Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 158681 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Atalia Dewi Febrianne
"Pada awal masa Republik Kelima, pengaruh bahasa Inggris terhadap bahasa Prancis atau Anglisisme semakin kuat akibat perluasan kebudayaan serta superioritas teknologi dan ekonomi Amerika Serikat usai Perang Dunia II. Sebagai reaksi terhadap situasi ini, Prancis mengambil tindakan resistensi untuk mempertahankan kemurnian bahasa Prancis melalui penerapan kebijakan bahasa. Meski demikian, sikap Prancis terhadap Anglisisme senantiasa berubah seiring dengan pergantian masa pemerintahan. Perkembangan sikap Prancis terhadap Anglisisme terwujud dalam pembentukan berbagai badan regulator bahasa pada masa pemerintahan Charles de Gaulle dan Georges Pompidou, pengesahan Undang-Undang Bas-Lauriol pada masa pemerintahan Valéry Giscard dsstaing, pengesahan Undang-Undang Toubon pada masa pemerintahan François Hollande, dan dilakukannya berbagai upaya untuk menerima pengaruh bahasa Inggris setelah pengesahan Undang-Undang Toubon. Dengan menggunakan metode kualitatif dan teknik studi kepustakaan, penelitian ini memaparkan kebijakan bahasa yang diterapkan sejak awal masa Republik Kelima hingga tahun 2015 untuk menguraikan keterkaitan perkembangan ideologi politik dan sikap Prancis terhadap Anglisisme pada periode itu. Melalui analisis terhadap perkembangan kebijakan bahasa pada masa Republik Kelima, terungkap bahwa perubahan ideologi pemerintah Prancis pada masa Republik Kelima menjadi faktor pembentuk sikap Prancis terhadap Anglisisme dari satu masa pemerintahan ke masa pemerintahan berikutnya.

At the beginning of the French Fifth Republic, Anglicism flourished in France due to the growing cultural expansion and economic power of the United States. In order to preserve the purity of the French language, France began the national resistence against Anglicism through its language policies. The development of the French attitude towards Anglicism throughout the Fifth Republic was manifested in the formation of various linguistic organizations during de Charles de Gaulle and Georges Pompidous government, the ratification of the Bas-Lauriol Law during Valéry Giscard dsÉstaings government, the ratification of the Toubon Act under François Hollande, and the growing acceptance of the English linguistic influence after the ratification of the Toubon Act. This study discusses the language policies implemented since the beginning of the Fifth Republic until 2015 to analyze the relationship between the development of political ideology and the French attitudes towards Anglicism. Through the analysis of the development of language policy during the Fifth Republic, it is revealed that the change of ideology of the French government during the Fifth Republic is the main factor that dictates Frances attitude towards Anglicism from one government to the next."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Izza El Hambra
"Fokus penelitian ini terletak pada perkembangan Konstitusi Prancis pada masa Republik Kelima. Tujuannya untuk menggambarkan perubahan yang terjadi pada Konstitusi Prancis selama Republik Kelima yang tercermin dalam pengubahan beberapa pasal konstitusi. Penelitian ini menggunakan data yang dianalisis berdasarkan konsep konstitusi dan amendemen. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa amendemen yang terjadi berimplikasi memperkuat karakter negara Prancis, dan menyempurnakan peran presiden, parlemen, dan dewan konstitusi sebagai lembaga tinggi negara Prancis.

This thesis discusses The focus of this research lies on the raising of French Constitution During 5th Republic. This research were analyzed based on the concept of constitution and amendment. The thesis concluded that the amendement has goals to describe the character of France, and to make perfect the role of president, parliament, and Conseil Constitutionnel as the highest state body of France."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2011
S14405
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Kenanga Wungu
"[ABSTRAK
Presse féminine di Prancis berkembang pada masa Republik Ketiga. Melalui data-data yang dikumpulkan dari buku, artikel jurnal, serta artikel daring terpercaya, tulisan ini mengetengahkan sejarah dan perkembangannya serta kaitannya dengan kondisi masyarakat Prancis pada masa tersebut. Terdapat berbagai macam bentuk perubahan kondisi politik, sosial, dan ekonomi yang terjadi di bawah pemerintahan ini selama kurun waktu tahun 1870 hingga 1914. Perubahan-perubahan itu memiliki dampak besar terhadap perkembangan presse féminine yang mengarah pada kemajuan baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Selain itu, terlihat pula bahwa presse féminine pada masa Republik Ketiga juga merupakan manifestasi dari kondisi sosial dan budaya perempuan Prancis pada masa itu yang terus berevolusi ke arah modernitas.

ABSTRACT
Presse féminine in France was continuously evolving during the Third Republic. Through the data collected from books, journal and online articles of high reliability, this article explores the history and development of the magazine and its relation to the condition of French society at that time. There were various forms of political, social, and economic changes under the 1870 to 1914 administration span. It is concluded that those changes had a big progressive impact on the development of presse féminine in terms of quantity and quality. In addition, it also appears that presse féminine under Third Republic is a manifestation of the social and cultural conditions of the French women in that epoch that continued to evolve, making its way to modernity., Presse féminine in France was continuously evolving during the Third Republic. Through the data collected from books, journal and online articles of high reliability, this article explores the history and development of the magazine and its relation to the condition of French society at that time. There were various forms of political, social, and economic changes under the 1870 to 1914 administration span. It is concluded that those changes had a big progressive impact on the development of presse féminine in terms of quantity and quality. In addition, it also appears that presse féminine under Third Republic is a manifestation of the social and cultural conditions of the French women in that epoch that continued to evolve, making its way to modernity.]"
2015
MK-PDF
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Firdania Iryanti
"Sebagai negara yang meregulasi praktik prostitusi, Prancis memiliki serangkaian kebijakan dan masalah seputar legalitas Pekerja Seks Komesial (PSK). Setelah penandatangan konvensi PBB (mengenai eksploitasi manusia) pada tahun 1949, Prancis resmi menjadi negara abolisionis yang melarang praktik muncikari dan transaksi seksual berbayar yang melibatkan pihak ketiga. Larangan ini kemudian yang menjadi dasar pembuatan kebijakan pada masa pemerintahan Nicolas Sarkozy dan François Hollande. Penelitian ini membandingkan kebijakan mengenai regulasi praktik prostitusi pada masa pemerintahan Nicolas Sarkozy dan masa pemerintahan François Hollande dengan menggunakan metode kualitatif dan teknik studi kepustakaan. Penelitian ini membuktikan bahwa keputusan Sarkozy untuk mengimplementasikan la Loi pour la Sécurité Intérieure (le délit de racolage) pada tahun 2003 menimbulkan masalah karena PSK menjadi pihak yang dikriminalisasi. Di sisi lain, keputusan Hollande untuk menghapus kebijakan Sarkozy dan menerapkan la Loi de Pénalisation de Client de Prostituée juga tidak menyelesaikan masalah karena mengkriminalisasi pelanggan jasa prostitusi. Pada akhirnya, penelitian ini membuktikan bahwa Sarkozy dan Hollande memiliki pendekatan berbeda dalam menanggulangi masalah prostitusi, namun tujuan akhir dari keduanya adalah untuk menghapus budaya prostitusi di Prancis secara bertahap.

As a state that regulates prostitution, France has a set of policies and problems on the legalities of commercial sex workers (CSWs). After ratifying a UN convention (on abolishing slavery and human trafficking) in 1949, France banned pimping activities and third-party sexual transactions, thus officially becoming an abolitionist state. This ban became the precedent for regulations made by the Nicolas Sarkozy and François Hollande administration respectively. This research compares the regulations on prostitution by both administrations using qualitative method and literature review. This research shows that Sarkozy’s decision to implement la Loi pour la Sécurité Intérieure (le délit de racolage) in 2003 was problematic as it criminalises CSWs. On the other hand, Hollande’s decision to reverse Sarkozy’s policy and enact la Loi de Pénalisation de Client de Prostituée also fails to offer a solution as it instead criminalises patrons of prostitution. Finally, this research proves that although both Sarkozy and Hollande have different approaches to curb prostitution, their goal is to gradually suppress prostitution culture in France."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hanif Amin
"Selama 1933 – 1938, keamanan nasional serta status superpower yang dimiliki Prancis dan Inggris mengalami ancaman besar akibat serangkaian aksi militer yang dilakukan Nazi Jerman. Aksi Nazi Jerman pun telah melanggar Perjanjian Versailles. Akan tetapi, kedua negara tersebut tidak merespon dengan konfrontatif. Alih-alih sanksi, mereka memberi keleluasaan kepada Nazi Jerman dengan melakukan serangkaian konsesi— sikap yang kemudian dikenal sebagai appeasement. Untuk menjelaskan fenomena ini, digunakan metode kualitatif dengan menganalisa tiga faktor. Pertama, potensi negara dari Inggris dan Prancis. Kedua, stimuli sistemik dalam bentuk operasi militer Jerman. Ketiga, persepsi dan kapasitas agen geopolitik di Inggris dan Prancis terhadap kedua faktor yang telah disebutkan. Ketiga faktor tersebut akan dianalisa menggunakan teori neoclassical geopolitics yang diterapkan dalam empat peristiwa: pengunduran diri Jerman dari International Disarmament Conference (1933), perjanjian militer Inggris-Jerman (1935), okupasi Rhineland (1936), serta aneksasi Sudetenland dan Perjanjian Munich (1938). Temuan penelitian menunjukkan bahwa pada 1933 – 1935 ketiadaan sanksi kepada Jerman disebabkan oleh kekeliruan persepsi ancaman dan fokus yang besar pada urusan domestik. Selanjutnya, sejak 1935 terjadi kecenderungan appeasement oleh Inggris dan Prancis karena tiga faktor: ketidakpastian diplomatik, inferioritas kekuatan beserta kekeliruan persepsi terhadap Nazi Jerman.

During 1933-1938, France and Britain faced a threat of their national security and superpower status due to a series of military actions taken by Nazi Germany. These actions by Nazi Germany also violated the Treaty of Versailles. However, both countries did not respond confrontationally. Instead of imposing sanctions, they make a series of concessions that later known as appeasement. Using qualitative methods, this research will examine this situation by analyzing series of factors. First, the state potential of Britain and France. Second, systemic stimuli in the form of Germany's military operations. Third, the perceptions and capacities of geopolitical agents in Britain and France regarding the aforementioned factors. These factors will be analyzed using the theory of neoclassical geopolitics that will be applied to four events: Germany's withdrawal from International Disarmament Conference (1933), Anglo-German Naval Agreement (1935), occupation of Rhineland (1936), and annexation of Sudetenland and the Munich Agreement (1938). Research finding shows that in 1933 – 1935, the absence of sanctions against Germany was due to a misperception of the threat and a significant focus on domestic affairs. After that, from 1935 onwards, there was a tendency of appeasement by Britain and France due to three factors: diplomatic uncertainty, power inferiority, and misperception of Nazi Germany.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Revinda Syahniza Renata
"Kekerasan rumah tangga merupakan isu yang dapat ditemukan di berbagai belahan dunia. Di Prancis, kekerasan rumah tangga disebut sebagai violence conjugale, yaitu kekerasan yang terjadi pada pasangan yang telah resmi di mata hukum ataupun belum. Biasanya, kekerasan tersebut dialami oleh perempuan. Kekerasan rumah tangga di Prancis tidak hanya berdampak pada keamanan masyarakat, tetapi juga pada perekonomian negara. Pada 2010, berdasarkan hasil penelitian yang berjudul Évaluation économique des violences conjugales en France (Penilaian ekonomi tentang kekerasan dalam rumah tangga di Prancis) diketahui bahwa kerugian yang diakibatkan oleh kekerasan dalam rumah tangga di Prancis mencapai 2,472 miliar euro per tahun. Sebagai Presiden yang menjabat pada periode 2012-2017, François Hollande berjanji untuk menangani isu-isu gender, termasuk kekerasan terhadap perempuan, secara lebih serius dan berkomitmen untuk melindungi para perempuan di Prancis pada kampanyenya. Penelitian ini bertujuan untuk melihat seberapa besar upaya Presiden François Holland dalam memenuhi janji kampanyenya terkait perlindungan terhadap perempuan dan kebijakan apa saja yang telah dikeluarkan di masa pemerintahannya untuk mengatasi tingginya angka kekerasan rumah tangga di Prancis serta melihat apakah kebijakan tersebut sudah mencapai sasarannya. Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode kualitatif dan teori yang digunakan adalah analisis kebijakan milik William Dunn, khususnya analisis retrospektif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Presiden Francois Holande telah berusaha menepati janji pemilunya, di antaranya adalah dengan meratifikasi Konvensi Istanbul pada 2014 dan mengesahkan undang-undang 4 Agustus (La Loi de 4 Aôut) tahun 2014 beserta kebijakan-kebijakan kesetaraan gender yang mencakup usaha untuk mengurangi jumlah angka kekerasan terhadap perempuan. Namun, berdasarkan data pada tahun 2012-2017, penerapan kebijakan tersebut tidak terlalu berhasil dalam menurunkan angka kematian akibat kasus kekerasan rumah tangga secara signifikan. Nyatanya, angka korban kekerasan terhadap perempuan, khususnya dalam ranah domestik, masih bersifat fluktuatif. Meskipun demikian, kebijakan-kebijakan tersebut telah berhasil meningkatkan kewaspadaan dan kesadaran masyarakat di Prancis untuk lebih peduli terhadap masalah kekerasan rumah tangga dengan cara melapor kepada pihak yang berwenang.

Domestic violence is an issue that can be found in various parts of the world. In France, domestic violence is referred to as the violence conjugale, which is violence that occurs to partners who are legal or not. Usually, this violence is experienced by women. Domestic violence in France has an impact not only on the security of the society but also on the country's economy. In 2010, based on the results of a study with the title of Évaluation économique des violences conjugales en France (Economic assessment of domestic violence in France), the losses caused by domestic violence in France reached 2.472 billion euros per year. François Hollande, as The President who served in the 2012-2017 period, during the presidential campaign promised to take gender issues, including violence against women, more serious and committed to protecting women in France. This study aims to see how much effort President Francois Holland has made in fulfilling his campaign commitments regarding the protection of women and what policies have been issued during his presidential reign to solve the high number of victims
of domestic violence in France and to see whether these policies have achieved their goals. In this research, the method used is a qualitative method and the theory used is William Dunn's policy analysis, particularly the retrospective analysis. The result shows that President Francois Hollande attempted to keep his election commitments, by ratifying the Istanbul Convention in 2014 and passing the law of August 4 (La Loi de 4 Aôut) in 2014 along with gender equality policies that include efforts to reduce the number of rates of violence against women. However, based on data for 2012-2017, the implementation of this policy was not very successful in reducing the mortality rate, caused by domestic violence, significantly. The number of victims of violence against women, especially in the domestic domain, is still fluctuating. Nevertheless, these policies have succeeded in increasing the awareness and consciousness of the society of France to be more concerned about the problem of domestic violence by speaking up and reporting to the authorities.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amira Azzahra Denita
"Sudah banyak penelitian membuktikan bahwa sikap memprediksi perilaku berkelanjutan individu. Sikap merupakan konsep untuk memahami perilaku manusia, sikap dapat memengaruhi beberapa aspek dalam kehidupan individu seperti pandangan individu lain, objek fisik, perilaku, maupun kebijakan. Di sisi lain terdapat beberapa peneliti yang meragukan tentang peranan sikap dalam memengaruhi perilaku individu. Maka dari itu penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh sikap terhadap perilaku berkelanjutan. Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan populasi karyawan GoTo pada sustainability team. Pengambilan data dilakukan dengan penyebaran kuesioner secara daring kepada 50 partisipan. Alat ukur kuesioner yang digunakan antara lain General Ecological Behavior Scale (GEB) untuk mengukur perilaku berkelanjutan, A validity and reliability study of the Attitudes toward Sustainable Development scale untuk mengukur sikap. Data yang diperoleh pada penelitian ini dianalisa menggunakan teknik analisis regresi linear sederhana. Hasil analisis menunjukan bahwa sikap terhadap three zeros dapat memprediksi perilaku berkelanjutan. Hasil penelitian ini dapat memberikan implikasi bagi perusahaan atau masyarakat umum untuk menerapkan perilaku berkelanjutan berdasarkan kebijakan three zeros dalam kehidupan sehari-hari dengan tujuan untuk kehidupan yang berkelanjutan.

Many studies have proven that attitudes predict an individual's sustainable behavior. Attitude is a concept to understand human behavior, attitudes can affect several aspects of an individual's life such as the views of other individuals, physical objects, behavior, and policies. On the other hand, there are some researchers who doubt the role of attitudes in influencing individual behavior. Therefore, this study aims to see the effect of attitudes on sustainable behavior. This study is a cross-sectional study with a population of GoTo employees on the sustainability team. Data was collected by distributing online questionnaires to 50 participants. The questionnaire measuring instruments used include the General Ecological Behavior Scale (GEB) to measure sustainable behavior, A validity and reliability study of the Attitudes toward Sustainable Development scale to measure attitudes. The data obtained in this study were analyzed using a simple linear regression analysis technique. The results of the analysis show that attitudes towards the three zeros can predict sustainable behavior. The results of this study can provide implications for companies or the general public to implement sustainable behavior based on the three zeros policy in everyday life with the aim of a sustainable life."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andrie Syahriza
"Analisis ini mempunyai latar belakang lingkup makro yaitu melihat kondisi di negara berkembang yang memiliki keterbatasan atau rendahnya tenaga profesional pegawai negeri sipil yang memahami dan menguasai teknologi informasi. Imbas dari kendala yang muncul berakibat pada terganggunya pelaksanaan implementasi teknologi informasi yang telah menjadi program nasional. Secara mikro keadaan tersebut juga terjadi di Indonesia, di mana perencanaan implementasi e-Govemment oleh pemerintah pusat dijabarkan melalui payung kebijakan e-Govemment. Namun hasil yang tampak belum terlihat secara jelas dan nyata dikegiatan sehari-harinya. Berbagai faktor mempengaruhi hal tersebut, salah satunya yang utama adalah tingkat pemahaman pegawai negeri sipil terhadap e-Government mash ,sangat rendah. Apa yang telah dilakukan pada kurun waktu lama saat lalu tidak diikuti dengan kesiapan sumber daya manusia yang handal dan mengerti akan esensi dari e-Government. Mengingat kebijakan ini berkaitan dengan penerapan teknologi informasi yang sangat cepat perkembangannya maka dituntut pula kesiapan tenaga profesional yang cepat memahami dan mengerti implemetasi dari kebijakan e-Government.
Berkaitan dengan hal tersebut, penulis mencoba menganalisis pemahaman dari para pegawai negeri sipil di Sekretariat Negara terutama para pejabatnya terhadap kebijakan e-Government guna peningkatan kinerja instansi dan pencapaian tujuan sebagai pemerintahan yang baik. Deegan pemahaman yang benar maka implementasinya dapat dituangkan dalam suatu rencana stratejik sehingga dapat dilaksanakan sesuai dengan arah yang benar dan tepat. Penelitian pemahaman ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan operational thinking dari salah satu 7 (tujuh) systems thinking yang ada. Sedangkan kriteria yang digunakan yang sesuai dengan pemahaman operational thinking diambil dari pendapat Eko Indrajit lewat paradigma berbasis teknologi informasi. Kriteria yang dimaksud meliputi Orientasi, Proses Organisasi, Prinsip-prinsip Manajemen, Gaya Kepemimpinan, Komunikasi Internal, Komunikasi Eksternal, Model Jasa Pelayanan, dan Prinsip Jasa Pelayanan. lmplementasi kebijakan e-government yang dituangkan dalam Rencana Stratejik Sekretariat Negara dapat dibandingkan dengan kebijakan e-Govemment Singapura yang telah dahulu dalam penerapannya.
Teori yang mendukung adalah teori kebijakan publik, teori electronic government, toad operational thinking, dan teori implementasi. Untuk mendukung kegiatan penelitian diperlukan data primer dan data sekunder yang diperoleh dari cara melakukan teknik wawancara dan penyebaran kuesioner kepada responden serta dielngkapi dengan pencarian infonnasi lewat berbagai jurnal dan dokumen. Populasi penelitian adalah para pejabat dan eselon II hingga eselon IV di Sekretariat Negara RI dan metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode deskriptif kualitatif. Metode sampling yang digunakan adalah nonprobabilily sampling dengan accidental sampling. Responden yang terkumpul sebanyak 27 orang dan perhitungan data yang dipakai adalah skala Likert dengan penentuan skoring.
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian tersebut menghasilkan, secara individual tingkat pemahaman para pejabat masih rendah/belum paham. Hal tersebut terlihat dari beberapa indikator yang masih dibawah tingkat paham sehingga berakibat kepada kebijakan pimpinan yang tertuang dalam Rencana Stratejik Sekretariat Negara 2001-2005 yang menjadikan perencanaan e-Govemment tidak jelas dan tidak terarah.
Untuk menyiasati gap/masalah yang muncul pertu diusahakan peningkatkan pemahaman dan sosialisasi yang benar tentang e-Govemment lewat berbagai usaha pendidikan dan komitmen kuat individu sehingga implementasinya lewat Rencana Stratejik dapat dijabarkan secara benar dan jelas, sehingga tujuan dari pemerintah agar menjadikan pemerintahan yang baik dan akuntabel dapat terwujud."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14050
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yessy Yasminy
"Multilingualism in EU is a state of affairs emerged as a range of different languages encounter one another. The history of European integration and the course of language policy in EU show that there is no policy on the language of EU. Issues related to language regulate themselves to practical tenets. This is what is identified as laissez-faire policy model. The putting into practice of this laissez-faire policy model in EU has significant implications to French language. They are closely correlated with the question of power. France, as a member-state having a vital role and strong leadership character in integration, perceives this circumstance as a form of threat against the strength and the popularity of its language.
Situations of multilingualism and language policy belong to one theoretical framework of sociolinguistics study and come into surface alongside political thinking_ One of the sociolinguistics scholars is Pierre Bourdieu, who suggests diverse concepts; among them are champ, capital, habitus, ilhrsio, libido and symbolique violance. Bourdieu develops sociology theory and associates it with other studies, such as media, literature, and politics. The study on Ianguage policy in ELI in this thesis applies the approaches put forward by Bourdieu. EU has been an arena of political interest struggle (champ) to two key member states i.e. France and the UK. Both states engage in the champ and draw on different capital. Language policy is the primary factor determining the dissemination and reinforcement of French language. France has vigorously promoted its language by employing massive policies on language and culture. Nevertheless, the results of these efforts cannot go beyond the popularity of English in EU, which in this case is influenced by the factors of economy, culture, and politics.
There is in fact another factor that determines the dissemination and reinforcement of English language, i.e_ the factor of the U.S. soft power. This thesis uses the concepts of power proposed by Joseph Nye Jr as well. Nye Jr defines soft power as an ability to gain what is desired by means better than force or money. English has ties to the economic system and global network dominated by the U.S. English itself is an integral part of globalization. The power of globalization becomes a habitus which at the end supports the dissemination and reinforcement of English language. The government of the UK does not need to carry out massive efforts similar to the ones done by the French government to elevate its language on top of language hierarchy. If hierarchy of language is regarded as something that is proper and natural, the acknowledgment of one single dominant language will easily take place. English will easily become the lingua franca of EU. EU's language policy which regulates to practical tenets will turn English into the de facto dominant language. This condition can eventually deteriorate EU's slogan of united in diversity_ The challenge for EU now lies on the ways of how to manage and regulate issues concerning language to strengthen the slogan without having to diminish the national identity of its member states."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T17959
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Coelho, Paulo
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2014
869.342 COE f
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>