan slow memiliki kekerabatan yang dekat.

Gaga chicken, well-known as manu gaga is one type of ornamental chicken
originating from Sidrap (Sidenreng - Rappang), South Sulawesi. The purpose of this study was to examine the relationship of dangdut and slow type gaga chicken based on morphometric vocal cords and IGF-1 gene analysis. The study was conducted in
Pinrang, South Sulawesi as a pure strain of chicken gaga, consisting of five regions,
namely Kanie, Bullo, Macege, Rappang and Sidenreng. The sample consisted of ten
dangdut-type and ten slow-type. Morphometric data on vocal cords were recorded and analyzed statistically, while IGF-1 gene analysis was isolated from blood. The correlation between morphometric data of vocal cords and variations of dangdut and slow type of gaga chicken was done using SPSS (version 22) while IGF-1 gene analysis used Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) and High-resolution Melting(HRM) methods. For morphometric analysis, the significance value (α) set is 0.01. Based on the Tests of Equality of Group Means Table, the Sig. for the syrinx variable is 0.016> 0.010. That is, the length of the syrinx cannot explain the difference in the type of chicken. As for the trachea, right tracheal muscle, and left tracheal muscle, the Sig.
less than 0.010. That is, each of these variables can explain the different types of chickens. While molecular analysis shows that the IGF-1 genes DNA target is in
position (632bp), while the results of the polymorphism analysis use PCR-RFLP and
HRM obtained results that the gaga chicken type of dangdut and slow is homozygous.
Confirmation results using sequenshing are known that the laughing type of dangdut
and slow has a close relationship.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Pipih Suningsih Effendi
"Ayam ketawa yang juga disebut ayam gaga adalah salah satu ayam hias lokal yang berasal dari Sidrap Sidenreng - Rappang , Sulawesi Selatan. Ayam ketawa memiliki lagu berkokok unik, seperti manusia tertawa. Ayam ketawa yang memiliki pendek dan lambat lagu berkokok bernama tipe lambat, sementara memiliki panjang dan cepat lagu berkokok disebut tipe dangdut. Penelitian dilakukan di dua lokasi yaitu Sidrap, Sulawesi Selatan sebagai tempat galur murni ayam ketawa, terdiri atas lima daerah yaitu Kanie, Bullo, Macege, Rappang, dan Sidenreng. Lokasi kedua yaitu Kebayoran Lama, Jakarta sebagai daerah distribusi ayam ketawa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki sumberdaya genetik ayam ketawa berdasarkan berat badan, bioakustik, dan panjang tulang leher. Dua puluh satu sampel tipe lambat dan delapan sampel tipe dangdut dikumpulkan masing-masing berdasarkan lokasi penyebarannya. Suara kokok data bioakustik tercatat dan dianalisis dengan Cool Edit Pro 2 software Portable. Korelasi antara data bioakustik dan panjang tulang leher atau berat badan dilakukan menggunakan SPSS versi 22 . Menurut uji korelasi Pearson, ada korelasi positif r = 0,7 antara berat badan dan durasi kokok ayam tipe dangdut dari peternakan Sidrap. Korelasi tertinggi sebesar r = 0,9 diperoleh ayam ketawa tipe lambat dari peternakan Jakarta antara panjang tulang leher dan durasi kokok. Rataan durasi suara kokok ayam ketawa tertinggi dihasilkan oleh ayam ketawa tipe dangdut yaitu sebesar 3,89 0,08 berasal dari peternakan Sidrap. Distribusi situs polimorfik sekuens, Cytochrome c Oxidase Subunit-I COI mitokondria yang dihasilkan dari penelitian ini, yaitu pada urutan basa 701?800 sebesar 50 . Hasil rekonstruksi topologi pohon filogenetik menunjukkan bahwa ayam ketawa Bullo dari peternakan Sidrap masih kerabat dekat dengan ayam ketawa di peternakan Kebayoran Lama, Jakarta dengan nilai bootstrap 89,7 . Nilai boostrap tertinggi diperoleh sebesar 96 . Nilai boostrap menjadi tolak ukur penentu tingkat kepercayaan pohon filogeni, hal tersebut menunjukkan bahwa ayam ketawa Bullo berkerabat dekat dengan ayam ketawa Sidenreng dari peternakan Sidrap.

Ketawa chicken well known as ldquo ayam ketawa rdquo belongs to local ornamental chickens originating from Sidrap Sidenreng Rappang , South Sulawesi. Ketawa chicken has unique crowing likes human laughing. Ketawa chicken with long and fast crowing is categorized to dangdut type, while the short and slow crowing is categorized to slow type. This study was conducted at two locations. The first one as is located in Sidrap region of South Sulawesi, consists of five areas, namely Kanie, Bullo, Macege, Rappang, and Sidenreng as origin laocation of pure strain of ketawa chicken. The second location is Kebayoran Lama Jakarta where ketawa chicken is raised outside the place of origin. The objective of present study is to investigate the biodiversity of ketawa chicken based on bioacoustics, body weight, and neck bone length. Twenty one samples of slow type and eight samples of dangdut type from different location are collected. The crowing sound bioacoustics data was recorded and analyzed by Cool Edit Pro Portable 2 software. The correlation between bioacoustics either with the neck bone length or with the body weight was analyzed by SPSS version 22 . According to Pearson correlation test, there were positive correlation between body weight and crowing duration of dangdut type of ketawa chicken from Sidrap. The highest correlation was obtained to 0.9 r 0.9 between the neck bone length and the crowing duration for ketawa chicken slow type from Jakarta. The highest noise duration of 3.89 0.08 was resulted from dangdut type from Sidrap. Cytochrome c Oxidase Subunit I mitochondria resulted from this research, was located at 701 800 base pair by 50 . The phylogenetic tree topology reconstruction revealed that ketawa chickens Bullo from Sidrap showed close relation with their counterparts from Kebayoran Lama, Jakarta at bootstrap of 89.7 . The highest boostrap value was 96 that indicates gaga chicken Bullo was closely related to ketawa chickens Sidenreng, Sidrap. Boostrap value is a barometer in determining the level of confidence of phylogeny tree.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2017
T49715
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Zulistiana
"ABSTRAK
Gallus gallus domesticus atau yang dikenal sebagai ayam kampung merupakan hasil domestikasi dari jenis ayam hutan merah Gallus gallus gallus. Kabupaten Bangkalan merupakan salah satu Kabupaten yang terletak di Pulau Madura yang memiliki peternakan ayam ketawa hasil domestifikasi dari Kabupaten Sidrap. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman ayam ketawa dan solusi pemuliaan ayam ketawa untuk mempertahankan sumber daya hayati, oleh karena itu dilakukan penelitian ayam ketawa berdasarkan analisis bioakustik, morfometrik, dan DNA barcoding. Sampel ayam ketawa yang berasal dari Kecamatan Kamal mempunyai rata-rata durasi kokok terpanjang yaitu 6,00 3,0 detik dan rata-rata jumlah suku kata terbanyak berasal dari ayam ketawa Kecamatan Socah yaitu 7,20 5,80. Hasil analisis morfometrik seluruh populasi ayam ketawa di Kabupaten Bangkalan terdapat delapan karakter morfologi yang berbeda signifikan antara populasi ayam ketawa di Kecamatan Kamal dan Kecamatan Burneh yaitu bobot badan, panjang femur, panjang shank, lingkar shank, panjang sayap, tinggi jengger, panjang jari ketiga, dan panjang tulang dada, sedangkan empat karakter morfologi berbeda signifikan antara populasi ayam ketawa di Kecamatan kamal dan Kecamatan Socah yaitu panjang shank, panjang sayap, panjang jari ketiga, dan panjang tulang dada, serta tiga karakter morfologi berbeda signifikan antar individu di Kecamatan Burneh dan Kecamatan Socah yaitu bobot badan, panjang femur, dan lingkar shank. Adanya perbedaan nilai signifikan karakter morfologi antar populasi disebabkan oleh faktor eksternal. Hasil nilai bootstrap tinggi yaitu 1000, sedangkan pada nilai bootstrap terkecil yaitu 382. Jarak genetik sebagai dasar rekonstruksi pohon filogeni yang dihasilkan dari populasi ayam ketawa di Kabupaten Bangkalan yaitu berkisar antara 0,025--1,872. Analisis molekuler melalui teknik DNA Barcoding dengan Gen Cytochrome Oxidase Sub Unit 1 COI dapat digunakan untuk mengidentifikasi spesies ayam ketawa di Kabupaten Bangkalan G. g. domesticus dan persebarannya.

ABSTRACT
Gallus gallus domesticus or known as native chicken became domesticated from wild junglefowls Gallus gallus gallus. Bangkalan District is one of the districts located in Madura Island which has breeding domesticated chicken from Sidrap District. The purpose of this research is to know the diversity of ketawa chicken and ketawa chicken Breeding solution to preserve the biological resources, therefore the research of ketawa chicken ketawa is done based on bioacoustic, morphometric, and DNA barcoding analysis. Ketawa chicken samples from Kamal Subdistrict had the longest duration of crowing length of 6.00 3.0 seconds and the average number of syllables ketawa chicken was mostly from Socah Subdistrict of 7.20 5.80. Result of morphometric analysis of whole population of ketawa chicken in Bangkalan District there are eight morphological characters significantly different between ketawa chicken population in Kamal Subdistrict and Burneh Subdistrict are body weight, femur length, shank length, shank circumference, wing length, height of comb, third finger length, and chest length, where as four morphological characters were significantly different between ketawa chicken population in Kamal Subdistrict and Socah Subdistrict, are shank length, wing length, finger length, and chest length, and three significantly different morphological characters between individuals in Burneh Subdistrict and Socah Subdistrict namely body weight, femur length, and shank circumference. The existence of significant difference of morphological character between population is caused by external factor. The result of high bootstrap value is 1000, while at the smallest bootstrap value is 382. Genetic distance as the basis of phylogenetic tree reconstruction resulting from ketawa chicken population in Bangkalan District is ranged from 0,025 1,872. Molecular analysis through DNA Barcoding technique with Cytochrome Oxidase Sub Unit 1 COI Genes can be used to identify Ketawa chicken species in Bangkalan District G. g. domesticus and their distribution."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2018
T50132
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfi Sophian
"Ayam nisi merupakan salah satu spesies ayam lokal asli Indonesia yang berasar dari Gorontalo. Di daerah Gorontalo sendiri, ayam nisi dikenal dengan istilah “maluo nisi/ maluo diti” yang berarti ayam kecil. Keterbatasan informasi mengenai ayam ini membuat penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan sehingga dapat menjadi salah satu sumber informasi dalam mendukung penelitian mengenai keanekaragaman ayam lokal di Indonesia. Hasil analisis morfometrik menunjukkan bahwa bahwa hubungan sangat erat atau dekat terjadi antara pada lebar paha (0,942) dengan lingkar lutut (0,898) karna terletak pada satu kuadran yang sama, yaitu kuadran 1. Kemudian hubungan dekat juga terjadi pada variabel Panjang tubuh (0,864) dengan lebar dada (0,865). Lalu kedekatan antara variabel panjang paha (0,850) dengan panjang sayap (0,833). Kemudian lingkar paha (0,817) dengan lingkar dada (0,812), lalu hubungan dengan panjang rusuk (0,741) dengan panjang jari ke- 3 (0,668) dan terakhir hubungan kedekatan antara panjang mulut (0,636) dengan panjang leher (0,702). Hasil analisis bioakustik menunjukkan nilai durasi kokok pada sampel yang terdiri dari 30 ayam jantan menunjukkan rata- rata 1,9837 detik, Frekuensi rata-rata sebesar 733,89 Hz dan jumlah suku kata berjumlah 7 suku kata. Hasil analisis jarak genetik menunjukkan bahwa kekerabatan paling dekat dimiliki oleh ayam ketawa dengan ayam kampung (0,0840). Ayam nisi dan ayam ketawa memiliki hubungan kekerabatan yang lebih dekat (2,7258) dibandingan hubungan kekerabatan antara ayam nisi dan ayam kampung. Kedekatan ayam nisi dan ayam ketawa ditunjukkan dengan jarak genetik sebesar (3.5491). Berdasarkant kajian dari tiga masalah tersebut, maka penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi terhadap upaya konservasi dan penelitian untuk mengungkap informasi ayam nisi sehingga studi lanjutan bermunculan untuk mengungkap keberadaan ayam nisi. Studi ini diharapkan dapat menjadi pembuka jalan agar ayam nisi dapat dikenali secara luas dan sebagai upaya untuk melestarikan ayam nisi yang informasi dan keberadaannya sangat sulit untuk ditemukan.

Nisi chicken is one of the native Indonesian native chicken species from Gorontalo. In the Gorontalo area itself, nisi chicken is known as "maluo nisi/maluo diti" which means small chicken. Limited information about this chicken makes this research important to do so that it can be a source of information to support research on the diversity of local chickens in Indonesia. The results of the morphometric analysis show that there is a very close or close relationship between thigh width (0.942) and knee circumference (0.898) because they are located in the same quadrant, namely quadrant 1. Then a close relationship also occurs in the body length variable (0.864) with chest width (0.865). Then the closeness between the variable thigh length (0.850) and wing length (0.833). Then the circumference of the thigh (0.817) and the circumference of the chest (0.812), then the relationship between the length of the ribs (0.741) and the length of the 3rd finger (0.668) and finally the close relationship between the length of the mouth (0.636) and the length of the neck (0.702). The results of the bioacoustic analysis showed that the duration of the crow in the sample consisting of 30 roosters showed an average of 1.9837 seconds, an average frequency of 733.89 Hz and a total of 7 syllables. The results of genetic distance analysis show that the closest kinship is between the laughing chicken and the native chicken (0.0840). Nisi chicken and laughing chicken have a closer kinship (2.7258) than the kinship between nisi chicken and native chicken. The closeness between nisi and laughing chickens is indicated by a genetic distance of (3.5491). Based on the study of these three problems, it is hoped that this research can contribute to conservation and research efforts to uncover information on nisi chickens so that further studies emerge to reveal the existence of nisi chickens. This study is expected to pave the way so that nisi chickens can be widely recognized and as an effort to preserve nisi chickens whose information and whereabouts are very difficult to find."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rafi Ahmad Arkan
"Latar Belakang : Stunting merupakan salah satu manifestasi dari malnutrisi kronis yang ditandai dengan tinggi badan yang lebih rendah dari standar tinggi badan untuk usia individu tersebut. Salah satu faktor penyebab stunting adalah kurangnya asupan nutrisi. Kurangnya asupan nutrisi dapat menyebabkan berkurangnya kadar Hb dan IGF-1. Berkurangnya asupan nutrisi juga dapat mengganggu proses pertumbuhan dan perkembangan gigi yang dapat mempengaruhi watu erupsi gigi. Perlu dilakukan analisis untuk melihat hubungan antara stunting dengan kadar Hb, IGF-1, dan erupsi gigi. Tujuan : Menganalisis hubungan antara kadar Hb, IGF-1, dan erupsi gigi dengan kondisi stunting. Metode : Penelusuran literatur dilakukan dengan menggunakan pedoman Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analysis (PRISMA) pada tiga electronic database, yaitu : PubMed, EBSCO, dan SCOPUS. Kualitas dari literatur dinilai menggunakan QUADAS-2 tool. Hasil : Terdapat 27 artikel yang terpilih berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan. 19 artikel menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kadar Hb dengan stunting, dimana anak dengan kondisi stunting lebih memungkinkan untuk memiliki kadar Hb yang rendah (anemia). 4 artikel menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kadar IGF-1 dengan stunting, dimana anak dengan kondisi stunting memiliki kadar IGF-1 yang lebih rendah dibandingkan dengan anak non-stunting. 3 artikel menyatakan bahwa terdapat hubungan antara stunting dengan erupsi gigi, dimana anak dengan kondisi stunting mengalami keterlambatan erupsi gigi. 1 artikel menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara stunting dengan pertumbuhan dan perkembangan gigi. Kesimpulan : Terdapat korelasi positif antara stunting dengan kadar Hb dan IGF-1. Korelasi antara stunting dengan erupsi gigi belum dapat ditentukan dengan pasti

Background : Stunting is a manifestation of chronic malnutrition which is characterized by a lower height than the individual's age standard. One of the primary cause of stunting is the lack of nutritional intake. Lack of nutritional intake can cause reduced Hb and IGF-1 levels. Lack of nutritional intake can also interfere with the process of growth and development of the teeth which can affect the timing of tooth eruption. An analysis is needed to see the relationship between stunting and levels of Hb, IGF-1, and the timing of tooth eruption. Objective : To analyze the relationship between Hb levels, IGF-1 levels, and the timing of tooth eruption with stunting. Method : Literature research was carried out using the Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analysis (PRISMA) guidelines on three electronic databases, namely: PubMed, EBSCO, and SCOPUS. The quality of the literature was assessed using the QUADAS-2 tool. Results : There are 27 articles that were selected based on predetermined inclusion and exclusion criteria. 19 articles state that there is a relationship between Hb levels and stunting, where stunted children are more likely to have low Hb levels (anemia). 4 article states that there is a relationship between IGF-1 levels and stunting, where stunted children have lower IGF-1 levels compared to non-stunted children. 3 The article states that there is a relationship between stunting and tooth eruption, where stunted children experience delays in tooth eruption. 1 article states that there is no relationship between stunting and dental growth and development Conclusion : There is a positive correlation between stunting and Hb and IGF-1 levels. The correlation between stunting and tooth eruption cannot be determined with certainty."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pasaribu, Merci Monica Br
"ABSTRAK
Stunting merupakan kondisi malnutrisi pada anak yaitu tinggi badan menurut usia lebih dari minus 2 simpang baku. Indonesia menempati urutan kelima di dunia. Stunting berkorelasi dengan asupan makanan terutama protein, IGF-1 dan protein pengikat Insulin like Growth Factor Binding Protein IGFBP-3 , dan Zinc Zn . Kualitas protein dinilai dari profil asam amino bebas plasma Plasma Free Amino Acid = PFAA dan kuantitas dinilai dari jumlah asupan protein harian. Beberapa penelitian menemukan kadar IGF-1 dipengaruhi oleh polimorfisme SNP rs5742612, rs35767 dan rs35766. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran profil PFAA, IGF-1, IGFBP-3, polimorfisme IGF-1, Insulin, dan Zn pada anak.Penelitian ini merupakan studi comparative cross sectional dilakukan di RS Cipto Mangunkusumo, Lembaga Biomolekular Eijkman, dan Labkesda DKI Jakarta. Subjek penelitian adalah anak usia 1 ndash;3 tahun berasal dari UPTD Puskesmas Jatinegara dibagi menjadi 2 kelompok yaitu 101 anak stunted dan 101 anak nonstunted.Pada penelitian ini didapatkan kadar 8 dari 9 AA esensial, 2 AA esensial kondisional, dan 2 AA nonesensial lebih rendah bermakna kelompok stunted dibandingkan nonstunted. Profil PFAA yaitu jumlah anak di bawah nilai rujukan berbeda bermakna antara kelompok stunted dan nonstunted. Terdapat korelasi 8 AA esensial, 1 AA esensial kondisional, dan 2 AA nonesensial dengan tinggi badan anak. Pada kelompok anak stunted, IGF-1, IGFBP-3, insulin, Zn, energi total dan protein lebih rendah bermakna dari kelompok anak nonstunted. Terdapat korelasi bermakna AA esensial dengan IGF-1 dan IGFBP-3. Polimorfisme rs35766 genotipe AG kodominan memiliki pengaruh terhadap kadar IGF-1 pada kelompok nonstunted. Faktor yang memengaruhi kejadian stunting adalah energi atau protein, IGF-1 yang berinteraksi dengan genotipe kodominan AG, IGFBP-3, dan Zn.Simpulan: PFAA, IGF-1 yang berinteraksi dengan SNP rs35766 genotipe kodominan AG, memiliki pengaruh terhadap kejadian stunting. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai pemberian pola makan yang tepat untuk mencegah dan mengatasi anak stunted. Kata kunci: AA esensial, AA nonesensial, IGFBP-3, insulin, PFAA, stunting, Zn

ABSTRACT
Stunting is a malnourished condition in children defined by height for age is under minus 2 standard deviation. Indonesia ranked fifth in world for this condition. Stunting mainly corelates with low protein intakes, IGF-1 and its binding protein Insulin-like Growth Factor Binding Protein/IGFBP-3 , and zinc Zn . Plasma free amino acid profile PFAA measures quality of protein intake, whilst its quantity measured by daily protein intake records. Previous studies found IGF-1 level affected by single nucleotide polymorphism SNP on rs5742612, rs35767 and rs35766. This study aims to analyze the role of PFAA, IGF-1, IGFBP-3, and IGF-1 polymorphism, insulin, and Zn in children.This study is a comparative cross-sectional study held in Cipto Mangunkusumo National General Hospital, Eijkman Institute for Molecular Biology, and Jakarta Provincial Public Health Laboratory. Subjects were children age 1 ndash;3 years old from Jatinegara Region Public Health Centre divided into two groups of 101 stunted children and 101 non-stunted children.Eight essential AA levels, 2 conditional essential AAs, 2 nonessential AAs were significantly lower in stunted groups than non-stunted. There was significant difference of profile PFAA below normal range between stunted and non-stunted group. Eight essential amino acids, 1 conditional essential amino acid, and 2 non-essential amino acid correlate with children rsquo;s height. IGF-1, IGFBP-3, insulin, Zn, total energy, and protein were significantly lower in stunted children compare to non-stunted children. Significant correlations found for all essential amino acids with IGF-1 and IGFBP-3. The rs35766 AG codominant polymorphism affects IGF-1 level in non-stunted group. Factors affects stunting condition were total energy or protein intake, IGF-1 that interacts with AG codominant genotype, IGFBP-3, and Zn.Conclusion: PFAA and IGF-1 that interacts with SNP rs35766 AG codominant genotype affect stunting. Further study needed to determine appropriate dietary habit for stunting prevention and treatsment. Keywords: Essential amino acid, IGFBP-3, insulin, non-essential amino acid, plasma free amino acid profile, stunting, zinc"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ghassani Shyfa Febrianti
"Latar Belakang: Kejadian stunting di Indonesia masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan standar yang ditetapkan oleh World Health Organization (WHO). Menurut beberapa penelitian terdahulu, stunting dapat menyebabkan kelainan email dan keterlambatan erupsi gigi permanen. Telah dilaporkan adanya hubungan antara status gizi stunting dengan penurunan kadar IGF-1, serta hubungan antara kadar IGF-1 dengan pertumbuhan gigi terkait dengan perkembangan email dan erupsi gigi. Pengukuran kadar IGF-1 biasanya dilakukan dengan menggunakan IGF-1 darah. Diketahui bahwa saliva mengandung biomarker yang terkandung di dalam darah, termasuk IGF-1, dalam kuantitas yang lebih rendah. Tujuan: Menganalisis hubungan antara kadar IGF-1 saliva dengan kelainan email dan waktu erupsi gigi pada anak stunting usia 6-8 tahun. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasi laboratorium dengan menggunakan 40 sampel saliva yang diambil dari sediaan biologis tersimpan dari penelitian tahun 2019 pada populasi siswa/i sekolah dasar (SD) kelas 1-2 Kecamatan Nangapanda, Ende, Nusa Tenggara Timur yang telah dikelompokkan berdasarkan status gizi stunting dan normal. Sampel saliva diuji menggunakan ELISA kit human IGF-1 untuk melihat kadar IGF-1. Kelainan email dinilai dengan cara menghitung jumlah gigi yang mengalami kelainan pada mahkota serta waktu erupsi gigi dinilai dengan menghitung jumlah gigi permanen yang telah erupsi. Data kemudian dianalisis dengan menggunakan program SPSS. Hasil: Kadar IGF-1 saliva pada anak status gizi normal 7,50 ng/ml dan pada anak stunting 5,64 ng/ml. Proporsi IGF-1 terhadap total protein pada anak status gizi normal 1,04×10-2 dan pada anak stunting 8,96×10-3. Rata-rata jumlah gigi yang mengalami kelainan mahkota pada anak berstatus gizi normal 2,94 gigi dan pada anak dengan status gizi stunting 1,17 gigi. Terdapat perbedaan yang signifikan pada jumlah gigi dengan kelainan mahkota antara anak bestatus gizi normal dan stunting (p < 0,05). Rata-rata jumlah erupsi gigi permanen pada anak berstatus gizi normal 8,29 gigi dan pada anak stunting adalah 8,04 gigi. Tidak terdapat perbedaan signifikan jumlah erupsi gigi permanen antara anak berstatus gizi normal dan berstatus stunting (p > 0,05). Terdapat korelasi positif lemah yang tidak signifikan antara kadar IGF-1 dengan status gizi anak usia 6-8 tahun (r = 0,147), korelasi positif lemah yang tidak signifikan antara kadar IGF-1 dengan jumlah kelainan mahkota gigi anak usia 6-8 tahun (r = 0,219), terdapat korelasi positif lemah yang tidak signifikan antar kadar IGF-1 dengan jumlah erupsi gigi permanen anak usia 6-8 tahun (r = 0,074). Kesimpulan: Pada anak stunting usia 6-8 tahun yang secara tidak signifikan memiliki kadar IGF-1 saliva lebih rendah dan waktu erupsi lebih lambat dibandingkan anak normal tetapi erlihat frekuensi kelainan email yang lebih tinggi. Pada kelompok sampel demikian, tidak terlihat hubungan antara kadar IGF-1 saliva dengan kelainan email dan keterlambatan waktu erupsi gigi permanen.

Background: The incidence of stunting in Indonesia is still relatively high when compared to the standards set by the World Health Organization (WHO). According to several previous studies, stunting can cause enamel defects and delayed tooth eruption. It has been reported that there is a relationship between stunting nutritional status and decreased IGF-1 levels, as well as a relationship between IGF-1 levels to enamel development and tooth eruption. Measurement of IGF-1 levels is usually done using serum IGF-1. Saliva contains biomarkers that is circulating in the blood, including IGF-1, but in much lower quantities. Objective: Analyzing the relationship between IGF-1 levels in saliva with enamel defects and the time of tooth eruption in stunted children aged 6-8 years. Method: This research was a laboratory observation study using 40 saliva samples taken from stored biological samples from a 2019 study on a population of elementary school students class 1-2 Nangapanda District, Ende, East Nusa Tenggara which has been grouped based on stunting and normal nutritional status. Saliva samples were tested using the human IGF-1 ELISA kit to see the levels of IGF-1. Enamel defects were assessed by counting the number of teeth with crown defects and the time of tooth eruption was assessed by counting the number of erupted permanent teeth. The data were then analyzed using the SPSS software. Result: Salivary IGF-1 levels in children with normal nutritional status were 7.50 ng/ml and 5.64 ng/ml in stunted children. The proportion of IGF-1 to total protein in children with normal nutritional status was 1.04×10-2 and in stunted children was 8.96×10-3. The average number of teeth with crown defects in children with normal nutritional status was 2.94 teeth and in stuntedchildren was 1.17 teeth. There was a significant difference in the number of teeth with crown defects between normal and stunted children (p < 0.05). The average number of permanent tooth eruptions in children with normal nutritional status was 8.29 teeth and in stunted children was 8.04 teeth. There was no significant difference in the number of permanent tooth eruptions in children with normal nutritional status and stunting (p > 0.05). There was a weak positive correlation that was not significant between IGF-1 levels and the nutritional status of children aged 6-8 years (r = 0.147), a weak positive correlation that was not significant between IGF-1 levels and the number of dental crown defects (r = 0.219), and a correlation between IGF-1 levels and the number of permanent teeth eruption (r = 0.074). Conclusion: Stunted children aged 6-8 years old tend to show not significant lower IGF-1 level and delayed tooth eruption compared to normal children but had significant lower frequency of enamel defect. In such samples no significant relationship between salivary IGF-1 level and tooth eruption time could be seen."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mahriani Sylvawani
"ABSTRAK
Latar Belakang: Penderita Diabetes Melitus (DM) mengalami peningkatan resiko fraktur akibat penurunan kualitas dan kekuatan tulang. Bone Mineral Densitometry tidak dapat menggambarkan fragilitas tulang pada pasien DM tipe 2 (DMT2) karena menunjukkan hasil yang normal atau meningkat. Penelitian sebelumnya menunjukkan terdapat penurunan penanda formasi tulang (P1NP) pada perempuan pramenopause dengan DMT2 dibandingkan dengan bukan DM. IGF-1 dan sclerostin adalah faktor yang mempengaruhi diferensiasi dan maturasi osteoblast dalam formasi tulang dan saat ini belum diketahui profilnya pada perempuan pramenopause dengan DM. Tujuan: Untuk mengetahui dan membandingkan kadar IGF-1 serum dan sclerostin serum perempuan pramenopause dengan DMT2 dan bukan DM. Metode: Studi potong lintang, dilakukan pada Agustus 2018 dan melibatkan 80 perempuan pramenopause yang terdiri dari 40 subjek DMT2 dan 40 bukan DM. Pemeriksaan IGF-1 serum dan Sclerostin serum dilakukan dengan metode enzymelinked immunosorbent assay (ELISA). Hasil penelitian: Median (rentang interkuartal) kadar IGF-1 serum pada pasien DMT2 lebih rendah tidak bermakna dibandingkan dengan kelompok bukan DM (40,6 (11-110) ng/ml vs 42,75 (10-65) ng/ml, p=0.900). Rerata kadar sclerostin serum pada kelompok DMT2 lebih tinggi bermakna dibandingkan kelompok bukan DM (132.05 (SB 41.54) ng/ml vs. 96.03 ng/ml (SB 43.66) (p<0.001). Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan kadar IGF-1 serum antara perempuan pramenopause DMT2 dan bukan DM. Terdapat perbedaan bermakna sclerostin serum antara perempuan pramenopause dengan DMT2 dan bukan DM.

ABSTRACT
Background: Diabetes mellitus (DM) patients are at increased risk for fracture due to the decrease in bone quality and strength. Bone Mineral Densitometry (BMD) measurement in T2DM cannot depict bone fragility (T2DM) because they are shown to be normal or increased results. Previous studies have shown a decrease in markers of bone formation (P1NP) in premenopausal women with T2DM compered non-DM. IGF-1 and sclerostin are factors that influence the differentiation and maturation of osteoblasts in bone formation and their profiles are not currently known in patients with premenopausal women with diabetes. Objective: To determine and compare serum IGF-1 and serum sclerostin levels between premenopausal women T2DM and non-DM. Method: A cross-sectional study was conducted in August 2018 and involved 80 premenopausal women consisting of 40 DMT2 and 40 non-DM subjects. Serum IGF-1 and serum sclerostin were examined using an enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) method. Results: Median (interquarter range) serum IGF-1 in T2DM is 40.6 ng/ml (11-110 ng/ml) vs. 42.75 ng/ml (10-65 ng/ml) in non-DM (p=0.900). Mean serum sclerostin level in T2DM is 132.05 ng/ml (SB 41.54 ng/ml) vs. 96.03 ng/ml (SB 43.66 ng/ml) in not DM (p<0.001). Conclusion: There was no difference in serum IGF-1 levels between premenopausal women with T2DM and non-DM. There were significant differences in serum sclerostin between premenopausal women with T2DM and non-DM."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58642
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Made Sarastri Widyani
"Latar Belakang: IGF-1 adalah growth factor yang sangat poten bukan hanya untuk pertumbuhan somatik tetapi juga pada sistem saraf pusat. Sekitar 70% IGF-1 di sirkulasi diproduksi di hati dan disekresikan ke aliran darah menuju organ target. IGF-1 memiliki peran penting dalam neurogenesis dewasa. Proses penuaan diasosiasikan dengan penurunan konsentrasi IGF-1. Kekurangan IGF-1 diasosiasikan dengan gangguan kognitif, penyakit Alzheimer, osteoporosis dan diabetes. Literatur terkini menunjukkan olahraga aerobik meningkatkan serum IGF-1, Environmental Enrichment (EE) juga meningkatkan neuron positif IGF-1. Namun, efek kombinasi kedua perlakuan ini belum banyak diobservasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati efek olahraga aerobik dan EE secara kontinu pada IGF-1 di hati dan plasma.
Metode: Penelitian ini merupakan studi data sekunder berdasarkan data yang diambil pada eksperimen in-vivo dengan tikus sebagai hewan uji. Dua puluh empat tikus wistar jantan umur tujuh bulan dibagi secara acak ke empat grup, Kontrol, Aerobik, EE dan Kombinasi. Perlakuan dilakukan selama 8 minggu. Setiap kelompok diuji kadar IGF-1 pada awal dan akhir eksperimen untuk plasma dan pada akhir eksperimen untuk hati. Pengujian IGF-1 menggunakan ELISA dengan kit Qayeebio (QY-E10935). Analisis data menggunakan one-way ANOVA untuk plasma dan Kruskall-Wallis untuk hati dengan program SPSS20.
Hasil: Hasil uji IGF-1 plasma tidak menunjukkan perbedaan signifikan antar perlakuan (p=0.17) sementara hasil uji IGF-1 hati menunjukkan perbedaan signifikan antara perlakuan Aerobik dengan EE (p=0.006) dan antara perlakuan Aerobik dengan Kombinasi (p=0.042).
Kesimpulan: Studi analisis data menggunakan 24 sampel tidak menunjukan peningkatan IGF-1 yang signifikan secara statistik di tikus dengan perlakuan kombinasi olahraga aerobik dan EE secara kontinu baik di plasma maupun di hati. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh banyaknya interaksi IGF-1 dengan growth factors lain dan posibilitas bahwa IGF-1 bukan fator tunggal yang mempengaruhi dampak olahraga aerobik dan EE.

Introduction: IGF-1 is a potent growth factor not only for bodily growth but also in central nervous system. Around 70% of total circulating IGF-1 is produced in the liver, it is also secreted into the bloodstream to reach target tissue. IGF-1 has a vital role in adult neurogenesis. Normal aging is associated with reduced IGF-1 concenctration. IGF-1 deficiency is associated with cognitive impairment, Alzheimer’s disease, osteoporosis and diabetes. Recent literatures suggest aerobic exercise increases serum IGF-1, Environmental Enrichment (EE) also increases IGF-1 positive neurons. However, the effect of combination of these treatments to plasma and liver IGF-1 has not been observed. This study aims to examine the effect of aerobic exercise and continuous EE on plasma and liver IGF-1.
Method: This study is a secondary data research based on the data acquired in an experiment classified as in vivo experimental research using rats as subjects. Twenty-four 7-month-old month male Wistar rats are randomly divided into four groups which are Control, Aerobic Exercise, Environmental Enrichment and Combination group. The duration of experiment is 8 weeks. Every group has its plasma IGF-1 measured before and after the experiment and after the experiment for liver IGF- 1. IGF-1 plasma and liver levels are analyzed using ELISA method with Qayeebio (QYE10935) kit. The data is analyzed using one-way ANOVA for the plasma and Kruskall- Wallis for the liver using SPSS20 software.
Results: There’s no significant statistical difference between groups in plasma IGF-1 (p=0.17) meanwhile there’s statistically significant difference between Aerobic and EE groups (p=0.006) and between Aerobic and Combination groups (p=0.042).
Conclusion: Study data analysis using 24 samples did not show statistically significant increase of IGF-1 levels in rats treated with combination of aerobic exercise and continuous environmental enrichment both in plasma and liver. This may suggest the versatility and multiple interaction of IGF-1 and other growth factors and indicating that IGF-1 is not the sole growth factors/ substance mediating the effect of aerobic exercise and environmental enrichment.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>