Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 198637 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Akmal Ato Baihaqi
"Indonesia memiliki wilayah hutan terbesar ketiga di Dunia, tetapi tutupan hutannya juga terus menurun karena deforestasi. Diketahui bahwa di Wilayah Gunung Patuha yang terletak antara Kecamatan Pasirjambu, Kecamatan Ciwidey, dan Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung mengalami perubahan tutupan hutan pada tahun 2011-2017. Selain perubahan kawasan hutan, Wilayah Gunung Patuha memiliki potensi kayu yang melimpah seperti kayu putih, rasamala, dan puspa yang juga digunakan oleh masyarakat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola perubahan tutupan hutan yang terjadi di Kawasan Gunung Patuha dan hubungannya dengan pemanfaatan kayu yang dilakukan oleh masyarakat. Penelitian ini menggunakan teknologi penginderaan jauh, yaitu citra satelit Landsat 5 dan Landsat 8 dari tahun 1990 hingga 2018. Dengan interpretasi visual dan overlay, dilakukan untuk melihat perubahan tutupan hutan. Selain itu dalam penelitian ini juga diterapkan metode wawancara mendalam secara kualitatif untuk mengetahui pola perilaku spasial pemanfaatan kayu oleh masyarakat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan tutupan hutan terjadi karena faktor ekonomi, faktor sosial, dan kebijakan pemerintah. Perubahan tutupan hutan sebagai akibat dari kegiatan pemanfaatan hutan oleh masyarakat. Area perubahan tutupan hutan berada di dekat lokasi pemanfaatan kayu. Ada hubungan antara lokasi perubahan tutupan hutan dan lokasi pemanfaatan kayu oleh masyarakat.

Indonesia has the third largest forest area in the World, but its forest cover also continues to decline due to deforestation. It is known that in the Mount Patuha Region which is located between Pasirjambu District, Ciwidey District, and Rancabali District, Bandung District experienced changes in forest cover in 2011-2017. In addition to changes in forest areas, the Mount Patuha Region has abundant wood potential such as eucalyptus, rasamala, and puspa which are also used by the community.
This study aims to determine the pattern of changes in forest cover that occur in the Mount Patuha Region and its relationship with the use of wood by the community. This research uses remote sensing technology, namely Landsat 5 and Landsat 8 satellite imagery from 1990 to 2018. With visual interpretation and overlays, conducted to see changes in forest cover. In addition, this study also applied qualitative in-depth interview methods to determine the spatial behavior patterns of wood utilization by the community.
The results showed that changes in forest cover occur due to economic factors, social factors, and government policies. Changes in forest cover as a result of community forest use activities. The area of ​​forest cover change is near the timber utilization location. There is a relationship between the location of changes in forest cover and the location of community use of wood.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"The contents also highlight efforts to conserve and promote traditional forest management practices that balance the environmental, economic and social objectives of forest management. It places these efforts in the context of recent trends towards the devolution of forest management authority in many parts of the world.
The book includes regional chapters covering North America, South America, Africa, Europe, Asia and the Australia-Pacific region. As well as relating the general factors mentioned above to these specific areas, these chapters cover issues of special regional significance, such as the importance of traditional knowledge and practices for food security, economic development and cultural identity. Other chapters examine topics ranging from key policy issues to the significant programs of regional and international organisations, and from research ethics and best practices for scientific study of traditional knowledge to the adaptation of traditional forest knowledge to climate change and globalisation."
Dordrecht: Springer, 2012
e20410637
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Djuariah
"Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999 menetapkan perlunya kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap DAS dan atau pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan, sosial dan ekonomi masyarakat setempat. Namun degradasi hutan akibat berbagai aktlvitas legal maupun ilegal telah menyebabkan laju deforestasi + 2,8 juta ha/tahun selama kurun waktu 1997-2003 (Pusat Informasi Kehutanan, 2005). Di sisi lain pemanfaatan kawasan hutan yang berakibat pada pembukaan lahan hutan bagi kegiatan pertanian dan pernukiman semakin meningkat dengan bertambahnya penduduk. Program rehabilitasi hutan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan telah diwujudkan dalam Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) pada tahun 2003 serta program Hutan Kemasyarakatan (HKm) di luar Jawa dan Pengefolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di Pulau Jawa. Upaya rehabilitasi hutan di hutan lindung sebagai safah satu fungsi hutan yang diperuntukkan bagi kepentingan fungsi tata air, di pihak lain juga menjadi tumpuan masyarakat sekitar hutan sebagai sumber pendapatannya. Guna mengintegrasikan kepentingan fungsi tata air dan pemanfaatan kawasan ofeh masyarakat di sekitar hutan lindung, maka permasalahan yang ditemui adalah bagaimana mengimplementasikan paradigma baru pengelolaan hutan berbasis masyarakat di hutan lindung, dengan mencermati perangkat kebijakan yang telah tersedia dan masih dibutuhkan, serta melakukan analisis dart sisi kelayakan proyek. Sehingga penelitian ini ditujukan untuk menganalisis kebijakan yang telah tersedia dan masih dibutuhkan guna mendukung PHBM di hutan lindung dan menilai kelayakan proyek terutama dari aspek kelembagaan dan aspek finansial pembuatan tanaman budidaya kopi yang diusuikan oleh masyarakat sebagai sumber pendapatan, dengan memperhatikan aspek tata air fungsi lindung di kawasan Hutan Lindung RPH Hanjawar Timur I, BKPH Sukanegara Utara, KPH Cianjur, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Hasil indentifikasi berbagai kebijakan yang terkait dengan pengelolaan hutan lindung bersama masyarakat di Pulau Jawa, menunjukkan ketersediaan program dan peraturan baik di tingkat nasional/pusat, propinsi, dan kabupaten, yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan, Perum Perhutani dan Pemerintah Propinsi Jawa Barat. Peraturan dimaksud meliputi antara lain SK Menteri Kehutanan tentang HKm, Pedoman dan Evaluasl PHBM, Pedoman dan Petunjuk Teknis pengelolaan kawasan lindung dari Perum Perhutani, Pembentukan Kelompok Tani/Nelayan dan Tani/Hutan Propinsi Jawa Barat, Penunjukan Kader PHBM oleh ADM/KKPH Cianjur, dan pembentukan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) di Desa Campaka Mulya. Dari analisis kebijakan dan kelayakan proyek yang dilakukan, ternyata walaupun dari aspek hukum sudah tersedia peraturan yang melandasi kebijakan pengelolaan hutan bersama masyarakat di hutan lindung, namun dalam implementaslnya belum didukung oleh mekanisme perencanaan dan operasional di lapangan yang memadai. Mekanisme perencanaan pengelolaan hutan lindung yang melibatkan masyarakat sekitar hutan tergantung kepada kondisi spesifik di masing-masing lokasi hutan lindung, serta pemahaman masyarakat tentang fungsi lindung yang umumnya terbatas. Kelembagaan untuk mengelola hutan lindung bersama masyarakat yang sudah dibentuk di lokasi penelitian, belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan karena masih memerlukan peningkatan pemahaman masyarakat. Sehingga upaya penguatan kelerrrbagaan masih diperlukan melalui peningkatan kualitas sosialisasi/pendarnpingan dan perencanaan partisipatif, dengan meningkatkan kualitas penyuluhan dan koordinasi antar lembaga terkait di tingkat operasional. Penyuluhan diperlukan dalam aspek hukum dan aspek Iingkungan yang terkait dengan fungsi tata air. Sejalan dengan hal tersebut koordinasi dan kerjasama dengan berbagai pihak terkait seperti dari unsur pemerintahan, perguruan tinggi dan lembaga penelitian, perlu diupayakan. Berdasarkan aspek finansial dan ekonomi dalarn anallsis biaya manfaat untuk pengusahaan/penahaman tanaman kopi dengan pola tanam wanatani multistrata bersama jenis tanaman semusim (jagung) dan kayu-ka yuan pada hutan lindung di lokasi penelitian, layak untuk dilaksanakan terutama dengan memperhatikan aspek pasar dari harga kopi beras (hasil pengeringan. Dari aspek finansial maupun ekonomi, NPV untuk hasil kopi tanpa pengeringan bernilai positif pada tingkat infasi 7% dan 8%, dengan BCR > 1. Sec angkan dengan proses pengeringan NPV bare bernilai positif dengan BCR > 1 ketika harga kopi beras Rp.12.000, 00 untuk analisis financial dan Rp. 10.000, 00 untuk analisis ekonomi pada kedua tingkat Inflasi. Pengusahaan tanaman kopi mutu/strata bersama tanaman semusim dan kayu-kayuan selain layak secara finansial dan ekonoml, juga dapat mengintegrasikan kepentingan masyarakat dl sekitar hutan lindung dan keberlangsungan fungsi tata air. Kegiatan ini memberi hasil yang lebih baik bila dibandingkan dengan kawasan yang hanya didominasi oleh pohon kayu-kayuan saja, atau sebaliknya terjadi alih guna lahan hutan menjadl lahan pertanlan oleh masyarakat, Pengayaan tanaman di hutan lindung dengan jenis buah-buahan guna meningkatkan pendapatan petani dengan pengolahan tanah yang minimal, dapat pula dilakukan sesual kondisi tanah hutan. Untuk kelestarlan fungsi Iindung, penataan kawasan hutan lindung memerlukan penetapan blok pemanfaatan dengan mempertimbangkan daya dukung kawasan hutan lindung tersebut. Sedangkan dari aspek finansial dan ekonomi diperlukan pula peningkatan informasi pasar kepada petani hutan baik untuk saprodi maupun produksi kopi dan hasil hutan non kayu lalnnya. Dari aspek soslal ekonomi, pemerataan kesempatan kepada warga Dena Campaka Mulya yang belum terlibat dalam pengelolaan hutan lindung, perlu diupayakan melalui sosialisasi dan pendampingan yang melibatkan lembaga desa secara partisipatif guna menghindarkan kecemburuan soslal yang akan mendorong tindakan a sosial."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T17115
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zihan Syahayani
"Penelitian ini membahas mengenai resentralisasi tata kelola hutan di Indonesia. Permasalahan yang dikaji adalah tentang mengapa urusan kehutanan kembali disentralisasi berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah UU No. 23 Tahun 2014 dan bagaimana seharusnya resentralisasi tata kelola hutan yang integratif dan berkelanjutan. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan historis, perundang-undangan dan konseptual yang berkaitan dengan sentralisasi dan desentralisasi urusan kehutanan di Indonesia. Jawaban yang diperoleh dari hasil penelitian, pertama, Pemerintah melakukan resentralisasi urusan kehutanan karena kerusakan sumber daya hutan yang semakin parah di era kebijakan desentralisasi diterapkan. Pada praktiknya penyelenggaraan desentralisasi selama ini, baik sebelum maupun setelah rezim UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, hanya menambah beban ekonomi biaya tinggi, dikarenakan pemerintah kabupaten/kota tidak menjalankan fungsi pengawasan dengan benar dan justru menjadi pusat suap dalam hal perizinan kehutanan. Kedua, kebijakan resentralisasi tata kelola hutan yang integratif dan berkelanjutan seharusnya dibangun dengan pendekatan bioregion dan pembangunan berkelanjutan, lintas batas administratif managing transboundary resourches , serta penyelenggaraan prinsip tata kelola hutan yang baik good forest governance.
Kebijakan resentralisasi demikian mensyaratkan beberapa unsur antara lain: 1 transparansi dan akuntabilitas; 2 partisipasi; dan 3 koordinasi dan supervisi. Pada tataran implementasi, penyelenggaraan resentralisasi tata kelola hutan yang integratif dan berkelanjutan berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 akan menemui beberapa tantangan. Pertama, tantangan untuk mempercepat proses pelaksanaan pengukuhan hutan, khususnya dalam hal penentuan tata batas, agar tidak kalah cepat dengan proses perambahan. Kedua, tantangan kelembagaan KPH dan cabang dinas provinsi di tingkat kabupaten/kota, menyangkut pula aspek kesiapan sumber daya manusia dan pendanaan. Ketiga, penguatan peran stakeholder, khususnya pemerintah provinsi. Selain itu juga penguatan peran masyarakat adat atau lokal dan masyarakat sipil, misalnya dalam memberi masukan atau review perizinan.

This research aims to analyse about re centralization of forest governance in Indonesia. The problem is focused on why forestry affairs are re centralized based on Law Number 23 Year 2014 on Regional Governance Law No. 23 2014 and how re centralization of integrative and sustainable forest governance should be. This type of research is normative legal research that has a prescriptive nature. This research use a historical, legal and conceptual approach related to the centralization and decentralization of forestry affairs in Indonesia. The answer of the research is the first one, The Goverment do re centralization because the increasingly severe damage to forest resources in the era of decentralization policies. In practice the implementation of decentralization so far, both before and after the regime of Law No. 22 1999 on Regional Governance, only adds to the burden of high cost economy, because the district city government does not perform proper supervisory functions and instead becomes the center of bribery in forestry licensing. The second one, integrative and sustainable forest management decentralization policies should be developed with bioregion and sustainable development, managing transboundary resourches, and good forest governance principles approach.
The concept of re centralization has several elements including 1 transparency and accountability 2 participation 3 coordination and supervision. At the implementation level, re centralization of integrative and sustainable forest governance based on Law No.23 2014 will meet some challenges. The first one, the challenge to accelerate the implementation process of forest empowerment, especially in terms of setting boundaries, so as not to lose quickly with the process of encroachment. The second one, the challenges of KPH empowerment and branches of provincial services at the district city level, concerning aspects of human resource and funding readiness. The third one, strengthening the role of stakeholders, especially the provincial government. In addition, strengthening the role of indigenous or local peoples and civil society, for example in giving input or review of permissions.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T50266
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sawitri Retno Handayanti
"Tesis ini membahas perilaku penawaran kayu bulat dari hutan alam di Indonesia pada tahun 2007 - 2011. Penelitian ini menggunakan data panel terdiri dari 150 unit perusahaan selama 60 bulan. Data dianalisis dengan menggunakan metode tobit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku penawaran kayu bulat dari hutan alam Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain harga kayu domestik, luas hutan berdasarkan rencana kerja, curah hujan, suku bunga pinjaman, sertifikat kelestarian mengelola hutan, umur perusahaan, wilayah perusahaan tersebut berada dan musiman. Perilaku penawaran perusahaan dilakukan sepanjang tahun dan bersifat inelastis.

The focus of this study is the roundwood supply from natural forest in Indonesia in 2007-2011. This study uses panel data consisting of 150 units for 60 months. Data were analyzed using tobit method. The results of this study shows that the roundwood supply is influenced by the price of domestic timber, forest area based on work plan, rainfall, loan interest rates, sustainability of forest management certificate, age firm, region where the firms are located and seasonal. The supply spans a year around and is inelastic."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maman Sutisna
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional RI, 2001
634.95 MAM s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Hyde, William F.
Washington D.C.: World Bank, 1991
338.75 HYD f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jacobs, Marius
Boston: Springer-Verlag, 1981
574.526 JAC t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Frida Tri Rahayu
"ABSTRAK
Hutan Tanaman Industri (HTI) tidak hanya memberikan keuntungan ekonomis tetapi juga mampu memberikan kontribusi dalam meningkatkan daya fungsi ekologis bagi lingkungan sekitarnya. Salah satu potensi Hutan Tanaman Industri adalah biomassa. Biomassa mempunyai peran dalam perencanaan hutan dan informasi karbon.
Hutan Tanaman Industri menjadi salah satu objek yang potensial karena keberadaan HTI di Indonesia semakin meningkat. Penelitian ini memanfaatkan Citra LANDSAT 7 ETM+ sebagai pendukung dan data suvey lapang, serta menggunakan persamaan allometrik dan uji keterhandalan yang bertujuan untuk mengetahui sebaran HTI dan
biomassanya di Sektor Logas Selatan, PT. RAPP. HTI tersebar berdasarkan kompartemenisasi dan sistem tebangan berpola mozaik yang terdapat di berbagai Desa dengan jenis tanaman Acasia mangium, Acasia crassicarpa, dan Eucalyptus dengan didominasi umur tanaman 2 tahun sebesar 43%. Biomassa HTI di Sektor Logas Selatan, Kecamatan Singingi memiliki korelasi sebesar 0,461 atau sebesar 21% dengan NDVI.
Biomassa HTI berkisar 0,3 ? 250,68 ton/ha yang tersebar seluruh areal Tanaman Pokok Sektor Logas Selatan. Ketinggian wilayah dan lereng tidak mempunyai peran besar dalam besaran biomassa tanaman HTI.

ABSTRACT
Industrial Plantation Forest (HTI) not only giving economic benefits but also be able to contribute in enhancing the ecological functions for the surrounding environment. One of the potensial Timber Estate is biomass. Biomass has a role in forest planning and carbon information. Beside that, Forest Plantation became one of the potensial object due to presence of Industrial. This research using image of LANDSAT 7 ETM+ as a supporter and survey data field, and using allometric
equations and detail test to knowing the distribution and biomass plantations in the South Logas Sector, PT. RAPP, Singingi Subdistrict. Industrial Plants Forest be distributed by basic on dividing and felling system pattern mosaic there are various in the village with plant of species Acacia mangium, Acacia crassicarpa, and Eucalyptus
with age of 2 years was dominated by 43%. Biomass of Industrial Forest Plantations in the South Logas Sector, Singingi Subdistrict has a correlation of 0,461 or 21% with NDVI and value of biomass crops range from 0,3 to 250,68 tones/ha scattered throughout the area of Principal Crops in the South Logas Sector. Nevertheles, the height and slope areas haven?t a big role in the amount of plant biomass plantations.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
S1767
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Apri Dwi Sumarah
"ABSTRAK
Ekosistem hutan menyediakan berbagai manfaat bagi kehidupan yaitu nilai guna langsung dan nilai guna tidak langsung, dimana kemungkinan nilai tidak langsungnya lebih tinggi daripada nilai guna langsungnya. Dikarenakan tidak adanya harga pasar, maka perlu dilakukan perhitungan manfaat hutan secara menyeluruh. Penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi manfaat taman hutan wisata alam Grojogan Sewu secara menyeluruh, mengetahui tingkat membayar pengunjung dan faktor ? faktor yang mempengaruhinya. Nilai manfaat yang dihitung dalam penelitian ini adalah nilai manfaat wisata, nilai potensi kayu, nilai serapan karbon, nilai kesejukan dan nilai serapan air. Metode kontingensi dengan regresi logistik digunakan dalam penelitian ini untuk mengitung nilai guna wisata. Sedangkan untuk nilai kayu dan serapan karbon menggunakan pendekatan harga pasar yang berlaku dan nilai kesejukan dan nilai serapan air menggunakan pendekatan biaya pengganti. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini salah satunya adalah tingkat kemauan membayar pengunjung terhadap objek wisata TWA Grojogan Sewu. Nilai kemauan membayar pengunjung di objek wisata ini yang diperoleh masih lebih rendah daripada harga tiket masuk ketika penelitian dilakukan, yaitu dengan nilai terendah sebesar Rp10,622.56 yang diperoleh dari pengunjung dengan jenjang pendidikan tinggi dan memiliki jarak tempat tinggal ke lokasi wisata lebih dari 500 km, sedangkan nilai tertinggi adalah Rp12,406.39 yang diperoleh dari pengunjung dengan jenjang pendidikan menengah dan jarak tempat tinggal ke objek wisata kurang dari 500 km. Faktor ? faktor yang mempengaruhi nilai kemauan membayar tersebut adalah tingkat tawaran harga, umur, jenjang pendidikan tinggi, jumlah kunjungan, waktu berkunjung, persepsi responden terhadap ekosistem hutan di lokasi rekreasi sebagai daya tarik wisata dan persepsi terhadap TWA Grojogan Sewu sebagai asset nasional dan keamanan dalam melakukan kegiatan wisata di TWA Grojogan sewu. Dari hasil perhitungan diperoleh bahwa nilai ekonomi penggunaan langsung lebih rendah daripada nilai penggunaan tidak langsung.dengan nilai total sejumlah Rp68.805.414.238,30.

ABSTRACT
Forest ecosystem provides many benefits for human being, those are use values and non-use values, which its non-use values may considerably exceed its use values. Due to lack of market price on forest ecosystem service, therefore needs a comprehensive method of forest ecosystem service valuation. Aims of this study are estimating the benefits value of Grojogan Sewu tourism forest, eliciting willingness to pay of tourist and drawing factors which influence to willingness to pay (wtp) level. The economic values which are estimated in this study are recreation value, commercial timber value, carbon storage value, micro-climate value and watershed service. Contingent valuation method along with logistic regression is used to evaluate the recreational value. However, commercial timber value and carbon storage value are based on market price approach; otherwise micro-climate and watershed value are based on substitution. Result of willingness to pay of tourist in this study is lower than the current price of entrance fee when this research was established which the lowest wtp is around Rp10,622.56 that generated from respondents who have a high education and home distance to attraction site more than 500 km; on the other hand the highest wtp is about Rp12,406.39 which generated from tourists with a medium education level and home distance less than 500 km. In this case, wtp is influenced by bid vehicle, age, a high education level, numbers of visit, the time-length of visit, perception on natural surroundings of forest ecosystem as recreational attraction, perception on statement that Grojogan Sewu as a national asset and safety feeling surrounding recreational site. Based on the study, it is defined that the use value is lower than the non-use value which the amount of total values around Rp Rp68.805.414.238,30.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>