Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 198957 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ratih Maharani Ekaningtyas
"ABSTRAK
Teori diskriminasi Becker (1957) memprediksi bahwa peningkatan persaingan di pasar
barang akan mengurangi diskriminasi. Untuk menguji teori tersebut, penelitian ini
mengestimasi dampak peningkatan penetrasi impor pada diskriminasi upah gender di
Industri manufaktur Indonesia dari 2000 sampai 2014. Diskriminasi upah gender diukur
dengan perubahan residual gender wage gap. Hasil uji empiris menggunakan
menunjukkan bahwa diskriminasi upah gender cenderung menjadi lebih rendah di sektor
yang mengalami peningkatan penetrasi impor lebih tinggi dan pada awalnya memiliki
market power lebih besar.

ABSTRACT
Beckers discrimination theory (1957) predicts that the rise of competition in final goods
will drive out discrimination. To test this theory, this study estimates the impact of rising
import penetration on gender wage discrimination in Indonesian manufacturing
industries from 2000 to 2014. Gender wage discrimination is proxied by change in
residual gender wage gap. Empirical result suggests that the bigger market power, the
bigger impact of rising import penetration on narrowing residual gender wage gap. This
result can be interpreted as lower gender wage discrimination in sector which is more
exposed to import penetration and initially has bigger market power.
"
2019
T53768
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salwa Kholifah
"Faktanya, kebutuhan pasar pasti meningkat dari tahun ke tahun, begitu pula dengan peluang dan risiko yang menyertainya. Seperti perusahaan yang melakukan ekspansi global dan menjadi perusahaan multinasional untuk memperluas pasarnya untuk memperoleh keuntungan sebanyak mungkin, mereka akan dihadapkan pada kompleksitas manajemen yang mungkin berbeda secara signifikan antara negara asal mereka dan negara tujuan akibat perbedaan budaya dan sistem regulasi. Salah satu kompleksitas manajemen dalam menangani sumber daya manusia secara global adalah mengenai kompensasi. India yang menyandang predikat sebagai negara dengan populasi ekspatriat terbesar di dunia juga menduduki peringkat keenam dengan populasi ekspatriat perempuan di antara beberapa negara Asia. Terkenal dengan biaya tenaga kerja yang rendah bagi penduduk lokalnya, sayangnya India juga terkenal dengan disparitas kesenjangan upah gender yang sangat besar yang terjadi karena budaya patriarkinya. Diperkirakan 67 persen perempuan lokal di India ditemukan mendapat upah lebih rendah dari pria dikarenakan adanya diskriminasi gender. Lingkungan kerja yang tidak nyaman tidak dapat disangkal akan terjadi antara perempuan ekspatriat dan perempuan lokal karena upah ekspatriat yang mungkin lebih tinggi daripada penduduk lokal sehingga menyebabkan kepuasan kerja yang rendah, kinerja yang buruk, dan berakhir dengan tingginya turnover rate. Dengan biaya tenaga kerja yang rendah di India dan seksisme di tempat kerja yang memperburuk disparitas upah antara perempuan ekspatriat dan penduduk lokal, lingkungan kerja yang beragam dan inklusif serta pencarian pendekatan kompensasi yang sesuai diperlukan bagi perusahaan multinasional di India dan begitu pula dukungan dari keterlibatan pemerintah India dalam mengatasi diskriminasi gender di tempat kerja.

In a point of fact, market needs inevitably increase throughout the years and so do the opportunities and the risks that follow. In the same way as companies going global and becoming a multinational enterprise to enhance their market size for they gain as much profit as possible, they are posed to the management complexities that might differ significantly between their home country and the host countries due to the difference of culture and system regulations. One of the management complexities in dealing with human resources globally is regarding compensation. India and its title as the world’s largest expatriate population also ranked in the sixth place with its female expatriate population among several Asian countries. Famous for its low labour costs for its locals, unfortunately, India is also famous for its huge disparity of the gender pay gap that occurs due to its well-known patriarchal culture. An estimation of 67 percent of local females in India found to get a lower wage compared to male due to gender discrimination. An uncomfortable work environment will undeniably occur between the female expatriates and locals as the expats wages might be higher than the locals for it leads to a low job satisfaction, poor performance, and subsequently results in high turnover rate. With India’s low labour cost and sexism in the workplace worsening the wage disparity between female expatriates and locals, a diverse and inclusive work environment along with seeking for an appropriate compensation approach are needed for MNEs in India and so do the support from India's government involvement in addressing gender discrimination in the workplace."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
"Using Eurostat data for 2007, 2010 and 2012, the authors examine the effects of the 2008 crisis on the situation of male and female workers in Italy, Ireland and Portugal, with particular attention to changing labour market dynamics, (intra-household) employment patterns, and incomes. The gender gaps in employment, unemployment and precarious employment are narrowing, but this trend cannot be interpreted as progress toward gender equality: it is driven by men's increasingly vulnerable position resulting from the generalized deterioration of labour market conditions, including the growth of precarious and/or low-paid employment, unemployment and poverty to the detriment of household living standards."
ILR 154:4 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Cecep Ruhiyat
"ABSTRAK
Salah satu masalah serius yang dihadapi oleh dunia ketenagakerjaan di Indonesia adalah masih rendahnya upah yang diterima pekerja. Hal ini bisa dilihat dengan adanya ketentuan upah minimum baik regional maupun sektoral yang kerap sekali mengalami perubahan. Disamping itu, berbagai protes, demonstrasi, pemogokkan serta kasus-kasus perselisihan yang terjadi selama ini, sebagian besar mempunyai muatan masalah pengupahan.
Dengan berkembangnya industrialisasi di Indonesia, banyak kesempatan bagi angkatan kerja perempuan untuk memasuki pasar kerja. Namun kemudian muncul isu yang menyatakan adanya "perlakuan yang berbeda" terhadap pekerja laki-laki dibanding terhadap pekerja perempuan, dan adanya pekerja perempuan "dihargai" lebih rendah daripada pekerja laki-laki.
Studi ini dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya perbadaan upah pekerja antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan yang berstatus buruh/karyawan, dengan menggunakan data hasil Sakernas 1998. Metode yang digunakan dalam analisis ini adalah dengan menggunakan regresi logistik biner dengan variabel yang diperhatikan tingkat pendidikan, jam kerja, status perkawinan, jenis pekerjaaa/jabatarr, dan kelompok umur.
Secara empirik banyak yang mengatakan bahwa upah pekerja perempuan dibayar lebih rendah dari upah pekerja laki-laki. Dalam studi ini juga didapat hal yang sama dimana upah pekerja perempuan hanya sebesar 29,6 % hingga 90,22 % dari upah pekerja laki-laki. Rata-rata upah pekerja perempuan hanya sebesar 67,49 dari rata-rata upah pekerja laki-laki dimana rata-rata upah pekerja perempuan sebesar Rp. 213.629,- dan rata-rata upah pekerja laki-laki sebesar Rp. 316.546,-.
"
2000
T14617
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Delia Dintana
"Studi ini mengkaji bagaimana peningkatan perdagangan internasional telah memengaruhi dinamika kesenjangan upah antar jenis kelamin dan share employment di industri manufaktur di Indonesia hingga 2003 hingga 2015. Teori Discrimination Taste oleh Becker (1957) dan menyatakan bahwa perdagangan internasional adalah mekanisme untuk meningkatkan daya saing di pasar sehingga peningkatan perdagangan internasional akan mengurangi kesenjangan upah antar tenaga kerja laki-laki dan perempuan karena diskriminasi bersifat costly untuk industri. Di sisi lain, teori non neoklasik berpendapat bahwa perdagangan internasional berakibat kepada melebarnya ketimpangan upah dikarenakan adanya segregasi pekerjaan diantara skilled dan unskilled labor. Penulis memasukkan ide dari kedua teori ini ke dalam model teori persaingan dan konsentrasi industri dan menguji model tersebut menggunakan data panel dari data survei rumah tangga Sakernas yang digabung dengan data perdagangan dan konsentrasi dari Statistik Industri dari 2003-2015. Perkiraan dari Ordinary Least Square (OLS) dan random effect di tingkat industri menunjukkan bahwa peningkatan daya saing di dalam pasar karena perdagangan internasional membuat tingkat kesenjangan upah di industri manufaktur terkonsentrasi di Indonesia menjadi semakin lebar.

This study examines how increasing trade in manufacturing industry in Indonesia through 2003 to 2015 have affected the dynamic of the gender wage gap and share employment. The Discrimination Taste theory by Becker (1957) stated that international trade is a mechanism for the competitiveness in the market hence the increasing of trade will decrease the gender wage gap since it is costly for the industry. On the other hand, non-neoclassical theory argues that international trade results in widening wage inequality due to the segregation of work between skilled and unskilled labor. We incorporate these two ideas into a theoritical model of competition and industry concentration and test the model using panel data of Sakernas household survey data merged with trade and concentration data from Statistik Industri from 2003-2015. Estimates from ordinary least-squares (OLS) and random effects regressions at the industry-level indicate that increasing openness to trade is associated with larger wage gaps in Indonesias concentrated manufacturing industries.
"
Depok: Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Madina Rizqia
"Ketimpangan antar jenis kelamin di pasar tenaga kerja Indonesia masih terjadi. Hal ini memicu pekerja perempuan untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi agar dapat bersaing dengan pekerja laki laki, sehingga pekerja perempuan mengalami job-education mismatch karena memiliki pendidikan yang lebih tinggi dari yang dibutuhkan oleh pekerjaannya. Baik studi mengenai job-education mismatch maupun studi mengenai selisih antara upah pekerja laki-laki dan pekerja perempuan sudah banyak berkembang, namun belum banyak studi yang melihat hubungan antara keduanya.
Penelitian ini diharapkan mampu menemukan bagaimana job-education mismatch mempengaruhi selisih upah antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan di Indonesia. Data yang digunakan adalah data SAKERNAS Agustus 2016. Status mismatch ditentukan dengan job-evaluation method menggunakan standar ISCO 2008 dan ISCED 1997.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan, pekerja yang mengalami overqualified menerima wage penalty, pekerja yang mengalami underqualified menerima wage premium, dan mismatch pada pekerja perempuan memperburuk wage gap antara pekerja laki-laki dan perempuan.

Gender disparity still exists in Indonesias labor market. Discrimination between female and male workers then triggers female workers to achieve a higher education to be able to compete with male workers. That leads female workers to have a mismatch between their job and education, because they are overqualified for their jobs. Even though both studies about job education mismatch and females wage gap are already done by so many researchers, but less discuss about the relationship between them.
This research aims to find out how job education mismatch affects gender wage gap in Indonesia. This research used SAKERNAS August 2016 data. The mismatch status is obtained with job evaluation method using ISCO 2008 and ISCED 1997 standards.
The result of the research shows that overall, overqualified workers receive wage penalty, underqualified workers receive wage premium, and mismatch worsens the wage gap between male and female workers.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sakinah
"Studi ini mengkaji dampak otomatisasi terhadap kesetaraan gender di sektor manufaktur Indonesia dari tahun 2011 hingga 2015. Data diperoleh dari Survei Industri Besar dan Sedang (SI), Survei Tenaga Kerja Nasional (SAKERNAS), dan Federasi Internasional Robotika (IFR), mencakup 15 industri manufaktur berdasarkan KBLI 2009. Kami menggunakan efek tetap dan acak untuk regresi. Variabel utama adalah stok robot, yang dihitung menggunakan metode inventarisasi perpetual dengan tingkat depresiasi 10%. Temuan kami menunjukkan bahwa otomatisasi sedikit meningkatkan jumlah pekerjaan secara keseluruhan dan ketimpangan upah gender, tetapi tidak secara signifikan mempengaruhi komposisi gender dalam perusahaan.

This study examines the impact of automation on gender equality in the Indonesian manufacturing sector from 2011 to 2015. Data were sourced from the Large and Medium Enterprises Survey (SI), National Labor Survey (SAKERNAS), and International Federation of Robotics (IFR), covering 15 manufacturing industries based on KBLI 2009. We used fixed and random effects for the regression. The primary variable was the stock of robots, calculated using the perpetual inventory method with a 10% depreciation rate. Our findings show that automation slightly increases overall employment and gender wage inequality but does not significantly affect the gender composition within firms"
Depok: Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wiwid Safitri
"ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat pelecehan seksual yang terjadi
di empat industri berbeda yaitu industri garmen, sepatu, makanan, dan tekstil serta
untuk mengetahui bagaimana perbedaan dari pelecehan seksual di empat industri
berbeda tersebut. Pengukuran pelecehan seksual dalam penelitian ini
menggunakan definisi operasional oleh APINDO (2012) dengan mengembangkan
kuesioner Sexual Experiences Questionnaire (SEQ) form W dari Fitzgerald et al
(1995) yang terbagi kedalam 5 dimensi; pelecehan lisan, pelecehan isyarat,
pelecehan fisik, pelecehan visual, dan pelecehan psikologis. Setiap butir
pertanyaan dalam dimensi tersebut dibagi dua yaitu pelecehan yang dilakukan
oleh rekan kerja laki-laki dan pelecehan yang dilakukan oleh supervisor laki-laki.
Kemudian metode analisis menggunakan analisis deskriptif. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan akan pelecehan seksual
pada dimensi pelecehan lisan, pelecehan isyarat, dan pelecehan fisik di keempat
industri yaitu di industri gamen, sepatu, makanan, dan tekstil. Dapat disimpulkan
bahwa pelecehan seksual yang ada pada keempat industri masih dalam taraf
rendah, akan tetapi melalui wawancara dan komentar responden didapatkan
tindakan pelecehan seksual di tempat kerja banyak terjadi, sehingga masih perlu
adanya upaya yang berarti agar tindak pelecehan seksual dapat diminimalisir dan
dihilangkan di tempat kerja.

ABSTRACT
This research was conducted to determine the level of harassment abuse that
occurred in four different industries are garment, footwear, food, and textiles
industry and to investigate how differences of sexual abuse in four distinct
industries. Measuring sexual harassment in this study uses an operational
definition by APINDO (2012) developed a questionnaire from Sexual Experiences
Questionnaire (SEQ) form W of Fitzgerald et al (1995) which is divided into five
dimensions; verbal harassment, non-verbal harassment, physical harassment,
visual harassment, and psychological harassment. Every item question in the
questionnaire is divided into two dimensions which are harassment by male
coworkers and harassment by male supervisors. Then the method of analysis
using descriptive analysis. The results of this study indicate that there are
significant differences in the dimensions of sexual harassment that are verbal
abuse, non-verbal harassment, and physical abuse in the four industries, namely in
the industry garment, footwear, food, and textiles. It is concluded that sexual
harassment in the four industry is still in a low level, but through interviews and
comments of respondents found sexual harassment in the workplace a lot going
on, so it still needs a significant effort that sexual harassment can be minimized
and eliminated in the workplace ."
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2012
T34760
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aurora Chandra Muhammad Haeckel Wigrantoro
"Pekerja perempuan di Indonesia menerima upah 23% lebih rendah daripada pekerja laki-laki. Karena pekerja dibayar sesuai dengan produktivitas yang mereka miliki, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara produktivitas dan upah yang dimiliki pekerja perempuan yang memiliki upah lebih rendah daripada laki-laki. Dataset yang digunakan adalah survei Industri Besar Sedang (IBS) tahun 2015, 2017, 2018, dan 2019 yang bersifat unbalanced panel data dengan unit analisis perusahaan manufaktur. Teknik analisis data menggunakan Generalized Moment Method (GMM) karena terdapat potensi endogenitas pada variabel independen utama yang disebabkan dataset yang digunakan juga bersifat dinamis. Hasil estimasi menunjukkan bahwa proporsi pekerja perempuan sebagai variabel independen utama memiliki koefisien negatif signifikan terhadap rata-rata produktivitas dan upah per pekerja pada suatu perusahaan. Berdasarkan persamaan productivity-wage gap pada model, proporsi pekerja perempuan memiliki koefisien yang tidak signifikan, yang mengindikasikan pekerja perempuan secara umum telah dibayar sesuai dengan produktivitasnya. Mengontrol jenis pekerja, proporsi pekerja non-produksi pengaruh yang lebih tinggi terhadap rata-rata produktivitas dan upah per pekerja daripada proporsi pekerja produksi. Meningkatnya proporsi pekerja laki-laki non-produksi memiliki koefisien yang lebih tinggi terhadap rata-rata upah daripada terhadap rata-rata produktivitas per pekerja secara signifikan, mengindikasikan kelompok pekerja tersebut mengalami overpaid.

Indonesian female workers earn 23% less in wages than their male counterparts. Because labors are paid according to their productivity, this research’s objective is to identify the relationship between productivity and wage of female workers. The dataset used came from the Industri Besar Sedang (IBS) survey from 2015, 2017, 2018, 2019 which is categorized as unbalanced panel data with manufacturing firms as the unit analysis. The Generalized Moment Method (GMM) is used because there is a potential endogeneity issue in the main independent variable. Estimation results show that the share of female workers have significant negative coefficient on average productivity and wage per worker of a firm. Based on the productivity-wage gap equation in the model, the share of female workers does not have a significant coefficient, indicating that female workers generally have been paid according to their productivity. Controlling for the types of labor, the share of white-collar workers has a higher effect on average productivity and wage per worker than the share of blue-collar workers. An increase in the share of non-production male workers has a significantly higher effect on the average wages than productivity per worker, indicating that this type of labor is being overpaid."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kharisma Putri Maddendra
"Makalah ini menjelaskan kesenjangan gaji berdasarkan gender yang persisten di Hollywood, menekankan pada penilaian sistemik yang lebih rendah terhadap aktris perempuan meskipun memiliki kedudukan dan pengalaman yang setara dengan rekan laki-laki mereka. Studi ini menginterogasi bagaimana stereotip sosial dan dominasi historis budaya patriarki dalam industri telah mengukuhkan disparitas dalam pendapatan.Tulisan ini menjelaskan bahwa ketidaksetaraan pembayaran berdasarkan gender tetap kuat, bahkan ketika mempertimbangkan faktor-faktor seperti kompleksitas peran dan keberhasilan box office. Hasil diskusi menunjukkan bahwa persepsi eksternal dari beberapa peneliti dan penggambaran perempuan dalam media berkaitan dengan lintasan karir dan potensi penghasilan, menuntut perubahan industri perfilman Hollywood secara luas untuk untuk bisa menyetarakan gender.

This paper explains Hollywood's persistent gender-based pay gap, emphasising the systematic undervaluation of female actresses despite having status and experience equivalent to their male counterparts. The study interrogates how social stereotypes and the historical dominance of patriarchal culture in the industry have solidified disparities in earnings. The writing explains that gender-based pay inequality remains strong, even when considering role complexity and box office success factors. The discussion results indicate that external perceptions from various researchers and the portrayal of women in media related to career trajectories and earning potential demand a broad change in the Hollywood film industry to achieve gender equality.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>