Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 208620 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Songga Aurora Abadi
"Tesis ini membahas tentang Mekanisme Penetapan Ambang Batas (Threshold) Terhadap Stabilitas Sistem Presidensial dan Sistem Multipartai Sederhana di Indonesia, dengan tujuan untuk mengetahui secara kongkrit syarat-syarat penting terwujudnya pemerintahan presidensial yang efektif, melalui substansi kebijakan penetapan ambang batas yang berlaku di Indonesia, dan implikasi penetapan ambang batas terhadap stabilitas sistem presidensial dan sistem multipartai Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, melalui studi kepustakaan, dengan tipologi penelitian preskriptif yaitu melakukan pendekatan secara intensif, mendalam dan mendetail serta komprehensif untuk menggali secara mendalam mengenai masalah penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sepanjang pemilihan umum di era reformasi, diberlakukan berbagai aturan seputar ambang batas dalam rangka mewujudkan multipartai sederhana dan stabilitas presidensial, aturan tersebut berupa syarat pendirian partai politik, syarat partai politik mengikuti pemilihan umum, ambang batas perolehan suara untuk dapat mengikuti pemilihan umum berikutnya (electoral threshold), ambang batas perolehan suara partai politik untuk duduk di parlemen (parliamentary threshold), ambang batas pembentukan fraksi (fractional threshold), ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). Kebijakan penetapan ambang batas berakibat hukum: 1)Partai Politik tidak diakui sebagai badan hukum; 2) Partai Politik tidak dapat menjadi peserta pemilu; 3)Partai Politik tidak dapat memperoleh kursi di DPR. Meskipun syarat pendirian partai, pendaftaran partai sebagai badan hukum, serta syarat partai untuk mengikuti pemilu telah efektif menurunkan jumlah partai politik, namun penetapan ambang batas electoral threshold telah gagal dalam praktik disebabkan oleh jumlah partai melakukan fusi terbilang rendah dan kebijakan parliamentary threshold yang tiap tahun semakin tinggi, namun jumlah partai politik di parlemen masih berada pada kondisi multipartai ekstrim.

This thesis discusses the Threshold Mechanism for the Stability of the Presidential System and the Simple Multiparty System in Indonesia, with the aim of knowing concretely the essential conditions for the realization of an effective presidential government, through the substance of the policy setting limits in force in Indonesia, and the implications of setting thresholds on the stability of Indonesias presidential and multiparty systems. This research was conducted using normative legal research methods, through library research, with prescriptive research typologies that are conducting intensive, in-depth and detailed and comprehensive approaches to explore deeply about research issues. The results showed that during the general election in the reform era, various rules around thresholds were imposed in order to realize simple multiparty and presidential stability, the rules were in the form of the requirements for the establishment of political parties, the requirements for political parties to participate in general elections, the threshold for votes to be able to participate in general elections next (electoral threshold), the threshold of the vote acquisition of political parties to sit in parliament (parliamentary threshold), the threshold for fraction formation (fractional threshold), the threshold for presidential nomination (presidential threshold). The policy to determine the threshold has legal consequences: 1) Political parties are not recognized as legal entities; 2) Political parties cannot participate in the election; 3) Political Parties cannot obtain seats in the DPR. Although the requirements for party establishment, party registration as a legal entity, and party requirements for participating in elections have effectively reduced the number of political parties, the electoral threshold has failed in practice because the number of parties fused is relatively low and the parliamentary threshold policy is getting worse every year high, but the number of political parties in parliament is still in extreme multiparty conditions.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T55255
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitra Arsil
"THE result of the general elections demonstrates that multi-political parties in Indonesia has produced a highly fragmented parliament, poor composition in the parliameut to supporting the executive (minority presMent) and coalition formations prone to change. This situation is parallel with the unstable scenario of the presidential system getting the government trapped in a situation of divided governme!Jf.
The result of the simultaneous general elections is expected to produce a size of composition in the parliament which is parallel with the political composition in the executive, in order for the executive to pe1j'orm government effectively. Nevertheless, the peJ.formance of the simultaneous general elections combined with a mqjority run off of the preside11tial election system belies matters wljich can be a threat to the successful achievement of the objective of the simultaneous general elections. Such condition will lead the political parties into general elections by having their respective candidate presidents, because they deem the winner of the presidential election will not be achieved at tliefirst round.
The political parties use the first round to achieve a 'coattail ~!feet' which they expect would enlarge their chance to place as many as possible representatives in the parliament. If that does nOt happen, there is the possibility that a highly ji·agmellfed parliament will be fanned, resulting in the absence of a majority power, and enlarging the potential to having a minority president. The threshold of presidential candidacy is an effective measured way to overcome that problem. A limited number of presidential candidates can be assured through a threshold of presidential candidacy, We may expect the . benefits of the simultaneous general elections in a constellation of limited nuniber of presidential candidates.
"
2017
MK-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fitra Arsil
"HASIL-hasil pemilihan umum memperlihatkan bahwa multipartai di Indonesia telah menghasilkan parlemen yang terfragmentasi tinggi, komposisi dukungan eksekutif yang lemah di parlemen (minority president) dan bentukan koalisi yang rentan perubahan. Situasi ini sejajar dengan skenario instabilitas sistem presidensial yang membuat pemerintahan terjebak dalam situasi divided government. Hasil pemilu serentak diharapkan menghasilkan ukuran komposisi parlemen yang sejajar dengan komposisi politik di eksekutif, sehingga dapat lebih efektif menjalankan pemerintahan. Namun, pelaksanaan pemilu serentak digabungkan dengan sistem pemilihan presiden dua putaran (majority run off) menyimpan masalah yang dapat menjadi ancaman gagalnya pencapaian tujuan pemilu serentak. Hal demikian akan membuat partai-partai politik masuk ke pemilihan umum dengan memiliki calon presidennya masing-masing karena menganggap pemenang pemilihan presiden tidak akan didapat di putaran pertama. Putaran pertama digunakan oleh partai-partai untuk mendapatkan coattail effect yang diharapkan memperbesar peluang partai politik untuk dapat mendudukkan sebanyak mungkin wakilnya di parlemen. Jika hal itu yang terjadi, kemungkinannya adalah terbentuk parlemen yang terfragmentasi tinggi, tidak ada kekuatan mayoritas dan memperbesar potensi terjadinya minority president. Ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) merupakan jalan yang efektif dapat terukur untuk mengatasi masalah tersebut. Melalui presidential threshold dipastikan calon presiden akan terbatas jumlahnya. Dalam kondisi calon presiden terbatas diharapkan kebaikan-kebaikan pemilu serentak dapat dinikmati"
Jakarta: Lembaga Pangkajian MPR RI, 2017
342 JKTN 005 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Marpaung, Christian Marides
"ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya produk UU Pemilu yang dihasilkan oleh DPR RI dan pemerintah. Sebagai landasan hukum Pemilu tahun 2014 DPR-RI telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu yang merupakan perubahan terhadap UU No.10 Tahun 2008 menjadi UU No. 8 Tahun 2012.
Ada empat isu krusial yang muncul dalam pembahasan UU Pemilu ini yaitu:
Pertama, Besaran daerah pemilihan, mengingat beberapa partai politik ingin memperkecil angkanya;
Kedua, formula alokasi kursi partai politik;
Ketiga, formula penetapan calon terpilih;
Keempat, ambang batas perwakilan atau Parliamentary Threshold (PT).
Setelah melewati proses argumentasi dalam rapat-rapat yang diadakan oleh Tim Pansus UU Pemilu, fraksi-fraksi belum menemukan titik temu kesepakatan tentang empat poin krusial pada RUU Undang-undang No. 10 Tahun 2008. Akhirnya proses pengesahan dilakukan melalui voting sesuai dengan mekanisme pengambilan keputusan di DPR-RI. Melalui proses voting dalam Rapat Paripurna, DPR RI akhirnya menyepakati empat poin krusial dalam Undang-undang No. 8 Tahun 2012 salah satunya adalah peningkatan angka Ambang Batas Parlemen PT (Parliementary Threshold) dari 2,5 % menjadi 3,5 % yang berlaku secara nasional. Khusus untuk kenaikan Ambang batas parlemen, voting dilakukan setelah sebelumnya terjadi loby antar fraksi-fraksi setelah sebelumnya terjadi perbedaan konfigurasi prosentasi kenaikan angka Ambang batas parelemen ini dari 2,5 % - 5%.
Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mencari jawaban mengapa terjadi kenaikan terhadap ambang batas parlemen dan juga ingin mengetahui dan menganalisa kebijakan PT (Parliamentary Threshold) sebagai bagian dari sistem pemilu. Sebagai pijakan teoritis, penelitian ini menggunakan teori partai politik Alan Ware, teori pemilu Arendt Lijphart, teori parlementarian Arend Lijphart dan teori analisa kebijakan publik William N.Dun. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, sedangkan teknik analisis data menggunakan deskriptif analitis. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data-data administratif dan wawancara mendalam dengan pihakpihak yang terkait. Temuan dilapangan menunjukkan bahwa proses formulasi kebijakan ini masih mencerminkan proses demokrasi yang semu dan pragmatisme fraksi-fraksi dari partai politik yang ada di parlemen. Kenaikan PT harusnya dilakukan melalui proses pengkajian akademis secara mendalam dengan melibatkan para pihak yang kompeten dan lebih visioner sehingga proses demokrasi di Indonesia terus berjalan ke arah yang lebih baik.

ABSTRACT
This research is motivated by the Election Law products that produced by the House of Representatives and the government. As the legal basis for election in 2014 the House of Representatives has passed the Bill which is an amendment to the Electoral Act No.
10 of 2008 into Act No. 8 Year of 2012.
There are four crucial issues that emerged in the discussion of the election law :
First, the magnitude of electoral districts, remember some political parties want to reduce the numbers;
Second, political party seat allocation formula;
Third, the formula determining the candidate elected;
Fourth, the threshold representation or Parliamentary Threshold (PT). After passing the arguments in meetings held by the Special Committee of the Election Law, the factions have not found common ground on a four-point agreement on the crucial Bill Law No. 10 of 2008.
Finally the ratification process through voting conducted in accordance with the decision-making mechanism in the House of Representatives. Through the process of voting in the plenary session, the House of Representatives finally agreed on four crucial points in the Law No. 8 In 2012, one of which is the increasing number of Parliamentary Threshold PT (Parliamentary Threshold) from 2.5% to 3.5% which applies nationally. Specifically to increase the parliamentary threshold, after the voting is done before going on lobbying between the factions after previously occurred configuration differences percentage rise in the parelemen threshold of 2.5% - 5%.
This study was therefore conducted to seek answers as to why there is an increase of the threshold of parliament and also wanted to know and analyze the policy PT (Parliamentary Threshold) as part of the electoral system. As a theoretical foundation, this study uses the theory of Alan Ware political parties, election theory Arendt Lijphart, Arend Lijphart parlementarian theory and the theory of public policy analysis William N.Dun. This study used qualitative methods, while data analysis using descriptive analysis. Data was collected by collecting administrative data and in-depth interviews with relevant parties. Field findings indicate that the process of policy formulation is still reflecting the democratic process and the apparent pragmatism fractions of political parties in the parliament. The increase in PT should be done through a process of academic study in depth with the parties involved is more visionary and competent so that the democratic process in Indonesia continued to walk towards the better.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T35619
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Sejak reformasi 1998,Indonesia kembali menggunakan sistem multipartai, walaupun begitu dalam sistem pemerintahan tetap mempertahankan sistem Presidensial."
902 JPSNT 21(1-2) 2014
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dony Syali Saputra
"Penelitian ini menjelaskan bagaimana proses pembahasan kebijakan subsidi BBM dalam RUU APBNP 2015 yang dilakukan pada saat DPR dikuasai oleh kelompok di luar koalisi presiden, tidak mengalami kebuntuan politik yang berujung pada disfungsi pemerintahan. Berpijak pada pendekatan koalisi presidensial sebagai dasar argumennya, penelitian ini mengeksplorasi kerangka kerja kelembagaan baik formal maupun informal yang mengatur relasi presiden dan DPR dengan berpusat pada Presiden Widodo sebagai aktor utama. Temuan penelitian menunjukkan ada dua faktor utama yang menyebabkan pembahasan kebijakan subsidi BBM dalam RUU APBNP 2015 tidak mengalami kebuntuan politik. Pertama, unsur-unsur institusional baik formal maupun informal yang mengatur relasi presiden dan DPR dalam proses politik anggaran di Indonesia menyebabkan integrasi eksekutif-legislatif yang mendorong Presiden Widodo dan elit-elit partai politik untuk bersikap akomodatif dan mengutamakan musyawarah mufakat. Kedua, perilaku akomodatif dan musyawarah mufakat difasilitasi oleh tersedianya alat kekuasaan eksekutif yang dapat digunakan Presiden Widodo untuk membangun dukungan politik di DPR terkait dengan: mendisiplinkan fraksi-fraksi dalam koalisi presiden untuk satu suara dengan pemerintah; serta melakukan kompromi dengan fraksi-fraksi di luar koalisi presiden.

This research explained about budgeting process of fuel subsidy policy on RUU APBNP 2015, which is done by president and DPR while they controlled by groups outside the president coalition. Even though, this situation didn't made a political impasse which is can create a government dysfunction. Based on presidential coalitional approach as foundation to build its argument, this research explored the institutional framework either formal or informal that set the relation between president and DPR which centered to President Widodo as main actor. The findings of the study indicate that there are two main factors that causing the discussion of fuel subsidy policy in RUU APBNP 2015 doesn't have political deadlock. First, institutional elements either formal or informal which govern the relation between president and DPR on budgetting process in Indonesia causes executive legislative integration, thus encouraging President Widodo and elites of political parties to be accomodative and consensual in their behavior. Second, accomodative and consensus behavior has been facilitated with the executive toolbox. In this case, can be use by the President Widodo to build political support in DPR, which are diciplining parties within his coalition and build cooperation with parties from outside his coalition.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Niko Prasetya
"Tesis ini membahas mengenai Mewujudkan Pemerintahan Presidensiil Efektif Dikaitkan Dengan Sistem Multipartai Di Indonesia, Sistem presidensial yang dimurnikan dalam perubahan UUD 1945 dipraktekkan di tengah kondisi nyata sistem multipartai dalam komposisi politik di DPR. Kondisi ini yang menyebabkan pemerintahan Presiden Yudhoyono dalam kerangka sistem presidesial tidak berjalan dengan efektif sesuai dengan karakteristik sistem presidensial dalam konsepsi umum walaupun koalisi antarpartai di DPR sudah digalang secara signifikan oleh Presiden Yudhoyono untuk mendukung pemerintahannya. Indikasi ketidakefektifan sistem presidensial dalam pemerintahan Presiden Yudhoyono tersebut dapat dilihat dari tiga point, sebagai berikut. Tereduksinya hak prerogatif, Terhambatnya proses legislasi, terhambatnya kebijakan non-legislasi.
Penelitian ini adalah penelitian Kualitatif dengan desain Preskriptif, yaitu memberikan solusi/gagasan berdasarkan teori hukum, dimana suatu masalah dapat menjadi suatu gagasan. Hasil penelitian menyarankan Pertama, presiden harus memiliki legitimasi politik yang tinggi, karena dipilih melalui pemilihan umum, tidak hanya berdasarkan mayoritas suara, tetapi juga sebaran dukungan daerah, Kedua, keterlibatan penuh presiden dalam setiap pembahasan RUU yang menyangkut anggaran dan non anggaran. Ketiga,dengan adanya dukungan mayoritas dari anggota DPR, Keempat, Kepemimpinan politik dan administrasi, Kelima, Pejabat politik yang ditunjuk dalam jumlah yang memadai dan yang keenam yaitu, hadirnya Partai oposisi yang efektif.dan yang terakhir yaitu Pelembagaan kalender penyelenggaraan berbagai jenis pemilu merupakan desain sistem pemilu yang paling strategis untuk mewujudkan pemerintahan presidensiil yang efektif tersebut.

This thesis discusses Making Effective the Presidential government associated With a multiparty system in Indonesia, which was purified presidential system in the 1945 change was practiced in the real conditions of a multiparty system in the political composition of Parliament. This condition causes the government of President Yudhoyono in the framework presidential system is not operating effectively in accordance with the characteristics of a presidential system in general, although the conception of inter-party coalition in the Parliament have raised significantly by President Yudhoyono to support his government. Indication of the ineffectiveness of the presidential system in the government of President Yudhoyono can be seen from three points, as follows. reduced prerogative, inhibition of the legislative process, inhibition of non-legislative policy.
The study was a qualitative research design with prescriptive, that provide solutions / ideas based on theories of law, where a problem may be an idea. The results suggest first, the president must have a high political legitimacy, as chosen through elections, not only by a majority vote, but also the distribution of regional support, Second, the full involvement of the president in any discussion concerning the draft budget and non budget. Third, with the support of a majority of the members of the Parliament, Fourth, political and administrative leadership, Fifth, political officials appointed in sufficient number and a sixth, namely, the presence of opposition parties that last effective.and the Institutionalization of the election calendar is organizing various kinds of design the most strategic electoral system to make effective the presidential government.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T32150
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dadang Prayitna
"Indonesia yang menganut sistem multi partai merupakan konsekuensi logis dari banyaknya partai yang tumbuh di Indonesia. Pada era reformasi diterbitkannya UU Nomor 2 Tahun 1999 sebagaimamana telah diubah dengan UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yang memberikan kebebasan rakyat mendirikan partai politik. Hal ini membuat partai politik tumbuh bagaikan jamur. Keberadaan partai politik dalam jumlah besar inl banyak kalangan mengkawatirkan berakibat pada ketidaksehatan kehidupan demokrasi, karena banyak partai politik yang ada tidak menjalankan peran dan fungsi partai politik sebagaimanamestinya yang ada adalah pragmentasi partai politik. Dari latar belakang permasalahan tersebut ada keinginan untuk melakukan penyederhanaan jumlah terhadap partai politik yang ada di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Umum UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yang menyatakan bahwa untuk mewujudkan tujuan kemasyarakatan dan kenegaraan yang berwawasan kebangsaan, diperlukan adanya sistem kepartaian yang sehat dari dewasa yaitu sistem multi partai sederhana.
Dalam sistem multi partai sederhana akan lebih mudah dilakukan kerjasama menuju sinerji nasional. Pemerintah sudah tidak mungkin lagi bertindak sewenang-wenang untuk membatasi dan melarang berdirinya partai politik, apalagi untuk membubarkannya. Penyederhanan yang dilakukan adalah secara alamiah oleh seleksi rakyat melalui pemilihan umum dengan menerapkan electoral threshold sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pemilu No, 3 Tahun 1999 Pasal 39 ayat (3) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 2003 Pasal 9 ayat (1) huruf a, b dan c yang menerapkan aturan electoral threshold atau ambang Batas yang harus dipenuhi bagi partai politik yang akan mengikuti pemilihan umum. Jika tidak mencapai electoral threshold partai tersebut harus membubarkan diri atau membuat partai baru. Dari hasil Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 banyak partai politik yang tidak memenuhi ketentuan electoral threshold, sehingga banyak partai politik yang berguguran, membubarkan diri dan mengganti baju baru. Untuk mendirikan partai politik itu harus memenuhi berbagai persyaratan sebagiamana diatur Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik.
Pada dasarnya partai politik di Indonesia juga dapat disederhanakan. Berdasarkan ideologi, karena sebenarnya jumlah partai politik dapat disatukan dalam kelompok ideologi yang sama. Kelompok sekuler (nasionalis kebangsaan dan nasionalis kerakyatan) dan kelompok agamis (Islam konservatif dan Islam Moderat) dari sisi tersebut dapat dijadikan tolak ukur untuk menerapkan prosentase electoral threshold. Disamping itu sistem kepartaian dan sistem pemilu berkaitan erat dengan keberadaan partai politik dalam suatu negara, namun sistem tersebut harus disesuaikan dengan latar belakang budaya setempat, sehingga penerapannya dapat berjalan dengan baik. Dalam perubahan sistem harus diperhatikan juga kondisi objektiv suatu masyarakat dalam negara, dan tidak bisa dipaksakan penerapannya sistem secara murni karena latar belakang budaya suatu bangsa yang berbeda."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T18699
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
AH Wakil Kamal
"ABSTRAK
Pokok permasalahan tesis ini adalah membahas ketentuan hukum mengenai pemerintahan presidensial dalam hubungannya dengan sistem multipartai di Indonesia dan bagaimana implementasinya, dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, sehingga data yang digunakan adalah data sekunder yang dilakukan melalui penelitian kepustakaan (library research). Pasca Perubahan UUD 1945, lembaga kepresidenan mempunyai legitimasi kuat, karena dipilih melalui pemilihan umum langsung, tetapi sampai saat ini, belum tercipta pemerintahan yang efektif di Indonesia. Untuk mewujudkan pemerintahan presidensial efektif perlu akselerasi penyederhanaan partai politik secara alamiah dan demokratis, dibutuhkan kepemimpinan (leadership) yang cerdas, berani dan tegas, serta didukung budaya hukum dan politik yang sehat dan dinamis.

ABSTRACT
The focus of this these is elaborating of rule of law on presidential government its relations to multiparty system and how its implementation in Indonesia. The these is legal normative research with secunder data and conducted by library research methode. After armendment of UUD 1945, the presidential institution has legitimated power because of direct election. However, the system does not realized yed the effective government in the country. What we need to implement the effective presidential government is accelerating of simplified political parties by natural and democratic way, at the same time the country need smart, strong and coherent leadership, and supported by good and dynamic of culture of law and politics as well."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T37170
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Masykur Musa
"SISTEM Kepartaian dan Sistem Pemilihan Umum suatu negara harus berkaitan dengan Sistem Pemerintahannya. Indonesia, sebagaimana yang di design pada UUD NRI Tahun 1945 mempraktikkan Sistem Presidensial dalam hubungan antar-lembaga negara dan menjalankan program pembangunan. Perkuatan Sistem Presidensial hanya akan kokoh jika sistem kepartaiannya tercermin dengan The Simple Multy Party System, dan sistem pemilunya menggunakan Sistem Proporsional. Hubungan dinamis ketiga sistem tersebut akan menentukan keberlangsungan arah pembangunan demokrasi Indonesia sesuai dengan konstitusinya. Sistem Kepartian tersebut harus terlihat pada pengetatan partai peserta pemilu, membangun etika dan moral, serta kaderisasi yang berbasis ideologi partai. Sistem pemilu yang baik harus menjawab pada the degree of competitiveness ,the degree of reprentativeness, dan the degree of qualitativeness. Ketiga derajat kualitatif tersebut harus terjawab pada proses, personalia dan komitmen membangun bangsa dan negara sebagaimana yang di atur dalam UUD NRI Tahun 1945."
Jakarta: Lembaga Pangkajian MPR RI, 2017
342 JKTN 005 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>