Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 157845 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Parusa Seno Adirespati
"ABSTRACT
Tesis ini membahas sistem pemerintahan daerah di tiga ibu kota, Jakarta, London, dan Paris. Penelitian ini menggunakan metode yuridis-normatif dan komparatif. Ibu kota umumnya memiliki kekhususan dibandingkan dengan daerah lain di suatu negara. Jakarta, London, dan Paris adalah kota-kota dengan populasi tinggi dan daerah perkotaan yang luas dan dapat ditemukan di negara-negara kesatuan. Ada tiga pertanyaan yang dibahas dalam tesis ini, yaitu perbandingan posisi tiga ibukota relatif terhadap daerah lain di negara masing-masing, perbandingan model pemerintah daerah dari tiga ibukota, dan tren terbaru tentang tata kelola ibukota. Sebagai ibu kota, Jakarta, London, dan Paris memiliki kekhasan masing-masing. Kekhususan tersebut dapat ditemukan dalam posisi mereka relatif terhadap daerah lain atau pemerintah daerah di masing-masing negara mereka sendiri, serta dalam model pemerintah daerah mereka sendiri. Persamaan dan perbedaan dapat ditemukan antara tiga ibu kota. Baik Jakarta dan Paris memiliki pemerintahan bertingkat tunggal, sementara London memiliki pemerintahan bertingkat dua di wilayahnya. Sehubungan dengan model pemerintah daerah, Jakarta memiliki kesamaan dengan London dalam hal dewan lokal dan kepala pemerintah daerah mereka. Jakarta juga memiliki kesamaan dengan Paris dalam hal keberadaan pengawasan negara atau pemerintah pusat. Tren terbaru yang ditemukan dalam tata kelola ibukota adalah pengembangan otoritas regional yang strategis, baik dalam bentuk otoritas kesatuan tunggal atau dalam bentuk badan koperasi otoritas lokal. Disarankan agar pembuat kebijakan meninjau dan mempertimbangkan model pemerintah daerah yang dapat ditemukan dalam sistem pemerintah daerah negara lain, dengan memprioritaskan efisiensi dan kinerja pemerintah daerah yang bersangkutan.

This thesis discusses the system of local government in three capital cities, Jakarta, London, and Paris. This study uses juridical-normative and comparative methods. Capital cities generally have specificities compared to other regions in a country. Jakarta, London, and Paris are cities with high population and large urban built-up area and can be found inunitary states. There are three questions that are discussed in this thesis, namely the comparison of the three capitals positioning relative to other regionsin their respective countries, the comparison of local government models of the three capitals, and the latest trendson capital city governance. As capital cities, Jakarta, London, and Paris have their own specificities. Those specificities can be found in their positioning relative to other regions or local governments in each of their owncountries, as well asin their own local government models. Similarities and differences can be found between the three capital cities. Both Jakarta and Paris have single-tieredgovernments, while London has two-tieredgovernmentin its area. In relationto the local government model, Jakarta has similarities with London in terms of their local councils and heads of local government. Jakarta also has similarities with Paris in terms ofthe existence of state or central government supervision. The latest trend found in capital city governance is the development of strategic regional authorities, whether in the shape of a single unitary authority or in the shape of local authorities cooperative bodies. It is suggested that policy makers should reviewand consider local government models that can be found in other countries systems of local government, by prioritising the efficiency and performance of the local government concerned."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Nurhayati Qodriyatun
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya perrnasalahan lingkungan hidup di daerah. Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut, dengan meiakukan penguatan kelembagaan lingkungan hidup di daerah. UU No. 2211999 Pasal 60 hingga Pasal 68 mengatur tentang organisasi perangkat daerah, yang kemudian dijabarkan dalam PP No. 8/2003. Untuk melaksanakan PP tersebut, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Meneg PAN) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) mengeluarkan SKB No. O1ISKBIM.PAN1412003 dan No. 1712003 tentang Petunjuk Pelaksanaan PP No. 8 Tahun 2003 dan PP No. 9 Tahun 2003. Lampiran SKB tersebut pada II angka 6.c. butir 6 menyebutkan bahwa fungsi-fungsi yang selama ini diwadahi dalam bentuk Lembaga Teknis Daerah seperti fungsi lingkungan hidup, pewadahannya dilakukan dalam bentuk Dinas Daerah. Penyesuaian bentuk kelembagaan tersebut dilakukan selambatlambatnya dua tahun sejak ditetapkan PP No. 8/2003, yaitu 17 Pebruari 2005. Ketentuan tersebut dipertegas dengan Surat Mendagri No. 660.1/17281Bangda tanggai 20 Oktober 2003.
Bentuk kelembagaan lingkungan hidup di daerah saat ini masih beranekaragam. Ada yang berbentuk Magian dalam Sekretariat Daerah, ada yang berbentuk Dinas Daerah (baik yang berdiri sendiri maupun yang bergabung dengan dinas lainnya), dan ada yang berbentuk Lembaga Teknis Daerah (Badan atau Kantor)).
Tujuan dari penelitian ini adalah (a) mengidentifikasi dan inventarisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kelembagaan lingkungan hidup di daerah; (b) mengidentifikasi bentuk kelembagaan lingkungan hidup yang dipilih oieh daerah; dan (c) mencari bentuk kelembagaan lingkungan hidup yang ideal di daerah.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan studi kasus yang bersifat multikasus dan eksploratoris. Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2004 -- Januari 2005 di Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, dan Kota Depok, dengan alasan (a) menghemat waktu, biaya, dan tenaga; (b) ketiga daerah tersebut memenuhi kriteria untuk penelitian multikasus pada kasus penerapan PP No. 8/2003; (e.) ketiga lembaga di ketiga daerah penelitian mcrupakan pelaksana kewenangan lingkungan hidup di daerah.
Data dikumpulkan dengan metode studi dokumentasi, observasi langsung, dan wawancara mendalam kepada 30 orang pejabat yang menangani lingkungan hidup baik di tingkat pusat maupun di daerah, yang dipilih secara purposive. Data dianalisis dalam tiga tahap. Panama, analisis terhadap peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan kelembagaan lingkungan hidup di daerah dan bagaimana pelaksanaannya secara naratif. Kedua, dilakukan analisis terhadap bentuk kelembagaan lingkungan hidup yang dipilih daerah setelah diberlakukannya PP No. 8/2003 secara naratif. Ketiga, dilakukan analisis kelembagaan dengan menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk mencari solusi yang tepat bentuk kelembagaan Iingkungan hidup di daerah.
Berdasarkan basil penelitian, ada beberapa peraturan perundangan yang menjadi dasar pembentukan kelembagaan lingkungan hidup di daerah, yaitu Pasal 60 - Pasal 68 UU No. 22/1999, PP No. 812003, SKB Meneg PAN dan Mendagri No. 011SKBIM.PAN1412003 dan No. 1712003. Kemudian Mendagri mengeluarkan surat No. 660.11I7281Bangda Tanggal 20 Oktober 2003 yang menghimbau daerah untuk mewadahi kelembagaan lingkungan hidup di daerah dalam bentuk Dinas Daerah, dan penyesuaiannya paling Iambat 17 Februari 2005. Namun disisi lain, Menteri Negara Lingkungan Hidup (Menlh) mengeluarkan surat No. B.24661MENLH10412003 tentang penataan kelembagaan lingkungan hidup daerah, yang menghimbau daerah agar (1) kelembagaan lingkungan hidup di daerah berbentuk Dinas ataupun Badan; (2) ada di setiap Provinsi dan KabupatenlKota; (3) berdiri sendiri; dan (4) penyesuaiannya tidak dilakukan secara terburu-buru.
Berkaitan dengan pembentukan kelembagaan lingkungan hidup di daerah, hanya Kota Depok yang telah melaksanakan PP No. 8/2003, dengan mengabaikan scoring. Bagian Lingkungan Hidup di Setda Kota Depok berubah menjadi Dinas Daerah, dengan nomenklatur Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup. Sementara itu, kelembagaan lingkungan hidup di Provinsi DKI Jakarta dan Kota Tangerang tidak berubah. Kelembagaan Iingkungan hidup di DKI Jakarta tetap berbentuk LTD ( nomenklatur BPLHD), dan di Kota Tangerang tetap berbentuk Dinas Daerah (nomenklatur DLH).
Setiap bentuk kelembagaan lingkungan hidup yang ada mempunyai kelebihan dan kekurangan. Namun dengan menggunakan AHP dan mengacu pada PP No. 812003, didapat bentuk kelembagaan lingkungan hidup di daerah yang ideal, yaitu Dinas Daerah.
Kesimpulan: (1) Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pembentukan kelembagaan lingkungan hidup di daerah adalah PasaI 60 - PasaI 68 UU No. 2211999, PP No. 8/2003, dan SKB Meneg PAN dan Mendagri No. 0IISKBIM.PAN1412003 dan No. 1712003. Dad SKB Meneg PAN dan Mendagri keluar dua ketentuan yang berbeda tentang kelembagaan lingkungan hidup di daerah. Mendagri mengeluarkan surat No. 660.11I7281Bangda tanggal 20 Oktober 2003, dan Menlh mengeluarkan surat No. B.24661MENLI-110412003. Kedua surat tersebut berisi ketentuan tentang kelembagaan lingkungan hidup di daerah yang berbeda. (2) Kelembagaan lingkungan hidup DK1 Jakarta tetap berbentuk Badan, Kota Tangerang berbentuk Dinas, dan Kota Depok berbentuk Dinas. (3) Kelembagaan lingkungan hidup di daerah yang ideal adalah Dinas Daerah.
Penulis menyarankan: (1) Perlu koordinasi antar instasi terkait dengan Iingkungan hidup dalam mengeluarkan kebijakan public, agar tidak terjadi permasalahan dalam pelaksanaan kebijakan tersebut; (2) Kelembagaan Iingkungan hidup di daerah seyogyanya bcrbentuk dinas daerah, disertai dengan kesiapan personalia, prasarana dan sarana, scrta pendanaan (3P) yang memadai; (3) Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai efektifitas dan efisiensi masingmasing bentuk kelembagaan lingkungan hidup di daerah baik dari segi struktur organisasi, professionalisme Sumber Day Manusia (SDM) aparatur, dan pendanaan.

The environmental problem at the district was form the background of this research. One of the efforts to solve this problem is through institution policy. Article 60 to article 68 Act No. 2211999 regulated the organization of district equipment, which it has been spelled out by Government Regulation No. 812003. To bring out this government regulation, State Minister for Control of Machinery of State and Minister for Internal Affairs published letter of agreement No. 011SKBIM.PAN1412003 and No. 1712003 about instruction of implementation of Government Regulation No. 812003 and No 912003. Appendix II number 6.c. point 6 this letter declared that the provision of environmental function at the district is in form of Government Implementing Agency. The limit to adapt such environmental institution at the district is within two years after the determined of Government Regulation No. 812003, February 17th 2005. This stipulation is clarified by letter of Minister for Internal Affairs No. 660.1117281Bangda, October 20th 2003.
There are many types of environmental institution at the district, as Support Division, Government Implementing Agency (either independent Environmental Government Implementing Agency or merge with other Government Implementing Agency), and Certain Implementing Task Agency (Agency or Office).
The objectives aims of this research are : (I) to identify and record the regulation of environmental institution at the district; (2) to identify the type of environmental institution at the chosen by district, and (3) to seek ideal type of environmental institution at the district.
As qualitative research, this research was a case study with multi cases and explorative. The research was done on December 2004 - January 2005 in nature Jakarta, the Capital City, Tangerang City, and Depok City. Reasoning of chosen the three location are (a) to be thrifty with time, cost, and energy; (b) the three locations represent three types of organization at the district based on Government Regulation No. 812003; (c) the three institutions in the three locations are implementer of environmental authority at the district.
Data were collected by documentation study, observation, and in-depth interview methods. Thirty (30) officials who handled environmental problem at the center or district government were respondents' research. There were three stages analysis. First, regulation of environmental institution at the district and how it is being implemented which was analyzed descriptively. Second, to analysis the type environmental institution chosen by the district after the declaration of Governmental Regulation No. 812003. Third, to find ideal environmental institution at the district using Analytical Hierarchy Process (AHP).
The result of research saws that regulation which based on environmental institution at the district was article 60 to 68 of Act No. 22/1999, Governmental Regulation No. 812003, and letter of agreement State Minister for Control of Machinery of State and Minister for Internal Affairs No. 0i/SKBIM.PAN1412003 and No. 17/2003. Then Minister for Internal Affairs published letter No. 660.1117281Bangda, at October 20th 2003, which suggest the environmental institution at the district to change into Governmental Implementing Agency, and the limit to adapt such environmental institution at the district is within February l7`~ 2005. On the other side, State Minister of Environmental Affairs took letter outside No. B.2466fMENLH104/2003 about structuring the environmental institution on the district level. This letter suggest (I) the environmental institution has the form of a Government Implementing Agency or Agency (Certain Implementing Task Agency); (2) it is in each province or district; (3) independent; and (4) unhurried to adapt.Implementation of Government Regulation No. 812003 on environmental institution only happened in Depok City, although it is within scoring. Environmental section on Support Division of Depok City became Sanitation and Environmental Government Implementing Agency. Therefore, the environmental institution in Jakarta and Tangerang were the same as before. In Jakarta, it was Environmental Management Agency of Province Jakarta. In Tangerang, it was Environmental Government Implementing Agency of Tangerang City.Each types of environmental institution had positive and negative sides, but Government Implementing Agency was the best institutions to handle environment problem at the district.
Conclusion: (1) the regulation which based on environmental institution at the district was article 60 to 68 Act No. 2211999, Government Regulation No. 812003, and letter of agreement between State Minister for Internal Affairs No. 011SKNIM.PAN1412003 and No. 17/2003. Based on letter of agreement of two ministers, Minister for Internal Affairs publish letter No. 660.111728Bangda at October 20th 2003, and State Minister of Environmental Affairs published letter No. B.2466IMENLH/04/2003. Those two letters content with different policy about environmental institution at the district. (2) The Environmental Institution in Jakarta still Agency, in Tangerang City is Government Implementing Agency, and in Depok City is Government Implementing Agency too. (3) The best environmental institution at the district is Government Implementing Agency.
Therefore, the writer suggest: (I) the need coordination between institutions of state during policy making, on order not to confuse the implementation; (2) it is best to change the environmental institution at the district become Government Implementing Agency, with human resources, infrastructure, and financing preparation to support it; (3) the need for more research about effectiveness and efficiency of each types of environmental institution at the district from structuring of organization, professionalism of apparatus, and financing sides.
"
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15044
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herman Nurcahyadi Suparman
"ABSTRAK
Tesis ini membahas modal sosial dan kekerasan kolektif geng nongkrong anak muda di permukiman kumuh perkotaan. Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif melalui pendekatan studi kasus pada geng nongkrong Kota Paris dan Caplin di Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat, penelitian ini menemukan bahwa geng nongkrong dan kekerasan kolektif merupakan modal sosial geng nongkrong di permukiman kumuh. Kenyataan ini disebabkan oleh persoalan struktur dan kultur sosial masyarakat di permukiman kumuh Johar Baru. Oleh karena itu, penelitian ini merekomendasikan pemerintah dan organisasi kemasyarakatan (LSM/NGO) perlu merancang sebuah kebijakan pembangunan inklusif dimana ada sebuah intervensi sosial terhadap sebuah komunitas atau masyarakat, khususnya kelompok anak muda.

ABSTRACT
This thesis discusses social capital and collective violent street gangs in the urban slums. By using the method of qualitative research through case study approach in the Kota Paris and Caplin street gangs in District Johar Baru, the study found that the street gang and collective violence is social capital street gang in a slum. This fact is due to the problems of social structure and culture of the people in the slums, Johar Baru. Therefore, this study recommends that the government and civil society organizations need to design a policy of inclusive development where there is a social intervention to a community or society, especially the young people.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T43229
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sukarya
"Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk meneliti kendala-kendala yang merintangi proses implementasi UU No. 34 Tahun 1999. Untuk menunjang penelitian ini digunakan alat analisis yang berasal dari beberapa teori sebagai berikut: Teori Kewenangan dari Grindle dan Rodinelli; Teori Keuangan Daerah dan Teori Kelembagaan model Rodinelli dan Cheema; serta Teori Civil Society yang diulas Wuthnow.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang berusaha memahami dan menafsirkan makna suatu peristiwa berdasarltan fakta-fakta yang ditemukan di lapangan. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan pihak-pihak yang terlibat dan berkepentingan. Selain itu, dilakukan juga studi kepustakaan sebagai informasi pendukung.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam hal kewenangan Pemerintah Pusat tidak mau melepaskan kewenangannya kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta secara tuntas, di samping itu juga Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, tidak mentransfer kewenangan kepada Pemerintah Kabupaten dan Kotamadya, dan berindikasi kepada Kecamatan dan Kelurahan. Adapun kelembagaan lebih cenderung gemuk dan Iamban. Sedangkan dalarn aspek keuangan, status Jakarta sebagai ibu kota Negara tidak mendapatkan alokasi dana di dalam APBN.
Terdapat lima kendala yang menghambat pelaksanaan UU No. 34 Tabun 1999, yakni: Pertama Adanya tarik menarik kewenangan antara Pemerintah Pusat, dalam hal ini Setneg, dengan Pemprov DKI Jakarta. Kedua, budaya politik, di mana produk undang-undang tersebut terkesan sebagai hadiah dari pusat, sementara daerah 'hanya" sebagai pelaksana teknis saja. Ketiga, lemahnya kepastian hukum. Keempat, Keikutsertaan masyarakat dalam partisipasi politik, lebih cenderung ke arah mobilisasi politik, artinya bahwa keikutsertaan masyarakat dalam proses politik, lebih mendukung suatu kebijakan yang telah digariskan oleh pemimpinnya. Kelima Kurangnya sosialisasi UU No. 34 Tahun 1999, menyebabkan masyarakat tidak dapat merespon dalam setiap penyimpangan hukum. Teori-teori yang digunakan, seperti tersebut di was, sesuai dengan temuan Iapangan. Dengan demikian, implikasi teoritis atas penelitian ini adalah berupa penegasan (confirmation).

This research aims to examine obstacles that burden the implementation of Law Number 34 year 1999. To support the research, some tools of analysis are used which are generated from several theories such as theory of authority from Grindle and Rondinelli, theory of local budget and theory of institutional from Rondinelli and Cheema, and theory of civil society discussed by Wuthnow.
Method that is used in the research is qualitative research method, which tries to interpret the meaning of a phenomenon based on facts. To collect data, interview is applied to related person in charge in proper institution. Besides that, literature study is also applied as supporting information.
The result of the research shows that, central government does not want to share its authority to the provincial government of DKI Jakarta. The provincial government of DKI Jakarta also does not share its authority to the government of Regency and City and also to lower level of government in the province. In institutional aspects, it tends to be large and slow. Meanwhile, in financial aspect, the status of Jakarta as a capital city does not relate to state budget allocation.
There are five obstacles that burden the implementation of Law Number 34 year 1999. First is clash of authority between central government State Secretariat and provincial government of DKI Jakarta. Second, political culture that the law tends to he a gift from central government and the local government is only the technical executor. Fourth, law enforcement is weak. Fifth, lack of socialization of the law causes public cannot response every act that breaks the law. Theories, which are used in the research, are appropriate with facts found in this research. To conclude, theoretical implication in the research is confirmation.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21467
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Panitia Paris, 1992
R 759 PAR
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
McColvin, Eric
London: Longmans, Green and Co., 1946
428.6 MCC l
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhilah Nuha
"Skripsi ini membahas mengenai pengaruh identitas pada kota benteng pada Kremlin di Kota Moskow dan Bastille di Kota Paris. Studi berfokus pada eksistensi dan signifikansi benteng yang memperlihatkan perbedaan pada ritual dan settings pada pembangunan dan perkembangan kedua benteng dari abad pertengahan hingga sekarang. Ritual, yang diartikan sebagai rangkaian kegiatan yang dilakukan secara kultur atau simbolis, dan settings, yang diartikan sebagai latar belakang, menjadi kajian spesifik dikarenakan perannya sebagai sebuah landasan dalam pembangunan serta representasi identitas dari benteng. Berdasarkan hasil analisis, diperoleh temuan bahwa benteng muncul dari kebutuhan mempertahankan kota yang dilakukan pada abad pertengahan dan eksistensinya bergantung pada signifikansinya pada identitas dari masyarakatnya. Identitas tersebut dapat diimplementasikan pada urban fabric di sekitar benteng dan simbolisme yang dibangun pada masyarakatnya. Kremlin bertahan dan fungsional hingga sekarang karena simbolismenya sebagai tempat kekuasaan dan identitas Rusia. Di sisi lain, eksistensi Bastille tidak bertahan karena identitasnya yang kental dengan absolutisme Kerajaan Perancis sehingga benteng tersebut dihancurkan pada Revolusi Perancis. Perbedaan mendasar lainnya terletak pada implementasi identitas pada urban fabric di sekitar Kremlin yang membedakan gaya arsitekturnya dengan bangunan di sekitarnya, sementara Bastille memainkan skala untuk menyimbolkan dominansi Kerajaan Perancis.

This thesis discusses the influence of identity on the fortress city on the Kremlin in Moscow and the Bastille in Paris. The study focuses on the existence and significance of these forts, which reveals the differences in rituals and settings in the construction and development of these two forts from the Middle Ages to the present. Ritual, which is defined as a series of activities carried out culturally or symbolically, and setting, which is interpreted as the background, are a set of specific studies because it has been included as the basis for the development and identity representation of the fort. Based on the results of the analysis, it was found that these forts emerged from the need to defend the city, which was carried out in the Middle Ages and their existence depended on their significance on the identity of its people. This identity can be implemented in urban structures around the fort and the symbolism that is built in the community. The Kremlin survives and is functional today because of its symbolism as a place of power and Russian identity. On the other hand, the existence of the Bastille did not last because of its strong identity with the absolutism of the French Empire, so the fortress was destroyed in the French Revolution. Another fundamental difference lies in the implementation of identity in the urban fabric around the Kremlin, which distinguishes its architectural style from the surrounding buildings, while the Bastille plays on a scale to symbolize the dominance of the French Empire."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maulina Fajrini
"Film berperan sebagai media representasi utama yang digunakan oleh para ahli sejarah dalam menampilkan kembali ruang kota di masa lalu lewat nostalgia. Memori-memori memberikan identitas ruang dalam set film sebagai karakter utama sehingga memunculkan ruang lain yang bersifat imajiner, salah satunya merupakan ruang utopia. Ruang utopia masa lalu di dalam film direpresentasikan lewat simbol yang menjadi kunci utama dalam mengaitkan plot cerita dan mengandung nilai-nilai tradisional yang dapat mendukung keadaan utopia masa lalu sebagai tema utama representasi. Skripsi ini menggunakan 2 film berbeda yang diproduksi dalam 15 tahun terakhir, Pleasantville (1998) dan Midnight in Paris (2011) untuk melihat bagaimana representasi yang dihadirkan terhadap ruang kota utopia masa lalu berdasar pada persepsi personal.

Films are used, by historian, as the primary media of representing urban space in the past through nostalgia. Memories are the main characteristics of the identity in film set space. Hence the production of another space, an imaginary space, the utopia. Utopian space of the past in films are represented in symbols which become the key in story plots. These contain traditional values that enhances the utopia state of the past as the representation main theme. This writing utilises two different films which are produced within the last fifteen years, “Pleasantville” (1998) and “Midnight in Paris” (2011), in order to analyze how the representation of the past utopian urban space are based on personal perception."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
S46356
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Faruq Sulaiman
"Penulisan Skripsi ini menggunakan metode penelitian kepustakaan dengan data sekunder sebagai sumber datanya. Permasalahan ini menarik untuk diteliti karena dalam praktik terjadi persinggungan istilah pengurus pada koperasi dan perseroan terbatas. Karakteristik dan kedudukan pengurus koperasi dan perseroan terbatas dalam perannya sebagai pengurus dalam suatu badan usaha dapat dikatakan sama. Pengurus pada koperasi dan perseroan memiliki karakteristik sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan usaha koperasi dan perseroan. Pengurus pada keduanya juga memiliki kedudukan untuk berhak mewakili koperasi dan perseroan di luar dan di dalam pengadilan. Pengurus koperasi memiliki kedudukan dan kewenangan delegatif secara formal dari peraturan perundang-undangan, sementara pengurus perseroan terbatas tidak formal. Pelaksanaan tugas, wewenang dan tanggung jawab hukum bagi pengurus koperasi dan perseroan terbatas dalam hubungannya dengan pengembangan usaha di tengah persaingan di dunia bisnis terdapat perbedaan. Pada koperasi pengambilan keputusan bisnis yang harus diambil pengurus harus kolegial demrokatis, hal tersebut menjadikan koperasi tidak atau kurang memiliki keluwesan dibandingkan dengan perseroan terbatas. Dengan demikian seringkali keputusan yang diambil cenderung terlambat, sehingga kadang-kadang hal tersebut menghambat perkembangan koperasi itu sendiri. Berbada kepengurusan Perseroan yang bersifat kolegial profesional.
Dari aspek tanggung jawab hukum, koperasi mengatur secara tegas tentang tanggung jawab pengurus secara internal maupun eksternal. Secara eksternal, tetap saja Pengurus dapat dituntut di Pengadilan baik secara perdata maupun pidana. Sementara itu Perseroan juga mengatur pertanggungjawaban Direksi secara internal maupun eksternal. Tanggung jawab hukum pengurus koperasi pada prinsipnya merupakan tanggung jawab secara kolegial, kecuali apabila dapat dibuktikan bahwa suatu tugas maupun kelalaian tugas terjadi karena kesalahan individual pengurus, maka dapat menjadi tanggung jawab pribadi pengurus yang bersangkutan. Hal sama juga berlaku dalam perseroan, hanya saja dalam perseroan lebih bersifat tanggung jawab secara profesional kepada individu direksi yang telah mengemban tanggung jawab spesifik dalam fungsi kerjanya. Tanggung Jawab hukum terhadap tindakan ultravires, Badan Pengurus yang bertindak ultra vires koperasi menanggung secara pribadi terhadap pihak ketiga. Tanggung jawab hukum terhadap kewenangan yang bersifat ultra vires juga mempunyai sifat yang sama antara pengurus pada Koperasi dan Perseroan.

Thesis writing is literature research using secondary data as the data source. This problem is interesting to study because in practical terms the intersection occurs on the cooperative board and limited liability company. Characteristics and status of cooperative management and limited liability company in its role as a caretaker in a business entity can be said to be the same. Manager in the cooperative and the company has characterized as the party responsible for the management of cooperatives and corporations. They also have a manager in the position to the right to represent the cooperative and the company's outside and inside the court. Cooperative management and the positions of formal authority of the delegative legislation, while not a formal committee limited liability company. Performance of duties, authority and legal responsibility for the management of cooperatives and limited liability in connection with business development in the midst of competition in the business world there is a difference. In the cooperative business decision to be taken should be collegial democratic, making it the cooperatives have little or no flexibility compared to the limited liability company. Thus the decisions taken are often likely to be late, so sometimes it inhibits the development of the cooperative itself. In other words, its different to the Company which are collegial professional.
From the aspect of legal responsibility, cooperative set firmly on the management responsibilities internally and externally. Externally, the Board could still be prosecuted in court, both civil and criminal. While it also regulates of Directors' liability to the Company internally and externally. Legal liability, in principle, cooperative management is the responsibility of the collegial, but if it can be proven that a task or dereliction of duty due to individual mistakes the board, then it may become the personal responsibility of the relevant committee. The same applies in the company, it's just more of the company in a professional responsibility to the individual directors who have specific responsibility in the work function. Responsibility ultravires legal action, the Board acted ultra vires in private cooperatives to bear the legal responsibility to third party. Responsibility which is ultra vires also have similar properties between the Cooperative and the Company's board.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S42822
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Merrifield, Ralph
Great Britain: The Pitman Pres , 1983
677.1 MER l (1)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>