Ditemukan 96075 dokumen yang sesuai dengan query
Fatimah Azzahra Hanifah
"Penyelesaian sengketa perbankan syariah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah sempat menimbulkan dualisme antara kewenangan Pengadilan Niaga dan Pengadilan Agama, khususnya dalam perkara kepailitan yang melibatkan perbankan syariah. Undang-undang tersebut membolehkan bank syariah untuk memilih Pengadilan Niaga sebagai forum penyelesaian sengketanya. Padahal sengketa perbankan syariah yang timbul berdasarkan suatu akad syariah tentulah harus diselesaikan dengan ketentuan syariah pula demi melindungi tujuan hukum Islam maupun hak-hak umat Islam. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 kemudian menegaskan bahwa kewenangan pengadilan dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah merupakan kewenangan Pengadilan Agama, sekaligus mencabut kewenangan Pengadilan Niaga untuk menangani sengketa perbankan syariah karena mengandung ketidaksesuaian antara perjanjian yang mendasari sengketa dengan mekanisme penyelesaian sengketanya. Penelitian yang dilakukan dengan metode yuridis-normatif ini berfokus untuk menganalisis kesesuaian antara akad dan penyelesaian sengketa dalam Putusan Nomor 10/PDT.SUS/PKPU/2013/PN.NIAGA.JKT.PST. Putusan tersebut menunjukkan bahwa terdapat prinsip dasar hukum Islam dan perbankan syariah yang terpaksa disimpangi karena penggunaan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yaitu hubungan antara bank syariah dan nasabah yang menurut hukum Islam merupakan hubungan kemitraan menjadi hubungan kreditor-debitor. Hal ini berimplikasi pada perubahan kedudukan para pihak dan juga paradigma dalam memandang perikatan berdasarkan akad syariah yang dalam kasus ini merupakan Akad Pembiayaan Murabahah. Oleh karena itu, sengketa pembiayaan syariah haruslah diselesaikan di Pengadilan Agama apabila para pihak memang hendak menempuh jalur litigasi.
Sharia banking dispute resolution stipulated in Law Number 21 of 2008 concerning Sharia Banking has created a dualism between the authority of the Commercial Court and the Religious Court, especially in bankruptcy cases involving Islamic banks. The law allows Islamic banks to choose the Commercial Court as a forum for resolving their disputes. Whereas sharia banking disputes that arise based on a sharia contract must be settled with sharia provisions as well to protect the objectives of Islamic law and the rights of Muslims. The decision of the Constitutional Court Number 93/PUU-X/2012 then confirmed that resolving sharia banking disputes was the authority of the Religious Court. The decision revoked the authority of the Commercial Court to handle sharia banking disputes because it contained a discrepancy between the agreements underlying the dispute and the dispute settlement mechanism. This juridical-normative research focuses on analyzing the suitability between the contract and settlement of disputes in Decision Number 10/PDT.SUS/PKPU/2013/PN.NIAGA.JKT.PST. The verdict shows that there are basic principles of Islamic law and Islamic banking which are forced to be deviated because of the use of Law No. 37 of 2004 concerning Bankruptcy, namely the relationship between Islamic banks and customers which according to Islamic law is a partnership relationship into a creditor-debtor relationship. This has implications for changes in the position of the parties and also the paradigm of looking at the engagement based on the sharia contract which in this case is the Murabahah Financing Agreement. Therefore, sharia financing disputes must be resolved in the Religious Courts if the parties really want to take the litigation path."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Alfredo Joshua Bernando
"Penerapan hukum kepailitan di Indonesia untuk menyatakan pailitnya seseorang atau suatu perusahaan membutuhkan pembuktian sederhana, dimana hanya membutuhkan syarat mempunyi dua atau lebih kreditur dan mempunyai setidaknya satu hutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Pembuktian yang sangat sederhana ini tidak menyertakan insolvency test sebagai salah satu syarat untuk mendasari pertimbangan Majelis Hakim untuk memutus pailit dalam putusan pengadilan niaga. Hal ini cenderung tidak proporsional karena merugikan pihak debitur, dimana Prinsip Keadilan adalah salah satu Prinsip atau Asas yang mendasari Hukum Kepailitan di Indonesia yakni Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Adanya insolvency test dapat menunjukan bahwa seseorang atau suatu perusahaan sebagai debitur dalam keadaan solven atau insolven, sehingga dapat dipertimbangkan apakah aset-aset yang dimiliki oleh debitur dapat membayar utang-utangnya atau tidak. Tidak adanya penerapan insolvency test dalam proses kepailitan menutup kemungkinan untuk melihat hal-hal tersebut sehingga debitur dapat dengan mudah untuk dipailitkan. Sehingga, insolvency test perlu untuk diterapkan dalam proses kepailitan serta diperbaharui peraturannya agar tidak menciderai prinsip keadilan yang menjadi dasar dari hukum kepailitan di Indonesia.
The application of bankruptcy law in Indonesia to declare someone or a company bankrupt requires simple proof, where it only needs the condition of having two or more creditors and at least one debt that has matured and is demandable. This very simple proof does not include the insolvency test as one of the conditions to substantiate the consideration of the Judges' Panel to decide bankruptcy in a commercial court ruling. This tends to be disproportionate as it harms the debtor, where the Principle of Justice is one of the principles underlying Bankruptcy Law in Indonesia, namely Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Postponement of Debt Payment Obligations. The existence of an insolvency test can show that an individual or a company as a debtor is in a solvent or insolvent condition, so it can be considered whether the assets owned by the debtor can pay off its debts or not. The lack of the application of the insolvency test in the bankruptcy process closes the possibility of examining these matters, making it easy to declare bankruptcy for debtors. Thus, the insolvency test needs to be applied in the bankruptcy process and its regulations need to be updated to avoid undermining the principle of justice that is the basis of bankruptcy law in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Adzikra Yastadzi Sidik
"
ABSTRAKDalam sistem asuransi syariah, setiap peserta bermaksud tolong-menolong satu sama lain dengan menyisihkan iuran kebajikan tabarru. Dalam perusahaan asuransi syariah saat perusaahan tidak membayar klaim nasabah maka hal tersebut bukanlah sebuah utang karena perusahaan hanya bersifat mengelola dana maka tidak sepatutnya terjadi kepailitan dalam perusahaan asuransi syariah. Dari hal tersebut dapat ditarik beberapa rumusan masalah yaitu apakah dana tabarru dalam konsep perjanjian hukum asuransi syariah dapat diartikan sebagai utang yang dijadikan sebagai dasar kepailitan, bagaiman landasan hukum OJK dalam mengajukan permohonan pailit perusahaan Asuransi Syariah Mubarakah, dan apakah pengadilan niaga berwenang mengadili perkara kepailitan perusahaan Asuransi Syariah Mubarakah Penelitian ini dilakukan dengan meneliti perundang-undangan, buku-buku yang berkaitan dengan kepailitan perusahaan asuransi serta melakukan observasi dan wawancara kepada orang yang ahli di bidang perasuransian syariah. Peneliti memperoleh kesimpulan bahwa Perusahaan Asuransi Mubarakah tidak dapat dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga karena konsep yang digunakan oleh Perusahaan Asuransi Syariah ialah Takaful. Saran yang dapat penulis berikan ialah seharusnya pembuat Undang-Undang memberikan pengertian yang lebih jelas dan lebih terperinci terhadap ketentuan utang, seharusnya OJK sebelum mengajukan permohonan pailit terhadap debitor harus menelaah lebih lanjut mengenai prinsip dasar yang digunakan suatu perusahaan, para kreditor dan OJK seharusnya harus mengerti mengenai kewenangan mutlak suatu pengadilan dalam mengadili suatu perkara dalam perkara ekonomi syariah khususnya asuransi syariah yang berwenang mengadili perkaranya ialah pengadilan agama bukan pengadilan niaga.
ABSTRACTWithin the Takaful system, each participant intends to help each other by setting aside the contribution fee tabarru. In the Takaful company when the company does not pay the customer 39 s claim then it is not a debt because the company is only fund managing it is not proper for bankruptcy in sharia insurance company. From this matter can be drawn some formulation of the problem is whether the tabarru funds in the concept of sharia insurance law agreement can be interpreted as the debts that serve as the basis of bankruptcy, how OJK legal foundation in applying for insolvency company Insurance Sharia Mubarakah, and whether commercial courts have the authority to adjudicate corporate bankruptcy cases Asuransi Syariah Mubarakah This research is conducted by examining the legislation, books related to bankruptcy insurance company and make observations and interviews to people who are experts in the field of Islamic Insurance. The researcher concludes that Mubarakah Insurance Company can not be declared bankrupt by Commercial Court because the concept used by Sharia Insurance Company is Takaful. The author 39 s suggestion is that the lawmakers should provide a clearer and more detailed understanding of the terms of the debt, should the OJK before applying for bankruptcy to the debtor should further explore the basic principles used by a company, the creditors and OJK should have to understand regarding the absolute authority of a court in prosecuting a case in a sharia economic case, especially sharia insurance which has the authority to adjudicate its case is a religious court not a commercial court. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Nuruzzhahrah Diza
"Permohonan Pailit Terhadap Ahli Waris Personal Guarantor Studi Kasus Putusan Pengadilan Niaga Nomor 02/Pdt.Sus.Pailit/2014/PN.Niaga.Mks Dalam pemberian pinjaman, sealu terbuka kemungkinan bahwa bank akan menghadapi risiko gagal bayar dari debitur. Untuk mengurangi risiko tersebut, kreditur sering kali mensyaratkan adanya suatu jaminan. Salah satu jaminan yang lazim diminta oleh bank adalah berupa penjaminan perorangan personal guarantee , yang mana seorang pihak ketiga menjamin pelaksanaan kewajiban debitur kepada kreditur dan orang tersebut akan memenuhi kewajiban debitur jika debitur tidak memenuhi kewajiban sebagaimana mestinya wanprestasi . Tanggung jawab seorang personal guarantor sangatlah besar bahkan hingga ke ranah kepailitan. Sekalipun personal guarantor bukanlah debitur tetapi jika ia memenuhi syarat-syarat kepailitan, maka kreditur dapat mengajukan permohonan pailit terhadap dirinya ke Pengadilan Niaga. Permasalahan kemudian timbul ketika seorang personal guarantor meninggal dunia sedangkan perjanjian penanggungannya masih berlaku. Metode penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis-normatif, penulisan bersifat deskriptif dan jenis data yang digunakan adalah data sekunder terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Dengan meninggalnya personal guarantor, segala hak dan kewajibannya akan beralih kepada ahli waris-ahli waris dari personal guarantor itu sendiri. Sebagai konsekuensinya, ahli waris sebagai pihak yang tidak terlibat dalam perjanjian kredit maupun perjanjian penanggungan dapat dimohonkan pailit oleh kreditur sebagaimana halnya dengan pengajuan permohonan pailit terhadap personal guarantor.
The Bankruptcy Petition against Personal Guarantor's Heirs The Case Study of Commercial Court's Decision Number 02 Pdt.Sus Pailit 2014 PN.Niaga.Mks In granting loans, there would be a probability that banks meet with the default risk. To mitigate the impact of the risk, they require a guarantee. As a common form, banks usually ask a personal guarantee, which a third party guarantees the debtor's debt repayment to the creditor, and that party will fulfil the debtor's obligation if he does not fulfil it in default . The personal guarantor has big responsibilities, even into the realm of bankruptcy. Even though a personal guarantor is not a debtor, a creditor may file him a bankruptcy petition to the Commercial Court if he meets the bankruptcy requirements. Problems then arise when a personal guarantor dies while the personal guarantee agreement is still valid. This research tackles with the problems by using a normative juridical approach with descriptive analysis of secondary data which consist of primary law materials and secondary law materials. The problems cause the personal guarantor's rights and obligations upon the agreement are distributed to his heirs. Consequently, his heirs as the party who do not involve in the loan agreement and the personal guarantee agreement may be filed the bankruptcy petition by the creditor as it is usually filed to the personal guarantor."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Donny Indradi
"Penelitian ini membahas mengenai hak notaris dalam proses Putusan Rehabilitasi dari Kepailitan. Kepailitan dapat menimpa kepada Orang Perorangan dan Badan Hukum, dalam hal ini notaris juga dapat menjadi bagian dari subjek kepailitan, Studi Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 20/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN Niaga Surabaya menunjukan bahwa Notaris yang Pailit ketika dalam Proses Pailit akan dikenakan sanksi Pemberhentian Sementara (Pasal 9 UUJN) dan jika berkekuatan hukum tetap dikenai sanksi Pemberhentian dengan tidak hormat sesuai Pasal 12 huruf (a) UUJN. Apabila notaris sudah melakukan pemberesan pailit dan melakukan Rehabilitasi dan meminta pengangkatan kembali, belum ada peraturan yang mengaturnya. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah Mekanisme Kepailitan terhadap notaris dan penjatuhan sanksi jabatannya, serta Pengangkatan Kembali Notaris yang telah melakukan Rehabilitasi. Metode penelitian berupa yuridis normatif, menggunakan baik data sekunder sebagai data utamanya dan didukung dengan wawancara dengan Majelis Pengawas Pusat dan notaris DKI. Adapun analisis dengan pendekatan kualitatif. Alat pengumpulan data berupa studi dokumen dengan menelusuri literatur yang ada. Hasil penelitian, mekanisme kepailitan berdasarkan Undang-Undang Kepailitan dan Penjatuhan sanksi menurut Undang-Undang Jabatan Notaris. Telah terjadi kekosongan hukum dimana notaris yang telah melakukan Rehabilitasi dan adanya bukti baru (novum) berupa Putusan Pengadilan tidak dapat diangkat kembali sebagai notaris karena tidak diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris. Perlu adanya Peraturan Pelaksana yang mengaturnya.
This study discusses the rights of a notary in the process of Rehabilitation from Bankruptcy. Bankruptcy can happen to Individuals and Legal Entities, in this case a notary can also be part of the subject of bankruptcy, the Surabaya District Court Decision Study Number 20/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN Niaga Surabaya shows that the Notary is Bankrupt while in the Bankruptcy Process will be subject to Temporary Dismissal (Article 9 UUJN) and if it is legally enforceable, it will still be subject to dishonorable dismissal in accordance with Article 12 letter (a) of the UUJN. If the notary has already settled the bankruptcy and carried out rehabilitation and requested reappointment, there is no regulation that regulates it. The problems raised in this study are the Mechanism of Bankruptcy against a notary and the imposition of sanctions on his position, as well as the reappointment of a Notary who has carried out rehabilitation. The research method is normative juridical, using both secondary data as the main data and supported by interviews with the Central Supervisory Council and DKI notaries. The analysis with a qualitative approach. Data collection tools in the form of document studies by browsing the existing literature. The results of the research, the bankruptcy mechanism is based on the Bankruptcy Law and the imposition of sanctions according to the Notary Position Act. There has been a legal vacuum where a notary who has carried out rehabilitation and there is new evidence (novum) in the form of a Court Decision cannot be reappointed as a notary because it is not regulated in the Notary Position Act. There needs to be an implementing regulation that regulates it."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Nadine Valenia Narulita Hanggarjati
"Dalam kondisi keuangan yang berdampak pada ketidakmampuan seseorang atau suatu badan hukum dalam memenuhi kewajiban berupa pembayaran utang, maka Debitor dapat mengajukan suatu upaya berupa Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang secara sukarela (voluntary petition). Pengajuan permohonan PKPU secara sukarela ini merupakan suatu bentuk itikad baik Debitor dalam melunasi utang-utangnya kepada Para Kreditor. Terlebih apabila dalam permohonan PKPU tersebut juga dilampirkan suatu rencana perdamaian berupa penawaran jadwal pembayaran dan nominal utang yang akan dibayarkan, maka sudah seharusnya dikabulkan sebagaimana diatur dalam Pasal 225 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Lain halnya dengan pengajuan permohonan PKPU yang diajukan secara sukarela oleh PT Duta Adhikarya Negeri, putusan ini ditolak karena pembuktian yang tidak sederhana. Hal ini disebabkan oleh bukti surat yang memperlihatkan keberadaan utangnya berupa copy dari fotocopy. Namun pada faktanya, bukti-bukti tersebut telah diakui dan tidak dibantah oleh pihak Kreditor. Pada penelitian ini, Penulis menggunakan metode penelitian yaitu yuridis normatif yang menghasilkan data yang bersifat deskriptif analitis. Penulis akan meneliti pertimbangan Majelis Hakim yang kurang cermat dalam memperhatikan substansi dari permohonan PKPU. Dalam UUK-PKPU tidak secara rinci diatur mengenai pembuktian sederhana dalam perkara PKPU, melainkan diatur dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 109/KMA/SK/IV/2020 tentang Pemberlakuan Buku Pedoman Penyelesaian Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Mengingat bahwa dikabulkannya suatu PKPU dapat memberikan kepastian hukum berupa kesempatan pada Debitor untuk melaksanakan kewajibannya dalam PKPU serta rencana perdamaian, maka sudah seharusnya pengadilan berfokus pada keberadaan utang yang ada pada bukti-bukti yang telah diakui oleh Para Kreditornya sehingga tidak terbantahkan dan menjadi sah di persidangan serta dikabulkan sebagaimana diatur dalam Pasal 225 ayat (2) UUK-PKPU.
In a financial condition that affects the inability of a person or a legal entity to fulfill obligations in the form of debt payments, the Debtor may submit a legal remedy in the form of a voluntary petition. Submitting a PKPU application voluntarily is a form of the Debtor's good faith in paying off his debts to Creditors. Especially if the PKPU request is also attached with a reconciliation plan in the form of offering a payment schedule and the amount of the debt to be calculated, then it should have been granted as stipulated in Article 225 paragraph (2) Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Postponement of Debt Payment obligations. Unlike the case with PT Duta Adhikarya Negeri submitting a PKPU application voluntarily, this decision was rejected because the evidence was not simple. This is caused by documentary evidence that reveals the existence of the debt in the form of a copy of the photocopy. However, in fact, this evidence has been acknowledged and not disputed by the creditors. In this study, the author uses research methods which is normative juridical which produces descriptive analytical data. The author will analyze the considerations of the Panel of Judges which are incomprehensive in paying attention to the substance of the PKPU petition. The UUK-PKPU does not stipulate in detail regarding simple proof in PKPU cases, instead it is regulated in the Decree of the Chief Justice of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 109/KMA/SK/IV/2020 concerning Enforcement of the Handbook for Settlement of Bankruptcy Cases and Suspension of Obligations for Payment of Debt. Given that the granting of a PKPU can provide legal certainty in the form of an opportunity for the Debtor to carry out debt payment obligations in the PKPU as well as a composition plan, then it should be more focusing on the existence of the debts on evidence that has been acknowledged by the Creditors so that they cannot be disputed and become valid in court and granted as regulated in Article 225 paragraph (2) UUK-PKPU."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Gery Fathurrachman
"Pada tahun 2015, Bank Danamon melalui unit usaha syariahnya, Danamon Syariah, menandatangani perjanjian pembiayaan bersama syariah di Indonesia dengan International Islamic Trade Finance Corporation (ITFC), institusi keuangan yang merupakan anggota Islamic Development Bank (IDB) Group. Tujuan dari perjanjian ini adalah mendorong dan mempercepat pertumbuhan pembiayaan syariah di Indonesia.
Skripsi ini membahas dan menganalisis Hak & Tanggung Jawab Hukum dari Bank Danamon Syariah dan ITFC selaku Para Pembiaya dalam Pembiayaan Bersama syariah serta kewajiban Shahibul Maal kepada nasabah dalam pembiayaan bersama syariah antara Bank Danamon Syariah dan ITFC dengan menggunakan Akad Mudharabah. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif menggunakan data sekunder.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Bank Danamon Syariah sebagai pemilik dana (shahibul maal) bertindak pula sebagai agen fasilitas yang juga bertindak sebagai pengelola dana. Walaupun Bank Danamon Syariah memiliki status yang sama dengan ITFC sebagai shahibul maal akan tetapi Bank Danamon Syariah memiliki tanggung jawab yang lebih besar dari ITFC.
By 2015, Bank Danamon through sharia business unit, Danamon Syariah, signed a co-financing agreement sharia in Indonesia with the International Islamic Trade Finance Corporation (ITFC), a financial institution that is a member of the Islamic Development Bank (IDB) Group. The purpose of this agreement is to encourage and accelerate the growth of Islamic finance in Indonesia. This thesis discusses and analyzes the Legal Rights & Responsibilities of Bank Danamon Syariah and ITFC as the funders in the Joint Sharia Financing and the legal obligations of Shahibul Maal to the Customer under the Joint Sharia Financing Agreement between Bank Danamaon Syariah and ITFC. This research is a normative juridical using secondary data. These results indicate that Bank Danamon Syariah as the owner of the funds (shahibul maal) also acting as the facility agent that also acts as a fund manager. Although Bank Danamon Syariah has the same status with ITFC as the shahibul maal, Bank Danamon Syariah has more obligations than the ITFC."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S60612
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Shanti Prameshwara Sotyaningtyas
"Skripsi ini membahas mengenai pembuktian sederhana dalam kepailitan yang terdapat dalam pasal 8 ayat 4 UUK-PKPU serta penerapannya dikaitkan dengan prinsip utang dan hubungan hukum antara kreditor dan debitor pada putusan Pengadilan Niaga Nomor 18/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst. Utang merupakan dasar untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit dan utang tersebut harus dapat dibuktikan secara sederhana. Dalam penelitian ini penulis mengajukan pokok permasalahan, yaitu 1 Apakah majelis hakim dalam putusan Pengadilan Niaga Nomor 18/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst telah sesuai menerapan pembuktian sederhana menurut pasal 8 ayat 4 UUK-PKPU? dan 2 Bagaimana penerapan prinsip utang dan hubungan hukum antara debitor dan kreditor dikaitkan dengan pembuktian sederhana menurut pasal 8 ayat 4 UUK-PKPU pada putusan Pengadilan Niaga Nomor 18/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst?. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan tipe penelitian deskriptif dan mono disipliner. Berdasarkan hasil analisa penulis, diperoleh kesimpulan bahwa, majelis hakim telah sesuai menerapkan pembuktian sederhana dalam pasal 8 ayat 4 UUK-PKPU dan juga telah sesuai menerapkan prinsip utang dikaitkan dengan pembuktian sederhana tersebut. Oleh sebab itu, putusan majelis hakim yang menolak permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh Para Pemohon dalam kasus tersebut sudah sesuai dengan UUK-PKPU.
The focus of this thesis is on the simple justification in bankruptcy contain in Article 8 paragraph 4 UUK PKPU and its application related to the principle of debt and the legal relationship between creditors and debtor in the decision of Commercial Court Number 18 Pailit 2012 PN.Niaga.Jkt.Pst. Debt is the basis for filling petition for a declaration of a bankcruptcy and in bankruptcy that debt must be proven simply. In this study the writer proposed the main issues, which are 1 Are the panel of judges in the decision on Commercial Court Number 18 Pailit 2012 PN.Niaga.Jkt.Pst has been consistent to implement the simple justification accrording to Article 8 paragraph 4 UUK PKPU and 2 How the application of the principle of debt and the legal relationship between creditor and debtor associated to the simple justification according to Article 8 paragraph 4 UUK PKPU in the decision on Commercial Court Number 18 Pailit 2012 PN.Niaga.Jkt.Pst. This research used normative juridical method with a descriptive and mono dicipliner tipology. Based on the results of the writer's analysis, the writer came to conclusion that the panel of judges has been consistent to apply the simple justification in Article 8 paragraph 4 UUK PKPU and also has consistent apllying the principle of debt associated with simple justification. Therefore, the decision of the panel of the judges who refused the petition for a declaration of a bankcruptcy filled by the Petitiones in cases accordance with the UUK PKPU. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Rina Puspitasari
"Penelitian ini adalah tentang perlindungan hukum terhadap konsumen satuan rumah susun sebagai kreditur konkuren dalam kasus kepailitan dari debitur (pelaku pembangunan rumah susun), sebagaimana dalam Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 32/Pdt.Sus-PKPU/2019/PN.Niaga.Jkt.Pst. Selama ini banyak ditemukan penjualan rumah susun yang belum dibangun namun tetap dilakukan perbuatan hukum pengikatan jual beli dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). Pada akhirnya hal tersebut menimbulkan sengketa ketika terjadi kepailitan dari pelaku pembangunan. Oleh karena itu permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dijadikan dasar pembelian rumah susun yang belum dibangun, dan perlindungan hukum terhadap konsumen satuan rumah susun sebagai kreditur konkuren dalam konteks kepailitan debitur (pelaku pembangunan). Penelitian yuridis normatif ini menggunakan data sekunder melalui studi kepustakaan dengan didukung oleh wawancara dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Dari hasil analisis dapat dinyatakan bahwa akta PPJB dapat dijadikan dasar untuk peralihan hak atas tanah apabila harga yang sudah disepakati bersama telah dibayar lunas dan objeknya sudah dikuasai oleh pembeli. Adapun terkait perlindungan hukum terhadap konsumen satuan rumah susun sebagai kreditur konkuren sangat lemah karena tidak ada ketentuan yang dengan tegas mengatur tentang itu. Selama ini di dalam pengaturan tentang pembayaran pengembalian kepada kreditur, besaran yang diterima oleh kreditur konkuren adalah sisa dari hasil pembayaran kepada kreditur lainnya, dalam hal ini adalah kreditur separatis dan kreditur preferens. Dengan demikian apabila hasil penjualan dari boedel pailit debitur sudah habis, maka kreditur konkuren tidak mendapatkan apapun, meski ia sudah membayar lunas.
This research describes protection law for apartment costumers as concurrent creditors in bankruptcy cases from debtors (apartment developers), as stated in the Decision of the Commercial Court at the Central Jakarta District Court Number 32/Pdt.Sus- PKPU/2019/PN.Niaga.Jkt.Pst. All this time, many apartment sales have not been built, but it is done a legal act that binds sale and purchase in the Sale and Purchase Agreement (SPA). In the end, it creates a dispute when the apartment developer is bankrupt. Therefore, the problem described in this study is regarding the deed of the Sale and Purchase Agreement (SPA). That agreement is the basis for purchasing apartments that have not been built and protection law for consumers of apartment units as concurrent creditors in the context of debtor bankruptcy (apartment developer). This normative juridical research uses secondary data through literature study supported by interviews and then analyzed qualitatively. From the analysis results, it can be stated that the SPA deed can be used as the basis for transferring land rights if the mutually agreed price has been fully paid and the buyer has controlled the object. The protection law for apartment consumer units or concurrent creditors is fragile because there are no regulated provisions. In the repayment plan to creditors, the amount received by concurrent creditors is the rest of the proceeds payments to other creditors, in this case, the separatist creditors and preferred creditors. Therefore, if the proceeds from the sale of the debtor's bankrupt bank are exhausted, the concurrent creditor does not get anything, even though he has fully paid the debt."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Reanatha Cassandra
"Tulisan ini menganalisis bagaimana pengajuan permohonan pailit bagi koperasi yang melakukan kegiatan usaha dibidang jasa keuangan serta hak dari anggota koperasi yang melakukan penyetoran kepada koperasi dalam bentuk investasi yang bukan merupakan setoran atas simpanan pokok dan simpanan wajib pada koperasi untuk mengajukan permohonan pailit pada koperasi. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode
penelitian doktrinal. Pengajuan permohonan pailit bagi koperasi yang melakukan kegiatan usaha dibidang jasa keuangan dapat diajukan oleh pihak-pihak yang dapat membuktikan bahwa ia seorang kreditur yang memiliki hubungan utang-piutang dengan koperasi. Anggota koperasi yang melakukan penyetoran kepada koperasi dalam bentuk investasi yang bukan merupakan setoran atas simpanan pokok dan simpanan wajib berdasarkan Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang berhak dalam mengajukan permohonan pailit atas Koperasinya sendiri apabila anggota koperasi tersebut telah memenuhi syarat dalam mengajukan permohonan pailit dalam UUKPKPU, namun hal ini bertentangan dengan asas kekeluargaan yang ada pada tubuh koperasi.
This research analyzes how to file a bankruptcy application for a cooperative that carries out business activities in the financial services sector as well as the rights of cooperative members who make deposits to the cooperative in the form of investments that are not deposits on principal savings and mandatory savings to the cooperative to file a bankruptcy application for the cooperative. This research was prepared using doctrinal research methods. Filing a bankruptcy petition for a cooperative that carries out business activities in the financial services sector can be submitted by parties who can prove that they are a creditor who has a debt-receivable relationship with the cooperative. Cooperative members who make deposits to the cooperative in the form of investments that are not deposits of principal savings and mandatory savings based on Bankruptcy Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations have the right to file a bankruptcy petition for their own cooperative if the cooperative member has fulfilled the requirements for filing a bankruptcy petition in UUKPKPU, but this is contrary to the principles kinship that exists within the cooperative body."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library