Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 174435 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aryo Agung Prabowo Mukti
"

Latar belakang: Operasi modifikasi Bentall merupakan pilihan utama terhadap tatalaksana penyakit aorta diseksi dan nondiseksi yang membutuhkan perbaikan pangkal aorta. Kerusakan ginjal akut (KGA) pascaoperasi modifikasi Bentall merupakan kejadian yang cukup sering ditemukan. Metode: Desain penelitian ini adalah kohort analitik retrospektif. Pasien dengan penyakit aorta diseksi tipe A dan nondiseksi aorta yang telah menjalani prosedur modifikasi Bentall (Januari 2015 sampai Desember 2018), dilakukan analisis faktor risiko preoperasi dan intraoperasi terhadap kejadian KGA pascaoperasi. Uji statistik dengan melakukan analisis bivariat dan multivariat. Hasil: Total subjek penelitian 82 pasien (43 pasien diseksi, dan 39 pasien nondiseksi). KGA tampak lebih besar pada kelompok diseksi (79,1% vs 39%, p = 0,001). Onset dini KGA pascaoperasi banyak ditemukan pada grup diseksi (p <0,05). Riwayat merokok (OR 4,130; p = 0,01) dan lama MHCA (OR 1,054; p = 0,001) merupakan faktor risiko yang paling memengaruhi kejadian KGA pascaoperasi tanpa membedakan stadium KGA. Simpulan: AKI pascaoperasi modifikasi Bentall ditemukan lebih banyak pada grup diseksi aorta. Riwayat merokok dan lama MHCA merupakan faktor risiko yang paling memengaruhi kejadian KGA pascaoperasi modifikasi Bentall tanpa membedakan stadium KGA. Onset kejadian KGA pascaoperasi dini didominasi oleh pasien pada grup diseksi aorta. 


Introduction: the Bentall modification procedure is considered the gold standard in treatment of patients with various aortic dissease requiring aortic root replacement. Postoperative acute kidney injury (AKI) are common among patients undergoing Bentall modification procedure. Methods: study design was retrospective cohort analytic. From January 2015 - December 2018, patients with type A aortic dissection and nondissection aortic who had undergone Bentall modification procedure was analize to find the correlation of preoperative and intraoperative risk factors with postoperative AKI. Bivariate and multivariate statistical analysis was perform. Results: 82 patients included, devided in to aortic dissection group (N = 43) and nondissection group (N = 39). Incidence of postoperative AKI found greater in aortic dissection group (79,1% vs 39%). early onset of postoperative AKI found greater in aortic dissection group (p < 0,05). History of smoking (OR 4,130; p = 0,01), and MHCA time (OR 1,054; p = 0,001) were associate with postoperative AKI. Conclusions: postoperative AKI after Bentall modification procedure found greater in aortic dissection. History of smoking and MHCA time associated with postoperative AKI after Bentall modification procedure. early onset of postoperative AKI dominated by patients in aortic dissection. 

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55581
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Quincy Romano Rompas
"Background: Acute type-A aortic dissection occurs when the inner layer of the ascending aorta tears and develops an intimal flap. Surgery is the main intervention for this condition, which can lead to complications and even death. Post-operative hyperglycemia is a significant indicator of poor outcomes, impacting renal and neurologic functions, and increasing mortality rates. Studies reveal that higher blood glucose levels, a hallmark of type II diabetes mellitus (type II DM), predict morbidity and mortality following type A aortic dissection surgery due to body stress, immune system response, and mitochondrial problems.
Methods: A retrospective cohort analytic study was conducted from January 2024 to July 2024, analyzing patients with and without preoperative type II DM who had undergone surgery. to find risk of early outcome like mortality and morbidity (AKI and post-operative wound infection). Bivariate statistical analysis using Independent T-test, Chi-Square, Fisher, and Mann-Whitney.
Result: Patients who have type II DM and without type II DM have similar average age (49.24 ± 2.921 years old and 49.47 ± 1.040 years old respectively). Patients with type II DM had a longer duration of surgery time, with a mean of 448.18 ± 54.17 minutes, compared to patients without type II DM (370.84 ± 12.61 minutes). Intrahospital mortality, acute kidney injury complications, and infections had no significant relationship with type II DM.
Conclusion: Both patient with type II DM and patients without type II occurs in productive age. Type II DM is not a risk factor for intrahospital mortality, acute kidney injury complications and infections.

Latar belakang: Diseksi aorta akut tipe A terjadi ketika lapisan dalam aorta ascenden robek dan mengembangkan flap intimal. Operasi adalah intervensi utama untuk kondisi ini, yang dapat menyebabkan komplikasi bahkan kematian. Hiperglikemia pasca-operasi merupakan indikator penting dari hasil yang buruk, berdampak pada fungsi ginjal dan neurologis, serta meningkatkan tingkat mortalitas. Studi menunjukkan bahwa kadar glukosa darah yang lebih tinggi, yang merupakan ciri khas diabetes mellitus tipe II (DM tipe II), memprediksi morbiditas dan mortalitas setelah operasi diseksi aorta tipe A akibat stres tubuh, respons sistem kekebalan, dan masalah mitokondria.
Metode: Sebuah studi analitik kohort retrospektif dilakukan dari Januari 2024 hingga Juli 2024, menganalisis pasien dengan dan tanpa DM tipe II pra-operatif yang telah menjalani operasi untuk menemukan risiko hasil awal seperti mortalitas dan morbiditas (gagal ginjal akut dan infeksi luka pasca-operasi). Analisis statistik bivariat dilakukan dengan menggunakan Uji T Independen, Chi-Square, Fisher, dan Mann-Whitney.
Hasil: Pasien yang memiliki DM tipe II dan tanpa DM tipe II memiliki rata-rata usia yang serupa (masing-masing 49,24 ± 2,921 tahun dan 49,47 ± 1,040 tahun). Pasien dengan DM tipe II memiliki durasi waktu operasi yang lebih lama, dengan rata-rata 448,18 ± 54,17 menit, dibandingkan dengan pasien tanpa DM tipe II (370,84 ± 12,61 menit). Mortalitas intrahospital, komplikasi gagal ginjal akut, dan infeksi tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan DM tipe II.
Simpulan: Pasien dengan DM tipe II dan pasien tanpa DM tipe II terdapat pada usia produktif. DM tipe II bukanlah faktor risiko untuk mortalitas intrahospital, komplikasi gagal ginjal akut, dan infeksi.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Moch Arrol Iswahyudi
"ABSTRAK
Latar belakang. Diseksi aorta Stanford A adalah penyakit dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Penelitian ini bertujuan mencari ketahanan hidup satu tahun pasien diseksi aorta Stanford A dengan lesi hingga arkus aorta yang dibedah serta untuk mengetahui karakteristik pasien, tindakan dan faktor- faktor yang berhubungan.
Metode. Studi kohort retrospektif dengan data diambil melalui rekam medis pada pasien diseksi aorta Stanford A yang dilakukan operasi dari periode 1 Januari 2014 sampai dengan 31 Oktober 2017. Tingkat ketahanan hidup satu tahun dinilai menggunakan metode Kaplan Meier dan faktor faktor yang berhubungan dengan ketahanan hidup akan dianalisis dengan regresi Cox

ABSTRACT
Background: Stanford type A Aortic Dissection is a disease with high mortality rate. This study not only to find a one-year survival of patients with Stanford type A Aortic Dissection with lesion to the aortic arch that is dissected but also to determine patient characteristics and its related factors.
Methods: A retrospective cohort study with datas taken from medical records in Stanford type A Aortic Dissection patients who were operated from 1st January 2014 to 31st October 2017. One-year survival rate was assessed using the Kaplan-Meier method and its survival-related factors will be analyzed by Cox regression"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sebayang, Agnes Natalia
"Jumlah klien gagal ginjal kronis terus meningkat setiap tahunnya dan banyak dialami oleh masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan. Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk menggambarkan asuhan keperawatan yang yang diberikan pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis. Masalah dalam studi kasus ini meliputi kelebihan volume cairan, perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, ketidakefektifan pola napas, ketidakefektifan pemeliharaan kesehatan dan intoleransi aktifitas. Setelah dilakukan asuhan keperawatan, hasilnya menunjukkan bahwa tidak semua masalah keperawatan yang dialami oleh pasien GGK yang mengalami hemodialisis terselesaikan sepenuhnya. Karya tulis ini dapat dijadikan acuan dalam pemberian asuhan keperawatan kepada klien dengan gagal ginjal kronis.

The number of chronic kidney disease have been increase every year, especially in urban area. The aims of this paper is to describe the nursing care that given to patients with chronic kidney kidney disease undergoing the hemodialysis. Various nursing problem common in Chronic kidney disease on hemodialysis, such us fluid volume excess, altered nutrition: less than body requirements, ineffective self care, and intolerancy activity. The result of this paper shows that not all of the nursing problem in chronic kidney disease patient who undergoing the hemodialysis is fully resolved. This paper could be as a recommendation for the other to give nursing care in chronic kidney disease pastient.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Putu Eka Rosmala Dewi
"Pembatasan cairan merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mengurangi kelebihan volume cairan akibat penurunan fungsi ginjal. Pembatasan cairan merupakan hal yang terberat yang dialami pasien gagal ginjal kronik selama menjalani hidup dengan hemodialisa. Penulisan karya ilmiah ini menggunakan evidence based practice dari jurnal ilmiah.
Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk menerapkan cognitive behavioral therapy terkait intervensi pembatasan cairan pada penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa.
Hasil menunjukkan cognitive behavioral therapy efektif dalam meningkatkan kepatuhan pasien dalam melakukan pembatasan cairan. Pasien menunjukkan berat badan yang stabil, balance cairan seimbang, dan menunjukkan minat dan motivasi untuk melakukan pembatasan cairan.

Fluid restriction is one of the means used to reduce excess fluid volume due to decreased renal function.Fluid restriction is the hardest part of patient’s life with during hemodialysis. This papers is to use evidence-based practice of scientific journals.
This papers is aim to apply cognitive behavioral therapy interventions related to fluid restriction in patients with CKD stage 5 undergoing hemodialysis.
The results showed cognitive behavioral therapy is effective in improving patient compliance in conducting fluid restriction. Patients showed a stable weight, balance fluid balance, and show an interest and motivation to perform fluid restriction.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Mardiana
"Penderita gagal ginjal kronik di perkotaan semakin meningkat yang disebabkan perilaku kurang sehat seperti merokok dan minum minuman berenergi. Proses lanjut dari gagal ginjal kronik yang telah mencapai tahap terminal salah satunya dialisis yang memerlukan biaya yang tidak murah. Penulisan ini bertujuan menggambarkan asuhan keperawatan pada pasien gagal ginjal kronik dan menganalisis intervensi khusus yang diberikan yaitu edukasi mengenai gagal ginjal kronik dan perawatannya.
Hasil asuhan keperawatan yang diperoleh yaitu terkontrolnya cairan masuk-keluar, perbaikan keseimbangan asam-basa dan pengetahuan pasien dan keluarga mengenai definisi, penyebab, tanda dan gejala, komplikasi dan pencegahan gagal ginjal kronik meningkat. Perlu adanya tindak lanjut yang konsisten dalam pemberian edukasi pada pasien gagal ginjal kronik di ruang Melati Atas, RSUP Persahabatan.

Patients with chronic kidney disease in urban areas is increasing due to unhealthy behaviors such as smoking and drinking energy drinks. Further process of chronic renal failure who had reached the end stage one requiring dialysis which is costs are not cheap. This paper aims to describe the nursing care in patients with chronic kidney disease and analyze the specific interventions that give the education about chronic kidney disease and it’s treatment.
Nursing care results obtained are controlled fluid intake-output, acid-base balance improvement and knowledge of patients and families regarding the definition, causes, signs and symptoms, complications and prevention of chronic kidney disease increases. In providing educatien education about chronic kidney disease in Melati Atas RSUP Persahabatan should be consistent and sustainable.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Enok Mamah Siti Murtasimah
"Pembatasan pemasukan cairan pada pasien gagal ginjal kronik tahap akhir perlu diperhatikan untuk mencegah komplikasi seperti hipervolemia, dan komplikasi pada sistem kardiovaskuler, namun 50% pasien tidak mematuhi aturan pembatasan cairan. Faktor yang mempengaruhi pasien dalam menjalani terapi pembatasan cairan antara lain usia, jenis kelamin, pengetahuan, demografi, aspek psikososial, support sistem dan kemauan. Tujuan penelitian ini adalah pengaplikasian evidence based nursing pembatasan cairan pada pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisa.
Metode yang digunakan adalah dengan cara menyingkirkan segala macam jenis minuman yang berada pada meja pasien kecuali sejumlah air mineral yang dibutuhkan pasien. Jika pasien memaksa mengonsumsi minuman dari luar maka kurangi minuman yang tersedia dengan jumlah yang dikonsumsi dari luar. Lakukan edukasi terkait komplikasi dari kelebihan volume cairan jika pasien tidak mampu mengontrol rasa haus dan tidak disiplin untuk melakukan pembatasan cairan. Selanjutnya, basahi bagian bibir dan mulut tanpa harus minum jika pasien mulai merasa haus.
Hasil menunjukan dengan pengawasan dan pemberian edukasi, pasien mulai patuh dengan terapi pembatasan cairan. Pengaplikasian evidence base memberikan hasil positif. Hal yang perlu diperhatikan yaitu saat melakukan pembatasan cairan perlu diperhatikan tanda-tanda dehidrasi.

Fluid restriction in End Stage Renal Disease patient needs for attention to prevent complications, such as hipervolemia and cardiovascular complication. However, 50% of patients don’t adhere to the fluid restriction guide. Factors influence patients during fluid restriction therapy are age, gender, knowledge level, demography, psychosocial, support system, and willingness. This report aimed to apply evidence based nursing of fluid restriction in chronic kidney disease with hemodialysis.
The method was applied by eliminating additional drinks on patient desk unless the amount of required water. If patient intended to excess fluid intake, hence the required water should be eliminated as the amount of extra fluid intake. Education was done related to complications of body fluid excess if patient were not able to control thirsty and to be discipline of fluid restriction. Patient lips could be given water without drinking.
Result shown that fluid restriction and education influence patient adherence. Evidence based practice shown the positive impact. In addition, it is also important to pay attention to the clinical signs of dehydration.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sihotang, Retta C.
"ABSTRAK
Pemilihan obat antidiabetik oral (OAD) pada pasien diabetes melitus tipe 2 (DMT2) dengan penyakit ginjal kronik (PGK) sangatlah penting karena sebagian besar OAD diekskresikan melalui ginjal sehingga diperlukan penyesuaian dosis. Di Indonesia, sulfonilurea (SU) kerja pendek umum dipakai untuk pengelolaan DMT2 dengan PGK. Tinjauan pustaka ini membahas perbandingan efektivitas dan keamanan beberapa jenis SU dengan OAD lainnya pada pasien DMT2 dengan PGK. Golongan obat yang dievaluasi adalah SU, tiazolidindion (TZD), penghambat DPP-IV, dan penghambat SGLT-2. Sulfonilurea kerja pendek (gliklazid dan glipizid) dan penghambat SGLT-2 (empaglifozin dan canaglifozin) dapat menghambat progresi PGK pada DMT2. Pioglitazon dan sitagliptin dikaitkan dengan progresi PGK yang lebih tinggi, sementara linagliptin berefek netral terhadap perburukan PGK. Namun, sitagliptin dan linagliptin memiliki risiko lebih rendah dalam menyebabkan hipoglikemia dibandingkan SU kerja pendek. Dengan demikian, dapat disimpulkan OAD golongan SU kerja pendek, seperti gliklazid dan glipizid masih dapat menjadi pilihan utama untuk pengelolaan glukosa darah pada pasien DMT2 dengan PGK di Indonesia."
Jakarta: Bidang Penelitian dan Pengembangan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
610 JPDI 5:3 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Melody Febriana Andardewi
"Latar Belakang: Pruritus menjadi salah satu gejala yang dialami oleh pasien dengan penyakit ginjal kronik (PGK). Pruritus yang berasosiasi dengan PGK mayoritas terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisis (HD) dan dapat terjadi pada resipien transplantasi ginjal (RTG). Gejala pruritus yang tidak ditangani dengan baik dapat memberikan dampak terhadap kualitas hidup. Belum terdapat penelitian yang membandingkan proporsi derajat keparahan pruritus, kualitas hidup, dan korelasi berbagai faktor biokimia antara pasien HD dengan RTG di Indonesia. Tujuan: Membandingkan derajat keparahan pruritus, kualitas hidup, serta korelasi kadar hs-CRP, kalsium, fosfat, dan e-GFR antara pasien PGK yang menjalani HD dengan RTG. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan desain potong lintang. Setiap SP dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan laboratorium. Skala gatal 5 dimensi (5-D) digunakan untuk evaluasi derajat keparahan pruritus dan Indeks Kualitas Hidup Dermatologi (IKHD) digunakan dalam menilai kualitas hidup. Analisis statistik yang sesuai dilakukan untuk membuktikan hipotesis penelitian dengan nilai kemaknaan yang digunakan adalah p <0,05. Hasil: Dari 30 SP di masing-masing kelompok, proporsi pruritus derajat sedang-berat sebesar 76,7% pada kelompok HD sedangkan pada kelompok RTG sebanyak 83,3% mengalami pruritus derajat ringan (RR = 4,6; IK 95% = 2,02–10,5; p <0,001). Median skor IKHD pada kelompok HD adalah sebesar 5 (3–6) sedangkan pada kelompok RTG sebesar 3 (2–4) (p <0,001). Terdapat korelasi positif yang bermakna antara hs-CRP dengan skor skala gatal 5-D pada kelompok HD (r = 0,443; p <0,05). Terdapat korelasi negatif yang bermakna antara e-GFR dengan skor skala gatal 5-D pada RTG (r = -0,424; p <0,05). Tidak terdapat korelasi yang bermakna secara statistik antara kadar kalsium dan fosfat dengan skor skala gatal 5-D pada kedua kelompok. Kesimpulan: Pasien HD lebih banyak mengalami pruritus derajat sedang-berat dibandingkan pada RTG. Pruritus pada kelompok HD berdampak ringan hingga sedang terhadap kualitas hidup sedangkan pada kelompok RTG pruritus berpengaruh ringan terhadap kualitas hidup. Pada pasien HD, semakin tinggi kadar hs-CRP maka semakin meningkat skor skala gatal 5-D. Pada pasien RTG, semakin menurun nilai e-GFR maka semakin meningkat skor skala gatal 5-D.

Background: Pruritus is one of the symptoms experienced by patients with chronic kidney disease (CKD). Most patients with chronic kidney disease-associated pruritus (CKD-aP) occur in dialysis patients and could also happen in kidney transplant (KT) recipients. Inappropriate management of pruritus could impact the quality of life (QoL). No studies have compared the severity of pruritus, QoL, and the correlation of various biochemical factors between hemodialysis (HD) and KT recipients in Indonesia. Objective: To compare the severity of pruritus, QoL, and the correlation of hs-CRP, calcium, phosphate, and e-GFR levels between HD and KT recipients. Methods: This is a cross-sectional analytic observational study. Medical history, physical examination, and laboratory examination were conducted on each subject. The 5-dimensional (5-D) itch scale was used to evaluate the severity of pruritus. Dermatology Life Quality Index (DLQI) was used to assess the QoL. Appropriate statistical analysis was conducted to prove the research hypothesis with a significance value of p <0.05. Results: Out of 30 subjects in each group, the proportion of moderate to severe pruritus was 76.7% in the HD group. In the KT group, 83.3% experienced mild pruritus (RR = 4.6; CI 95% = 2.02– 10.5; p <0.001). The median DLQI score in the HD group was 5 (3–6), while in the KT group was 3 (2–4) (p <0.001). There was a significant positive correlation between hs-CRP and the 5-D itch scale in the HD group (r = 0.443; p <0.05). The KT group had a significant negative correlation between e-GFR and the 5-D itch scale (r = -0.424; p <0.05). Both groups had no statistically significant correlation between calcium and phosphate levels and the 5-D itch scale. Conclusion: Moderate-to-severe pruritus was more common in HD patients than in KT recipients. Pruritus in HD patients had a mild to moderate effect on QoL, whereas pruritus in KT recipients had a mild impact on QoL. A higher level of hs-CRP in HD patients results in a higher 5-D itch scale. In KT recipients, the lower the e-GFR value, the higher the 5-D itch scale."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riselligia Caninsti
"Salah satu penyakit yang terus meningkat persentasenya saat ini dan menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat adalah penyakit ginjal. Kekhawatiran masyarakat muncul karena dalam perjalanan penyakit ginjal, pada tahap awal pasien tidak merasakan keluhan apapun. Walaupun tidak memperlihatkan gejala, penyakit ini akan terns berproses secara bertahap selama bertahun-tahun hingga pada akhimya pasien telah mengalami gagal ginjal pada tahap terminal dan harus menjalani terapi hemodialisa seumur hidup.
Sehubungan dengan penyakitnya, pasien yang menjalani terapi hemodialisa menghadapi masalah-masalah dalam menjalani hidupnya karena membawa beberapa dampak pada individu, diantaranya adalah dampak tisik, dampak sosial dan dampak psikologis. Dampak psikologis yang dirasakan pasien tampaknya kurang menjadi perhatian bagi para dokter ataupun perawat. Pada umumnya, pengobatan di rumah sakit difokuskan pada pemulihan kondisi fisik tanpa memperhatikan kondisi psikologis penderita. Keterbatasan dokter dan perawat dalam menggali kondisi psikologis pasien membuat hal ini terkesan kurang diperhatikan.
Oleh karena itu diperlukan suatu metode yang sederhana untuk mengetahui kondisi psikologis dalam setting klinis yang nantinya dapat membantu dokter saat berhadapan dengan pasien. Salah satunya adalah menggunakan Alat Ukur Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS) yang telah dirancang untuk digunakan dalam setting rumah sakit dan hanya terdiri dari 14 item. HADS terdiri dari dua subskala, yaitu anxiety (kecemasan) dan depression (depresi). Item-item dalam HADS terdiri dan 7 item berhubungan dengan anxiety (kecemasan) dan 7 item lainnya berhubungan dengan depression (depresi).
Dengan menggunakan HADS, diharapkan pasien dapat lebih mudah memberikan respon sesuai dengan kondisi yang ia rasakan. Alat ukur HADS yang semula menggunakan bahasa Inggris akan diterjemahkan terlebih dahulu ke dalam bahasa Indonesia. Dengan adanya penelitian ini maka dapat diketahui gambaran kecemasan dan depresi pada penderita gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Sehingga dapat memberikan penanganan yang tepat kepada pasien."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
T17822
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>