Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 174971 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andrew
"Pendahuluan: Intervensi koroner perkutan primer (IKPP) telah menjadi salah satu pilihan terapi pada pasien dengan infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) yang dapat menurunkan angka kematian dengan signifikan. Sebagian pasien yang menjalani IKPP mengalami kegagalan reperfusi optimal yang disebut sebagai no-reflow phenomenon (NRP). Penilaian NRP ini dapat menggunakan berbagai metode, salah satunya dengan menggunakan thrombolysis in myocardial infarction flow (TIMI flow). Kegagalan reperfusi juga meningkatkan kejadian major adverse cardiac event (MACE) pada pasien. Hiperaktivitas trombosit diketahui berperan pada patofisiologi terjadinya NRP. Nilai mean platelet volume (MPV) yang merupakan ukuran rerata volume dari trombosit dianggap dapat menggambarkan aktivasi trombosit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran nilai MPV dengan TIMI-flow dan MACE pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP.
Metode: Penelitian kohort retrospektif dilakukan terhadap 137 subyek dengan IMA-EST yang menjalani IKPP. Pemeriksaan MPV dilakukan pada saat masuk rumah sakit dengan alat Sysmex XN-2000. Subyek dibagi berdasarkan kelompok dengan reperfusi sub-optimal (TIMI flow < 3) dan reperfusi optimal (TIMI flow 3). Luaran klinis berupa MACE dilakukan observasi selama minimal 90 hari pasca tindakan.
Hasil: Sebanyak 27.7% dan 28.9% pasien mengalami kegagalan reperfusi dan MACE. Tidak terdapat hubungan antara nilai MPV pada saat masuk rumah sakit dengan kegagalan reperfusi dan kejadian MACE 90 hari pada pasien IMA-EST di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita.
Kesimpulan: Nilai MPV tidak dapat digunakan dalam memprediksi kegagalan reperfusi dan kejadian MACE pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP.

Introduction: Primary percutaneous coronary intervention (PCI) has become one of the treatment options in patients with acute myocardial infarction with ST segment elevation (STEMI) which can significantly reduce mortality. In some patients who undergo primary PCI experience failure of optimal reperfusion called the no-reflow phenomenon (NRP). NRP assessment can use various methods, one of them using thrombolysis in myocardial infarction flow (TIMI flow). Failure of reperfusion also increases the incidence of major adverse cardiac events (MACE) in patients. Platelet hyperactivity is known to play a role in the pathophysiology of NRP. The mean platelet volume (MPV) which is a measure of the average volume of platelets is considered to be able to describe platelet activation. This study aims to determine the role of MPV values ​​with TIMI-flow and MACE in STEMI patients undergoing primary PCI.
Methods: A retrospective cohort study was conducted on 137 STEMI patients who underwent primary PCI. MPV examination is performed at hospital admission with Sysmex XN-2000. Subjects were divided into groups with sub-optimal reperfusion (TIMI flow <3) and optimal reperfusion (TIMI flow 3). Clinical outcomes in the form of MACE were observed for at least 90 days post-treatment.
Result: 27.7% and 28.9% of patients experienced failure of reperfusion and MACE, respectively. There is no relationship between the MPV value at hospital admission with failure of reperfusion and the incidence of 90-day MACE in IMA-EST patients at the Harapan Kita Heart and Vascular Hospital.
Conclusion: MPV values ​​cannot be used in predicting reperfusion failure and MACE events in STEMI patients undergoing primary PCI."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58733
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulianto
"Latar belakang: PCSK9 telah diketahui sebagai molekul yang berperan dalam regulasi kadar kolesterol LDL darah. Dua dekade ini, PCSK9 diketahui memiliki mekanisme kerja lain yang melibatkan proses inflamasi, peningkatan Lp(a), aktivasi jaras protrombotik dan platelet, metabolisme triglyceride-rich lipoprotein, serta modifikasi plak yang juga dapat berperan dalam patogenesis berbagai spektrum penyakit aterosklerotik, termasuk IMA-EST. Kemajuan dalam strategi penatalaksanaan IMA-EST telah berhasil meningkatkan kesintasan, akan tetapi sekelompok pasien masih mengalami luaran klinis buruk meski telah mendapatkan tatalaksana optimal. Adanya polimorfisme gain of function E670G PCSK9 dipikirkan dapat memiliki peranan dalam risiko residual pasien-pasien tersebut Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan antara polimorfisme PCSK9 pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP dengan luaran kardioserebrovaskular mayor. Metode: Sebanyak 423 pasien dengan IMA-EST yang menjalani IKPP diperiksakan polimorfisme PCSK9 pada saat admisi. Pemeriksaan polimorfisme PCSK9 didapatkan dengan menggunakan Real Time PCR. Data luaran kardioserebrovaskular mayor dan data penunjang lain didapatkan dari rekam medik dan follow-up telepon. Hasil: Terdapat 2,1 % polimorfisme berupa alel mutan (AG). Terdapat 65 (15,4%) subjek penelitian yang mengalami luaran kardioserebrovaskular mayor dalam 180 hari. Didapatkan analisis kesintasan menunjukkan adanya hubungan yang bermakna secara statistik antara polimorfisme E670G PCSK9 dengan luaran kardioserebrovaskular mayor dalam 180 hari (HR 7,486; IK95% 3.57-15.697; P=0,0000). Kesimpulan: Pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP, terdapat hubungan yang bermakna antara polimorfisme E670G PCSK9 dengan luaran kardioserebrovaskular mayor dalam 180 hari.

Background: PCSK9 is a molecule that regulates blood LDL cholesterol level. Recent evidences suggest that PCSK9 may also have other mechanisms, such as inflammation, increased Lp(a), triglyceride-rich lipoprotein metabolism, activation of prothrombotic pathways and platelets, and modification of atherosclerotic plaque, which all may play a role in the pathogenesis of atherosclerotic diseases, including STEMI. Previous advances in the management of STEMI had succeed in increasing survival. However, some STEMI patients still experienced adverse outcomes eventhough they already received optimal management in accordance with the guidelines. Polimorphysm gain of function PCSK9 may have a role in the residual risk that those patients have. However, our knowledge regarding this association between polymorphism gain of function E670G PCSK9 and MACCE in STEMI is still unknown. Objective: The aim of this study is to evaluate the association between polymorphism Gain of Function E670G PCSK9 with MACCE in STEMI patients who underwent primary PCI. Methods: In total, 423 patients with STEMI who were treated with primary PCI had their plasma sample drawn during admission and evaluated for Polymorphism PCSK9. PCSK9 Polymophism was measured with PCR RT. MACCE and other supportive data were taken from the medical records and telephone follow-up. Results: The prevalence of Poymorphisme E670G PCSK9 in STEMI patient who underwent PPCI is 2,1 %. There were 65 (15,4%) study participants who experienced MACCE in 180 days. Survival analysis shows a significant association between Polymorphsm Gain of Function E670G PCSK9 and MACCE in 180 days. (HR 7,486; IK95% 3.57-15.697; P=0,0000). Conclusion: There was significant association between Polymorphsm gain of function E670G PCSK9 and 180 days MACCE in STEMI patients treated with primary PCI."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hutasoit, Katrina Ruth Ulima
"Intervensi koroner perkutan primer (IKPP) merupakan pilihan utama terapi repefusi pada infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMAEST) dan obstruksi mikrovaskular (OMV) merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi pada IKPP. Osteoprotegerin (OPG) merupakan tumor necrosis factor receptor yang konsentrasinya meningkat pada pasien IMA-EST. Studi yang menganalisis hubungan konsentrasi serum OPG dengan luasnya infark masih sangat terbatas.
Metode. Tiga puluh enam pasien yang menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKPP) pada bulan September hingga November 2013, direkrut secara konsekutif pada studi potong lintang ini. Dilakukan analisis hubungan antara konsentrasi serum OPG sebelum IKPP dengan hs-trop T 24 jam pasca IKPP.
Hasil. Analisis bivariat menunjukkan hubungan antara konsentrasi serum OPG dengan hs-trop T (r = 0.41, p =0.015). Analisis multivariat konsentrasi serum OPG dan onset nyeri mempengaruhi luas infark (indeks kepercayaan 5.15 – 49.19, p =0.017 dan indeks kepercayaan 2.56 - 15.28, p = 0.005).
Kesimpulan. Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan antara konsentrasi serum osteoprotegerin saat masuk dengan luas infark miokard yang diukur dengan hs-trop T pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP.

Primary percutaneous coronary intervention (PPCI ) is the preferred option for reperfusion therapy in acute ST-elevation myocardial infarction (STEMI) patients and microvascular obstruction (MVO) is one of the complication that might occurred during PPCI. Osteoprotegerin (OPG) is a tumor necrosis factor receptors that may increased in STEMI patients. Studies that analyze the relationship between serum concentrations of OPG with the extent of infarction are still very limited.
Method. Thirty six patients underwent PPCI were enrolled in this cross sectional study during September to November 2013. We analyzed the relationship between serum concentrations of OPG before PPCI with the level of hs-trop T measured 24 hours after PPCI.
Results. Bivariate analysis showed a significant correlation between serum osteoprotegerin concentration and hs-trop T (r=0.41, p=0.015). Multivariate analysis showed significant correlation between the extent of infarction with both onset of pain (confidence interval 2.56-15.28, p=0.005) and serum osteoprotegerin concentrations (confidence interval 5.15-49.19, p= 0.017).
Conclusion. This study showed that serum osteoprotegerin concentration have a significant relationship to the extent of infarction measured with hs-trop T in acute STEMI patients underwent PPCI.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wishnu Aditya Widodo
"Latar Belakang. Infark miokard akut (IMA) masih merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di Indonesia dan dunia. Kejadian perdarahan pada pasien IMA berkaitan dengan angka mortalitas yang jauh lebih tinggi. Kejadian perdarahan ditemukan lebih tinggi pada populasi IMA dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) dibandingkan dengan IMA non elevasi segmen ST (IMA-NEST). Analisa register skala besar telah mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian perdarahan, dan beberapa diantaranya diaplikasikan sebagai sistem skor. Namun hingga saat tulisan ini dibuat, belum ada satupun sistem skor yang dibuat khusus untuk populasi IMA-EST.
Metode. Studi retrospektif kohort dilakukan di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta pada pasien IMA-EST yang menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKPP). Kejadian perdarahan positif menggunakan definisi Bleeding Academic Research Consortium (BARC). Karakteristik dasar, pemeriksaan klinis awal, data laboratorium, roentgen, terapi awal, tindakan IKPP, dan terapi selama perawatan merupakan kategori dari variabel yang dikumpulkan melalui rekam medis dan sistem informasi rumah sakit. Data kemudian diolah dengan analisis multivariat menggunakan metode logistik regresi dan diberikan pembobotan sehingga menjadi suatu sistem skor. Sistem skor ini kemudian diuji kembali dengan menggunakan populasi yang sama.
Hasil. Sebanyak 579 sampel berhasil dikumpulkan, dengan 42 diantaranya mengalami perdarahan (7.3%). Variabel yang masuk ke dalam model akhir adalah jenis kelamin perempuan, kelas Killip 3 / 4, Umur ≥ 62 tahun, Leukosit >12.000, Kreatinin >1.5, IMT ≥ 25, Lesi koroner multipel, Akses femoral, dan Pemasangan TPM. Uji diskriminasi dan kalibrasi dari model akhir menunjukkan hasil yang baik. Model alternatif dibuat dengan menghilangkan variabel yang berkaitan dengan hasil dan prosedur tindakan intervensif.
Kesimpulan. Sistem skor baru ini merupakan suatu sistem untuk memprediksi kejadian perdarahan pada populasi IMA-EST yang menjalani IKPP. Skor ini memiliki nilai kalibrasi dan diskriminasi yang baik sehingga diharapkan dapat membantu menentukan strategi tatalaksana selama perawatan.

Background. Acute myocardial infarction still become one of the leading mortality cause in the world. Among these patients, ST elevation myocardial infartion (STEMI) has the greatest mortality rate among other type of Myocardial Infarction. When a myocard infarct patient have bleeding events, mortality rate greatly increased. Up until now, there is no specific bleeding risk assessment tool to predict bleeding events in STEMI patient.
Methods. A retrospective cohort study, done in National Cardiovascular Center Harapan Kita, Jakarta in STEMI patients underwent Primary Percutaneous Coronary Intervention (PPCI). Bleeding event was defined according to definition by Bleeding Academic Research Consortium (BARC). Categories for data obtained was basic characteristics, clinical examinations, initial therapies, lab results, x-ray, PPCI procedures, and in hospital treatments. Statistical analysis was done using multivariat analysis using logistic regression method and then converted to a scoring system.
Result. 579 sampels fit the inclusion and exclusion criteria. Bleeding event occured in 42 patients (7.3%). Score was created by assignment of variables that included in the final model according to their Odds Ratio (OR) values. The variables are female gender, Killip class 3 / 4, Age ≥ 62 y.o, White blood cell >12.000, Creatinine >1.5, Body Mass Index ≥ 25, Multiple coronary lesion, Femoral access, and TPM implantation. These variabels was converted into two type of scoring system. The complete model contains all of the variables, and the alternative model discard variables related to interventional result and procedures.
Conclusion. A new scoring system quantifies risk for in-hospital bleeding event in STEMI patients underwent PPCI, which enhances baseline risk assessment for STEMI care.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Geis Alaztha
"Latar belakang: micro-RNA saat ini telah diketahui berperan dalam patofisiologi berbagai penyakit termasuk di bidang kardiovaskular. miR-26a platelet dikaitkan dengan aktifitas platelet tinggi.Resistensi klopidogrel telah diketahui memiliki prevalensi yang cukup tinggi di populasi Asia, yang mana dapat mempengaruhi mortalitas serta kejadian kardiovaskular mayor. Hubungan antara ekspresi miR-26a platelet dengan resistensi klopidogrel begitu pula dengan TIMI flow pasca IKPP pada IMA-EST di populasi Asia, belum pernah dilaporkan.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara ekspresi miR-26a platelet terhadap reaktivitas platelet dan perfusi miokardium pasca IKPP.
Metode: Pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP dan mendapatkan terapi dosis loadingklopidogrel 600 mg, dimasukkan kedalam populasi penelitian. Kami mengukur reaktivitas platelet dengan menggunakan VerifyNow P2Y12, aktifitas platelet tinggi didefiniskan jika memiliki nilai > 208 PRU. Metode RealtimePCR Taqman dilakukan untuk analisa ekspresi miR-26a platelet. Ekspresi miR-26a platelet dan reaktivitas platelet dikorelasikan dengan TIMI flowpasca IKPP pada pasien IMA-EST.
Hasil: Terdapat 100 subyek yang direkrut pada studi ini. Diantaranya, 59% menunjukkan peningkatan ekspresi miR-26a. Reaktifitas platelet meningkat pada 27 % pasien studi ini dikategorikan non-responder terhadap klopidogrel. Terdapat hubungan antara ekspresi dengan penurunan fungsi penghambatan platelet (OR 4.2, p = 0.006). Indeks reaktivitas platelet >208 PRU meningkatkan risiko TIMI flow < 3 (OR 3.3, p= 0.015). Tidak terdapat hubungan langsung antara ekspresi miR-26a platelet dan TIMI flow < 3.
Kesimpulan: Pasien dengan peningkatan ekspresi miR-26a platelet memiliki risiko untuk mengalami menjadi non-responderklopidogrel. Tidak terdapat hubungan langsung antara ekspresi miR-26a platelet dan TIM flowpasca IKPP.

Background: micro-RNA has now been known to play a role in the pathophysiology of various diseases including cardiovascular disease. Clopidogrel resistance has been known prevalent in Asian population, that may affect mortality and major cardiovascular events. The relationship between the expression of platelet miR-26a and clopidogrel resistance as well as TIMI flow post primary PCI in STEMI among Asian populations, has never been done.
Objective: the aim of this study is to define whether miR-26a platelet expression has a relation with platelet reactivity and myocardial perfusion after primary PCI.
Methods: STEMI patients who underwent primary PCI and has received 600 mg loading dose of clopidogrel were recruited for the study. We measured platelet reactivity by VerifyNow P2Y12, high platelet reactivity was defined as > 208 PRU. Realtime PCR by taqman method were performed to asses the expression of miR-26a platelet. miRNA-26a platelet expression and platelet reactivity were correlated with TIMI flow post primary PCI in STEMI.
Hasil: there were 100 patients recruited for this study. among them, 59% of patients with high expression of miR-26a platelet. Platelet reactivity showed 27% of the patients were clopidogrel non-responders. There was a relationship between high miR-26a expression and decreased function of platelet inhibition (OR 4.2, p = 0.006). Platelet reactivity index > 208 increased the risk of suboptimal reperfusion (OR 3.3, p = 0.015). There was no direct correlation between miR-26a expression and TIMI flow < 3.
Conclusion: Patients with high miR-26a platelet expression had increased risk of being clopidogrel non responders. There is no direct relationship between miR-26a platelet expression and TIMI flow after primary PCI.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58704
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simarmata, Hendra
"ABSTRAK
Latar belakang: PCSK9 merupakan protein yang berperan dalam regulasi kadar kolesterol LDL darah. PCSK9 diketahui memiliki mekanisme kerja lain yang melibatkan proses inflamasi, peningkatan Lp(a), aktivasi jaras protrombotik dan platelet, metabolisme triglyceride-rich lipoprotein, serta modifikasi plak yang juga dapat berperan dalam patogenesis berbagai spektrum penyakit aterosklerotik, termasuk IMA-EST. Kemajuan dalam strategi penatalaksanaan IMA-EST telah berhasil meningkatkan kesintasan. Polimorfisme R46L gen PCSK9 diketahui memiliki efek proteksi terhadap risiko kardiovaskular. Pada pasien infark miokard, prevalensi pembawa karier mutan R46L sebesar 2,14%. Dalam observasi pasien infark miokard akut didapatkan proporsi pasien yang memiliki kesintasan yang panjang. Polimorfisme R46L gen PCSK9 dipikirkan dapat memiliki peranan dalam mempertahankan kesintasan pasien-pasien tersebut. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan antara polimorfisme R46L gen PCSK9 pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP dengan luaran kardioserebrovaskular mayor. Metode: Sebanyak 601 pasien dengan IMA-EST yang menjalani IKPP diperiksakan polimorfisme R46L gen PCSK9 pada saat admisi. Data luaran kardioserebrovaskular mayor dan data penunjang lain didapatkan dari rekam medik dan follow-up melalui telepon. Hasil: Tidak ditemukan varian mutan (GT dan TT) polimorfisme R46L gen PCSK9 pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP sehingga analisa hubungan polimorfisme R46L gen PCSK9 terhadap luaran kardioserebrovaskular mayor tidak dapat dilakukan. Kesimpulan: Pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP di RS Jantung Harapan Kita, tidak ditemukan varian mutan R46L gen PCSK9. Analisa hubungan polimorfisme R46L gen PCSK9 terhadap luaran kardioserebrovaskular mayor tidak dapat dilakukan.

ABSTRACT
Background: PCSK9 is a protein molecule that regulates serum LDL cholesterol level. Recent data suggest that PCSK9 activity may also work through other mechanisms, such as inflammation, increased Lp(a), triglyceride-rich lipoprotein metabolism, activation of prothrombotic pathways and platelets, and modification of atherosclerotic plaque, which may contribute to the pathogenesis of atherosclerotic diseases, including STEMI. Advances in the management of STEMI have succeeded in increasing survival. Polymorphism R46L of PCSK9 gene has been known to have protective effect on cardiovascular risks. In patients with myocardial infarction, the prevalence of R46L mutation carriers was 2.14%. In the longterm observation of acute coronary syndrome patients, a proportion of patients experienced longer survival. Polymorphism R46L of PCSK9 gene may play a role in longterm survival. Objective: The aim of this study is to evaluate the association between plasma polymorphism R46L of PCSK9 gene with MACCE in STEMI patients who underwent primary PCI. Methods: In total, 601 patients with STEMI who were treated with primary PCI had their plasma sample drawn during admission and evaluated for polymorphism R46L of PCSK9 gene. MACCE and other supportive data were taken from the medical records and telephone follow-up. Results: In this study, no polymorphism R46L of PCSK9 gene was detected. Therefore, its association with MACCE could not be further analysed. Conclusion: There was no polymorphism R46L of PCSK9 gene detected in STEMI patients treated with primary PCI. The analysis of its association with MACCE could not be conducted."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58658
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Athikah Khairunnisa
"Latar belakang: COVID-19 menyebabkan respon inflamasi sistemik yang dapat disertai dengan pembentukan trombus koroner dan berhubungan dengan morbiditas serta mortalitas yang tinggi. Pasien IMA-EST yang menjalani IKPP dengan beban trombus intrakorener yang tinggi berhubungan dengan luaran klinis yang lebih buruk. Tujuan: Mengetahui hubungan antara COVID-19 dengan beban trombus intrakoroner pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP. Metode: Terdapat 181 pasien IMA-EST yang menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKPP) pada periode April 2020 hingga November 2021 dianalisis secara retrospektif. Beban trombus intrakoroner menurut TIMI saat IKPP dibagi menjadi beban trombus tinggi (BTT) dan beban trombus rendah (BTR). COVID-19 dibagi menjadi positif dan negatif berdasarkan pemeriksaan laboratorium, kemudian dinilai hubungannya dengan BTT. Hasil: Beban trombus intrakoroner tinggi berdasarkan TIMI didapatkan pada 70,2% pasien. Subjek COVID-19 positif cenderung mempunyai resiko 3,03 kali (95% IK: 1,11 – 8,31; p=0,025) untuk mengalami BTT. Namun, dari analisis multivariat tidak didapatkan hubungan antara status positif COVID-19 dengan BTT. Pada model akhir analisis multivariat, faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian beban trombus tinggi adalah nilai CRP > 5 mg/L dengan odds ratio 3,29 (95% IK: 1,09 – 9,88; p=0,034) dan merokok (OR 2,92; 95% IK: 1,12 – 7,58; p=0,027). Kesimpulan: Status COVID-19 positif tidak berhubungan dengan kondisi beban trombus intrakoroner tinggi pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP. Kata Kunci: IKP primer; IMA-EST; COVID-19; C-reactive protein; trombus; beban trombus

Introduction: COVID-19 infection causes a systemic inflammatory response that increases the activation of coagulation system prone to hypercoagulable conditions that can trigger thrombus formation. Erosion of susceptible atherosclerotic plaques can lead to intracoronary thrombus which is the main cause of ST segment elevation acute myocardial infarction (STEMI). STEMI patients undergoing primary percutaneous coronary intervention (PPCI) with a high intracoronary thrombus burden were associated with a worse clinical outcome. Objective: Aimed to determine association between COVID-19 positivity and other factors related to intracoronary thrombus burden in STEMI. Methode: A total of 181 patients with STEMI who underwent PPCI between April 2020 and November 2021 were retrospectively analized. Intracoronary thrombus burden based on TIMI criteria was reclassified into high thrombus burden (HTB) and low thrombus burden (LTB). HTB was analyzed with COVID-19 which divided into positive and negative based on laboratory results. Results: HTB was found in 70,2% patients. Positive COVID-19 patients tend to showed HTB during PPCI (OR 3,03; 95% IK: 1,11–8,31; p=0,025). From multivariate analysis, there is no association between COVID-19 positivity and HTB. In the last model of multivariate analysis, CRP > 5 mg/L (OR 3,29; 95% IK: 1,09 – 9,88; p=0,034) and smoking status (OR 2,92; 95% IK: 1,12 – 7,58; p=0,027) were associated with HTB. Conclusion: There is no association between COVID-19 positivity and HTB in STEMI patients underwent PPCI. Keywords: Primary PCI; STEMI; COVID-19; intracoronary thrombus; thrombus burden."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rani Afriyani
"Latar Belakang: Pasien infark miokard akut (IMA) dengan hipertensi memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya major adverse cardiac events (MACE). Pengukuran left ventricular mass index (LVMI) dengan ekokardiografi dapat membantu mengidentifikasi pasien IMA dengan hipertensi yang memiliki risiko untuk terjadinya MACE. Namun, penelitian mengenai hubungan antara LVMI dengan kejadian MACE pada pasien IMA dengan hipertensi pasca revaskularisasi perkutan belum ada di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara LVMI dan MACE pada pasien IMA dengan hipertensi pasca revaskularisasi perkutan.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dengan menggunakan data rekam medis pada periode tahun 2018–2022. Nilai LVMI didapatkan berdasarkan pemeriksaan ekokardiografi. Kejadian MACE dinilai pada saat perawatan Intensive Cardiology Care Unit (ICCU). Analisis menggunakan uji univariat, bivariat (chi-square), dan multivariat (regresi logistik) untuk melihat hubungan antara LVMI dan MACE pada pasien IMA dengan hipertensi pasca revaskularisasi perkutan.
Hasil: Dari 160 pasien dengan IMA dan hipertensi yang menjalani revaskularisasi perkutan, terdapat 38 subjek (23,8%) yang mengalami MACE selama perawatan di ICCU. Dari 51,9% subjek dengan nilai LVMI meningkat, terdapat 34,9% yang mengalami MACE. Terdapat hubungan yang bermakna antara LVMI dan MACE dengan RR 2,99 (IK 95% 1,51-5,90) p 0,002). Pada analisis multivariat regresi logisitk, setelah memperhitungkan variabel perancu (usia dan penyakit ginjak kronik), LVMI secara independen terkait dengan peningkatan risiko kejadian MACE, dengan adjusted RR yang disesuaikan sebesar 2,869 (IK 95% 1,443–5,703) p 0,003.
Kesimpulan: Terdapat hubungan yang bermakna antara LVMI dan MACE pada pasien IMA dengan hipertensi pasca revaskularisasi perkutan.

Background: Patients with acute myocardial infarction (AMI) and hypertension have a higher risk of major adverse cardiac events (MACE) complications. Measuring the left ventricular mass index (LVMI) with echocardiography can help to identify AMI patients with hypertension who are at risk for MACE. However, study regarding the association between LVMI and MACE occurrence in patient with AMI and hypertension post-percutaneous coronary intervention (PCI) has not been conducted in Indonesia.
Objective: To determine the association between LVMI and MACE in patients with AMI and hypertension after PCI.
Methods: This is a retrospective cohort study at Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital utilizing medical record data from the period of 2018 to 2022. The LVMI values were obtained based on echocardiographic examinations. MACE events were assessed during ICCU (Intensive Cardiology Care Unit) admission. The analysis utilized univariate, bivariate (chi-square), and multivariate (logistic regression) tests to examine the association between LVMI and MACE in patients with AMI and hypertension post-PCI.
Results: A total of 160 patients with AMI and hypertension undergoing PCI, 38 subjects (23.8%) experienced MACE during follow up in ICCU. Among 51,9% subjects with increased LVMI, 34.9% experienced MACE. There was a significant association between LVMI and MACE with a relative risk (RR) of 2,99 (95% CI 1,51–5,90, p 0,002). After adjustment for the confounders (age and chronic kidney disease) in a multivariate analysis logistic regression, LVMI was independently associated with risk for MACE with adjusted RR 2,869 (95% CI 1,443–5,703, p 0,003)
Conclusion: There was a significant association between LVMI and MACE in patients with AMI and hypertension who have undergone percutaneous revascularization.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Felix Chikita Fredy
"Latar belakang: Pada era intervensi koroner perkutan primer (IKKP), angka kematian akibat infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) berhasil ditekan. Peningkatan angka sintasan tersebut berbanding dengan peningkatan insiden gagal jantung. Proses remodeling pascamiokard infark yang belum sepenuhnya dihambat oleh standar terapi saat ini akan berujung pada kondisi gagal jantung. Doksisiklin sebagai anti-matriks metaloproteinase (MMP) menunjukkan hasil yang baik dalam mencegah proses remodeling. Biomarker remodeling merupakan surrogate dini yang baik untuk memprediksi kejadian remodeling. Namun, efek doksisiklin terhadap biomarker remodeling dan luaran klins pasien IMA-EST belum diketahui.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek doksisiklin terhadap penurunan kadar biomarker remodeling pascainfark miokard.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain uji klinis tersamar tripel. Pasien IMA-EST dengan keterlibatan anterior atau Killip 2-3 dengan onset kurang dari 12 jam yang menjalani IKKP terbagi acak kedalam grup yang mendapat doksisiklin 2x100 mg selama 7 hari sebagai tambahan dari standar terapi dan grup dengan standar terapi. Pemeriksaan biomarker (netrofil, hs-Troponin T, hs-CRP, NT-pro BNP) dilakukan saat admisi rumah sakit dan evaluasi intraperawatan. Ekokardiografi dilakuan saat admisi dan hari ke-5 untuk menilai dimensi dan fungsi ventrikel kiri.
Hasil: Terdapat 94 subyek yang diikutkan dalam penelitian dan terbagi rata ke dalam kedua grup. Karakteristik demografis dan klinis kedua grup homogen. Grup doksisiklin menujukkan nilai netrofil jam ke-24 yang lebih rendah dibanding grup kontrol (69,1±5,8% vs 71,9±8,0%, p=0,049). Peningkatan hs-Troponin T didapatkan lebih rendah pada kelompok dengan onset lebih dari 6 jam yang mendapatkan doksisiklin, namun tidak pada grup kontrol. Insiden gagal jantung 11,3% lebih rendah pada grup doksisiklin. Perbaikan fraksi ejeksi signifikan didapat pada grup doksisiklin dibanding grup kontrol (4,5±10,4% vs 0,3±10,3%, p=0,05). Peningkatan tersebut lebih besar pada pasien dengan onset lebih dari 6 jam dengan rerata peningkatan 5,9% (95%IK 0,05-11,7%, p=0,048).
Kesimpulan: Doksisiklin memiliki efek perbaikan biomarker remodeling ventrikel, terutama netrofil dan hs-troponin T, serta fraksi ejeksi ventrikel kiri. Jumlah insiden gagal jantung lebih rendah pada grup doksisiklin.

Background: In era of primary percutaneous coronary intervention (PPCI), mortaliry rate was reduced significantly. The increament in survival rate was followed by increament in heart failure cases. Cardiac remodelling after myocardial infarction was not fully anticipated by current therapy hence the patent would suffer for hear failure. Doxycycline as antimatrix metaloproteinase (MMP) inhibitor showed a promising results in modulation cardiac remodelling. Cardiac biomarkers for remodelling are surrogate parameters for early indentifying of remodelling. However, the effect of doxycyline to cardiac remodelling and its clinical implication are unknown.
Objective: To determine the effect of doxycycline on cardiac remodelling biomarkers after myocardial infarction.
Methods: We conducted triple blinded-randomized control trial. Patients with STEMI anterior or with Killip class 2-3 who underwent PPCI were randomly assigned to doxycycline (100 mg b.i.d for 7 days) in addition to standard therapy or to standar care. Cardiac remodelling biomarkers (neutrophils, hs-Troponin T, hs-CRP, NT-proBNP) were obtained on admission and during hospitalization. Echocardiography were assessed on admission and at 5 days to evaluate left ventricle dimmension and function.
Results: There were 94 patients assigned into doxycycline and control group. Baseline demographics and clinical characteristics were comparable between 2 groups. Doxycycline group showed lower percent neutrophils at 12 hours compare to control group (69.1±5.8% vs 71.9±8.0%, p=0.049). hs-Troponin T changes were lower in patients with onset >6 hours who received doxycycline and there were no differences among control group. Heart failure incidence was 11.3% lower in doxycycline group to control group. The improvement of left ventricle ejection fraction was sifnificantly higher in doxycycline group than in control group (4.5±10.4% vs 0.3±10.3%, p=0.05). The imrpovement was even higher in those with onset >6 hours with mean increament of 5.9% (95%CI 0.05-11.7%, p=0.048).
Conclusion: Doxycycline had effect in improving cardiac remodelling biomarkers, ie percent neutrophils and hs-Troponin T and left ventricle ejection fraction. Incidence of heart failure was lowe in doxycycline group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58945
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Sujoko
"ABSTRAK
Penderita pasca IMA yang menunjukan elevasi segmen ST pada ULJB akan mendapat serangan koroner cukup besar berkisar 75% - 84% dan mempunyai gambaran klinik berupa infark anterior yang leas.
Insidensi untuk terjadi elevasi segmen ST pada ULJB bervariasi 2 - 3,5% ada pula yang mendapatkan 14 - 51% , sedangkan kematian tertinggi terjadi pada 6 bulan setelah IMA. Untuk menguji pernyataan tersebut dilakukan penelitian secara
retrospektip dan prosfektip pada penderita IMA yang masuk di R.S. Jantung Harapan Kita Jakarta dalam periode Nopember 1985 - Agustus 1988 dengan tujuan penelitian melihat serangan koroner berupa kematian, payah jantung,IMA dan angina berulang yang terjadi dalam periode tindak lanjut (" follow up ") 10 bulan.
Insidensi elevasi segmen ST pada ULJB pada penelitian ini didapat 14,81% dan didominasi 79,2% infarct anterior. Kelompok yang diteliti 19 penderita dengan hasil ULJB elevasi segmen ST , kelompok kontrol 12 penderita dengan hasil ULJB depresi segmen ST, kedua kelompok ini berlatar belakang infark anterior dan beralamat di Jakarta.
Variahel kedua kelompok ini jenis kelamin sama serta usia juga tidak berbeda bermakna kelompok yang diteliti berusia rata-rata 52,55 ± 6,58 tahun, sedang pada kelompok kontrol, berusia rata-rata 53,79 ± 8,05 tahun, faktor resiko juga tidak berbeda, lama ULJB yang dicapai juga tidak berbeda bermakna kelompok yang diteliti lama ULJB rata-rata 7,11 ± 2,98 menit sedang kelompok kontrol 7,83 ± 5,6 menit, denyut jantung yang dicapai juga tidak berbeda bermakna pada kelompok yang diteliti denyut jantung rata-rata 134,17 ± 13,47 / menit kelompok kontrol 123,17 ± 20,12 / menit.
Nilai ensim kreatinin kinase saat masuk rumah sakit pada kelompok yang diteliti adalah sangat tinggi dan berbeda bermakna dibanding kelompok kontrol yang menunjukan infark luas.
Pada tindak lanjut selama 10 bulan didapatkan serangan koroner hanya pada kelompok yang diteliti 31,5% dengan kematian pada 2 penderita .
Karena itu perlu dilakukan koroner angiografi pada penderita pasca IMA yang menghasilkan elevasi segmen ST pada ULJB guna pertimbangan Bedah pintas koroner atau medikamentosa.
"
1989
Tpdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>