Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 148345 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rafika Agusriana
"Penerapan kebijakan JKN untuk menjamin akses masyarakat terhadap obat dengan pengendalian biaya yang ketat berpotensi terhadap terjadinya kompromi kualitas dan keamanan obat.  Pembatasan harga obat dan adanya asimetris informasi terkait kualitas dan harga obat dapat mendorong moral hazard produsen memproduksi obat substandar dan palsu untuk mempertahankan keuntungan. Hasil analisis terhadap data sampling dan pengujian obat pada level kabupaten/kota menggunakan regresi logistik menunjukkan bahwa peluang suatu obat JKN tergolong tidak memenuhi syarat lebih rendah daripada peluang suatu obat non-JKN. Seiring dengan kenaikan harga satuan obat, peluang suatu obat tergolong tidak memenuhi syarat meningkat, hingga pada tingkat harga satuan tertentu yang tidak memungkinkan lagi obat substandar dan palsu dijual dengan harga kompetitif, peluang tersebut mulai menurun. Penelitian ini merekomendasikan implementasi penuh sistem JKN sebagai upaya mengatasi asimetris informasi harga dan kualitas obat, dengan memberlakukan diferensiasi harga sebagai suatu insentif bagi industri farmasi mempertahankan mutu dan ikut berkompetisi dalam penyediaan obat JKN.

The implementation of National Health Insurance (NHIS; or Jaminan Kesehatan Nasional/JKN)s policy, increasing patient access to medicine while keeping its budget under tight control, has the potentiality to result in compromising the safety and efficacy of the medicine. Budget constraint and the existing asymmetry information in terms of quality and price of medicines could lead to a moral hazard situation where pharmaceutical companies may produce substandard and falsified medicines to secure their profit. The result of this research using logistic regression analysis of pharmaceutical sampling and testing on municipal/district level showed that despite previous assumptions, medicines included in JKN list are actually having lower probability of falsified or substandard compared to their counterparts, non-JKN medicines. In terms of the relation between price and quality of the medicines, the probability of falsified or substandard medicines increases up to a price level where for the poor qualified medicines does not have the ability to copy the original medicines while still making profit out of it. As a result, this research recommends full implementation of JKN to include all essential medicines into its list to avoid asymmetry information and maintain medicines quality. JKN also needs to have a price-differentiation policy which allows pharmaceutical companies to maintain quality of their medicines, even to innovate for a better one, while still maintaining a good profit and their ability to compete in the JKN era."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2019
T52569
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retty Dwi Handayani
"ABSTRAK
Tujuan dari Pembangunan Berkelanjutan poin ketiga adalah memastikan kesehatan bagi seluruh masyarakat pada segala usia. Peredaran obat palsu dalam jumlah yang signifikan masih merupakan salah satu ancaman bagi kesehatan masyarakat di Indonesia. Penerapan kebijakan pemberantasan obat palsu oleh BPOM di Indonesia masih menghadapi banyak hambatan. Keterlibatan dalam kerja sama internasional belum memberikan kontribusi yang signifikan dalam upaya tersebut. Penelitian ini mengidentifikasi hambatan dominan pada implementasi kebijakan pemberantasan obat palsu. Selanjutnya dari hambatan tersebut dibuat rekomendasi pemberantasan obat palsu dengan melibatkan kerja sama berbagai pemangku kepentingan, baik dari pemerintah maupun non-pemerintah, yakni industri farmasi, profesi kefarmasian dan kesehatan juga masyarakat. Kerangka kerja sama ini dianggap sebagai upaya untuk meningkatkan efektivitas kebijakan. Selain itu, rekomendasi model satgas pemberantasan obat palsu dengan melibatkan pemangku kepentingan lintas sektoral termasuk dari kalangan non-pemerintah dapat dipandang sebagai bagian dari katalisator perwujudan tujuan pembangunan nasional di bidang kesehatan.Konsep yang digunakan pada penelitian ini adalah kerja sama internasional, analisis pemangku kepentingan, teori kelembagaan, civil society dan pemberdayaan masyarakat serta analisis implementasi kebijakan. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif melalui studi literatur, observasi dokumen dan wawancara mendalam dengan informan. Dari hasil penelitian ini diketahui pula bahwa pengawasan yang paling efektif adalah pengawasan dari masyarakat dan kerja sama berbagai pemangku kepentingan terkait.

ABSTRACT
Ensuring healthy lives and promoting well being for all at all ages are the third goal of Sustainable Development Goals. Significant availability of substandard and falsified medical product has still become one of the threats for health resilience in Indonesia. Policy implementation by BPOM has still faced many obstacles to the eradication of counterfeit drugs in Indonesia. However, the involvement in international cooperation has not made a significant contribution in the effort. This study identifies the dominant obstacles in the implementation of policies. Furthermore, these obstacles are used to develop recommendations for the eradication of substandard and falsified product. The recommendation involves the cooperation of multi stakeholders, both from government and non government, namely the pharmaceutical industry, the pharmacist and health professionals and also civil society. This framework is considered as an effort to improve the effectiveness of the policy. The concepts used in this study are the international collaboration, stakeholder analysis, institutional theory, civil society and community development and analysis of policy implementation. This research was conducted using a qualitative method through the study of literature, observation of documents and interviews with informants. From this research known that the most effective effort in combating substandard and falsified medical product is increasing public awareness and create multi stakeholders collaboration. "
2018
T51454
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Safira Budisetyowati
"Peredaram online obat palsu dan ilegal sebagai bentuk illegal enterprise dalam organized crime di dunia siber sulit diminimalisir karena anonimitas pelaku dan kesenjangan hukum dengan perkembangan teknologi. Perlaksanaan Operasi Pangea bertujuan memberantas peredaran online obat palsu dan ilegal oleh BPOM, Dirjen Bea Cukai, Interpol, dan Kemenkominfo dengan kerangka analisis model Multi-Agency Anti-Crime Partnerships. Kepemimpinan BPOM dalam Operasi Pangea menjadi kelebihan dari kerja sama multi agensi ini. Namun terdapat kendala internal dan eksternal dalam Operasi Pangea sehingga mempengaruhi mekanisme kinerja antar lembaga. Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan kualitatif berupa wawancara mendalam dengan masing-masing lembaga serta studi literatur terhadap sumber sekunder lainnya.

The online circulation of counterfeit and illegal medicines as illegal espterprise from organized crime model in the cyberspace is difficult to minimize because of anonymity of the perpetrators and gaps between law with technological developments. The implementation of the Pangea Operation aims to eradicate the circulation of counterfeit and illegal medicine by BPOM, the Director General of Customs, Interpol, and the Ministry of Communication and Information with the analytical framework of the Multi-Agency Anti-Crime Partnerships from Rosenbaum. BPOM's leadership in Pangea Operations is act as the strength of this multi-agency collaboration. However, there are internal and external constraints in the Pangea Operation which affect the inter-agency coordination mechanism. The research method in this thesis uses a qualitative approach in the form of interviewing with each institution and literature study on other secondary sources."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Handayani
"Distribusi sediaan farmasi merupakan bagian yang sangat penting dalam pemerataan akses obat. Peredaran sediaan farmasi di Indonesia dikontrol oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Berdasarkan pada laporan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) di tahun 2018 terdapat 45% kasus peredaran obat di Indonesia yang berkaitan dengan penyimpangan distribusi obat ke pihak yang tidak berwenang. Proses distribusi yang menyimpang dapat menimbulkan berbagai resiko seperti kontaminasi, kerusakan maupun pemalsuan obat. Tujuan dari penulisan tugas khusus ini adalah untuk mengetahui dan memperoleh informasi terkait gambaran implementasi Cara Distribusi Obat yang Baik di Kimia Farma Trading and Distribution Jakarta 2 berdasarkan CDOB. Pengambilan data diperoleh dari hasil wawancara dan observasi langsung. Data berupa informasi tentang implementasi aspek-aspek CDOB berdasarkan Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 6 tahun 2020 berupa aspek Keluhan, Obat atau Bahan Obat Kembalian, Diduga Palsu dan Penarikan Kembali, Fasilitas Distribusi Berdasar Kontrak, serta Dokumentasi. Hasil yang diperoleh adalah aspek CDOB telah dilaksanakan oleh PT Kimia Farma Trading and Distribution Jakarta 2 sesuai dengan peraturan BPOM Tahun 2020.

Distribution of pharmaceutical preparations is a very important part of equal access to medicines. The distribution of pharmaceutical preparations in Indonesia is controlled by the Food and Drug Supervisory Agency (BPOM). Based on reports from the Food and Drug Monitoring Agency (BPOM) in 2018, 45% of drug distribution cases in Indonesia were related to irregularities in drug distribution to unauthorized parties. Deviant distribution processes can cause various risks such as contamination, damage or counterfeiting of drugs. The purpose of writing this special assignment is to find out and obtain information regarding the implementation of Good Medicine Distribution Methods at Kimia Farma Trading and Distribution Jakarta 2 based on CDOB. Data collection was obtained from interviews and direct observation. Data in the form of information regarding the implementation of CDOB aspects based on Food and Drug Supervisory Agency Regulation Number 6 of 2020 in the form of aspects of Complaints, Returned Medicines or Medicinal Ingredients, Suspected Counterfeits and Recalls, Contract Based Distribution Facilities, and Documentation. The results obtained are that the CDOB aspect has been implemented by PT Kimia Farma Trading and Distribution Jakarta 2 in accordance with the 2020 BPOM regulations.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bismo Teguh Prakoso
"Peredaran obat palsu di Indonesia telah mencapai senilai 2 (dua) miliar dollar Amerika atau 25% dari total persentase bisnis farmasi di Indonesia pada 2016 (MIAP, 2016). Upaya pencegahan dan penanggulangan permasalahan ini telah diupayakan lintas sektor instansi formal sebagai respons tindak lanjutnya. Namun demikian, produsen obat palsu justru tetap langgeng menjalankan bisnisnya. Dalam pandangan penulis, langgengnya bisnis obat palsu di Indonesia mungkin ditengarai oleh eksistensi politico-criminal configurations, yakni konsep yang digunakan oleh Briquet dan Favarel-Garrigues (2010) ketika mengungkap adanya interaksi yang bersifat symbiosis mutualism antara holders of political power (negara) dengan users of extralegal force and intimidation (organized crime).
Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, penulis mewawancarai aparatur negara perwakilan instansi yang berwenang dalam penanganan masalah peredaran obat palsu dan dua produsen obat palsu. Hasilnya, penulis menemukan bahwa gagasan bahwa terdapatnya relasi antara negara dan organized crime dalam konsep politico-criminal configurations (Briquet & Favarel-Garrigues, 2010; Gayer, 2014; Ketchley, 2017) tampaknya belum dapat dibuktikan sepenuhnya. Relasi ini hanya ditemukan dalam bentuk kooptasi fungsi negara sebagai enforcement of norms oleh organized crime melalui corrupted state apparatus. Lebih lanjut, penulis juga menemukan bahwa proses bisnis obat yang panjang menciptakan criminogenic environment yang didukung dengan adanya corporate-organized crime.

Counterfeit drugs in Indonesia had reached two billion USD or 25% of total amount pharmaceutical business in Indonesia during 2016 (MIAP, 2016). Preventive and repressive effort have been endeavored across sectors of formal institution. Nevertheless, the business remain stay. In my opinion, this situation may have supported by the existance of politico-criminal configurations, a symbiosys mutualism interaction between holders of political power (state) dengan users of extralegal force and intimidation (organized crime) Briquet & Favarel-Garrigues, 2010).
Through qualitative approach, this study interviewed state apparatus from seven drugs related enforcement institions and two offenders. Result shows relation of politico-criminal configurations is not fully proven. This relation is only found in the form of co-optation of state functions as enforcement of norms by organized crime through corrupted state apparatus. Furthermore, study also find that a complicated business process of drugs creates a criminogenic environment that is supported by corporate-organized crime.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
D2738
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ira Sugiarsih
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana pengaruh kompetisi politik, dalam hal ini konsentrasi partai politik dan fragmentasi pemerintahan, terhadap peluang keterlambatan penetapan APBD. Penelitian ini menggunakan data panel tahunan dari 509 pemerintah daerah dalam kurun waktu tahun 2009-2017 yang kemudian dianalisa dengan regresi logistik biner dan OLS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kompetisi politik, dalam hal ini fragmentasi pemerintahan, secara signifikan meningkatkan peluang keterlambatan penetapan APBD. Sedangkan pengujian tambahan atas pengaruh kompetisi politik terhadap lamanya hari keterlambatan APBD menunjukkan bahwa kompetisi politik memiliki pengaruh yang tidak konsisten terhadap lamanya hari keterlambatan APBD. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi lamanya keterlambatan penetapan APBD dibawah 120 hari adalah konsentrasi partai politik, opini BPK, anggaran belanja dan kemandirian keuangan daerah. Sedangkan keterlambatan penetapan APBD yang lebih dari 120 hari dipengaruhi oleh faktor-faktor lain di luar variabel yang ada. Penelitian ini merekomendasikan pemerintah untuk membentuk perundang-undangan secara khusus mengenai keterlambatan penetapan APBD, yang mengatur mekanisme check and balances dalam proses penganggaran di daerah, serta menetapkan reward and punishment yang lebih tegas terkait ketepatan waktu penetapan APBD.

This study aims to find out how the effect of political competition, in this case the concentration of political parties and government fragmentation, on the probability of regional budget delays. This study uses annual panel data from 509 local governments for the period 2009-2017 which is then analyzed with binary logistic regression. The results show that political competition, in this case the fragmentation of government, significantly increases the opportunity of regional budget delays. An additional examination held on the effect of political competition on the duration of regional budget delays shows that political competition has an inconsistent effect on duration of delays. Factors predicted to influence the duration of regional budget delays that is less than 120 days are the concentration of political parties, BPK opinion, budgetary expenditures and regional independence. Meanwhile, the regional budget delays that is more than 120 days is influenced by factors other than the existing variables. This study recommends the government to establish specific regulation about regional budget delays, which regulates the check and balance mechanism in the regional budgeting process, as well as implements reward and punishment regarding the timeliness of regional budget. "
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisinis Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silvana Jovanka Putri Surbakti
"Seiring dengan kemajuan teknologi, kini penjualan obat tak lagi hanya melalui apotek atau toko obat yang dilakukan secara fisik atau tatap muka. Kini banyak situs daring seperti, apotek commerce maupun media sosial yang menawarkan dan menjual berbagai produk farmasi. Dengan keadaan demikian,  konsumen dapat dengan mudah mendapatkan obat - obatan tersebut termasuk obat keras dan obat tanpa izin edar yang dapat membahayakan kesehatan konsumen. Penelitian yuridis-normatif ini akan membahas mengenai upaya pengawasan yang dilakukan BPOM maupun pelaku usaha dalam mengatasi peredaran obat keras dan tanpa izin edar pada situs jual beli daring di Indonesia serta menganalisis apakah regulasi yang ada telah melindungi konsumen. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa regulasi yang ada saat ini masih bersifat sektoral dan  masih mengatur sebatas peredaran obat secara kovensional sehingga diperlukan adanya peraturan yang mengatur secara spesifik mengenai peredaran obat secara daring sehingga dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi konsumen. Adapun upaya pengawasan yang telah dilakukan masih terkendala oleh keterbatasan anggaran, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia.
Along with technological advances, drug sales are now no longer only through pharmacies or drug stores that are carried out physically or face to face. But nowdays, many online sites such as online pharmacies, online marketplace, and social media offer and sell various pharmaceutical products. Under these circumstances, consumers can easily obtain drugs including prescription drugs and unlicensed drugs which can endanger consumer’s health. Through normative juridical research, this thesis will discusses the supervision efforts by BPOM and business actors to overcome the circulation of prescription drugs and unlicensed drugs on online marketplace in Indonesia and analyzes whether the existing regulations have protected consumers. Based on the results of the study, it can be concluded that the current regulations are still sectoral and only regulate the distribution of drugs conventionally so that there is a need for regulations that specifically regulate drug distribution online so as to provide legal certainty and legal protection for consumers. Meanwhile, the supervision that have been done are still constrained by the limitation of budget, facilities and infrastructure as well as human resources."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bernadetta Dewi Prita Swaraswati
"Perlindungan konsumen merupakan hal yang penting sehingga dibuatlah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Perlindungan konsumen dalam bidang kesehatan yang dibutuhkan oleh konsumen dalam memperoleh produk obat yang beredar di masyarakat, dimana produk obat tersebut telah diawasi oleh suatu instansi yang dapat bertanggung jawab atas pengawas obat. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merupakan instansi yang ditunjuk oleh pemerintah dalam melakukan pengawasan obat, sehingga pelaku usaha yang beritikad baik yang dapat mengedarkan obat tersebut harus mendaftarkan obat tersebut kepada BPOM. Hal-hal yang menjadi pembahasan oleh penulis adalah bagaimana pengaturan peredaran obat; peran BPOM terhadap peredaran dan pengawasan obat keras; serta pelaku usaha mana yang dapat dimintakan pertanggungjawaban oleh konsumen yang mengalami kerugian akibat mengkonsumsi obat keras yang dibeli oleh Pedagang Eceran Obat (PEO).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis, maka diperoleh bahwa peredaran obat dimulai dari Pedagang Besar Farmasi (PBF) sampai pada Apotek, Rumah Sakit, dan Toko Obat. Peredaran obat keras ilegal masih banyak terjadi dan sering disalahgunakan. Pengawasan yang dilakukan oleh BPOM dilakukan dengan penertiban produk obat keras ilegal. Pelaku usaha yang dapat dimintai pertanggungjawaban adalah Pedagang Eceran Obat (PEO) apabila konsumen mengalami kerugian akibat mengkonsumsi obat keras yang dijual oleh PEO tersebut.

Consumer protection is an important thing so Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen were made, Consumer protection in medical scope is needed when the consumers get the medicine had to bo checked and evaluated by the responsible instance. National Agency of Drug and Food Control (BPOM) is the selected instance by the government to control the drug, so the drug vendors who could distribute the drugs have to register their drugs to BPOM. Things those are under discussion by the author is how the drug distribution arrangements; BPOM role in drug distribution and control; also which one who is in charge to held accountable by consumers who suffered losses as a result of consuming drugs purchased by retail drug dealers (PEO).
In this study conducted with the author, it was found that the circulating drugs from Pharmaceutical Wholesalers (PBF), to pharmacies, hospitals, and retail drug dealers. Illegal drug distributions are still common and missed used. BPOM made some policies to control the drug distributions. Vendors who held accountable are the retail drug dealers (PEO) if the counsumers harmed after consuming the drugs sold by the PEO.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S64337
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purwadi
"Pelayanan kesehatan adalah hak azasi manusia dan setiap penduduk berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal sesuai dengan kebutuhannya tanpa memandang kemampuannya membayar. Dalam upaya pelayanan kesehatan, ketersediaan obat dalam jenis yang lengkap, jumlah yang cukup, terjamin khasiatnya, terjamin keamanannya, terjamin mutunya, serta mudah diakses merupakan prasyarat dalam pelayanan kesehatan yang prima.
Mayoritas penduduk Indonesia berpenghasilan menengah kebawah merupakan komunitas yang sangat merasakan beratnya biaya kesehatan yang ditanggung termasuk untuk membeli obat. Dalam upaya meningkatkan keterjangkauan harga obat bagi masyarakat, Pemerintah telah menyediakan obat generik dengan jaminan mutu dari pemerintah dan produsen, dengan harga yang sangat jauh lebih murah dibandingkan dengan obat nama dagang.
Dari hasil penelitian, dijumpai fenomena menarik yaitu : 1). Meskipun harga obat generik relatif sangat rendah, tetapi pasar obat generik hanya memberikan kontribusi sebesar 10% terhadap pasar obat dalam negeri; 2). Adanya rasio harga obat (dengan zat berkhasiat lama) bervariasi cukup besar; 3). Obat dapat dinyatakan sebagai barang yang elastisitas permintaannya adalah inelastis (inelastic atau relatively inelastic) karena perubahan harganya tidak seberapa banyak menyebabkan perubahan pada jumlah yang diminta, atau dengan perkataan lain, perubahan jumlah yang diminta sedikit saja terpengaruh oleh perubahan harganya; 4). Kebijakan pemerintah mengendalikan harga obat generik, tidak serta merta akan dapat menurunkan rasio harga obat generik tersebut terhadap obat nama dagang padanannya, karena adanya unsur-unsur diferensiasi produk dan produsen dapat mengeksploitir beberapa sikap tidak rasional konsumen.
Hasil analisa dengan menggunakan program SPSS versi 10 menunujukkan bahwa : 1). Peningkatan belanja iklan obat sebesar Rp.l,- mendorong peningkatan pasar obat nasional sebesar Rp.16,789,-. Secara signifikan ada pengaruh yang positif antara kenaikan belanja iklan obat dengan pasar obat nasional.; 2). Secara umum harga obat nama dagang akan turun dengan bertambahnya anggaran program promosi Depkes, dan atau akan naik sejalan dengan kenaikan belanja iklan obat.
Peningkatan anggaran program promosi Depkes diharapkan dapat memberikan informasi obat yang tepat, rasional, dan tidak menyesatkan, secara lebih merata, terus menerus dan berkesinambungan, baik kepada tenaga kesehatan maupun kepada masyarakat, yang pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan penggunaan obat generik."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T13234
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>