Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 111539 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sophika Umaya
"Latar Belakang: Luka bakar berat dengan komorbid diabetes melitus (DM) secara teoritis dapat mengalami fenomena second hit, rentan terhadap peningkatan respon hipermetabolisme karena efek gabungan luka bakar akut dan patofisiologi DM. Implikasi gabungan efek tersebut meningkatkan morbiditas mortalitas, sehingga dibutuhkan tatalaksana nutrisi adekuat untuk melawan respon hipermetabolik dan hiperkatabolik, yang diharapkan memengaruhi perbaikan kontrol glukosa darah.
Metode: Serial kasus ini terdiri atas empat pasien luka bakar berat karena api dengan DM tipe 2 yang dirawat di ICU luka bakar. Tatalaksana nutrisi diberikan dengan nutrisi enteral dini dalam waktu 24 jam pertama, secara bertahap diberikan sesuai kondisi klinis dan toleransi asupan, dengan target kebutuhan energi awal 20-25 kkal/kg BB/hari, protein 1,5-2 g/kg BB/hari, lemak 25-30%, dan karbohidrat 55-60%.
Hasil: Pemberian nutrisi pada keempat pasien dapat membantu mempertahankan kadar glukosa darah tidak mengalami peningkatan fluktuasi tajam. Interupsi pemberian nutrisi yang disebabkan berbagai kondisi klinis dan tindakan, menyebabkan target energi dan protein harian sulit tercapai pada keempat pasien. Komplikasi sepsis dan syok sepsis terjadi sehingga pada akhirnya keempat pasien meninggal.
Kesimpulan: Luka bakar berat, pengendalian infeksi, obesitas, komorbid DM, variabilitas glikemik, serta tatalaksana nutrisi yang tidak adekuat, dapat meningkatkan morbiditas mortalitas pada pasien ini, karenanya masih menjadi tantangan tim terapi medik gizi.

Background: Severe burns with comorbid diabetes mellitus (DM) can theoretically experience a second hit phenomenon, susceptible to increased hypermetabolic response due to the combined effect of acute burns and DM pathophysiology. The combined implications of these effects increase mortality morbidity, so that adequate management of nutrition is needed to counteract the hypermetabolic and hypercatabolic responses, which are expected to influence improvement in blood glucose control.
Method: The cases series consist of four patients with severe burns due to fire with type 2 DM, treated in ICU burns. Nutritional management is given with early enteral nutrition in the first 24 hours, gradually given according to clinical conditions and intake tolerance, with a target of initial energy requirements of 20-25 kcal/kg body weight/day, protein 1.5-2 g/kg body weight/day, 25-30% fat, and carbohydrates 55-60%.
Results: Nutrition therapy to all four patients can help maintain blood glucose levels not experiencing sharp fluctuations. Nutritional interruption caused by various clinical conditions and actions, causes daily energy and protein targets difficult to achieve in all four patients. Complications of sepsis and sepsis shock occur and eventually all four patients die.
Conclusions: Severe burns, infection control, obesity, comorbid DM, glycemic variability, and inadequate nutritional management, can increase mortality morbidity in these patients, therefore it remains a challenge for the nutritional medical therapy team."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58657
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anak Agung Eka Widya Saraswati
"Pasien diabetes melitus tipe 2 (DMT2) berisiko mengalami komplikasi akibat hiperglikemia yang memperberat morbiditas, dan berkontribusi terhadap terjadinya sakit kritis. Tata laksana nutrisi pada kondisi tersebut bertujuan untuk mengatasi hiperglikemia, yang diharapkan dapat meningkatkan luaran klinis, mencegah progresi komplikasi, mempersingkat fase sakit kritis serta lama rawat rumah sakit (RS). Dua dari empat pasien berjenis kelamin perempuan dan siasanya laki-laki, dengan rentang usia 55–67 tahun. Dua pasien mengalami gagal nafas, satu pasien dengan status epileptikus berulang, dan satu pasien dengan perburukan intra operasi sehingga membutuhkan perawatan intensif. Semua pasien mengalami komplikasi DMT2. Status gizi pasien secara berurutan adalah malnutrisi sedang, berat badan lebih, obes I, dan malnutrisi berat. Tiga pasien mendapatkan terapi medik gizi sejak fase akut awal sakit kritis, sedangkan sisanya setelah lebih dari tujuh hari perawatan intensif. Terapi medik gizi yang diberikan selama perawatan intensif, meliputi pemenuhan energi, makronutrien, dan mikronutrien sesuai dengan kondisi klinis, status gizi serta metabolik, dan toleransi asupan pasien. Asupan energi dari keempat pasien di rentang 20–29 kkal/kg BB/hari dan asupan protein mencapai 1,3 g/kg BB/hari. Rerata asupan lemak dan karbohidrat berturut-turut 20–29% dan 51–67% total kalori. Semua pasien mendapatkan mikronutrien sesuai penyakit pasien. Pemenuhan nutrisi spesifik, berupa monounsaturated fatty acid (MUFA) berasal dari nutrisi enteral yang mengandung nutrisi tersebut. Selama perawatan semua pasien masih mengalami hiperglikemia, namun bila dibandingkan dengan awal perawatan, dua pasien telah mengalami perbaikan glikemik dan perbaikan penanda inflamasi serta infeksi, sedangkan sisanya masih mengalami hiperglikemia. Durasi perawatan intensif dan perawatan RS yang lebih panjang ditemukan pada pasien dengan status gizi malnutrisi, kontrol glikemik yang belum baik, dan inflamasi yang belum tertangani. Semua pasien dapat melewati fase sakit kritis dan step down ke ruang rawat biasa. Akan tetapi, dua pasien dengan malnutrisi dan hiperglikemia meninggal dunia di ruangan biasa akibat perburukan infeksi dan inflamasi. Sementara itu, sisanya mengalami perbaikan di ruang rawat biasa dan diizinkan rawat jalan. Keparahan penyakit, komplikasi, morbiditas, status gizi serta metabolik, dan kontrol glikemik memengaruhi luaran klinis dan tingkat mortalitas pada pasien DMT2 dengan sakit kritis.

Patients with type 2 diabetes mellitus (T2DM) are at risk of experiencing complications due to hyperglycemia which aggravate morbidity, and contribute to the incidence of critical illness. Nutritional management in this condition aims to overcome hyperglycemia, which is expected to increase clinical outcomes, prevent progression of complications, shorten the critical illness phase and length of hospital stay (LOS). Two out of four patients are female and the rest are male, with an age range of 55–67 years. Two patients experienced respiratory failure, one patient with recurrent status epilepticus, and one patient with intraoperative deterioration requiring intensive care. All patients had complications of T2DM. The nutritional status of the patients was moderate malnutrition, overweight, obese I, and severe malnutrition, in order. Three patients received nutritional medical therapy since the initial acute phase of critical illness, while the rest after more than seven days of intensive care. Nutritional medical therapy that is given during intensive care, includes the fulfillment of energy, macronutrients, and micronutrients in accordance with the clinical condition, nutritional and metabolic status, and tolerance of patient intake. Energy intake of the four patients ranged from 20–29 kcal/kg BW/day and protein intake reached 1.3 g/kg BW/day. The mean intake of fat and carbohydrates was 20–29% and 51–67% of total calories, respectively. All patients received micronutrients according to the patient's disease. The fulfillment of specific nutrients, in the form of monounsaturated fatty acids (MUFA), comes from enteral nutrition that contains these nutrients. During treatment, all patients still had hyperglycemia, but when compared to the initial treatment, two patients had improved glycemic control, inflammatory and infection marker, while the rest still had hyperglycemia. Longer duration of intensive care and hospitalization was found in patients with malnourished nutritional status, poor glycemic control, and unwell treated inflammation. All patients can pass through the critical illness phase and step down to regular ward. However, two patients with malnutrition and poor hyperglycemia died in the regular ward due to worsening infection and inflammation. Meanwhile, the rest were allowed outpatient care. Disease severity, complications, morbidity, nutritional and metabolic status, and glycemic control affect clinical outcomes and mortality rates in critically ill T2DM patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kwan Francesca Gunawan
"ABSTRAK
Diabetes melitus DM merupakan suatu epidemik global. Obesitas merupakan faktor risiko tersering pada terjadinya DM tipe 2. Salah satu komplikasi yang sering dialami oleh penderita DM ialah kaki diabetik. Pada pasien DM dengan obesitas dan kaki diabetik, terapi medik gizi penting untuk mencapai target berat badan, menjaga kadar glikemik, serta mencegah komplikasi DM. Selain itu pemberian nutrisi yang adekuat juga penting untuk mendukung penyembuhan luka. Pasien pada serial kasus ini berusia antara 41 ndash;59 tahun dengan dengan proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Keempat pasien memiliki status gizi obes dengan IMT sebesar 26-54,4 kg/m2. Awitan DM pada keempat pasien diketahui bervariasi antara 1-13 tahun. Terapi medik gizi diberikan sesuai dengan klinis, hasil laboratorium, dan asupan terakhir masing-masing pasien. Dari hasil pemantauan didapatkan bahwa dengan terapi nutrisi yang diberikan terjadi penurunan berat badan sebesar 3,2-4,8 kg 3,2-5,8 dan penurunan nilai HbA1c sebanyak 0,3-0,7. Selain itu juga didapatkan ukuran luka yang mengecil dan gejala neuropati berkurang. Pada pasien DM tipe 2 dengan obesitas dan kaki diabetik, terapi medik gizi yang adekuat berkaitan dengan penurunan berat badan, perbaikan kontrol glikemik, dan penyembuhan luka yang baik.

ABSTRACT<>br>
Diabetes mellitus is now a global epidemic. Obesity is a common risk factor in the occurrence of type 2 diabetes. One of the complications that are often experienced by people with diabetes is diabetic foot. In diabetic patients with obesity and diabetic foot, medical nutrition therapy is important to achieve targeted body weight, maintain glycemic levels, and prevent diabetes complications. Good nutrition is also essential for wound healing. This case series consists of four patients who are between 41-59 years old and obese with BMI of 26-54.4 kg/m2. The onset of DM in all four patients is known to vary between 1-13 years. Nutritional therapy is given in accordance with the clinical, laboratory outcomes, and patients' daily intake. It was found that medical nutrition therapy can lead to weight loss of 3.2-4.8 kg (3.2-5.8%) and decreased HbA1c by 0.3-0.7%. It was also observed that the wound size and neuropathy symptoms are reduced. Adequate medical nutrition therapy in type 2 DM patients with obesity and diabetic foot is associated with weight loss, improved glycemic control, and good wound healing."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cut Hafiah Halidha Nilanda
"ABSTRAK
Latar Belakang: Stroke hemoragik merupakan penyakit serebrovaskular yang ditandai dengan pecahnya pembuluh darah sehingga terjadi perdarahan pada otak. Penyebab tersering stroke hemoragik adalah hipertensi. Selain itu penyebab lainnya seperti diabetes melitus dan obesitas dapat menjadi penyulit keadaan klinis pasien. Stroke hemoragik dan beberapa penyulit akan menyebabkan disfungsi neurologis dan disfungsi motorik, yang keduanya akan menyebabkan penurunan asupan nutrisi. Penurunan asupan nutrisi dapat disebabkan penurunan kapasitas fungsional dan gangguan proses menelan atau disfagia. Nutrisi yang tidak adekuat dapat menyebabkan kualitas hidup menurun serta risiko serangan stroke berulang. Terapi medik gizi klinis berperan memberi nutrisi optimal, membatasai natrium, mengontrol glukosa darah dan mengatasi defisiensi mikronutrien. Metode:Serial kasus ini terdiri dari empat kasus stroke hemoragik pada pasien perempuan dan laki-laki dengan rentang usia 50 ndash;65 tahun, dengan penyulit seperti disfagia, penurunan kesadaran, dan perdarahan GIT, disertai penyakit penyerta yaitu Hipertensi dan DM tipe 2. Kasus pertama dan kedua mengalami gejala disfagia dan membutuhkan dukungan nutrisi melalui jalur enteral. Kasus ketiga terdapat penurunan asupan makanan karena penurunan kapasitas fungsional yang terjadi. Kasus keempat mengalami penurunan kesadaran dan perdarahan saluran cerna serta membutuhkan dukungan nutrisi secara enteral dan parenteral. Keempat pasien memiliki indeks massa tubuh obes 1. Masalah nutrisi yang dihadapi keempat pasien ini adalah asupan makro dan mikronutrien yang tidak optimal, jalur pemberian nutrisi, kebutuhan nutrisi yang tidak terpenuhi selama sakit. Terapi medik gizi klinik diberikan sesuai rekomendasi stroke hemoragik ddengan hipertensi dan DM tipe 2. Hasil :Kasus pertama hingga kasus ketiga mengalami perbaikan keadaan klinis, antara lain peningkatan kemampuan menelan, perbaikan tekanan darah, kadar glukosa, dan kapasitas fungsional. Kasus keempat meninggal dunia pada hari perawatan ke-8 akibat edema paru dan gagal jantung. Kesimpulan: Terapi medik gizi klinik yang diberikan dapat membantu keadaan klinis dan kapasitas fungsional pada pasien stroke hemoragik dengan Hipertensi dan DM tipe 2.

ABSTRACT<>br>
Background Hemorrhagic stroke is a cerebrovascular disease characterized by rupture of blood vessels resulting in bleeding in the brain. The most common cause of hemorrhagic stroke is hypertension. In addition, other causes such as diabetes mellitus and obesity could worsening the patient's clinical situation. Hemorrhagic strokes and some complications will cause neurologic dysfunction and motoric dysfunction, both of which will lead to a decrease in nutrient intake. Decreased nutritional intake could caused due to decreased functional capacity and impaired ingestion or dysphagia. Inadequate nutrition can lead to decreased quality of life as well as the risk of recurrent stroke. Medical clinical nutrition therapy plays an optimal role in nutrition, restricting sodium, controlling blood glucose and overcoming micronutrient deficiencies. Methods This case series consists of four cases of hemorrhagic stroke in female and male patients with age range 50-65 years, with complications such as dysphagia, consciousness derivation, and gastrointestinal bleeding, accompanied by comorbidities susch as Hypertension and type 2 DM. The first and second cases have symptoms of dysphagia and require nutritional support through the enteral route. The third case there is a decrease in food intake due to decreased functional capacity that occurs. The fourth case has consciousness derivation and gastrointestinal bleeding that requires support of enteral and parenteral nutritions. All of patients had obesity 1 body mass index. Nutritional problems faced by these four patients were unoptimal macro and micronutrient intake, nutritional pathways, unfulfilled nutritional needs during illness. Medical clinical nutrition therapy is given as recommended by hemorrhagic stroke with hypertension and type 2 diabetes mellitus Result The first case to the third case has improved clinical conditions, including increased ability to swallow, improvement of blood pressure, glucose levels, and functional capacity. The fourth case died on the 8th day of treatment due to pulmonary edema and heart failure. Conclusion Clinical nutrition therapy provided could improved clinical and functional capacity in hemorrhagic stroke patients with hypertension and type 2 DM."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sanny Ngatidjan
"Kaki diabetik merupakan komplikasi pada diabetes melitus (DM) tipe 2 tersering yang menyebabkan pasien menjalankan perawatan di rumah sakit. Penyulit lain pada DM tipe 2 berkontribusi terhadap peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien. Terapi medik gizi pada pasien DM tipe 2 dan kaki diabetik dengan berbagai penyulit berperan penting dalam kontrol glikemik, mencegah perburukan status gizi, serta perbaikan penyembuhan luka. Serial kasus ini melibatkan empat pasien DM tipe 2 dan kaki diabetik dengan berbagai penyulit yang diberikan terapi medik gizi berupa asupan energi, makronutrien, mikronutrien, nutrien spesifik, dan edukasi gaya hidup. Pasien dilakukan pemantauan selama 19 hari sesuai fase proliferasi penyembuhan luka. Satu pasien dengan ketoasidosis diabetikum, satu pasien dengan hipertensi, dan dua pasien dengan diabetic kidney disease. Kontrol glikemik keempat pasien tercapai pada akhir perawatan di rumah sakit dan tidak didapatkan penurunan berat badan yang bermakna selama masa pemantauan. Penyembuhan luka berupa luka mengering, edema berkurang, dan timbulnya jaringan granulasi didapatkan pada tiga diantara empat pasien. Satu pasien tidak didapatkan penyembuhan luka yang signifikan karena adanya stenosis multipel pembuluh darah arteri di tungkai kiri. Terapi medik gizi pada pasien DM tipe 2 dan kaki diabetik dengan berbagai penyulit berperan pada perbaikan kontrol glikemik, mencegah perburukan status gizi, dan penyembuhan luka.

The most common cause of complication and hospitalization in type 2 diabetes mellitus (T2DM) patients are those associated with diabetic foot (DF). Complication of T2DM contribute to increasing morbidity and mortality. Medical nutrition therapy in patients with T2DM and DF with various complication plays an important role in management of glycemic control, worsening nutritional status, and repair wound healing. This case series include four patients T2DM and DF with various complication that given nutritional medical therapy consisting of energy intake, macronutrients, micronutrients, spesific nutrient, and healthy lifestyle education. Patients was monitored for 19 days according to the proliferation phase of wound healing. One patient with diabetic ketoacidosis, one patient with hypertension, and two patients with diabetic kidney disease. All patients got glycemic control during hospitalization. No significant weight loss was observed during monitoring period. Wounds in three of the four patients appeared to heal with dry wound, reduced edema, and formation of granulation tissue. One patient found insignificant wound healing due to multiple arterial stenosis in the left leg. Medical nutrition therapy with type 2 diabetes and diabetic foot with various complications plays an important role in management of glycemic control, preventing worsening nutritional status, and repair wound healing.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fenny Amaliya
"Diabetes melitus tipe 2 merupakan masalah kesehatan yang masih dihadapi di Indonesia. Hiperglikemia menyebabkan risiko komorbiditas meningkat salah satunya tuberkulosis paru. Pasien DM dengan TB paru meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Dukungan nutrisi dilakukan untuk membantu memperbaiki kadar glukosa darah. Energi yang mencukupi dan pemberian serat merupakan tatalaksana gizi yang dapat membantu memperbaiki kadar glukosa darah. Serial kasus ini melaporkan empat pasien diabetes melitus tipe 2 dengan tuberkulosis paru yang memiliki rentang usia 49-57 tahun dan status gizi yang bervariasi. Terapi medik gizi diberikan sesuai dengan rekomendasi nutrisi untuk pasien diabetes melitus. Pemenuhan kebutuhan mikronutrien diberikan dengan suplementasi. Hasilnya yaitu kadar glukosa darah dua orang pasien dalam rentang normal 140-180 mg/dl, dengan asupan sesuai target kebutuhan dan komposisi protein 16-20%, lemak 20-18%, karbohidrat 52-64% dan serat 10-20 g/hari. Namun dua pasien dengan status gizi obes kadar glukosa darah masih belum terkontrol dan asupan energi belum mencapai target kebutuhan karena anoreksia dan infeksi yang belum teratasi. Kesimpulannya dukungan nutrisi dengan energi dan serat sesuai rekomendasi dapat membantu memperbaiki kadar glukosa darah.

Type 2 diabetes still a major health problem in Indonesia. Hyperglycemia increase the risk of comorbidity include lung tuberculosis. Since morbidity and mortality of patients with type 2 diabetes and lung tuberculosis increase, nutrition therapy may improve blood glucose level. Provide adequate energy and fiber as a part of medical nutrition therapy for maintain the blood glucose level. This is a case series of four patients with type 2 diabetes and lung tuberculosis, age 49-57 years old, having various nutritional status. The medical nutritional therapy was given to patients according to the diabetes mellitus guidelines. Supplementation were administered to fulfill their requirement. Result: the blood glucose level of two patients within normal range 140-180 mg/dl, with adequate energy intake, protein 16-20%, fat 20-28%, and carbohydrate 52-64% and fiber 10-20 g/day. However the others with obesity remains uncontrolled glucose level, despite of their low intake of energy. It occured due to anorexia and untreated infection. Conclusion: Medical nutritional therapy with adequate energy and fiber may improve the blood glucose level."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Silaban, Dorna Yanti Lola
"Latar Belakang: Diabetes melitus DM merupakan penyakit epidemik yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun di seluruh dunia. Jumlah penderita DM ini diperkirakan akan mencapai 552 juta orang pada tahun 2030. Kadar glukosa darah KGD yang tidak terkontrol merupakan penyebab terjadinya komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler sehingga meningkatkan angka morbiditas, mortalitas dan lama rawat inap. Terapi medik gizi klinik adekuat dan sesuai dengan kondisi klinis pasien dapat mencegah, memperlambat dan memperbaiki komplikasi akibat DM.
Metode: Pasien serial kasus dengan diagnosis DM tipe 2 disertai berbagai komplikasi, berusia 48 ndash;71 tahun. Satu dari empat pasien mendapatkan nutrisi melalui nasogastric tube NGT , dan sisanya melalui oral. Terapi medik gizi diberikan pada keempat pasien sesuai dengan kondisi klinis masing-masing. Pemberian karbohidrat disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan dosis insulin yang diperoleh pasien. Pemberian protein disesuaikan dengan fungsi ginjal masing-masing pasien.
Hasil : Keempat pasien mengalami perbaikan keadaan klinis antara lain luka pada kaki, sesak napas hilang, edema dan asites berkurang, ureum dan kreatinin membaik. Kasus pertama, kedua dan keempat mengalami perbaikan pada kadar glukosa darah, sedangkan kasus ketiga KGD masih tetap tinggi pada saat keluar dari RS. Keempat pasien pulang ke rumah dengan kondisi membaik.
Kesimpulan: Terapi medik gizi klinik yang adekuat untuk mengontrol KGD dapat membantu memperbaiki keadaan klinis dan mencegah perburukan pada pasien DM tipe 2 dengan berbagai komplikasi.

Background: Diabetes mellitus DM is an epidemic disease that is increasing year by year around the world. The number of DM patients is estimated 552 million people by 2030. Uncontrolled blood glucose level is one of the cause of macrovascular and microvascular complications that may increase morbidity, mortality and length of hospitalization. An adequate nutrition therapy in accordance with the clinical condition of the patient may help to prevent, delay and improve the complications due to DM.
Methods:All patients in these case series were diagnosed with type 2 DM accompanied by various complications, aged 48-71 years. One in four patients was administered nutrition through tube feeding, and the rest through oral. Nutrition therapy was given to all patients according to their clinical conditions. Carbohydrate was adjusted to the patient 39;s needs and the dose of insulin obtained by the patient. Protein administration was adjusted for each patient 39;s renal function.
Result:Four patients experience of improving of clinical conditions, such as breathlessness, reduced edema and ascites, decreased urea and creatinine levels. The first, second and fourth cases improve in blood glucose levels, while the third case remains to have high blood glucose level at the time of discharge. While all patients discharge from hospital with better condition.
Conclusion: An adequate clinical nutrition therapy to improve glycemic control is needed to improve clinical conditions and prevent deterioration in patients with type 2 DM with various complications.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fenny
"Latar Belakang: Pada luka bakar terjadi peningkatan respon inflamasi. Peningkatan c-reactive protein (CRP) pada luka bakar merupakan penanda inflamasi sistemik. Kadar vitamin D yang rendah banyak ditemukan pada pasien luka bakar dan berhubungan dengan luaran klinis yang buruk. Vitamin D memiliki efek memodulasi imun dan antiinflamasi. Metode: Serial kasus ini terdiri dari 4 pasien luka bakar berat karena ledakan gas dan api yang dirawat di ULB pada periode Januari hingga Mei 2022. Terapi medik gizi yang diberikan berupa nutrisi enteral dini, kemudian ditingkatkan secara bertahap sesuai toleransi dan klinis pasien, hingga kebutuhan energi total (berdasarkan formula Xie), target protein 1,5-2 g/kg BB/hari, lemak 25-30%, dan karbohidrat 55-60%. Keempat pasien serial kasus diberikan suplementasi vitamin D dan dilakukan pemeriksaan kadar vitamin D sebelum dan sesudah suplementasi, serta pemeriksaan kadar CRP. Hasil: Keempat pasien serial kasus selama perawatan telah mencapai kebutuhan makronutrien sesuai target, meskipun terdapat fluktuasi asupan karena adanya perburukan kondisi klinis atau tindakan operasi/perawatan luka. Keempat pasien serial kasus memiliki kadar vitamin D yang rendah, namun mengalami peningkatan dengan suplementasi. Kadar CRP juga diperoleh meningkat dan mengalami penurunan dengan meningkatnya kadar vitamin D, yang menyebabkan hambatan produksi sitokin proinflamasi dan jalur NF-kB, selain adanya terapi pembedahan dan antibiotik. Keempat pasien serial kasus diperbolehkan rawat jalan pada akhir perawatan. Kesimpulan: Pada serial kasus ini, semua pasien luka bakar dengan kadar vitamin D yang rendah memiliki kondisi inflamasi yang tinggi ditandai dengan peningkatan CRP. Pemberian suplementasi vitamin D menyebabkan peningkatan kadar vitamin D dan turut berperan dalam penurunan CRP, selain adanya terapi pembedahan dan antibiotik

Background: Burns induce an increased inflammatory response. Elevated c-reactive protein (CRP) is a marker of systemic inflammation in burns. Low vitamin D levels are common in burn patients and are associated with poor clinical outcomes. Vitamin D has immune-modulating and anti-inflammatory effects. Method: The case series was held in the burn unit Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital from January to May 2022, involving 4 severe burn patients due to gas explosions and fire. Nutritional medical therapy was given in the form of early enteral nutrition, then gradually increased according to patient tolerance and clinical, up to total energy requirements (based on Xie's formula), the target protein is 1.5-2 g/kg BW/day, 25-30% fat and 55-60% carbohydrates. Vitamin D supplementation was given and vitamin D levels were measured before and after supplementation, CRP levels were also measured. Result: All case series patients during treatment had achieved the target macronutrient requirements, despite fluctuations of intake due to clinical deterioration or surgical procedure or wound care. All patients had low vitamin D levels but increased with supplementation. CRP levels also increased and decreased with increasing vitamin D levels, leading to inhibition of inflammatory cytokines production and the NF-kB pathway, besides surgical and antibiotics therapy. All patients were allowed outpatient treatment at the end of treatment. Conclusion: This case series exhibited low level of vitamin D in burn patients accompanied with elevated CRP level indicating high inflammatory condition. Vitamin D supplementation causes an increase in vitamin D levels and may contribute to decreasing CRP levels, in addition to surgical and antibiotic therapy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Steffi Sonia
"Luka bakar adalah bentuk trauma yang paling berat yang menyebabkan hipermetabolisme berkepanjangan. Jika asupan nutrisi tidak adekuat, penurunan berat badan dapat terjadi, yang kemudian akan memengaruhi pertumbuhan, penyembuhan luka, dan imunitas. Pedoman nutrisi pada anak dengan luka bakar dibuat di negara maju, sehingga mungkin akan sulit diterapkan di negara berkembang. Pada serial kasus ini, terapi nutrisi diberikan kepada empat pasien anak pasca luka bakar dengan usia 2 ndash;8 tahun dan luas luka bakar antara 5 dan 35 total body surface area. Dari keempat pasien tersebut terdapat satu pasien dengan luka bakar mayor. Target kebutuhan energi ditentukan dengan menggunakan rumus Schofield ditambah faktor stres 1,5 ndash;2 menurut luas luka bakar pasien. Target protein ditetapkan sebesar 1,5 ndash;3 g/kg/hari menurut luas luka bakar pasien. Semua pasien mendapatkan nutrisi melalui jalur oral, dengan jumlah yang ditingkatkan secara bertahap hingga mencapai target. Suplementasi mikronutrien diberikan kepada semua pasien mendekati rekomendasi, namun suplementasi tembaga tidak diberikan karena keterbatasan sediaan. Terdapat penurunan berat badan pada dua pasien, namun status gizi yang baik berhasil dipertahankan pada semua pasien. Semua pasien juga mengalami penyembuhan luka yang progresif. Terapi medik gizi klinik pada pasien anak dengan luka bakar dapat mempertahankan status gizi yang baik dan membantu penyembuhan luka.

Burn injury is the most severe trauma that causes prolonged hypermetabolism. Inadequate nutritional intake may cause weight loss, which in turn may influence growth, wound healing, and immunity. Nutritional guidelines for pediatric burn were made in developed countries, meanwhile their application in a developing country may be limitted. In this case series, nutritional therapy was instituted on four pediatric burn patients aged 2 ndash 8 years old with burn surface areas between 5 and 35 total body surface area. Among these patients, there was one patient with major burn. Energy requirements were determined using Schofield formula and stress factors of 1,5 ndash 2 depending on the patient rsquo s burn surface area. Protein requirements were set at 1,5 ndash 3 g kg day depending on the patient rsquo s burn surface area. All patients were given oral nutrition, with stepwise increases until the goals were achieved. Micronutrient supplementation was given to all patients according to previous recommendations, however copper supplementation was not be given due to unavailability. Two patients experienced weight loss, but normal nutritional status was maintained in all patients. In addition, progressive wound healing was observed in all patients. In conclusion, nutritional therapy in pediatric burn patients may preserve normal nutritional status and promote wound healing."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rafidah Saraswati
"ABSTRAK
Metformin-sulfonilurea dan metformin-akarbose adalah kombinasi terapi yang memiliki mekanisme kerja yang menguntungkan juga diperuntukan dalam pemilihan pengobatan diabetes melitus tipe 2. Review ini bertujuan untuk merangkum perkembangan studi terkini mengenai efektivitas kedua kombinasi obat tersebut. Pencarian literatur artikel penelitian dilakukan secara sistematis dengan melakukan pencarian data melalui Summons Search LIB UI dan didapatkan artikel dari beberapa database yaitu ScienceDirect, ProQuest, Springerlink, dan PubMed. Artikel penelitian yang digunakan dalam review adalah literatur primer yang diterbitkan selama 10 tahun terakhir. Terdapat 6 artikel penelitian yang memenuhi kriteria inklusi. Masing-masing penelitian membahas efek pengobatan dan efektivitas terapi kombinasi dari nilai HbA1c, kejadian hipoglikemia, mean amplitude of glycemic excursions, tingkat stress oksidatif, dan manfaat terapi kombinasi pada risiko kejadian kardiovaskular. Terjadi penurunan nilai HbA1c pada setiap terapi kombinasi dan tidak ada perbedaan nilai yang signifikan pada keduanya, tetapi dari kombinasi metformin-sulfonilurea lebih besar dalam menurunkan nilai HbA1c. Namun, pada terapi kombinasi metformin-akarbose dilaporkan dapat menurunkan nilai dari mean amplitude of glycemic excursions (MAGE), berat badan, dan serum trigliserida, serta terjadi peningkatan serum adiponektin tanpa efek signifikan pada stres oksidatif. Kombinasi metformin-akarbose juga lebih cenderung memiliki manfaat yang lebih baik terutama pada pasien diabetes yang memiliki komplikasi pada kardiovaskular dan tidak meningkatkan risiko terjadinya hipoglikemia.

ABSTRACT
Metformin-sulfonylurea and metformin-acarbose are combination therapy that has a beneficial mechanism action for treating type 2 DM. This review aims to summarize the recent studies regarding the effectiveness of the two drug combinations. The literature search was carried out through Summons Search LIB UI. The research articles used in the review are the primary literature published over the past 10 years. There were 6 research articles that met the inclusion criteria. Each study discussed the effectiveness of combination therapy from HbA1c values, incidence of hypoglycemia, mean amplitude of glycemic excursions, levels of oxidative stress, and benefits of combination therapy on the risk of cardiovascular events. There was a decrease in the value of HbA1c in each combination therapy and there was no significant difference in the value, but the combination of metformin-sulfonylurea was greater in reducing the HbA1c value. However, metformin-acarbose combination therapy was reported to reduce the mean amplitude of glycemic excursions, body weight, and serum triglycerides, as well as increased the serum adiponectin without a significant effect on oxidative stress. The metformin-acarbose combination is more likely to have a better benefit in diabetic patients who have cardiovascular complications and also not increasing the risk of developing hypoglycemia."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>