Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9765 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Maghfirah Fitrianur Ardifa
"Konstruksi identitas Meghan Markle sebagai seorang wanita birasial dapat digambarkan melalui pemberitaan pernikahan Kerajaan Inggris pada tahun 2018 di berbagai media Inggris dan Amerika Serikat. Keluarga Kerajaan Inggris dan juga pernikahannya selalu menjadi pusat perhatian dunia, misalnya kehadiran Lady Diana dan Kate Middleton yang menikah dengan Pangeran Charles dan Pangeran William dalam keluarga Kerajaan Inggris. Penelitian ini menganalisis bagaimana pemberitaan tersebut mencerminkan ambivalensi pemberitaan Meghan Markle dalam artikel media online sebagai perubahan yang dapat “memodernisasi” keluarga Kerajaan Inggris yang sebagian besar adalah orang berkulit putih. Penelitian ini juga berfokus pada bagaimana pemberitaan media tentang Meghan Markle cenderung menekankan pada identitas rasial dan latar belakang keluarganya. Teori rasisme modern dari Caliendo dan McIlwain (2015), dan pendekatan analisis wacana dari Brian Paltridge (2006) berfungsi sebagai kerangka kerja dalam penelitian ini. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa beberapa media masih memiliki kecenderungan untuk bersikap rasis terhadap orang birasial yang memiliki keturunan campuran Afrika seperti Meghan. Selain itu, ada ambivalensi di media mengenai kehadiran Meghan. Di satu sisi Meghan dianggap dapat menghadirkan citra baru dalam keluarga Kerajaan Inggris, namun di sisi lain, identitas Meghan sebagai seorang wanita birasial dianggap tidak membawa dampak besar terhadap representasi orang birasial di media.

The construction of Meghan Markle’s identity as a biracial woman can be represented through the reports of the British Royal wedding 2018 in the U.K and U.S media. British Royal family and its wedding have always been the center of world’s attention, for example, the presence of Lady Diana and Kate Middleton in the Royal Family who got married with Prince Charles and Prince William. All the media discussed in this article represent how these reports reflect ambivalence in the ways media report about Meghan Markle in the article as a ‘modernizing’ change in the mostly white British Royal family, and how media reports on Meghan Markle emphasize her racial identity and family background are the focus of this research. The theory of modern racism from Caliendo and McIlwain (2015), and Brian Paltridge’s (2006) critical discourse analysis and framing serve as the framework for this research. The research shows that some of the media still have a tendency to be racist towards biracials who have a mixed African heritage like Meghan. Furthermore, there is ambivalence in the media regarding her presence whether she may present a new image in the British Royal family or she is as a biracial woman who does not necessarily bring major impacts towards how biracial people are represented in the media."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kurnia Idawati
"ABSTRAK
Equal Rights Amendment (ERA) diajukan pada tahun 1970 oleh dan untuk kepentingan kaum wanita, sebagai suatu upaya untuk memperoleh jaminan persamaan hak di bawah hukum bagi pria dan wanita, tanpa perbedaan secara seksual. Tetapi ERA pada akhirnya digagalkan oleh kaum wanita itu sendiri. Berangkat dari kenyataan penelitian ini mengupas adanya konflik kepentingan di kalangan wanita, terutama dari kelas menengahnya. Perbedaan kepentingan itu bermula dan adanya ambivalensi mereka terhadap peran-peran mereka dalam masyarakat.
Ambivalensi didefinisikan sebagai keadaan sosial yang di dalamnya seseorang menghadapi harapan-harapan normatif yang saling berlawanan dalam hal sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, dan perilaku. Ambivalensi itu muncul lebih dikarenakan adanya ambivalensi struktural dalam masyarakat dan dualisme perubahan-perubahan sosial. Masyarakat kini menghargai peran-peran wanita dalam wilayah publik (nondomestik) dan perubahan-perubahan sosial itu sendiri memberi tekanan sekaligus peluang yang luas bagi kaum wanita untuk bekerja di luar rumah. Namun di sisi lain, perubahan-perubahan itu tidak memberi jalan keluar bagi kaum wanita dari beban yang dihadapi di wilayah domestik. Sementara itu masyarakat cenderung masih menekankan bahwa wanita adalah penanggung jawab utama pengurusan rumah tangga dan pengasuhan anak-anak.
Kontradiksi-kontradiksi ini menimbulkan dilema dan ambivalensi psikologis dalam individu-individu dan dalam beberapa derajat, konflik sosial antara kelompok-kelompok sosial yang berlawanan. Dalam upaya penyesuaian diri dalam struktur sosial yang ambivalen itu, ada kelompok wanita di satu sisi, menentang pemikiran-pemikiran dan pola-pola lama tentang peran-peran wanita. Dengan kata lain, mereka menuntut suatu perubahan sosial yang menyangkut status wanita. Kelompok wanita yang lain merespon dengan menegaskan kembali susunan tradisional dari hubungan gender. posisi-posisi yang saling bertentangan dengan tajam ini membentuk dua garis politik yang berlawanan. Dalamkonteks ERA, kelompok yang menghendaki perubahan sosial mendukung ERA, sebaliknya kelompok yang menginginkan status quo menentang ERA.
Melalui metode penelitian berupa kajian kepustakaan dengan pendekatan kualitatif dan teknik deskriptif interpretatif, penelitian ini hendak menjawab tesis bahwa ambivalensi wanita kelas menengah Amerika memiliki dampak terhadap ratifikasi ERA pada tahun 1972-1952.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ambivalensi wanita adalah mata rantai awal dari serangkaian mata rantai-mata ranlai berikutnya --yang merupakan implikasi dari mata rantai awal--di antarnnya polarisasi ideologi dan dikotomi kepentingan, yang menjadi penyebab kegagalan ratifikasi ERA. Dengan kata lain, ambivalensi wanita kelas menengah memiliki dampak dan pengaruh, melalui berbagai manifestasinya, terhadap kegagalan ratifikasi ERA.

ABSTRACT
Equal Rights Amendment (ERA) was proposed in 1970 by women and for women's concerns, as an effort to gain the equal rights under the law between the sexes. However, the ERA was eventually defeated by the women. Seeing that. fact, the research was carried out to study the conflict of interests especially among the middle class women. The different interests here emerged from their ambivalence toward their appropriate roles in the society.
Ambivalence was defined as a social state in which a person faced contradictory normative expectations of attitudes, beliefs, and behavior. This ambivalence was mostly caused by the structural ambivalence in the society and the dualism of social changes, The society now approved women's roles in public spheres, and the social changes themselves gave pressures and, at the same time, wide opportunities to the women to work out of the homes. But, on the other side, those changes did not provide any solutions for them from the burdens they faced in the domestic sphere. Meanwhile, the society kept thinking that women were primarily responsible for the cares of children and households.
These contradictions caused a dilemma and psychological ambivalence to the women, and to some extent, a social conflict between social groups, In order to adjust themselves in the ambivalent social structure, a group of women, on the one side, challenged old ideas and patterns of women's roles. In other words, they fought for a social change concerning women's status. The other group of women responded by reaffirming traditional arrangement of gender relationship. These sharply contrasting positions thus farmed two opposite lines along political constituencies. In the context of EFTA, the group who favored a social change, was likely to support the ERA, while the other group who wanted a status quo, tended to oppose it.
By using a method of book research with qualitative approach and descriptive-interpretative technique, this research was to answer the thesis that. the middle class women's ambivalence had the impact to the ERA's ratification in 1972-1982.
The result of the research showed that the women's ambivalence was a primary chain of linked chains - which were of the impacts of the primary chain - such as the ideological polarization and the dichotomy of interests, that made the ERA fail. In other words, the middle class women's ambivalence had the impact and influence, through its various manifestations, to the failure of the ERA's ratification.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Rasyid Maulana
"Perubahan adalah sesuatu yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Baik itu masyarakat, lingkungan, dan khususnya teknologi tidak lepas dari perubahan. SIMPLE-O merupakan salah satu bentuk perkembangan teknologi yang memungkinkan otomatisasi koreksi soal dalam bentuk esai. Pada skripsi ini akan dilakukan integrasi sistem SIMPLE-O dengan web interface yang telah diciptakan tahun lalu, dan menggabungkan algoritma LSA dengan algoritma Cosine Similarity dan algoritma Jaro Winkler Distance untuk kemudia diuji dan dianalisis hasilnya. Berdasarkan hasil analisis, algoritma gabungan lebih efektif dan akurat dalam 5 dari 6 skenario, dengan nilai korelasi yang lebih tinggi. Namun, untuk algoritma gabungan maupun algoritma yang tidak dimodifikasi, tingkat akurasi masih rendah jika menggunakan jawaban yang menggunakan banyak kata-kata. Tingkat akurasi masih termasuk rendah untuk kedua algoritma, dengan korelasi tertinggi hanya mencapai 0.416883886. Sistem dengan Algoritma LSA memiliki keunggulan waktu proses yang signifikan atas sistem dengan Algoritma gabungan, dimana keunggulan waktu sampai dengan 531%.

Change is something that occurs frequently in our daily lives. Nothing is free of change, be it the public, the environment, and especially technology. SIMPLE-O is a form of technology advancement which makes automatic essay correction possible. This essay will integrate SIMPLE-O with a web interface that was created specifically for SIMPLE-O last year, and integrate Cosine Similarity and Jaro Winkler Distance algorithms into the system. Based on the analysis, the joined algorithm is more effective and accurate in 5 out of 6 scenarios, whic is indicated by a higher correlation number. However, for the algorithm whether it is joined or not, the accuracy is still low if it is used for processing long answers. The accuracy level is still low for both systems, with the highest correlation value being 41%. Regarding execution time, the unmodified system is vastly superior with processing speeds up to 531% faster than the modified system.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
S65033
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Putu Widya Astiti
"Penelitian ini berdasarkan novel Jepang Grotesque karya Natsuo Kirino. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif analisis. Penelitian ini menggunakan teori naratif Vladimir Propp untuk memahami karakter tokoh kakak Yuriko, Yuriko Hirata, dan Kazue Satō, dan menggunakan pendekatan psikologi sastra, yaitu teori kepribadian humanistik (hirarki kebutuhan) Abraham Maslow. Penelitian ini menjelaskan ambivalensi berdasarkan konteks psikologi masyarakat Jepang. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui bagaimana bentuk dan penyebab ambivalensi yang menimbulkan konflik dalam kehidupan tokoh kakak Yuriko, Yuriko Hirata, dan Kazue Satō. Penelitian ini menemukan bahwa ambivalensi dalam novel Grotesque tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial masyarakat Jepang. Ambivalensi muncul dalam bentuk ambivalensi perasaan cinta dan benci, perasaan homoseksual, dan kehidupan pekerjaan ganda. Kejadian yang dicantumkan dalam novel merupakan reaksi atas realita yang terjadi di Jepang. Novel Grotesque menggambarkan susahnya hidup sebagai wanita Jepang modern yang menempati posisi lebih rendah dari kaum laki-laki.

This study is based on a Japanese Grotesque novel which was written by Natsuo Kirino. This study is a qualitative research that uses the descriptive analysis method. In addition, the study follows the narrative theory suggested by Vladimir Propp to understand the character of Yuriko’s sister, Yuriko Hirata, and Kazue Satō, and uses a psychology of literature approach, namely humanistic personality theory (hierarchy of needs) of Abraham Maslow. The study also describes the ambivalence based on the psychological context of Japanese society. The purpose of this study was to determine the form and the cause of ambivalence that caused the conflict in the lives of Yuriko’s sister, Yuriko Hirata, and Kazue Satō. This study found that the Grotesque novel contains ambivalence that cannot be separated from the social life of Japanese society. This ambivalence occurs in the forms of love and hate, homosexual feelings, and the double work life that are relevant to the realities of the lives of the Japanese people. The Grotesque novel describes how difficult the life of modern Japanese women whose social status is lower than the men.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farida Jaeka
"Tesis ini membahas tentang pemaknaan masyarakat Sasak terhadap Gajah Mada melalui dua petilasannya di Lombok. Tujuannya adalah untuk melihat produksi dan konsumsi makna masyarakat Sasak terhadap dua petilasan Gajah Mada sebagai sebuah strategi untuk mengkonstruksi identitas Orang Sasak terutama kaitannya dengan Pariwisata Halal di Nusa Tenggara Barat. Penelitian kualitatif ini menggunakan metode etnografi dengan pendekatan Cultural Studies. Dengan menggunakan konsep makam sebagai lanskap kultural, dapat dilihat pemaknaan masyarakat Sasak terhadap Gajah Mada melalui ingatan kultural mereka yang hingga saat ini masih menjadikan dua petilasan Gajah Mada sebagai objek pariwisata. Hasil yang diperoleh ialah terdapat pemaknaan yang berbeda terhadap Gajah Mada di Selaparang dan Sembalun. Di Selaparang, terdapat Islamisasi terhadap Gajah Mada. Sementara di Sembalun, pemaknaan lebih mengarah ke sinkretisme Hindu-Islam karena terdapat berbagai lapisan masyarakat yang memaknai petilasan Gajah Mada tersebut, mulai dari masyarakat Hindu, Islam Wetu Telu, hingga Islam Waktu Lima. Selain itu, di Sembalun terdapat kontestasi narasi yang dihadirkan oleh Tetua Adat dan pemerintah tentang ingatan mereka terhadap Gajah Mada yang tampak pada dua papan nama penyebutan objek pariwisata itu. Bagaimanapun, dua petilasan Gajah Mada di Lombok dapat menjadi salah satu strategi konstruksi identitas Orang Sasak terutama berkaitan dengan Pariwisata Halal di Nusa Tenggara Barat.

This thesis discusses the meaning-making of the Sasak community towards two burial sites of Gajah Mada in Lombok. By conducting ethnographic methods with a Cultural Studies approach, this qualitive research aims to see the meaning-making of the Sasak community towards two burial sites of Gajah Mada in Lombok as a strategy to construct the identity of the Sasak people, particularly in accordance with Halal Tourism in West Nusa Tenggara. The concept of cemetery as a cultural landscape was used in this study to see the meaning-making of the Sasak people towards two burial sites of Gajah Mada through their cultural memories. The findings show that there are the different meanings toward two burial sites of Gajah Mada both in Selaparang and Sembalun. In Selaparang, there is Islamization towards Gajah Mada. While in Sembalun, there is more syncretism (Hindu-Islamic) meaning, because there are Hindu society, Wetu Telu community, and Islam Waktu Lima community were interpreted the meaning towards Gajah Mada. Besides that, there is a narrative contest presented by the Customary Council Village of Sembalun and the local government regarding memories of Gajah Mada which can be seen from the two nameplates mentioning the tourism objects in Sembalun. However, the two burial sites of Gajah Mada in Lombok can be one of the strategies for constructing the identity of the Sasak people, particularly related to Halal Tourism in West Nusa Tenggara."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
T52807
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Saraswati
"Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan ambivalensi tokoh Lolita yang tidak hanya ditampilkan sebagai objek namun juga subjek dalam film Lolita arahan Adrian Lyne. Pembahasan dari segi naratif film dan teknik sinematografis dilakukan dengan menggunakan pendekatan tekstual dari Roland Barthes dan Laura Mulvey serta teori wacana feminisme posmodern untuk membongkar subjektivitas Lolita dalam versi film adaptasinya tahun 1997 itu. Melalui strategi mimikri Luce Irigaray, Lolita menciptakan 'bahasa' nya sendiri untuk berusaha keluar dari ketertindasannya.

This research was aimed at revealing ambivalence of Lolita's character that is not only represented as an object but also a subject in Adrian Lyne's movie, Lolita. Analyses at the plane of narrative and cinematic techniques were conducted using textual approach from Roland Barthes and Laura Mulvey as well as theory of postmodern feminism to reveal Lolita's subjectivity in its 1997 version of film adaptation. By using Luce Irigaray’s mimicry strategy, Lolita creates her own 'language' to escape from her oppression.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2011
T28673
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Betty Maria Christina
"Studi ini merupakan studi pemasaran yang melibatkan sisi psikologi konsumen dalam mengetahui loyalitasnya terhadap suatu produk dimana menguji peran perbedaan dan kombinasi dari involvement dan ambivalence dalam hubungan kepuasan-loyalitas pembelian berulang. Studi ini menganalisa data survei dari 177 pemilik mobil penumpang Toyota di Indonesia. Studi menggunakan structural equation modeling untuk menguji efek moderasi dan mediasi. Hasil mengindikasikan bahwa kepuasan mempunyai efek positif pada loyalitas pembelian berulang melalui involvement. Ambivalence mempunyai efek negatif pada kepuasan dan involvement namun tidak mempengaruhi secara langsung loyalitas pembelian berulang. Bukti empiris juga memperlihatkan bahwa involvement memoderasi hubungan kepuasan-loyalitas pembelian berulang namun tidak pada ambivalence. Hasil studi ini mengindikasikan bahwa ambivalence dan involvement adalah penting untuk mengerti dan menjelaskan hubungan antara kepuasan dan loyalitas pembelian berulang.

This study is a marketing study which involves consumer psychological side for knowing their loyalty in a product that tests the different and combined roles of involvement and ambivalence in the satisfaction-repurchase loyalty relationship. The study analyses survey data from 177 Toyota passenger car owners in Indonesia. The study uses structural equation modeling for testing moderator and mediator effects. The results indicate that satisfaction has positive effects on repurchase loyalty through involvement. Ambivalence has negative effects on both satisfaction and involvement but does not directly influence repurchase loyalty. Empirical evidence also reveals that involvement is a moderator in the satisfaction-repurchase loyalty relationship but not for ambivalence. The results of this study indicate that ambivalence and involvement are important to understanding and explaining the relationship between satisfaction and repurchase loyalty.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Shobrina Imamah
"Nicki Minaj yang diketahui sebagai penyanyi dan ratu hip-hop, selalu membawa kontroversi dalam setiap karyanya. Beberapa orang berpendapat bahwa karyanya mengandung nilai-nilai feminis sementara sebagian orang meragukannya sebagai feminis. Video dan liriknya menunjukan tubuh perempuan sebagai objek dan seksualitas yang terlihat dibuat untuk mata laki-laki. Lirik lagunya terdengar sangat menunjukan seksualitas dan cenderung memandang rendah perempuan sedangkan video menunjukan kekuatan perempuan yang berpengaruh dan berani. Hal yang bertentangan ini sangat menarik untuk dibahas.
Artikel ini akan menganalisis hal yang bertentangan (ambivalen) dalam karya Nicki Minaj di video dan lirik lagu "Anaconda" and "Only" dengan menggunakan teori Male Gaze dari Laura Mulvey. Artikel ini akan membahas tubuh perempuan sebagai objek yang ditunjukan oleh lagu-lagu tersebut. Walaupun karya Minaj terlihat memuaskan mata laki-laki, tetapi dia juga telah mendukung perempuan untuk mendapatkan kekuatan mereka. Artikel ini membuktikan bahwa Minaj menggunakan ambivalen dalam karyanya untuk mengubah pola pandangan terhadap tubuh perempuan dan mendukung mereka untuk mendapatkan kebebasan tubuhnya.

Nicki Minaj, well-known as a singer and a queen of hip-hop, always bears controversy in her works. Some people argue that her works contain feminist values while others wonder about her feminism. Her videos and lyrics reveal woman's body objectification and sexuality which seem to be created for the male eyes. The lyrics sound overtly sexual and tend to look down on women, while the videos point out the power of a woman who looks powerful and brave. These ambivalences are interesting to be discussed.
This article analyzes Nicki Minaj's ambivalences in both the videos and lyrics of "Anaconda" and "Only" using the theory of male gaze from Laura Mulvey. It will discuss woman's body objectification revealed in these songs. Although Minaj seems to satisfy the male eyes, she has encouraged women to get empowerment. This article argues that Minaj uses her ambivalences to deconstruct the stereotype of woman's body objectification and encourage women to get their freedom."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Diva Dhamayantie
"Isu mengenai kesejahteraan perempuan dan kesetaraan gender kini sedang marak dibahas, termasuk di Indonesia. Sayangnya, kelompok perempuan yang kerap menyuarakan isu-isu perempuan, termasuk kelompok feminis, seringkali mendapatkan penolakan dan diberikan stigma. Contoh stigma dari feminis adalah pembenci laki-laki, dan juga anti-pernikahan. Penelitian korelasional ini bertujuan untuk menguji kebenaran tersebut dengan mencari hubungan antara sikap feminis dan ambivalensi terhadap laki-laki, sikap feminis dan sikap terhadap pernikahan, serta hubungan antara ambivalensi terhadap laki-laki dan sikap terhadap pernikahan. Sikap feminis diukur dengan Liberal Feminist Attitude and Ideology Scale-Short Form (LFAIS-short form) (Morgan, 1996), sikap terhadap pernikahan diukur dengan General Attitudes toward Marriage Scale (GAMS) (Park & Rosen, 2013) dan ambivalensi terhadap laki-laki diukur menggunakan Ambivalence toward Men Inventory (AMI) (Glick & Fiske, 1999). Partisipan penelitian (n = 958) merupakan mahasiswi dengan rentang usia 18-25 tahun yang berdomisili atau berkuliah di Jabodetabek. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang signifikan pada ketiga hipotesis tersebut.

There has been a rise of interest in women’s movement and gender equality, including in Indonesia. Unfortunately, women activists who express their support in the movement, particularly feminists, often received rejection and stigmatized. Being a man-hater and anti-marriage are the prominent stigmas. This correlational research aims to test the rightness of those two stigmas by finding the relationship between feminist attitude and ambivalence towards men, feminist attitude and attitude towards marriage, also ambivalence towards men and attitude towards marriage. The feminist attitude is measured by Liberal Feminist Attitudes and Ideology Scale-Short Form (LFAIS-Short Form) (Morgan, 1996), attitude towards marriage measured by General Attitudes toward Marriage Scale (GAMS) (Park & Rosen, 2013), and ambivalence towards men measured by Ambivalence toward Men Inventory (AMI) (Glick & Fiske, 1999). Participants of this study (n = 958) are women college students aged 18-25 years old that lives or have their college located in Jabodetabek. The result shows that there are significant correlations on three of the hypotheses"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nursyafira Salmah
"ABSTRAK
Terdapat dua istilah representasi identitas transgender perempuan ke laki-laki di Indonesia yang mulai visible, yaitu transman dan priawan. Penelitian ini akan mengkaji bagaimana identitas sebagai transgender laki-laki tumbuh dalam diri priawan dan transman secara individu dalam pengaruh sosialisasi nilai dan peran gender dari lingkungan keluarga dan lingkungan sosial mereka. Selain itu penelitian ini juga melihat bagaimana konsep the three world’s orders memberikan pengaruh terhadap representasi identitas individu transgender laki-laki sebagai “priawan” atau “transman”. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif. Data didapatkan melalui wawancara mendalam dengan informan diidentifikasi sebagai priawan dan transman. Penelitian ini menemukan bahwa penerimaan keluarga dan lingkungan sosial terhadap identitas transgender menentukan apakah informan secara individu bersedia untuk coming out atau hidden tentang identitasnya. Selain itu, organisasi atau komunitas yang diikuti oleh masing-masing informan ternyata mempengaruhi konstruksi identitas kelompok transgender laki-laki menjadi priawan atau transman.

ABSTRACT
There are two terms of visible individual representation of identity in case of transgender female to male in Indonesia, they are “priawan” and “transman”. This research will analyze how identity as male transgender developing in oneself as “priawan” and “transman” individually with influence of values and roles about gender from family and others social environment. In addition, this research also point the influence of “the three world’s orders” concept in representation of male transgender individual identity as “priawan” or “transman”. This research using qualitative approach. Data collected by depth interview with participants who is identified as “priawan” and “transman”. This research found that family and social environment’s acceptance about transgender identity determine whether participants as an individual ready to coming out or hidden about their identity. The fact was organization or community which is followed by every participant have influence in constructing group identity of male transgender become “priawan” or “transman"."
2015
S59577
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>